Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
“Heh, kenapa ngga puasa? Jelas-jelas ini bulah puasa.”
“Oh, ini... aku lagi M....” Arkan menjawab santai.
“M?!”
Menstruasi? Farah melongo terkejut. Cowok di hadapannya itu mungkin adalah banci! Gadis itu menggelengkan kepala, bergidig geli.
Arkan, dia benar-benar makhluk paling tak beres di muka bumi ini. Baiklah, itu hiperbola, karena sebenarnya cowok itu lebih tepat disebut makhluk paling tak beres di sekolahnya. Anehnya, kenapa cowok yang hidup berantakan seperti itu bisa digilai oleh banyak teman perempuannya di kelas? Sebut saja Riana, cewek kaya yang super modis itu. Tanpa gengsi tiap harinya dia mendekati cowok itu. Ajaib!
Arkan memang cukup tampan, tapi tingkah lakunya itu yang membuat Farah gemas. Melanggar aturan sekolah, melanggar perintah agama. Sekalipun sebelum ini, Arkan yang satu kelas dengannya itu tidak pernah mengusilinya.
Padahal kalau dipikir-pikir lagi, ia termasuk mangsa empuk untuk dikerjai. Orang yang kaku, dingin, juga tidak banyak memiliki teman. Itu juga alasan yang membawanya pergi ke tempat ia memergoki Arkan sekarang, halaman belakang sekolah dengan bangku panjang yang di duduki cowok itu. Tempat tersepi di sekolah.
Kepala Arkan tampak miring ke kiri lalu ke kanan, seperti tengah melihat Farah dengan tatapan menyelidik. Membuat Farah memberengut, bukannya itu terbalik? Harusnya ia yang melakukan itu padanya, bukan sebaliknya.
“Hey, kenapa reaksimu seperti itu?”
“M?” Farah mengulangi tanya yang sama. Semacam menagih penjelasan untuk satu huruf yang berhasil mencengangkannya tadi.
“Aaah, M? Sebenarnya aku memakai jawaban itu karena melihat itu selalu berhasil untuk anak perempuan buat ngehindarin omelan orang-orang.”
“Dan kamu perempuan?”
Arkan langsung tersenyum cengengesan sambil menggeleng singkat.
Kalau perempuan saja bisa mengandalkan satu huruf itu untuk mereka bisa bebas tidak menjalankan puasa, kenapa laki-laki tidak? Arkan beralasan. Biarpun dalam kasusnya, M yang ini adalah inisial dari kata 'malas'. Cowok itu tertawa cekikikan dalam hati.
“Kamu itu bener-bener cewek yang polos ya,” sebut Arkan, yang hanya ditanggapi Farah dengan lirikan sinis. “entah bodoh.”
What?! Bodoh?! Wajah gadis itu seketika langsung berubah masam.
“Kalau cewek-cewek lain pasti langsung tahu, kalau M yang dimaksud itu adalah males.”
Ya, kalau begitu pergi saja pada cewek-cewek lain itu. Jangan mengganggunya!
Ah, tidak-tidak. Ia bahkan tidak bisa menggunakan kata mengganggu untuk mengusir pemuda itu pergi. Karena kondisinya saat itu, memang Arkan lah yang sudah lebih dulu berada di tempat itu. Dan sialnya lagi, bukan Arkan juga yang bicara padanya lebih dulu, tapi ia sendiri yang tanpa pikir panjang menegur pemuda itu yang dilihatnya sedang makan roti coklat secara diam-diam di waktu istirahat itu.
Farah menghela panjang napasnya. Mencoba meyakinkan diri sendiri, ia sudah melakukan yang benar. Kalau ada orang yang berbuat salah, jelas harus ada seseorang yang menegurnya. Dan itulah yang dilakukannya saat itu. Ia hanya tidak menyangka, kejadian yang menurutnya singkat itu membuatnya kini harus terus-terusan berurusan dengan pemuda itu.
Arkan mengintilinya seperti anak ayam yang membuntuti induknya. Mengoceh ini dan itu hingga membuat kupingnya panas. Belum lagi kata polos serta bodoh yang terus dibawanya serta untuk meledeknya.
Mungkin harusnya ia diam saja menunggu suara Arkan habis dengan sendirinya. Tapi bila itu benar-benar ia lakukan, pastilah gendang telinganya yang sudah gesrek duluan.
“Arkan, kamu tahu arti kalimat ‘diam itu emas’? Apalagi ini bulan puasa, lebih baik kamu banyak diam dan mengontrol tiap ucapan kamu,” Farah yang sudah gerah ketenangannya diusik, mengingatkan pemuda itu.
Arkan hanya mengerjapkan matanya sekali tepat di depan mata Farah. Seolah omongannya barusan hanyalah angin yang numpang lewat. Benar-benar orang yang pandai memprofokasi orang lain.
Sambil berdesis kesal, Farah ngedumel sendiri, “Benar, bahkan puasa aja dia engga,” sinis Farah.
Arkan tidak tampak terusik dengan gumaman gadis itu, biarpun jelas-jelas ia mendengarnya. Ia malah dengan cueknya memainkan handphone di tangan.
“Hey, apa aku orang pertama?” Arkan bertanya tanpa mecabut pandangannya dari ponsel bercasing gambar anime itu. Pertanyaan menggantung yang sama sekali tak dimengerti Farah.
“Apa?” dahi gadis itu berkerut.
“Apa aku orang pertama yang tiap harinya mengajak kamu bicara? Apa sebelum ini kamu tinggal di hutan belantara yang sepi sampai kamu kemudian jadi benci dengan sedikit aja obrolan?”
Tidak bertanya pun sebenarnya Arkan sudah tahu jawabannya, karena sudah 1,3 tahun ini mereka satu kelas. Arkan hanya penasaran dengan reaksi Farah setelah mendengar sindirannya tadi. Farah yang sekarang dibuatnya tak berkutik. Ia paham kemana arah pembicaraan Arkan sekarang.
Sebelum ini gadis itu memang lebih banyak menghabiskan waktu sendiri dengan membaca buku fiksi tiap jam istirahat. Karena itu juga ia jadi terbiasa dengan suasana hening. Tidak aneh bila sekarang ia jadi agak kaget dan risih dengan perubahan kondisi yang tiba-tiba seperti saat ini. Ada orang di dekatnya yang selalu mengajaknya bicara.
Baiklah, ia orang aneh. Mau apa lagi sekarang Arkan?! sungut Farah dalam hati.
Arkan hanya tersenyum geli, seperti tahu isi pikiran gadis itu saat ini.
*****
Kata Arkan, Farah itu mirip ibunya. Bawel, biarpun apa yang dinasehatkan adalah benar. Dibanding dengan sengaja mengungkapkannya, lebih tepat kalau saat itu Arkan mengatakannya secara spontan. Dan kelihatannya itu juga bukan sekedar asal bicara. Farah yakin ia tak salah lihat. Ketika Arkan mengatakan hal mengenai ibunya, ada cahaya lain yang bersarang di dalam matanya. Mata yang seperti memiliki luka.
“Kamu itu deket banget yah, sama ibu kamu?” tanya Farah saat mereka berjalan beriringan di koridor menuju pulang.
“Udah engga lagi!”
“Kenapa?”
“Kenapa kamu mau tahu?!”
“Ya karena aku ingin tahu. Kenapa?”
“Karena dia udah pergi ninggalin aku. Puas!”
Farah terdiam. Tebakannya benar. Ia sengaja memancing Arkan dengan pertanyaan itu. Biarpun pada akhirnya ia tahu, Arkan menjadi tampak kesal setelahnya.
Selama ini separah apapun ia menyindir Arkan, cowok itu tidak pernah terlihat marah ataupun tersinggung. Karena itu, sangat aneh melihat Arkan tiba-tiba seperti terganggu menerima pertanyaan soal ibunya. Dari sana Farah yakin, ada masalah dengan itu.
Ibunya pergi. Kemana? Karena apa? Farah sudah tak berani meneruskan tanyanya. Yang ia ketahui sekarang, kepergian ibunya pasti yang sudah memberi pengaruh besar untuk Arkan dalam menjalani hidupnya yang sekarang. Hidup yang tak beraturan.
*****
‘Misi pertama : membuat Arkan mau berpuasa. Caranya??’ dahi Farah mengerenyit berpikir, setelah menulis itu dalam notebook kecil di tangannya.
Ia yakin, kalau urusan agama sudah benar, Arkan pasti bisa berubah menjadi pribadi yang lebih baik.
Lagipula, setelah melihat luka Arkan yang selama ini sengaja disembunyikannya, Farah mulai menyadari kalau Arkan tidak seburuk apa yang dipikirkannya selama ini.
Don’t judge a book by its cover. Farah paham pepatah itu sekarang.
Dan cara untuk di dengar oleh si tuan keras kepala adalah dengan ia singgah dan memahami lukanya.
“Arkan, cepetan!” Farah mengomel protes untuk kesekian kalinya di hari itu. Kalau ini bukan bulan puasa, dan kalau makhluk menyebalkan di belakangnya itu bukan berjenis kelamin laki-laki, Farah mungkin sudah menggeret tangannya dan menyeretnya keluar dari zona jalan keong.
“Cepet masuk!” perintah Farah padanya.
Arkan yang masih tak paham kenapa ia harus datang ke rumah gadis kuper di depannya itu, menuruti komando dengan wajah asem. Ia langsung di buat terkejut begitu masuk ke dalam. Ibu Farah sudah berdiri di sana menyambut mereka dengan senyumannya yang lembut. Senyuman hangat khas seorang ibu.
Arkan terenyak, seperti merasakan musim gugur berpadu dengan musim semi sekaligus. Biarpun pada dasarnya ia belum pernah benar-benar merasakan 2 musim itu sebelumnya, tapi gambaran indah nan damai keduanya seperti terwakili dengan apa yang dirasakannya saat ini.
"Nak Arkan, ya? Ibu sampe kaget waktu denger Farah mau bawa temennya ke sini. Cowok lagi."
Arkan mengangguk, tersenyum canggung. Ia tak mengira situasinya akan jadi seperti ini.
Farah melirik Arkan diam-diam dan tersenyum.
“Itu ibu aku. Dan sekarang jadi ibu kamu juga....” ucap Farah tiba-tiba sambil membuang muka.
“Apa maksud kamu sebenernya?” sahut Arkan. Ada nada sinis dari pertanyaan yang dilemparkannya barusan. Senyumnya memang sudah berhenti sejak Ibu Farah meninggalkan keduanya di ruang tamu. Ia tidak ingin berpikir, kalau Farah sedang mengasihaninya sekarang.
“Heh, ngga usah mikir yang aneh-aneh. Aku juga bukan senang melakukannya. Berbagi ibu dengan orang menyebalkan kaya kamu. Karena itu, jangan banyak tanya dan diem aja!”
Arkan memberengut bingung.
Kenapa jadi gadis itu yang marah-marah tak jelas? Padahal ia tak pernah meminta itu semua.
Tapi... terima kasih...
Bagaimanapun Arkan tahu niat baik gadis itu padanya. Apalagi Farah bukan termasuk orang yang bisa berbohong dengan baik. Gaya membuat-buat alasannya tadi malah tampak lucu di matanya.
“Kalian mau ibu buatin apa nanti, buat buka puasa?” tanya ibu Farah yang muncul kembali dari ruang tengah.
“Arkan ngga usah dibuatin Ma, dia ngga puasa kok....” sahut Farah yang langsung memancing tatapan protes Arkan padanya.
Benar, gadis itu tidak pandai berbohong. Bahkan malah sangat-sangat-sangat payah. Arkan mendesis kesal.
*****
Arkan tahu maksud Farah waktu itu. Membuatnya malu pada ibunya kemarin karena ketahuan tidak berpuasa, itu adalah cara Farah memberitahu dirinya untuk tidak menjalani hidup seperti itu lagi.
Apa itu berhasil untuknya? Arkan menarik napas panjang.
Rasanya sudah lama ia tak seserius ini. Memikirkan sesuatu dengan sungguh-sungguh. Selama ini ia hanya tersenyum, lalu tertawa. Tanpa pernah dilakukannya karena benar-benar bahagia. Sebuah gurat dan bunyi ceria namun kosong.
“Kamu tahu, Farah? Aku ini seorang pembunuh,” dengan suara bergetar, duduk di tempat yang sama kala Farah pertama kali menegurnya waktu itu, Arkan membuat pengakuan yang mencengangkan.
Itu adalah pengakuan yang sungguh-sungguh ingin ia akui. Meski itu bukan yang pertama.
Karena selama ini, mereka yang mendengarnya mengatakan itu langsung meresponnya dengan tertawa cekikikan. Dan entah kenapa ia pun hanya ikut tertawa.
Keluar dari isi, lalu mengambang hening.
Harusnya Farah mulai ketakutan sekarang. Atau setidaknya ia merasa tak nyaman berada di dekat Arkan saat ini. Tapi ini tidak. Tidak sama sekali. Farah yakin ada alasan masuk akal kenapa Arkan sampai bicara seperti itu. Ucapan yang bukan merupakan bualan untuk sekedar mengerjainya.
Ia tatap lekat wajah Arkan yang sedang ia tengadahkan ke atas menatap langit kelabu. Atau lebih tepatnya meraba luka yang menderu.
Baik, ayo kita dengarkan apa maksudnya sekarang, bisik Farah pada dirinya sendiri dalam hati.
Itu adalah kisah usang. Sekitar 4 tahun yang lalu, saat Arkan masih jadi anak SMP kelas 1 yang bandel.
Ia berlari keluar rumah menghindari omelan ibunya. Menerjang hujan deras hingga membuat seluruh tubuhnya basah kuyup. Ia tidak pernah membayangkan sebelumnya, kalau setelah itu giliran sebuah mobil lah yang menerjang tubuh ibunya hingga terkapar dan meninggal dunia. Ibu yang ketika itu berlari cepat ke arahnya, menyelamatkan putranya itu dari ancaman maut.
"Bahkan dalam kondisinya yang sekarat kaya gitu, dia masih mengkhawatirkan anaknya yang bodoh," ada kilatan bening di kedua mata Arkan kala menceritakan hal itu.
Ahh... jadi maksud Arkan saat mengatakan ibunya pergi meninggalkannya waktu itu, itu bukan pergi ke suatu tempat lain yang ada di dunia ini, tapi justru pergi meninggalkan dunia? Pergi meninggalkannya selamanya? Farah tercengang kaget.
Dan soal kecelakaan yang diceritakannya tadi... Sekarang ia mengerti, kenapa Arkan sampai memilih menjalani hidup seperti ini.
“Bodoh!”
Arkan yang tadi termenung diam langsung menoleh pada Farah dengan terkejut.
“Selama ini kamu sering bilang aku bodoh ‘kan? Tapi nyatanya sekarang malah kamu sendiri yang bodoh.”
Apa? Mau bicara apa gadis itu sebenarnya? Tatapan mata Arkan menunjukan tanya itu.
“Kamu marah ‘kan? Kamu marah sama diri kamu sendiri, sama dunia ini, bahkan juga sama ibu kamu sendiri. Kamu benci kenapa waktu itu ibu kamu harus datang buat nyelametin kamu. Kamu benci kenapa semuanya harus berakhir kaya gitu. Karena itu, kamu menjalani hidup kamu sekarang dengan sembarangan sebagai bentuk dari pemberontakan.”
Arkan hanya diam. Karena semua yang dibilang Farah itu memang benar.
Ia tidak pernah meminta ibunya mengorbankan nyawa untuknya lalu kemudian pergi meninggalkannya dengan penuh luka.
“Itu bukan kesalahan kamu,” suara Farah kembali membuat Arkan membeku. “Jangan terus-terusan nyalahin diri kamu sendiri, itu beban yang terlalu berat buat kamu pikul. Karena segimanapun kita berusaha buat ngelak, semuanya udah jadi takdir Allah."
Arkan menggigit bibirnya dan masih diam.
“Kamu mungkin tampak tenang dan tak acuh dari luar. Tapi dalam hati kamu? Kamu ngerasa ngga tenang ‘kan?”
Benar. Farah benar.
“Allah sedang menguji iman kamu. Kalau sedikit aja kamu membuka hati kamu untuk ikhlas, mungkin beban kamu bisa sedikit berkurang.”
Ikhlas? Beban yang berkurang?
Arkan mengerejapkan matanya beberapa kali. Apa bisa... semudah itu?
"Enak ya... nasehatin orang. Tinggal ngomong doang," kepala Arkan mendongak, dengan sorot matanya yang menantang.
Farah langsung terperanjat melihatnya.
"Kalau ini terjadi sama kamu... Ibu kamu yang mati karena ulah kamu... kamu bakal gimana... hmp?!"
Ada kilatan senyum meremehkan yang dipertontonkan Arkan di depan mata Farah. Senyuman yang memprofokasi.
Farah seperti dipaksa menahan napas. Lalu sesak begitu saja di dada.
Gadis itu menampar wajah Arkan. Ia sendiri bahkan tak sadar saat melakukannya.
Arkan tertunduk. Berpaling. Lalu bangkit dari kursinya. Pergi dengan terburu-buru. Tanpa menunggu reaksi Farah, yang kini hanya bisa tertunduk sambil meremas kedua tangannya sendiri.
*****
Keduanya kembali menjadi orang asing. Tak saling tegur. Tak saling bicara. Hanya meninggalkan status teman satu kelas.
Pernah keduanya tak sengaja berpapasan di jalan. Farah memegang buku fiksi favoritnya, Arkan mengobrol seru dengan temannya yang lain. Mata mereka sempat bertemu, tapi masing-masing kemudian melengos pergi begitu saja.
Batin Farah menggerutu kesal memunggungi Arkan, mendengar tawa renyah pemuda itu, seolah tak ada yang terjadi di antara mereka.
Ia tak tahu Arkan yang setelahnya langsung terdiam dengan nyala redup di matanya.
*****
Arkan sedang menyantap makanan takjilnya. Sop buah dingin dalam gelas mika. Bukan di pinggir jalan tempat banyak jajanan biasa di jajakan, bukan pula di rumahnya yang sepi dan hampa. Tapi di rumah seorang gadis yang sudah berani menamparnya waktu itu.
Dengan wajah datar ia muncul di depan rumah di waktu maghrib itu. Kalau pakaiannya tidak rapi, ia pasti sudah dikira pengemis yang sengaja datang minta makan gratis. Soalnya datang tepat saat waktunya berbuka.
Mata Farah membelalak kaget. Tapi ibunya dengan ramah menawari Arkan masuk untuk turut berbuka di dalam.
Seperti itu kronologi orang bernama Arkan itu bisa duduk santai menyantap makanan takjilnya di meja ruang tamu rumah orang lain.
Farah datang dari ruang tengah dengan sorot mata tak bersahabat. Pemuda itu tahu, tapi sengaja tak menoleh. Ia membuat suapan berikutnya.
"Ngapain ke sini?!"
Pertanyaan itu membuat Arkan menghentikan aktifitasnya sejenak. Ia baru menjawab setelah mengunyah cukup lama sambil terdiam.
"Katanya ngga boleh musuhan lebih dari 3 hari," jawabnya singkat lalu kembali makan.
Dahi Farah berkerut dengan sebelah alisnya yang ikut terangkat. Puasa saja anak itu tidak, kenapa mesti peduli tidak boleh musuhan lebih dari 3 hari, keluhnya dalam hati.
Meski ia tahu alasan sebenarnya Arkan datang ke sana.
Farah menghela napas panjang. Raut marahnya melunak. Ia memutuskan untuk duduk di kursi lain di dekat Arkan.
"Aku udah pikirin soal pertanyaan kamu waktu itu. Aku pikir kalo itu yang terjadi sama aku, aku bakal jalanin hidup yang jauh lebih berantakan dari kamu sekarang"
Benarkan?!
Meski tak membuat reaksi apa-apa, ia merasa puas dengan jawaban Farah.
Tak salah dengan jalan hidupnya sekarang. Sikapnya adalah reaksi alami dari peristiwa yang sudah mempermainkannya. Tak perlu ada yang berubah.
"Aku akan membenci Tuhan yang udah membiarkan hal buruk gaya gini terjadi sama aku."
Arkan menundukan kepalanya dan tersenyum miring.
"Tapi aku juga ingin diselamatkan... dari rasa bersalah yang membuat hidup aku menjadi terkutuk... Meskipun aku tahu, aku ngga layak untuk itu."
Senyuman Arkan memudar. Ia melirikan mata tak langsung ke arah Farah.
"Aku berharap kalau masa lalu terkutuk itu bisa diubah. Atau posisi waktu itu bisa kebalik. Kalau waktu itu ibuku yang nyaris celaka, apa yang akan aku lakukan?" Farah menahan napas dan tertunduk. "Aku pikir aku pasti akan berusaha menyelamatkannya juga. Biarpun mungkin harus aku yang mati."
Arkan mulai merasa sesak.
"Kalau itu kamu, Ar, gimana? Apa kamu akan menyelamatkan ibu kamu juga? Biarpun nyawa kamu sebagai taruhannya...."
Arkan begeming. Perandaian itu membuat matanya mulai berkaca.
"Ar... aku tanya?!" tegas Farah.
Didesak seperti itu, Arkan pun mengangguk, menghadapkan wajahnya pada gadis itu.
"Lebih bagus kaya gitu." Arkan tak bercanda dengan jawabannya.
"Akan lebih bagus kalo ibu yang selamat terus kita yang pergi. Itu akan jauh lebih mudah," timpal Farah.
Arkan sepakat. Beban yang dipikulnya saat ini terlalu berat untuk ia tanggung. Terlalu sakit.
"Setelah itu, setelah kita mati, kita mungkin bisa ngeliat ibu kita menjalani hidup dengan menderita karena rasa bersalahnya. Kalau itu kamu, apa kamu akan baik-baik aja?"
Arkan terdiam. Terkejut. Kenapa Farah harus menggiring cerita ke arah sana?
"Aku tanya apa kamu akan baik-baik aja, melihat ibu kamu menjalani sisa hidupnya kaya gitu?"
Arkan berpaling.
"Ar?!"
Ia menggeleng. Gemetaran. Rasanya matanya mulai basah.
"Kalo gitu bukannya kasian ibu kamu sekarang? beliau juga pasti sedih ngeliat anak yang dilindunginya dengan penuh cinta harus menjalani hidup yang menderita dan penuh rasa bersalah kaya sekarang...."
"Berhen-ti...." Arkan mengatakannya dengan agak terbata, dengan wajahnya yang masih ia palingkan jauh-jauh dari Farah. Dengan kedua matanya yang benar-benar sudah lembab.
Ia menyayangi ibunya lebih dari apapun. Ia juga tak bisa menerima kalau harus kehilangannya karena kebodohannya sendiri.
Bila benar ibunya sedang melihatnya sekarang dari atas sana, ia tak ingin membuat ibunya sedih karena dirinya lagi. Tak ingin membuatnya susah lagi.
"Ma, apa tidak apa-apa kalau Arkan menjalani hidup dengan normal mulai sekarang?"
Arkan mengerejapkan matanya beberapa kali. Merasakan air matanya yang sudah mendesak keluar.
"Mama ngga perlu khawatir, karena Arkan baik-baik aja sekarang," bisik Arkan memejamkan mata.
*****
Ia tak tahu bagaimana menjalani hidupnya mulai sekarang. Rasa bersalah itu tak hilang. Tapi beban di hatinya entah bagaimana mulai berguguran.
Ia rasa baik untuknya bisa menangis lagi. Menumpahkan rasa sakit dan frustasinya. Meski jelas itu tak dilakukannya di depan Farah.
Setelah berupaya keras menahan diri, pemuda itu langsung kabur keluar dan menangis sejadinya.
Ia merasa jauh lebih baik setelah itu.
Rasa bersalahnya tak hilang, tapi ia bisa mengatakan sekarang dirinya baik-baik saja.
Bagaimanapun, beban yang berguguran tetap saja nikmat.
Ia tak ingin ibunya cemas padanya. Ia tak ingin menyusahkan ibunya lagi.
Karena ia tahu, ibunya sangat menyayanginya.
*****
"Hoyyyy...!" dari belakang Arkan datang merangkul Farah.
Wajah Farah memberengut protes. Buru-buru melepaskan tangan Arkan dari bahunya.
"Yaah, puasa! Bukan muhrim!" tegasnya.
Arkan langsung mengulum bibir. Mengatupkan kedua tangannya ke depan, dan membungkuk meminta maaf dengan gaya kocak.
“Ayo kita kerumahmu dan makan cilok sepuasnya,” ajaknya kemudian.
Sudah beberapa hari semenjak Farah pertama kali membawanya berkunjung ke rumahnya, dan sejak saat itu juga ia jadi tahu bagaimana kehidupan gadis itu sebenarnya, termasuk soal ibu Farah, tidak, soal ibunya —Karena Farah sendiri yang mengatakan ia akan berbagi ibu dengannya— yang selalu berjualan sop buah dan cilok di depan rumahnya tiap menjelang waktu berbuka puasa. Hari itu saja ia disuguhkan makanan bulat berbumbu kacang tersebut yang langsung dilahapnya dengan nikmat.
Ada yang lain dari sikap Arkan di koridor sepulang sekolah itu. Tingkahnya saat itu benar-benar seperti anak-anak dengan wajah yang begitu ceria. Suaranya tadi bahkan terlalu nyaring sampai membuat Farah harus mendesis keras untuk memperingatkannya.
Hey, setidaknya jangan membicarakan soal makanan di siang bolong di tengah bulan puasa seperti sekarang. Dasar payah! keluh Farah dalam hati. Biarpun di balik itu ia cukup merasa lega, karena Arkan yang sekarang tidak lagi memakai topeng tengil untuk menutupi lukanya. Tengilnya sekarang malah benar-benar nyata. Sangat nyata.
“Tenang, hari ini aku puasa,” tanpa diminta, Arkan sudah memberikan penjelasan, lengkap dengan senyuman lebar nan kekanakannya yang membuat kedua matanya nyaris membentuk tanda strip.
Iya, cowok di hadapannya itu akan merampok habis sop buah dan cilok dagangan ibunya tepat saat waktu berbuka nanti, seperti waktu kemarin saja bagaimana. Lalu setelahnya habislah ia! Farah tertunduk pasrah.
Tidak ada lagi yang bisa dikhawatirkannya selain itu. Karena ia tahu, Arkan sepertinya sudah berada di jalur yang benar sekarang.
Dan terlepas bagaimana menyebalkannya dia, Arkan tetaplah orang yang sudah membuat Farah benar-benar bisa menyebut dirinya memiliki seorang teman.
Membuat matanya semakin terbuka, bahwa berkah di bulan puasa itu benar-benar nyata.
Oh, tidak. Mungkin ada hal yang ia lewatkan. Seseorang di kelasnya yang belakangan ini sering meliriknya sinis. Riana.