Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Angin sore membawa aroma rumput basah dan tanah merah yang baru digarap. Di kejauhan, suara kereta api melintas samar, seperti dentingan masa lalu yang belum benar-benar hilang. Raka berdiri di depan gerbang rumah lamanya, memandang genteng yang sedikit melengkung dan dinding yang mulai pudar dimakan waktu. Empat tahun. Itu waktu yang cukup lama untuk lupa bagaimana bau kayu tua di dalam rumah ini, tapi tidak cukup untuk menghapus rasa rindu.
Tas ransel lusuhnya dijinjing dengan satu tangan. Langkahnya pelan, seolah takut mengganggu keheningan rumah itu. Di beranda, seorang wanita tua duduk di kursi kayu sambil memetik daun sirih. Wajahnya sedikit keriput, tapi matanya masih sama—tajam, teduh, dan penuh pertanyaan.
“Kamu pulang?” suara Ibu lirih, hampir seperti gumaman.
Raka hanya mengangguk. Matanya berembun. “Iya, Bu. Raka pulang.”
Ibu tidak bertanya apa-apa lagi. Ia bangkit, membuka pintu rumah, dan masuk ke dalam. Bagi Ibu, diam kadang adalah cara terbaik untuk menerima. Raka tahu, dalam diam itulah banyak hal ditanggung.
Rumah itu masih sama. Tikar pandan di lantai, foto keluarga yang tergantung miring, dan rak buku kecil berdebu. Ia menurunkan tas, duduk di bangku panjang dekat jendela. Sinar matahari sore masuk membentuk garis emas di lantai.
Di kota, Raka pernah merasa besar. Pekerjaan di kantor pemasaran, apartemen kecil di pinggiran Jakarta, kopi setiap pagi, dan lembur sampai malam. Tapi perlahan, semuanya runtuh. PHK datang tiba-tiba, tabungan menipis, dan impian menguap tanpa permisi. Ia menolak pulang, menolak mengaku kalah. Tapi kenyataan tidak bisa ditunda selamanya.
Malam itu, makan malam disiapkan seadanya. Sayur bening, tahu goreng, dan sambal terasi. Tapi rasanya lebih dari sekadar makanan. Di meja kayu itu, duduk dua orang yang saling diam, namun tahu ada cerita panjang yang tak perlu diucap sekaligus.
“Kamu bisa bantu Bapak besok di sawah,” ujar Ibu sambil menyendokkan nasi. “Kalau kamu mau.”
Raka menatap Ibu. “Iya, Bu.”
Dan seperti itu, ia kembali jadi anak kampung. Tanpa gelar, tanpa jabatan, tanpa kemewahan. Hanya seorang anak laki-laki yang pulang dengan luka dan ingin mulai lagi.
Pagi datang dengan aroma embun dan suara ayam jantan. Raka terbangun sebelum matahari muncul sepenuhnya, sesuatu yang sudah lama tak dilakukannya sejak tinggal di kota. Dulu, ia terbiasa bangun karena alarm dan kopi sachet; kini, ia terbangun karena suara alam dan desahan angin dari sela jendela kayu.
Bapak sudah menunggunya di depan rumah, memegang cangkul dan mengenakan caping. Mereka hanya saling pandang sebentar sebelum berjalan bersama ke sawah di ujung kampung.
Sepanjang perjalanan, Raka lebih banyak diam. Ia melihat jalan setapak yang dulu sering dilalui waktu kecil, sekarang sudah mulai tertutup ilalang. Ia mencium tanah basah yang dulu ia injak tanpa beban. Kini, langkahnya berat—bukan karena lelah, tapi karena rasa malu yang belum sepenuhnya reda.
“Tanah ini diam, Ra,” ucap Bapak tiba-tiba. “Tapi dari diamnya, dia memberi makan kita.”
Raka hanya menatap sawah yang terbentang. Hijau, sunyi, dan tenang. Tak seperti kota yang bising dan penuh ambisi, di sini segalanya terasa lambat. Tapi dalam kelambatan itu, ada kehidupan yang tumbuh. Ia sadar, barangkali selama ini ia terlalu sibuk mengejar yang besar, hingga lupa menghargai yang sederhana.
Bekerja di sawah tidak mudah. Tangannya yang dulu lincah menulis laporan kini lecet memegang cangkul. Punggungnya pegal, kulitnya mulai terbakar matahari. Tapi ada sesuatu yang memulih di sana. Pelan, tapi pasti.
Hari-hari berikutnya, ia mulai membantu lebih banyak. Membawa air ke ladang, membersihkan saluran irigasi, bahkan kadang mengantar hasil panen ke pasar. Tak ada gaji bulanan, tak ada pendingin ruangan. Tapi setiap senyum Ibu, setiap gelak tawa anak-anak kecil di gang, memberinya sesuatu yang selama ini hilang—rasa cukup.
Satu sore, saat ia duduk di warung Mbok Nah—tempat favorit warga kampung—ia bertemu lagi dengan Lintang.
Lintang, teman SMA yang dulu sering duduk sebangku dengannya, kini jadi guru SD. Rambutnya dikuncir sederhana, wajahnya lelah tapi bahagia.
“Dengar-dengar kamu pulang karena... ya, keadaan,” kata Lintang sambil menyeruput teh hangat.
Raka hanya mengangguk. “Ya. Gagal di kota. Sederhananya begitu.”
Lintang tertawa kecil. “Kadang kita harus hancur dulu, baru sadar apa yang betul-betul penting.”
Obrolan itu ringan, tapi membekas. Di mata Lintang, Raka tak dilihat sebagai orang gagal. Ia hanya seseorang yang sedang belajar kembali—dan itu cukup.
Hari-hari berganti. Raka mulai menanam bibit sendiri. Membantu tetangga membuat sistem pengairan sederhana. Bahkan, ia mulai menulis kembali—bukan untuk perusahaan, tapi untuk dirinya sendiri. Tulisan-tulisannya ia tempel di papan kecil dekat rumah, dan anehnya, anak-anak kampung mulai membacanya.
Malam itu, Ibu menyuguhkan teh panas. Raka duduk di beranda, menatap langit yang bersih.
“Besok ada pelatihan pertanian dari kecamatan, kamu mau ikut?” tanya Bapak.
Raka tersenyum. “Mau.”
Bapak hanya mengangguk. Dan dalam anggukan itu, ada pengakuan diam-diam: bahwa anaknya sedang tumbuh, meski dari reruntuhan.
Hari-hari di kampung mulai punya ritmenya sendiri bagi Raka. Tak ada agenda rapat, tak ada tenggat, tak ada tekanan yang menyempitkan dada. Ia bangun saat fajar menyingsing, membantu Bapak ke ladang, pulang saat mentari meninggi, lalu menulis dan membaca di sore hari. Malam ia habiskan di beranda, menatap bintang yang tak bisa ia lihat selama bertahun-tahun di kota.
Pelatihan pertanian dari kecamatan menjadi titik baru. Di sanalah ia melihat bahwa kampungnya tidak benar-benar tertinggal—hanya belum diberi kesempatan untuk maju. Ia belajar teknik pertanian hidroponik, pupuk organik, hingga pemasaran hasil tani lewat media sosial. Dan yang membuatnya makin yakin, ia tak sendiri. Banyak anak muda yang juga memutuskan pulang, menyambung akar yang lama terputus.
“Kenapa kamu baru mau berubah sekarang?” tanya Bapak suatu malam, saat mereka duduk berdua di bawah lampu petromaks.
Raka diam cukup lama sebelum menjawab, “Karena selama ini aku sibuk mencari tempat yang besar, sampai lupa rumah sekecil ini pernah membuatku bahagia.”
Bapak tidak menjawab, hanya mengangguk. Kadang, dalam diam seorang ayah, ada maaf yang tak perlu diucapkan.
Raka mulai mencoba hal baru. Ia mengajak para petani membuat kelompok tani kecil berbasis digital. Ia ajari mereka membuat akun marketplace untuk menjual hasil panen. Awalnya ditanggapi dingin, bahkan dianggap aneh. Tapi saat ada pesanan dari luar kota untuk sayuran organik mereka, mata para tetua kampung mulai berbinar.
Di sela-sela semua itu, hubungannya dengan Lintang pun tumbuh pelan. Tak ada gombal atau janji manis seperti drama. Hanya saling bantu, saling dengar, dan saling diam di waktu yang tepat. Suatu hari, saat hujan turun, mereka berteduh di pondok sawah.
“Kamu masih nulis?” tanya Lintang, menunjuk buku catatan Raka yang basah sebagian.
“Masih. Tapi sekarang temanya beda. Lebih... bersyukur,” jawabnya sambil tersenyum.
Lintang mengangguk pelan. “Kadang, kita memang harus kehilangan banyak hal untuk sadar bahwa kita masih punya segalanya.”
Ucapan itu menancap dalam di hati Raka. Ia yang dulu menilai sukses dari angka dan pencapaian kini mulai mengukur hidup dari kedalaman rasa dan kelegaan hati. Rumah sederhana ini, sawah kecil ini, orang-orang yang selalu ada bahkan saat ia lupa pulang—semuanya adalah bagian dari kesembuhan.
Satu malam, saat seluruh kampung padam karena listrik mati, Raka duduk di beranda, menatap bintang yang berjajar. Ibu keluar, membawa selimut, lalu duduk di sampingnya.
“Kamu masih kepikiran mau balik ke kota?”
Raka memandang langit sejenak. “Mungkin suatu hari. Tapi sekarang, aku ingin belajar jadi manusia dulu di sini.”
Ibu tersenyum. Pelan, tapi hangat.
Dan saat malam makin larut, Raka sadar: kadang, kita tak perlu pergi jauh untuk menemukan arah. Cukup pulang, dan membuka mata.
Musim panen datang dengan riuh tawa dan peluh. Padi-padi menguning bagai permadani emas yang menghampar di kaki langit. Para petani bekerja dari pagi hingga senja, dan Raka berada di tengah-tengah mereka, ikut memanggul karung, tertawa saat terjatuh di lumpur, dan bersorak saat hasil panen dihitung melimpah.
Lintang berdiri tak jauh, mencatat hasil panen untuk keperluan data pemasaran. Ia telah menjadi bagian dari gerakan kecil Raka: memperkenalkan cara baru dengan tetap menghormati cara lama.
“Kamu jadi pahlawan di kampung sendiri,” celetuk Lintang saat mereka beristirahat di bawah pohon randu.
Raka tertawa. “Kalau aku pahlawan, berarti kamu wakilnya.”
Lintang hanya tersenyum dan menunduk. Mereka tak butuh banyak kata untuk saling mengerti.
Hari demi hari berlalu. Sekolah dasar di kampung kini punya taman baca kecil hasil donasi Raka dan teman-teman komunitasnya. Di dalamnya ada buku-buku cerita, ensiklopedia, dan—tentu saja—kumpulan tulisan Raka sendiri. Ia ingin anak-anak tahu, bahwa kampung mereka juga layak menjadi tempat impian tumbuh.
Suatu sore, Bapak duduk di beranda, mengisap rokok kretek yang tinggal separuh.
“Dulu Bapak pikir kamu nggak akan betah di sini lebih dari seminggu,” katanya sambil memandang langit jingga.
Raka menyeduh teh hangat dan menyerahkannya. “Saya juga pikir begitu, Pak. Tapi ternyata... diam-diam saya rindu rasa ini sejak lama.”
Bapak mengangguk pelan. “Kampung ini memang nggak banyak janji. Tapi kalau kamu jujur kerja di sini, dia akan balas dengan ketenangan.”
Raka menatap sawah yang menguning, rumah-rumah yang berdiri tenang, suara anak-anak bermain kejar-kejaran di jalan tanah. Semuanya terasa cukup. Tidak sempurna, tapi utuh.
Satu tahun kemudian, Raka berdiri di depan kelas, di sebuah pelatihan pemuda desa yang ia gagas bersama kecamatan. Di hadapannya, puluhan anak muda yang dulu bercita-cita keluar kampung kini justru ingin tahu bagaimana membangun dari tanah sendiri.
Ia bercerita tentang jatuh, tentang hilang arah, tentang nyaris menyerah. Tapi lebih dari itu, ia bercerita tentang pulang—dan bagaimana pulang tak selalu berarti kembali ke tempat, tapi kembali ke nilai yang membuat hati hidup.
Usai acara, Lintang menghampiri, membawa ransel dan dua botol air mineral.
“Siap ke ladang lagi, Pak Mentor?”
Raka tertawa. “Ladang tak pernah istirahat, Bu Admin.”
Mereka berjalan beriringan, menyusuri jalan setapak di bawah sinar matahari sore yang lembut. Tak ada tepuk tangan, tak ada sorotan kamera. Tapi di jalan tanah yang biasa, Raka merasa seperti orang paling beruntung di dunia.
Sebab akhirnya, ia benar-benar pulang.
Dan rumah… tak pernah lagi terasa jauh.
TAMAT