Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Slice of Life
Beranak Dalam Kaos Kaki
2
Suka
849
Dibaca

Aku lahir di tempat yang sempit, lembab, dan bau kecut. Orang-orang bilang aku anak dari rahim, tapi ibuku sendiri pernah berbisik

"Kau itu bukan dari cinta, Bar. Kau lahir didalam kaos kaki."

Waktu kecil, aku pikir itu cuma lelucon. Tapi mangkin besar, mangkin kusadari... aku bener-bener tumbuh dalam kaos kaki: ruang hidup yang hangat, tapi pengap; sempit, tapi katanya nyaman; semu; tapi dibuat seolah-olah nyata.

Keluargaku seperti mesin cuci tua berisik, muter di tempat, tapi nggak pernah benar-benar bersih. Ayahku bekerja, tapi entah untuk sapa. Ibuku memasak, tapi tak pernah makan enak. Dan aku? aku belajar diam. Karena suara anak dalam kaos kaki tak pernah kedengaran di ruang tamu orang dewasa.

Kata mereka, jangan mimip terlalu tinggi.

Nanti jatuh.

Nanti luka.

Nanti malu.

Padahal, luka karna mencoba jauh lebih manusiawi daripada hidup aman tapi tak pernah bergerak.

"Hidup itu jangan banyak gaya. yang penting cukup."

Itu mantra lingkungan. Kata-kata yang diwariskan turun-temurun, dari orang yang bahkan tak pernah mencoba naik ke panggung kehidupan.

Maka aku tumbuh. Bukan jadi hebat. Tapi jadi sadar: bahwa banyak orang di luar sana, masih tinggal dalam kaos kaki mereka masing-masing. Hangat tapi mandek. Nyaman, tapi tak ke mana-mana.

Aku tumbuh jadi remaja yang bingung: ingin jadi seseorang, tapi di ajari untuk jadi tidak apa-apa.

Aku pernah bilang ke ibu, aku mau jadi penulis. Dia tertawa. Bukan karna lucu, tapi karna takut.

"Tulisan nggak bisa kasih makan. jangan buang waktu. Masuk kerja. Pabrik lagi buka."

Pabrik. Lagi-lagi pabrik. Tempat dimana manusia berubah jadi anggka gaji sekian, jam kerja sekian, cuti? Nanti dulu. Kau cuma mur, Bar. Mur kecil di mesin besar. kalau rusak, tinggal ganti.

Aku ikut wawancara.

Pakai baju pinjaman.

Gaji ditawar serendah harga bensin.

Lalu kutanya pelan: "Kalau saya kerja keras, bisa naik jabatan?"

Orang HR nya senyum. Bukan yang ramah, tapi semacam: "Lucu jugak anak ini."

Malamnya, aku menatap langit-langit kamar, yang bocor di dua sudut. Dinding penuh coretan. Bau kamper dan parfum gantung yang udah lama mati. Kupikir, mungkin kaos kaki bukan tempatku lahir. Tapi tempat semua orang disuruh tumbuh, asal tidak cerewet.

"Jangan macam-macam lah. syukuri aja."

Kata yang jadi pagar : Pendek, kuat, dan membunuh diam-diam.

Membunuh mimpiku. Membunuh mimpi orangtuaku yang sudah lebih dulu dikafani oleh rasa takut.

Tapi malam itu, untuk pertama kalinya aku marah. Bukan ke ibu. Bukan ke pabrik. Tapi ke pola pikir yang diwariskan seperi kutukan.

"Apa salahnya mencoba jadi lebih cukup?"

Dan saat aku bilang ke diriku sendiri aku takut. karna itulah pertama kalinya aku merasa benar-benar sendirian.

Dulu, aku pikir keinginan itu cukup. Tapi rupanya, di dunia ini... keinginan tanpa warisan, tanpa relasi, tanpa privilege cuma jadi beban.

Aku ingat betul, suatu malam ada tetangga bilang, " Anak si anwar udah lulus kuliah. Kau kapan, Bar?

Mereka tak tahu, aku bahkan tak sanggup beli formulir. Tapi orang-orang suka menanam luka di tanah yang tak mereka sirami.

Dan kupikir, mungkin bukan cuma aku yang begitu. mungkin kita semua anak-anak dari mimpi yang disunat sejak kecil Diharuskan patuh. Diharuskan hemat. Diharuskan kuat, tapi tak pernah diajari cara menangis.

Kita tumbuh dari sabar yang terlalu panjang, sampai nyaris seperti pasrah.

Aku tahu... aku mungkin gagal. Tapi aku muak jadi manusia yang hidup setengah nyawa. kalau pun dunia menendangku, biarlah. setidaknya aku keluar dari kaos kaki ini dan bernafas pakai paru-paruku sendiri.

Beberapa minggu kemudian, aku memutuskan pergi. Bukan kabur. Tapi pindah dari tempat yang katanya rumah, padahal cuma ruang tunggu untuk mati perelahan.

Ibuku menangis. Ayahku diam, seperti biasa Tak ada restu. Hanya satu kalimat:

"Kalau gagal, jangan pulang bawa malu."

Aku tersenyum.

"Kalau aku berhasil bolehkah aku pulang bawa cahaya?"

Aku pergi denagan koper kecil, dan kepala yang penuh kemungkinan. Tidak tahu akan makan apa. Tidak tahu akan tidur dimana. Tapi untuk pertama kalinya dalam hidup, aku merasa seperti manusia. Manusia utuh. Bukan mur. Bukan beban. Bukan mahluk dalam kaos kaki.

Di jalan, aku bertemu banyak orang yang juga pernah lahir dari tempat-tempat sempit: Ada yang beranak dalam Kotak kardus. Ada yang tumbuh diantara buku-buku pinjaman. Ada yang hidup dalam rumah tanpa pintu, hanya gorden.

Tapi mereka semua hidup. Mereka mencoba. Mereka berdarah, dan harus jalan. Dan aku? Aku menulis ini bukan sebagai pahlawan. Bukan pula orang sukses.

Aku hanya bilang...

Kadang, kita memang tidak memilih tempat kita lahir. Tapi kita selalu bisa memilih untuk tidak mati di tempat yang sama.

Dan jika suatu hari nanti aku punya anak, aku tidak akan menyuruhnya tumbuh dalam kaos kaki. Aku akan ajak dia ke luar, biar kaki nya kotor oleh tanah, dan jiwanya lepas dari ketakutan warisan.

Dan aku tahu... jalan ini tak lurus. Tak indah. Tak seperti yang sering di tulis di buku motivasi murah. Kadang aku haurs tidur di kursi tunggu terminal. Kadang cuma makan nasi bungkus yang lebih banyak kertasnya dari pada nasi nya. Kadang aku menangis diam-diam di kamar mandi umum, karena malu mengaku lelah.

Tapi setiap malam, sebelum aku tidur, aku selalu menulis. Di sobekan kertas. Di balik struk belanja. Di dinding memori. Bukan untuk di baca orang. Tapi untuk mengingat siapa aku, dan kenapa aku benar pergi.

Aku pernah mimpi jadi penulis. Bukan karena ingin terkenal. Tapi karena aku ingin hidupku terdengar, meski cuma lewat huruf kecil di pojok halaman. Karena aku tahu: Jika suaraku tak pernah didengar di rumah, maka biarlah dunia jadi saksi bahwa aku perna bicara.

Dan aku tahu apa yang lucu? kini aku mulai percaya bahwa mungkin, memang benar, aku beranak dalam kaos kaki dari tempat paling sempit, pengap, dan tak terduga tapi itu tidak membuatku kurang bahagia.

Namun, justru dari keganjilan itulah aku sadar, hidup ini kadang seperti kaos kaki yang terlalu sering di pakai mengendur, melar bahkan sobek di bagian tersembunyi. Tapi tetap saja kita pakai, karena nyaman. Dan mungkin, bocah dalam kaos kaki itu adalah kita. Kita yang menyimpan luka dalam diam, yang tetap bertahan meski tak lagi utuh, berharap suatu hati ada yang memperhatikan sobek kecil itu dan menjahitnya kembali. atau setidaknya menggantinya dengan yang baru.

Justru dari situlah aku belajar bernafas. Belajar bertahan. Belajar bahwa hidup bukan soal tempat lahir, tapi arah langkah.

Jadi jika nanti, anakku bertanya:

"Bapak lahir dari mana?"

Akan ku jawab:

"Dari kaos kaki, Nak. Tapi aku tumbuh jadi manusia utuh karena aku tak diam, di sana"

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Slice of Life
Cerpen
Beranak Dalam Kaos Kaki
muhammad rio al fauzan
Cerpen
Mama, I'm Lose
ruang.amy.gdala
Cerpen
Bronze
Kencan Buta
Hans Wysiwyg
Cerpen
Bronze
Sabda Pasar
Galang Gelar Taqwa
Cerpen
Bronze
Seni Olah Rasa
Wahyu Sandralukita Sari
Cerpen
Pergi Melaut, Tak Kembali
HIJACKED LIBRARY
Cerpen
Bronze
Tempat Kerja Papa
Galang Gelar Taqwa
Cerpen
Bronze
Rungkat
artabak
Cerpen
Bronze
AKU INGIN MENJADI PRIA KAYA
Sia Bernadette
Cerpen
Bronze
Pemimpin Negeri Sipil
spacekantor
Cerpen
Tetangga Depan Rumah
ken fauzy
Cerpen
Bronze
Luka di Lutut Alberto & Kisah Monogusha Taro yang Ganjil
Galang Gelar Taqwa
Cerpen
Bronze
Di Ujung Langit Yang Sama
Anoi Syahputra
Cerpen
Bronze
Warisan
Bisma Lucky Narendra
Cerpen
Bronze
Pietist
Galang Gelar Taqwa
Rekomendasi
Cerpen
Beranak Dalam Kaos Kaki
muhammad rio al fauzan
Cerpen
Bronze
Masalah Seporsi Nasi, Konflik Sepuluh Negara
muhammad rio al fauzan
Novel
Bronze
Jakarta enggak Ramah, Tapi Aku Nekat Datang
muhammad rio al fauzan