Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Bening Membasuh Langkah
Sebuah Cerpen Karya Andri Hasanuddin
“Bening Membasuh Langkah” adalah kisah tentang keberanian, tentang perjalanan, keikhlasan. Cerpen ini membuka satu dari tujuh jalur menuju Langkah Sunyi.
-------
Di samping warung kecil, ada kendi besar dari tanah liat. Permukaannya bergurat halus, warnanya pucat keabu-abuan, seperti langit Larikuta saat pagi belum sempurna.
Air di dalamnya selalu jernih. Dingin, tenang, dan tak pernah meluap. Ibu Raina menyebutnya air tua, air berasal dari sumur yang sudah ada sebelum jalan batu blok dibuat, sebelum papan iklan kopi menua di tiang gang.
Raina membuka tutup kendi perlahan. Uap naik dari permukaan air terkena cahaya pagi. Ia duduk di bangku kayu pendek, menyentuh permukaan kendi dengan punggung jemari, mencelupkan tangan ke dalamnya.
Air itu menyambut. Tak terasa menggigit, tak pula hangat. Seperti menyimpan satu jenis bahasa yang tak diajarkan siapa pun.
Di sebelah kendi, tergeletak buku catatannya. Sampingnya agak lembap. Semalam hujan kecil, dan genteng warung bocor di satu sudut. Raina menepuk-nepuk halamannya dengan kain kering, lalu membuka bagian kosong.
Belum ada yang ditulis. Hanya beberapa coretan latihan tulisan halus di pojok bawah:
“Kenapa air tak pernah menolak tangan yang mencelupnya?”
Ia membaca kembali, tersenyum kecil. Kalimat itu ditulis dua hari lalu, entah sebagai pertanyaan atau pernyataan.
Angin pagi masuk dari jendela warung. Membawa sedikit wangi arang dari dapur tetangga. Ibunya belum bangun. Warung belum buka. Jalanan Larikuta masih sepi. Tapi kendi itu sudah menyimpan kesibukannya sendiri—menampung langit, menunggu jemari, menahan cahaya.
Raina menatap permukaan air di dalam kendi. Wajahnya tercermin samar, bergoyang sedikit ketika angin melintas. Lalu ia berkata lirih pada bayangan itu,
"Apa yang akan kau tulis kalau dunia hanya memberi satu halaman kosong?"
Air tidak bersuara. Tenang. Gelombang riak kecil, menyentuh kulit seperti sedang bertanya: sudah siap?
Ia mengambil gayung bambu kecil tergantung di paku dekat kendi. Satu sendok air dituang ke tangan. Tidak deras. Tidak terburu-buru. Air jatuh seperti sedang diajak bicara.
Raina menyapukan ke wajah—seolah ingin menghapus sisa-sisa mimpi yang belum sepenuhnya pergi.
Lalu ke kedua tangan, satu per satu. Ia menggosok perlahan, membiarkan jari-jarinya menyentuh setiap ruas seakan mencari ingatan yang mungkin terselip di sana.
Kepalanya disentuh sekilas, dan telinga dibasuh seperti tengah mendengar sesuatu yang belum sempat didengar semalam.
Terakhir, kakinya. Dingin keramik menyentuh telapak kaki seperti mengingatkan arah pulang.
Ia bangkit. Langkahnya ringan.
Lantai warung kecil itu belum disapu, namun ia tahu: di tempat yang bersih, hati lebih mudah bernafas.
Di pojok ruangan, terbentang selembar kain tipis warna tanah. Di atasnya, sajadah tua yang warnanya sudah memudar. Raina berdiri menghadap arah yang ia yakini—"Ke arah sana, orang-orang menunduk. Karena tahu kepada siapa harus menyerah."
Raina berdiri tegak. Kedua tangan terangkat sebentar, turun perlahan ke samping dada.
Gerak tubuhnya tenang. Seperti pohon yang menyerap cahaya pagi, bukan untuk tumbuh cepat, untuk bertahan lama.
Ia membungkuk, tangannya menyentuh lutut. Punggung sejajar, mata menunduk ke titik sunyi.
Lalu turun lebih jauh—tangannya menyentuh tanah, kening menyentuh kain. Ia diam. Segala yang penting kadang tidak perlu diucapkan.
Bangkit. Duduk sejenak. Menyentuh tanah lagi.
Lalu duduk. Diam. Membiarkan dada membaca apa yang tak bisa ditulis dengan pena.
Ketika ia menoleh ke kanan, dan kemudian ke kiri, pagi sudah menyambutnya dengan sedikit warna di langit.
Air di kendi masih penuh. Kini, ia seperti memantulkan sesuatu yang berbeda.
Suara sendok membentur gelas kaca di dapur. Ringan, cukup untuk membuat Raina menoleh.
Ibunya sudah duduk di bangku pendek dekat tungku. Sarungnya dilipat sampai betis, rambutnya diikat asal dengan jepit plastik warna merah yang sudah kehilangan satu gigi.
Di depannya, dua cangkir teh. Satu berisi penuh. Satu lagi hanya setengah.
“Mandi air kendi pagi-pagi, seperti biasa,” gumam Sum, tanpa menoleh.
Raina duduk di dekat pintu. Dedaunan dari pohon melinjo di samping warung meneteskan sisa embun ke tanah.
“Air dingin lebih jujur,” jawab Raina.
Sum tertawa kecil. Suaranya seperti air dalam panci yang belum benar-benar mendidih.
“Kau selalu bisa menemukan kalimat yang sulit disangkal.”
Hening sebentar. Hanya bunyi sendok diaduk perlahan.
“Kau sudah besar, Rain.”
Raina tak langsung menjawab. Kepalanya menunduk, matanya memperhatikan sela-sela lantai yang sedikit retak. Suara ayam tetangga mulai ramai, seakan ikut mendengar.
“Besar yang bagaimana?” tanyanya akhirnya.
Sum menyeruput teh.
“Bukan hanya badanmu. Tapi langkahmu. Cara dudukmu. Cara kau bangun pagi. Dan cara kau menelusuri sesuatu yang tak bisa kulihat.”
Raina memandang ibunya. Ada bayangan api dapur di wajah, seperti kenangan lama yang belum padam.
“Ayahmu juga begitu. Diamnya panjang, seperti sedang mengukur sesuatu.”
“Lalu ia pergi,” kata Raina. Tak perlu penjelasan.
Sum mengangguk. Tak ada keluhan.
“Pergi bukan selalu berarti lari,” ucap Sum akhirnya. “Kadang orang pergi karena ada yang ingin disampaikan.”
Raina berdiri. Memasukkan buku catatannya ke dalam tas selempang. “Aku ke pasar dulu. Kita masih punya gula, tapi kopi tinggal setengah.”
“Kau hafal isi warung lebih baik daripada aku,” senyum Sum. “Hati-hati ya. Gang dekat bengkel kadang masih suka gaduh.”
Langkah Raina keluar dari warung seperti gerak air yang mulai mengalir turun bukit. Tak deras. Tapi pasti.
Dan di tangannya—terselip buku catatan kosong yang mulai mengandung sesuatu.
-------
Udara di gang bengkel masih menyimpan bau malam: oli tua, aspal basah, dan rokok yang dibakar dengan sisa kantuk.
Raina berjalan, tidak lambat. Jalannya tetap.
Di pundaknya, tas selempang bergoyang kecil, buku catatan di dalamnya bergeser seiring langkah.
Di sudut gang, seorang pemuda duduk di atas ban bekas.
Kakinya disilangkan, topi lusuh menutupi sebagian wajah. Matanya tak tertutup. Ia melihat. Lama.
Tatapan itu seperti menimbang: perempuan muda berjalan sendirian di pagi yang masih menggigil—apa yang bisa dilakukan?
“Hei,” gumamnya, tidak keras. Tapi cukup untuk menarik perhatian dua temannya.
Yang satu bersandar di tiang besi bengkel. Yang satu lagi memutar kunci inggris kecil di tangan, seperti tak sabar memutar waktu.
“Kau lihat itu?”
“Yang suka nulis. Anak warung ujung timur.”
Raina tetap berjalan. Tidak menoleh, tidak mempercepat langkah. Tapi ia mendengar. Kalimat-kalimat setengah bisik itu mulai mengarah padanya, seperti angin yang belum tahu ingin ke mana.
“Pagi, Mbak Catat.”
“Udah nulis tentang kita belum?”
“Sendirian, ya?”
Raina menahan napasnya tetap utuh. Matanya mengarah lurus ke depan. Dinding bengkel di sisi kanan, pagar kayu setengah roboh di kiri.
Langkahnya melewati mereka. Tak menyimpang.
Satu tangan—cepat dan ringan—menyentuh tali tas di pundaknya.
Refleks, Raina menoleh. Menepis. Menjauh setengah langkah.
Matanya bertemu mata yang tak malu. Ada tawa kecil. Bukan tawa yang lucu. Lebih mirip godaan yang tak punya arah, seperti asap tanpa api.
Tangan itu mundur.
“Wah, galak amat,” ujar si pemuda, senyum tak sampai di wajahnya.
Yang lain ikut tertawa—samar, tapi lebih seperti ingin menambah keruh pagi yang belum bersih.
Raina tidak menjawab.
Ia berdiri tegak. Matanya tetap tenang, namun mengandung ujung pisau yang tak bisa diraba.
Ia hanya melihat sebentar.
Melangkah pergi, kembali ke ritme langkahnya yang tak terburu, tak juga rapuh.
Suara mereka terus terdengar di belakang.
Lemparan kalimat yang menggantung di udara, mengharap balasan.
Tapi Raina tahu kapan sesuatu tak perlu direspon.
Dan pagi itu, diamnya lebih keras dari suara mereka.
Langkahnya keluar dari gang.
Meninggalkan bau oli, puntung rokok, dan tawa laki-laki yang belum tahu caranya menjadi dewasa.
Angin di luar gang lebih terbuka.
Pasar belum terlalu ramai, tapi warna-warni kain lapak mulai merekah.
Raina menarik napas dalam, melepaskan sesuatu yang tadi ditahan.
Tangannya menyentuh tas, perlahan turun ke sisi tubuhnya.
Langkahnya masih sama. Ada yang mulai tumbuh di dalam:
Cahaya bening yang perlahan mencari arah keluar.
Belanja sudah selesai.
Dua kantung plastik berisi bahan pokok digenggam. Satu di kanan, satu di kiri. Tangan Raina sedikit memerah oleh beban. Ia tak mengeluh.
Langit Larikuta meredup, meski matahari belum tinggi. Cahaya pagi terasa berdebu, seolah menunggu hujan tak jadi.
Raina menyusuri jalan pulang, melewati lorong yang ia tapaki.
Masih sepi. Masih basah.
Namun di dekat bengkel, ada sesuatu yang berubah.
Satu dari mereka—berdiri di tengah gang.
Dua lainnya bersandar di dinding, tangan bersilang di dada.
Raina tetap berjalan. Langkahnya tidak gentar. Tapi ia memperlambat sedikit, menakar ruang, menimbang arah.
“Hei,” sapa si pemuda, kali ini dengan suara yang tak main-main.
“Kita belum selesai, kan?”
Raina berhenti.
Pandangan matanya lurus, tanpa ragu.
“Maumu apa?”
Pemuda itu tertawa, tapi tawa yang tak punya isi. Seperti cangkang kosong dilempar ke batu.
“Bilang ‘maaf’, mungkin?” katanya.
“Karena kamu udah bikin kami malu pagi tadi.”
“Aku hanya lewat,” jawab Raina.
“Salahkah itu?”
Yang satu dari mereka turun dari dinding, mendekat.
“Kadang... orang yang terlalu diam bikin kita ingin tahu seberapa keras suaranya kalau dipaksa bicara.”
Raina menyorot tajam.
“Kalau itu maksudmu... silakan coba.”
Dan seketika, semuanya berubah jadi dingin.
Pemuda pertama mendekat. Tangannya mengarah ke tas Raina, lagi.
Kali ini Raina tidak menepis. Ia mundur dua langkah, menaruh kantung belanja di tanah, dan berdiri tegak.
Tangan kirinya mengepal, kanan terangkat seolah menahan dunia.
Wajahnya tak takut—hanya lelah menghadapi manusia yang tak selesai dengan dirinya sendiri.
Gerakan mereka makin dekat.
Satu tangan hampir menyentuh bahunya.
Lalu—
“Cukup.”
Suara itu muncul.
Tegas. Tidak berteriak.
Seperti embun yang jatuh tanpa suara tapi meninggalkan basah.
Kakek Arya berdiri di balik tikungan.
Bayangannya tak tinggi, tak besar. Tapi kehadirannya seperti pintu yang tiba-tiba menutup angin.
Para pemuda itu diam.
Bahu mereka turun. Tawa mereka mati.
Kakek Arya tidak mendekat. Hanya berdiri di sana, melihat mereka seperti lubang yang tak perlu digali lebih dalam.
“Pergi,” katanya.
Dan mereka pergi.
Tanpa debat. Tanpa suara.
Seolah jalan itu bukan milik mereka sejak awal.
Raina masih berdiri. Matanya ke arah Kakek Arya, yang kini melangkah perlahan mendekat.
“Tidak semua langkah bisa kau lewati tanpa luka,” katanya.
“Kalau kau terus jujur pada arahmu, bahkan luka akan menunjukkan cahaya.”
Raina ingin bertanya, tapi suaranya tertahan.
Kakek Arya sudah membungkuk, mengambil kantung belanja di tanah, lalu menyerahkannya pada Raina.
“Berhati-hatilah. Bukan karena dunia terlalu keras, tapi karena hatimu sedang tumbuh.”
Lalu ia pergi. Seperti air yang kembali ke tanah.
-------
Raina kembali. Pintu kayu itu berderit saat Raina mendorongnya. Aroma kayu hangus dari dapur masih tersisa.
Ibunya, Sum, duduk di sudut ruangan. Tangannya sedang memilah daun salam kering sisa belanja kemarin. Wajahnya menoleh sejenak saat mendengar langkah.
“Lama sekali.”
Raina meletakkan kantung belanja di atas meja.
“Ramai.”
Sum menatapnya lebih lama. Ada sesuatu dalam mata putrinya—semacam suara dalam dada yang belum jadi kalimat.
Ia berdiri perlahan, mengambil sebagian belanjaan, dan mulai merapikannya ke lemari gantung.
“Gang dekat bengkel?”
Raina tak menjawab. Ia hanya membuka selembar kain yang membungkus tempe, lalu menatanya di atas talenan.
Sum menarik napas.
“Dulu… ibu sering lewat gang itu juga,” katanya lirih. “Dulu sunyi. Sekarang lebih... gaduh, ya?”
Raina tidak menanggapi. Tapi tangannya bergerak tenang. Tak ada gemetar.
Sum mendekat, menyentuh bahu putrinya sebentar. Lalu melepasnya lagi.
“Raina,” katanya lembut, “kau tumbuh seperti pohon yang tak tahu caranya bungkuk.”
Raina menoleh.
“Apa salah?”
“Tidak. Pohon yang tegak juga perlu akar. Jangan terlalu keras sendirian.”
Hening sebentar.
Raina pergi ke kamarnya.
Di sana, buku catatan kecil itu diletakkan di meja. Ia membuka halaman kosong. Tangan kirinya memegang pulpen, tangan kanannya menopang kepala. Lalu ia menulis:
“Tidak semua luka itu gelap. Langkah jujur membawa cahaya ke tempat yang selama ini tertutup.”
Ia berhenti, mengamati kalimat itu lama.
Lalu menulis lagi.
Dari luar, suara ibunya memanggil.
Sarapan sudah siap.
Tapi sebelum menjawab, Raina menutup bukunya perlahan.
Dipegangnya dengan dua tangan, seolah ingin memastikan sesuatu tidak jatuh sebelum waktunya.
Di ujung deret rumah yang memanjang seperti kenangan, rumah Kakek Arya berdiri dalam keheningan yang khidmat. Menghadap kebun kecil yang menurun lembut lereng bukit Sunokeling, bangunan itu tampak menua. Keteguhan yang tinggal di dalamnya.
Tidak ada pagar di sana. Hanya tumpukan batu kali yang ditata sabar hingga batas halaman. Dua pohon ketapang menjulang di sisi kiri dan kanan pintu masuk, daunnya gemetar lembut disapu angin yang turun membawa aroma tanah.
Raina berdiri di luar batas batu itu. Tak melangkah masuk. Hanya berdiri dan memperhatikan.
Di pelataran rumah, Kakek Arya duduk di bangku kayu memudar. Di situ berdiri seorang laki-laki—Taba, anaknya—dan seorang perempuan muda, Sumi, memeluk anak kecil berusia dua tahun dalam gendongannya.
Tak ada suara tinggi. Hanya percakapan yang sesekali diiringi anggukan.
“Maaf Ayah” ucap Taba, suaranya nyaris melayang angin.
“Aku mengerti,” sahut Arya nada tanpa.
“Kami tidak ingin ia tumbuh menyerap penderitaan kami. Ia terlalu muda untuk mengenal rasa takut.” Taba berkata lirih. Sedih.
“Dan kalian terlalu muda untuk menyerah,” ucap Arya, masih memandang lereng bukit.
Raina mencatat kalimat itu. Kata demi kata tertinggal di benak, seolah kalimat itu tidak ditujukan bagi Taba semata.
Anak kecil itu—Sapta, namanya disebut sekilas oleh Sumi—menatap langit sambil bermain dengan daun ketapang yang jatuh. Matanya bening, seperti menyimpan dunia yang belum tercemar.
Raina memegang buku catatannya lebih erat. Ia bermaksud mencuri dengar, setiap kata yang melayang terasa sakit seperti bagian dari sesuatu yang lebih besar—dan perlahan mendekatinya.
Saya tidak masuk.
Hanya berdiri cukup lama untuk mengetahui: rumah itu bukan hanya menyimpan orang tua dan cucu—tapi juga menyimpan jejak . Yang tak pernah usang.
-------
Ketika Taba dan Kakek Arya masuk ke dalam, Sumi masih berdiri di ambang pintu, mengayun perlahan Sapta yang nyaris tertidur di pelukannya.
Raina akhirnya melangkah, melewati batas batu kali.
“Apa dia sudah tertidur?” tanya Raina, suara serendah dedaunan jatuh.
Sumi menoleh, lalu tersenyum kecil. “Belum. Lihat, matanya sudah menyerah.”
Sapta memegang ujung kerudung ibunya seperti mencari jangkar. Hembusan angin sore memelintir ujung rambut Sumi, namun tak satu pun gerakannya tampak terganggu.
Raina melihat anak itu sejenak. “Namanya…Sapta?”
Sumi mengangguk. “Sapta Dwilingga. Nama yang dipilih Taba.”
“Sapta Dwilingga?” Raina mengulang, penasaran.
Sumi diam sejenak. "Tujuh Penggabungan. Taba tak pernah menjelaskannya utuh, tapi... katanya, ada yang harus diulang agar bisa dimaknai."
Raina mengangguk. “Seperti langkah yang dilalui berulang kali—tapi tidak sama.”
Sumi menatap Raina dengan lebih dalam. “Kau mencatatnya?”
Raina mengangkat buku kecilnya sedikit, tersenyum kecil, malu-malu. “Kebiasaan.”
Sumi tersenyum. “Itu kebiasaan yang langka sekarang.”
Sapta menguap kecil.
Raina melirik wajah kecil itu. Lalu pada halaman kosong dalam catatannya.
Kata-kata itu...tak cukup hanya ditulis. Ia harus mengetahui dan mengalaminya.
Suara pintu terbuka dari dalam rumah. Taba keluar membawa dua tas kain kusam, menggantung berat di bahunya. Kakek Arya mengikuti dari belakang. Tak ada peluk atau pelukan panjang—hanya anggukan, seperti perjanjian yang sudah lama dipahami tanpa perlu kata-kata.
Sumi menyerahkan Sapta perlahan kepada Arya. Wajahnya tak menangis. Tangan yang menggerakkan tubuh kecil itu, gemetar seperti sedang melepaskan sebagian hidupnya.
“Sapta akan baik-baik saja,” kata Arya.
“Kami titipkan Sapta,” ucap Taba, lebih kepada dirinya sendiri. “Kami ingin pulang sebagai manusia yang utuh.”
Raina berdiri membatu di sisi halaman, di balik semak kecil. Dia tahu dia seharusnya tidak mendengar semua itu, tapi tak bisa mempersiapkan diri.
Sumi menunduk, mencium dahi Sapta yang mulai bergumam. "Maafkan kami, Nak. Kami tak ingin mencintai dengan rasa takut."
Kakek Arya mengangkat Sapta perlahan, menyelipkan tangan di antara bahu kecil dan kain gendongan yang sudah usang. Anak itu menggeliat sebentar, lalu kembali diam.
Taba dan Sumi memandang rumah itu untuk terakhir kali. Tak ada drama. Keheningan yang tebal dan panjang, seakan seluruh kota Larikuta menahan napas untuk mereka.
Kemudian langkah-langkah menjauh. Menuruni jalan batu tak rata, tanpa menoleh.
Raina memejamkan mata sejenak. Kalimat demi kalimat—sebagian ia pahami, sebagian lainnya menggantung seperti lampu yang belum dinyalakan.
Ia mencatat hanya satu kalimat malam itu:
“Bukan tak sanggup mencintai, tapi tak ingin mencintai dengan rasa takut.”
Raina memelihara punggung Kakek Arya yang kembali ke rumah, membawa cucu kecil di dekapannya.
Kalimat yang pernah ia dengar dari mulut pria itu—kini bergema dengan makna yang berbeda.
mungkin, kalimat itu bukan untuk menjawab sesuatu... untuk membuka jalan menuju pertanyaan yang lebih dalam.
Dan Raina belum siap menanyakannya. Belum sekarang.
-------
Malam di Larikuta melaju tanpa tergesa. Di warung kecil tak pernah benar-benar sepi, lampu minyak menyala temaram. Ibu Raina, Sum, duduk di bangku kayu dengan punggung sedikit membungkuk—membetulkan toples yang tutupnya longgar.
Raina masuk perlahan. Ia meletakkan buku catatannya di meja, tepat di samping termos air panas dan sisa kopi dari pelanggan terakhir. Ibunya menoleh sekilas.
“Sudah makan?” tanya Sum, suara datar yang tidak bermaksud acuh.
Raina mengangguk. Tak bergerak ke dapur.
“Dari rumah Kakek Arya?”
Pertanyaan itu tak dibubuhi rasa ingin tahu yang berlebihan, seolah Sum tahu jawabannya sudah terkandung dalam langkah kaki putrinya sendiri.
“Iya,” jawab Raina, singkat.
Keheningan mengisi jarak mereka.
Sum lalu mengambil kain, menyeka meja. “Kau makin sering diam. Mirip ayahmu waktu mau pergi dulu.”
Kata-kata itu jatuh perlahan. Tapi cukup berat untuk membuat Raina menarik napas panjang.
“Ayah tidak pernah benar-benar pamit, Bu.”
Sum berhenti menyeka.
“Dia bilang, hanya ingin mencari kerja yang lebih layak,” lanjut Raina. “Tapi sejak tiga tahun lalu, tak ada kabar. Tak ada tanda.”
“Kadang orang tidak pulang bukan karena lupa,” ucap Sum.
Raina mengangkat wajahnya. Sorot matanya tidak menyudutkan. Mencari sesuatu yang bisa dipahami.
Sum duduk kembali. “Ayahmu orang baik. Tidak semua kebaikan bertahan dalam tekanan. Ia kalah. Dan aku... mencoba tidak menyalahkan itu setiap hari.”
Udara di antara mereka menjadi lembut berlapis luka.
Tak ada suara. Bahkan angin pun enggan melewati ruang dapur.
Malam itu, Raina hanya menatap cangkirnya. Menyesap, menunda keputusan.
Tiga hari berlalu.
Raina tetap melakukan rutinitasnya. Bangun subuh, membersihkan halaman, membantu di warung, membawa air dari mata air kecil seperti biasa. Tapi, ada yang berubah.
Caranya memperhatikan langit. Mencatat lebih banyak dari biasanya. Dan diam lebih lama ketika mata ibunya menatap lekat.
Hingga pagi keempat, saat kabut belum sepenuhnya pergi dari lereng, Raina berbicara.
Suara itu muncul bukan dari keberanian tiba-tiba—melainkan dari ketenangan yang sudah diberi waktu untuk tumbuh.
“Kalau aku pergi,” ucap Raina dalam hati, “aku tidak akan pergi karena kalah.”
Pagi itu, warung kecil belum buka. Uap putih dari air yang baru mendidih naik dari teko di atas tungku.
Raina duduk di ambang pintu. Sum sedang menjemur kain, tangannya sibuk, namun sesekali matanya mencuri pandang ke arah anaknya.
“Bu...”
Suara Raina lirih, seperti baru saja tumbuh dari diam panjang.
Sum menoleh. Tak segera menjawab. Ia hanya menurunkan sehelai kain, lalu menekannya perlahan ke palang kayu jemuran. Angin membuat kain itu melambai seperti isyarat.
“Aku ingin pergi,” lanjut Raina.
Sum mendekat. Ia duduk di samping Raina. Ia tidak langsung melihat wajah anaknya, hanya menghela napas seperti menakar isi dadanya sendiri.
“Kau ingin pergi?” tanyanya pelan.
Raina mengangguk kecil.
Raina tidak menyebutkan apa. Nadanya tidak goyah.
Sum memalingkan wajah. Ia menunduk, seolah ingin menyembunyikan sesuatu yang tak bisa ditepis.
“Dulu, aku tak bisa menahan ayahmu.” Kalimat itu keluar. “Karena aku tak tahu apa yang sebenarnya ia lawan. Sekarang... aku takut menahanmu.”
Raina diam. Ia membiarkan ibunya bicara, tak memotong.
Sum melanjutkan, suaranya mulai gemetar. “Apa yang tersisa padaku? Hanya rumah kecil ini. Satu warung, tak laku di musim hujan. Dan kau.”
“Kau tidak kehilangan apa pun, Bu,” kata Raina perlahan
Kalimat itu membuat Sum menggigit bibir bawahnya, menahan sesuatu yang hampir jatuh dari matanya. Ia menarik napas, mengembuskannya dalam-dalam. Ucap lirih tertahan tangis.
“Bagaimana kalau kau tak kembali?”
“Aku akan.”
Raina menunduk. “Karena aku tahu ke mana aku pulang.”
Sum terdiam lama. Angin pagi menyentuh pipinya yang mulai melembap.
Ia mengangguk, lalu berdiri tanpa kata. Berjalan ke arah rak kayu dekat jendela. Raut wajah sayu. Membuka laci dan mengeluarkan syal tipis berwarna kelabu.
“Ini... buat kau pakai. Udara di luar Larikuta tak selalu ramah.”
Raina menerimanya, perlahan.
Dan saat itu, tak ada pelukan, tak ada tangis keras. Hanya dua perempuan yang akhirnya saling memahami: bahwa menjaga kadang berarti melepaskan, dan melepaskan tidak berarti menyerah.
-------
Setelah mendapat restu dari ibunya, Raina bersiap untuk pergi, ia membuka buku catatan kecil yang selalu ia bawa. Halaman-halaman awal berisi angka harga pasar, daftar kebutuhan rumah, atau coretan cepat dari obrolan pelanggan warung.
Lalu, ia tiba di satu halaman—tulisan itu terasa seolah ditulis oleh seseorang yang kini lebih berani.
“Dan kalian terlalu muda untuk menyerah.”
Ia membacanya ulang, berulang-ulang. Ada sesuatu yang mengganggu di balik kalimat itu. Arah mata kakek Arya saat itu melihat ke bukit, bukan ke wajah Taba. Seolah kalimat itu dikirimkan pada sesuatu yang lebih jauh.
Raina menutup catatan itu. Ia berdiri.
Langkah kakinya mantap. Jalanan berbatu menuju rumah Kakek Arya mulai lengang. Dua ekor ayam melintasi gang sempit dengan santai, seolah hari itu tak punya urusan apa-apa.
Ketika ia tiba di depan rumah, dua pohon ketapang masih berdiri di sana, menjulang seperti dua penjaga lama. Ia melangkah perlahan, menghormati kesunyian yang menyelimuti rumah itu.
Dari dalam, terdengar suara lelaki. Bukan suara Arya. Lebih berat, namun tidak kasar. Ada sesuatu yang tajam dan tua di dalam nada bicaranya.
Raina berhenti di ambang pintu. Tak langsung mengetuk. Ia melihat Kakek Arya duduk bersila di lantai, dan di seberangnya—seorang pria bertubuh besar, sorban lusuh melilit kepalanya, dan mata yang langsung menyapu kehadiran Raina meski ia belum bersuara.
Mata itu mengamati. Tidak mengusir. Tidak juga mengundang. Hanya mengukur.
“Masuklah,” ujar Kakek Arya, tanpa menoleh.
Raina melangkah masuk. Duduk bersila seperti biasa. Tubuhnya menegang sedikit, tapi ia tetap menjaga tenang.
“Raina,” ucap Kakek Arya. “Ini Khazan.”
Khazan tidak segera bicara. Matanya, yang semula tajam, kini mengarah pada buku catatan di pangkuan Raina. Ada jeda sejenak, lalu ia mengerutkan dahi.
“Kau selalu membawa itu?” tanyanya. Suaranya dalam, kering, seperti batu yang diseret di atas tanah.
Raina mengangguk.
“Untuk mencatat. Dan mengingat.”
“Orang-orang sekarang terlalu banyak mencatat. Tak tahu kapan harus berhenti membaca dan mulai berjalan.”
Nada itu tak marah, juga tidak ramah. Kakek Arya hanya tersenyum kecil di sudut bibirnya, seolah sudah terbiasa dengan nada itu.
Raina tidak membalas. Ia menunggu.
Khazan bersedekap. Bahunya lebar, dan kain sorban di kepalanya tampak seperti tak pernah dilipat rapi—kusut oleh banyak perjalanan.
“Orang seperti kalian,” lanjut Khazan, “terlalu sering ingin tahu. Padahal belum tentu sanggup memanggul jawaban.”
“Saya tidak datang untuk jawaban,” ucap Raina. “Saya datang untuk tahu apa yang harus saya lakukan.”
Ucapan itu membuat dahi Khazan sedikit terangkat. Bibirnya bergeser samar, hampir seperti ingin menyembunyikan senyum tipis—tapi ia tahan.
“Kau anak siapa?” tanyanya, tiba-tiba.
“Ayah saya...” Raina ragu sejenak. “Ia pergi.”
Khazan menoleh ke Arya. Tatapan yang penuh sejarah, penuh luka yang tak diucapkan.
“Kau biarkan anak ini datang sendiri?” tanyanya pada sahabat lamanya.
“Ia tahu kapan harus datang,” jawab Arya, singkat.
Khazan menghela napas. Ia memandang pohon ketapang, lalu kembali ke Raina.
“Ada yang menitipkan sesuatu padaku,” ucapnya. Tangannya masuk ke dalam jubah kusam itu, lalu mengeluarkan sebuah benda kecil: potongan kain tua, dililit benang merah.
Ia meletakkannya di hadapan Raina.
“Aku tidak tahu untuk siapa ini awalnya. Tapi mungkin sekarang, waktunya tiba.”
Raina menyentuh kain itu. Benangnya sudah mulai kusut. Tapi aroma samar yang melekat membuat hatinya tak tenang. Seperti... pernah mengenal bau itu.
“Apa ini dari ayah saya?” bisiknya.
Khazan tidak menjawab langsung.
Ia berdiri. Membelakangi keduanya, lalu berkata, seperti kepada angin:
“Kadang, orang baik pergi bukan karena kalah... tapi karena terlalu banyak kebaikan yang tak punya tempat untuk tinggal.”
Raina mendengarnya. Dan kali ini, ia mengerti: bahwa Khazan, di balik suaranya yang keras, menyembunyikan luka yang belum sembuh. Seperti ibunya. Seperti dirinya sendiri.
Kakek Arya bangkit perlahan.
“Kalau kau memang ingin tahu, Khazan akan membimbingmu. Bukan dengan kata-kata. Ia akan membawamu berjalan.”
Khazan berbalik. Wajahnya tetap keras, tapi mata itu... sekejap, tampak berkaca.
“Kita berangkat sore ini. Kalau kau masih ingin mencatat—baik. Tapi mulai sekarang, kaki dan napasmu juga harus ikut bicara.”
Raina menggenggam kain itu.
Dan untuk pertama kalinya sejak membuka catatan, ia merasa... perjalanannya sudah dimulai.
-------
Langit Larikuta sore itu lembut. Cahaya menempel pada genteng-genteng tua.
Raina berdiri di depan rumah. Syal kelabu tersampir di lehernya, ringan. Mengikat. Di tangannya, buku catatan—sudah tak kosong.
Ia memandang tangga kecil di depan pintu. Lalu menoleh. Sum berdiri di ambang, tidak menangis, tidak tersenyum. Mata itu telah memberinya sesuatu yang Raina perlukan: restu yang tidak digemakan oleh kata-kata.
“Jaga dirimu,” ucap Sum. Singkat, dalam.
Raina mengangguk. Langkahnya mundur dua tapak, lalu membungkuk sedikit—gerakan sederhana yang terasa seperti pamit dari waktu.
Kakek Arya telah menunggu di ujung jalan tanah, berdiri di samping Khazan. Di belakang mereka, jalan kecil menuju hutan menyisakan kabut seperti tirai yang belum sepenuhnya ditarik.
Ketika Raina bergabung, Kakek Arya hanya menatap sebentar. Tak ada ucapan. Hanya isyarat kepala.
Khazan mulai berjalan. Diikuti Raina. Pelan.
Setiap langkah membawa napas. Dan setiap napas seperti menyisakan gema dari rumah yang ditinggalkan. Raina tidak merasa tercerabut. Ia membawa sesuatu dalam dirinya:
bening tak lagi sekadar membasuh, sebuah keputusan yang tak lagi menunggu persetujuan selain dari dalam.
Bening itu tak melulu tentang air di mata, atau rasa sedih yang perlahan surut.
Bening adalah keputusan yang tidak didorong oleh marah, tidak pula oleh dendam.
Bening adalah arah. Yang pelan-pelan tumbuh dari luka.
Yang tidak menghapus apa-apa, merawat semuanya agar tak larut.
Dan Raina, dengan buku catatan di pelukannya dan tanah Larikuta di bawah kakinya, telah memulai langkah itu.
Sebuah perjalanan.
Di balik tubuhnya berjalan, ada doa yang tidak diucapkan.
Doa kuat untuk menjaga langkah.