Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Drama
Benang (yang Hampir) Putus
2
Suka
968
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

"Kak."

"Hm?"

Sudah setengah menit Jinan menunggu dengan sabar suara adiknya sambil mengemudikan si city car tetap stabil di tengah kemacetan ibu kota. Namun, yang ditunggu bergeming di tempat duduknya sambil menunduk.

"Mau ngomong apa, Dek?" Jinan melirik kursi sebelah kirinya sebentar kemudian melarikan matanya ke lagi jalan.

"Hm ... pulang jam berapa, nanti?" tanyanya pelan-pelan.

"Paling jam lima udah kelar. Tenang. Kita bakal nonton film kesukaan kamu di bioskop," janji Jinan sungguh-sungguh.

"Hm. Oke," jawabnya tak semangat.

Bukannya Janu tidak senang bakal nonton di bioskop, tapi Janu sudah belajar untuk tidak berharap banyak dari kakaknya. Setelahnya, Janu diam sepanjang jalan sampai mobil berhenti di seberang sekolahnya. Hingga Janu mencium punggung tangan kakaknya dengan khidmat, ia tetap enggan berucap sepatah kata pun. Si bocah SMP mengiringi kepergian Jinan dengan sorot sendu. Ia menunduk memandangi ujung sepatunya dan bergumam, "Semoga hari ini kakak nggak lupa janji kita."

***

Dan kegiatan berduaan dengan kakaknya lagi-lagi batal, sebab Jinan baru ingat ada rapat penting melalui Zoom dengan bosnya malam ini. Rapat yang lebih penting dari janji mereka!

Janu memutar bola matanya lelah.

Merambat melalui dinding kamarnya, lelaki kecil itu mendengar sayup-sayup gelombang suara kakaknya yang sedang bicara serius dengan seseorang, setidaknya begitu kedengarannya di telinga Janu. Ada kata-kata artis, slot waktu, durasi, program, dan istilah-istilah lain yang tak begitu ia paham.

Kesal Janu dibuatnya.

"Kakak lebih sering bicara dengan teman kerjanya daripada aku," cebiknya merana.

Sudah berapa kali hal seperti ini terjadi? Pikirannya segera memutar adegan demi adegan di mana si Kakak muncul dengan raut penuh penyesalan terpaksa membatalkan janji karena alasan pekerjaan. Ah, sepuluh jemarinya sampai tak cukup menghitungnya. Keluarga macam apa ini? Bertemu muka hanya saat pagi. Kalau beruntung malam sebelum tidur. Bagaimana mau menikmati waktu bersama-sama? Bicara saja hanya sempat satu atau dua kalimat.

Janu menghempaskan tubuhnya ke kasur dan memejam mata, berlindung dari beragam emosi yang menyerangnya secara bersamaan. Kecewa, marah, sedih, dan ... rindu. Benar. Janu rindu kakaknya yang dulu. Rindu kakaknya yang peduli meski cerewetnya minta ampun. Ia rindu kakaknya yang selalu hadir untuknya menggantikan sosok ayah dan ibu yang tak lagi membersamai kehidupan remajanya. Ya, meski caranya tak selembut sentuhan ibunya, dan setegas dan seberwibawa ayahnya dulu. Namun, ia tahu, kakaknya adalah orang yang paling menyayanginya di dunia, dan dia juga menyayangi Jinan sama besarnya.

Mungkin, mungkin ia hanya perlu bertahan. Bertahan dari kesepian. Bertahan dari kebutuhan kasih dan sayang. Toh, kakaknya bekerja demi dirinya. Demi makan sehari-hari, bayar listrik, uang sekolahnya, pakaian, data internet, pulsa, dan hal seremeh telur gulung--jajanan kesukaannya yang selalu dibeli sepulang sekolah.

Ya. Aku hanya perlu bertahan. Sangat mudah, pikirnya lemah.

***

Dari layar laptopnya, Catur mengamati anak buahnya mencatat rapi hasil rapatnya malam ini. Gadis itu bahkan mencentang sederetan agenda yang telah terlaksana. Ia sangat tahu betapa berdedikasinya Jinan bila itu menyangkut pekerjaannya sebagai Producer Assistant-nya.

Di mata Catur, Jinan benar-benar perwujudan wanita tangguh. Ia tak suka mengeluh, fokus dengan apa yang dikerjakannya, dan tidak menye-menye.

Ugh, entah sejak kapan Jinan terlihat menarik? Apa karena keningnya mengkerut samar ketika konsentrasi mencari bahan Sapa Pagi--program yang sedang mereka kerjakan di stasiun televisi KKTV? Apa karena keahlian bicaranya yang mumpuni yang mampu membuat siapapun mau mendengar apa saja yang terucap oleh bibir tipisnya? Apa mungkin karena kelihaiannya menghubungkan benang tipis tak kasat mata dalam menciptakan komunikasi efektif? Atau, kegigihannya 'merayu' narasumber yang most wanted se-Indonesia sampai berhasil mengisi program mereka? Atau jangan-jangan, semata-mata karena pesonanya sebagai seorang wanita berkharisma dan ... cantik?

"Saya udah kontak Mas Farhan. Dia bisa nge-host di Sapa Pagi mulai bulan depan." Suara Jinan menyentak lamunnya. Catur memfokuskan matanya dan pura-pura mengangguk paham. "Fia udah kirim run-down acara episode spesial ke seratus quiz Juara Satu."

"Oke."

"Tiga aktor Katarsis berhasil saya ajak untuk jadi bintang tamu."

Catur tersenyum bangga. "Good job, Jinan. Skill komunikasi kamu enggak ada duanya."

Jinan menunduk menyembunyikan senyum tipisnya dengan membaca catatannya yang rapi, lalu berkata, "Mas Catur kapan balik ke Jakarta? Bukannya saya nyuruh Mas memotong masa cutinya, ya. Direksi minta para kepala divisi ketemu minggu ini."

Catur menahan senyum. Coba kalau Jinan benar-benar memintanya pulang, dia akan memesan tiket pulang detik ini juga.

"Lusa. Mau oleh-oleh Solo?"

Jinan menatap ke kamera, seperti hendak mengatakan sesuatu. Namun, sedetik kemudian gadis itu menggeleng.

"Jinan."

"Ya, Mas?" Jinan mendongak dari buku catatan rapinya.

"Masih betah, kan, kerja sama saya? Saya enggak cerewet, kan? Enggak diktator, kan?"

Tergelak Jinan detik itu juga.

Pria 33 tahun itu sempat terpesona dengan gelak PA-nya yang ... manis. Seperti yang sudah-sudah.

"Mas pemimpin yang baik. Dan ya, saya masih betah. Saya dan Janu masih butuh makan. Belum ada niat jadi pengangguran."

Diam-diam Catur menghembuskan napas lega.

***

"Skill komunikasi?" Jinan mendengkus mencemooh dirinya sendiri.

Laptop ditutup kasar dan Jinan menyandar lelah ke punggung kursi. Tidak ada yang bisa ia banggakan kalau komunikasi dengan satu-satunya keluarga yang ia punya sedang diambang kehancuran.

Dengan langkah gontai, gadis seperempat abad itu menyeret kakinya menuju kamar Janu. Pelan ia buka kamar yang cahayanya hanya sekuat lima watt.

Dengan hati-hati Jinan duduk di pinggir kasur, kemudian menatap wajah damai si bocah kelas dua SMP yang tengah bermimpi.

Jinan mengucek matanya berkali-kali demi memastikan satu hal. Benarkah mata lelahnya sedang menyaksikan sisa-sisa air mata yang mulai mengering di sudut mata Janu?

"Oh ...."

Detik itu juga teremas jantung Jinan rasanya. 

Sambil membelai sayang rambut lurus Janu, Jinan berbisik, "Maafin Kakak, Jan."

***

Selepas peristiwa gagal nonton, rumah Jinan bak kulkas dua pintu. Adiknya akan bicara padanya hanya untuk hal penting. Selebihnya, udara di antara mereka hanya diisi diam yang memekakkan. Jinan keder. Dia sendiri tiba-tiba jadi bodoh dalam berkomunikasi. Jinan takut membuat janji lagi kalau hanya akan berakhir dilanggar oleh dirinya sendiri.

Kak, jangan lupa ya.

Pesan WhatsApp dari Janu baru sampai sedetik yang lalu. Jinan mengembalikan ponselnya ke meja dengan gundah yang makin meradang.

Cepat-cepat ia larikan telunjuknya membaca buku jadwal per tanggal hari ini. Bola matanya hampir saja keluar dari rongganya. Desahan lolos begitu saja dari mulutnya. Ini, nih. Belum juga dilanggar, ada satu janji baru yang kemungkinan besar akan gagal bahkan sebelum ia sempat mencoba mewujudkannya untuk Janu.

Aaargh ....

Getaran minimalis Jinan rasakan di lututnya. Seseorang menyenggol kakinya di bawah meja rapat. Tersangkanya adalah bosnya sendiri.

"Are you okay?" bisik Catur.

"Everything is fine, Mas," jawab Jinan sambil tersenyum.

Catur tidak percaya. Senyum macam apa itu? pikir Catur. Bibirnya memang tertarik ke kiri dan kanan, tapi mata stafnya ... kosong.

Kelakuan Jinan sudah aneh sejak datang tadi. Wajah cantiknya sesuram kuburan. Tingkah polahnya sekaku kanebo. Sekarang, di saat rapat mingguan, yang dilakukan Jinan hanya diam, seakan bibirnya kehilangan anak kunci untuk membuka gembok mulut, dan dengan ujung penanya, Jinan melingkari tiga kata yang terselip di antara jadwal pukul sepuluh dan sebelas secara berulang kali dalam buku coklat yang ia tulis tangan dengan rapi.

Catur mengintip diam-diam.

Ke sekolah Janu. 

Si produser segera mencari tahu pukul berapa sekarang.

"Sembilan," gumam Catur. 

"Gimana, Mas?" Jinan mengangkat kepalanya ingin tahu.

"Jadwal kamu padat ya hari ini, ngalahin jadwal saya?"

"Bener, Mas. Sibuknya Kak Jinan ngelebihin sibuknya Mas Catur," celetuk Fia, staf divisi produser. "Entar jam sepuluh meeting sama orang talent. Jam sebelas dipanggil ke lantai atas. Pak Ringgo mau tanya-tanya rating Sapa Pagi yang naik terooos. Kali aja dikasih reward jalan-jalan ke Korea macam tahun lalu." Mata Fia berbinar penuh harap saat kata Korea diucap. 

Jinan makin terpuruk di kursinya. Bahunya jatuh ke lantai. Yang ada dalam otaknya hanya satu wajah tampan yang diwariskan dari ayahnya. Si kecil Januari Anwar. 

Lagi, helaan napas lelah meluncur bebas tanpa hambatan. Kali ini lebih keras, lebih mengandung ... penyesalan.

Sebuah pesan penggagal janji kembali Jinan kirim pada adiknya. 

Send

Si Bos mengetukkan jari telunjuknya ke meja. Keanehan PA-nya makin bertambah-tambah saja. 

***

Seharusnya Jinan menyunting run-down acara Sapa Pagi episode besok. Seharusnya pekerjaan ini sudah selesai setengah jam yang lalu. Namun, yang dilakukannya hanya menggerak-gerakkan kursor di layar komputer seperti karyawan yang makan gaji buta. 

"Ibu, kalau Ibu di posisi Jinan, ibu bakal ngapain? Gimana cara buat Janu mengerti?" bisiknya lirih. 

Tidak ada balasan dari Janu setelah ia mengirim pesan permohon maaf karena tidak bisa hadir di acara Profesi Masa Depan yang diprakarsai sekolahnya. Jinan mengkeret di kursinya dan menghempas kepalanya yang memberat ke meja. 

Seharusnya Jinan tampil sebagai salah satu pembicara di depan ratusan murid SMP dan membeberkan pekerjaannya sebagai Producer Assistant di sebuah televisi swasta di Indonesia. Tidak hanya dia, tapi juga beberapa wali murid yang bekerja di berbagai lini pekerjaan seperti, dokter, pilot, baker, dan berbagai bidang profesi lain. 

Dalam gerakan cepat, gadis malang itu menegakkan punggungnya, sebab sebuah ide cemerlang terlintas di benaknya. 

“Aku ajuin cuti dan ajak Janu staycation ke Jogja dua minggu lagi.”

Dua kedipan mata kemudian, Jinan baru ingat bulan ini KKTV akan berulang tahun. Jadwalnya serapat serat baju! 

Tuhaaan... 

"Maafin Kakak, Dek..."

Harusnya bunyi bedebum keras menggema lagi di kubikel kecilnya, menggetarkan beberapa peralatan elektronik dan tumbler kosongnya gara-gara benturan jidatnya di permukaan meja. Namun, yang dia dapati, keningnya tidak merasakan apa-apa. Justru jidat mulusnya dilindungi sebentuk entitas hangat dan lembut yang kemungkinan besar kepunyaan manusia. 

Saat mengangkat kepala, yang Jinan temukan adalah...

"Mas Catur?"

"Saya masih butuh isi kepalamu yang cemerlang untuk materi Sapa Pagi. Jangan sia-siakan masa mudamu, Jinan. Mentang-mentang biaya pengobatan geger otak ditanggung BPJS, merasa bebas pentokin kepala ke meja?" jelas Catur panjang dan lebar. Dan Catur masih setia menempelkan telapak tangannya yang lebar di jidat PA-nya. 

"Mas, tangannya tolong ditertibkan," ucapnya datar. 

Merasa kepalang tanggung, si pemilik tangan menaikkan tangannya yang masih menempel itu ke pucuk kepala Jinan dan mengucek gemas rambutnya yang tergerai panjang.

"Jinan, Jinan."

Tanpa mengurangi rasa hormat pada atasannya, Jinan memindahkan tangan besar itu menjauh dari kepalanya dengan sopan. 

"Mas tadi ke mana aja? Saya telepon berkali-kali enggak diangkat."

"Kangen, ya?" goda Catur. 

"Ewww." Cebikan Jinan malah membuat Catur makin geli. 

"Saya serius, ini."

Alih-alih menjawab, Catur melempar kartu kecil bermerek Master Card ke atas laptop Jinan yang sedang terbuka. 

"Guys," teriak Catur ke semua stafnya. "Jinan traktir kopi."

Tentu dong disambut sorak sorai bergembira. Siapa yang tidak hepi ditraktir kopi siang bolong penuh godaan hawa mengantuk?

Catur melenggang masuk ke kantornya, Jinan melongo kebingungan.

***

"Janu pasti kecewa berat sama aku," desahnya lemah di depan pintu rumahnya.

Dia sibuk mengulur benang relasi pada semua orang dan menguatkan ikatannya, tapi benang yang menghubungkan dirinya dengan satu-satunya keluarga yang dia miliki ... terancam putus hanya demi sebuah alasan berlabel pekerjaan.

Suasana hatinya mirip nasi rames. Tidak berbentuk lagi. Kacau. Tangan kirinya semakin erat menggenggam plastik bungkus kotak piza--sogokan untuk Janu, tangan kanannya memutar knob pintu dengan pelan.

"Jaaan, Kakak bawa piza. Toping-nya sosis dan keju kesukaan kamu," sorak Jinan ke seantero rumah berlagak ceria, padahal hatinya ketar-ketir tak karuan. Takut Janu mengamuk. Janu tidak pernah mengamuk, sih, tapi kalau sampai iya, berarti level marahnya Janu sudah sampai ubun-ubun.

Apa yang ditemukan Jinan? Lelaki kecil itu berlari riang keluar dari kamar seakan menyambut kakaknya yang telah hilang sebulan penuh.

Tidak! Jinan tidak mau terperdaya. Bisa saja akal-akalan Janu berlagak sok bahagia di luar, tapi di dalam hatinya? Dia menyembunyikan dendam dan kecewa pada kakaknya yang tak becus jadi kakak.

"Mau! Janu lapar banget."

Mau tak mau, gadis itu tersenyum karena Janu menarik tangannya ke sofa, merebut kotak pizanya dan tak sabaran ingin segera menikmati makanan kesukaannya.

Oke, belum ada tanda-tanda marah, pikir Jinan. Dia akan mencoba peruntungannya untuk memohon maaf sekali lagi.

"Dek, maafin Kakak, ya? Kakak beneran enggak bisa ninggalin kantor. Kakak rapat sama..." Jinan memejam matanya rapat dan menggigit bibirnya hingga terasa perih. Rasanya, menggelontorkan alasan sepenting rapat dengan Executive Producer dan dewan direksi KKTV tidak pantas untuk menyelamatkan mukanya di depan Janu. Maka, ini yang ia katakan. "Intinya Kakak minta maaf enggak bisa ke sekolah kamu. Kamu mau apa buat menebus salahnya Kakak, Dek? Liburan ke Puncak? Jogja? Atau main sepuasnya di Dufan? Akan Kakak kabulin. Tapi bulan depan, ya? Eh, jangan. Dua bulan lagi aja. Kakak udah minta izin ke atasan Kakak, tadi," sembur Jinan harap-harap cemas.

Kalau salah ya, salah saja. Minta maaf saja. Tidak perlu embel-embel lain! Jinan memarahi dirinya sendiri.

Yang dilakukan Janu malah tersenyum lebar memikirkan opsi yang dilempar kakaknya. Tapi Janu tahu ada hal penting yang harus ia katakan sebelum menjawab pilihan tadi.

"Janu ngerti kok, Kak. Kakak lagi ribet dan sibuk banget di kantor. Mas Catur yang bilang."

Mengernyit bak baju belum disetrika kening Jinan.

"'Mas' Catur?"

"Iya. Kata Mas Catur, sebenernya Kakak mau pergi, tapi jadwal Kakak dari pagi sampai siang full banget."

"Tunggu, kamu ketemu Mas Catur? Kalian ... ngobrol, gitu?" Jinan sendiri tak yakin dengan pertanyaannya.

"M-hm." Janu mengangguk karena mulutnya tersumpal dengan sebongkah piza lezat.

"Apa?!" Rahang Jinan terjatuh dramatis. "Ngapain kalian ketemu? Urusannya apa?"

Cepat-cepat Janu telan sisa makanan di mulut. "Lha, belum nikah tapi komunikasinya udah amburadul." Janu geleng-geleng kepala macam paham betul urusan orang dewasa.

"Iiih, siapa yang mau nikah?" Jinan langsung membela diri.

"Janu restuin."

"Kenapa urusannya jadi melenceng begini?" tanyanya tidak paham pada diri sendiri. "Jan! Kenapa kamu dan Mas Catur ketemu?" ulang Jinan geregetan. Urusan mereka ketemuan lebih penting daripada nikah yang entah sama siapa.

"Lha, kan Mas Catur yang gantiin Kakak ke sekolah. Kami ngobrol bentar, tadi."

"HAH?!"

"Eh, tapi, SUMPAH. Mas Catur keren banget!" Dalam sedetik berubah raut si Janu jadi super semringah. Matanya malah memancarkan kobaran api semangat layaknya Bung Tomo yang sedang berorasi di depan para pejuang. Janu bahkan tidak peduli wajah sang Kakak yang membiru, macam keselek kedondong. "Udah ganteng, kerjaannya juga keren kayak kerjaan Kakak. Ide Mas Catur bikin program TV Sapa Pagi sama quiz Juara Satu emang bagus banget. Mas Catur juga sering nyebut nama Kakak. Temen-temenku pada pengen kerja jadi produser kayak Mas Catur!"

Informasi macam apa, ini? Jinan bahkan tak sanggup mengatupkan rahangnya.

"Tunggu, tunggu. Ngapain atasan Kakak yang gantiin Kakak, Jan? Dari mana dia tahu kamu punya acara di sekolah?"

"Meneketehe. Tanyain aja sendiri sama orangnya." Meski keheranan dengan sikap aneh Jinan, Janu tak mampu membendung keharuman piza di depannya dan menyomot potongan kedua.

Denting notifikasi pesan dari Catur menginterupsi kekagetan Jinan.

Jinan, sudah ketemu Janu?

Demikian isi pesan Catur.

"Pas banget." Jinan langsung memencet simbol telepon. "Mas Catur. Ada apa ini? Kenapa Mas yang ke sekolah adik saya?" cerocos Jinan to the point sedetik setelah sambungan telepon terhubung

"Jangan marah, please? Saya hanya mau bantu. Enggak ada maksud lain. Saya ngerti kaki tanganmu terikat di kantor, jadi ... saya putuskan untuk ... menggantikan kamu di acara sekolah ... Janu." Catur terbata-bata dan suaranya semakin pelan.

Antara marah dan lega pada atasannya, tidak tahu Jinan rasa mana yang lebih dominan. Jinan memutuskan mengesampingkan rasa itu demi menjawab rasa ingin tahunya.

"Dari mana Mas tahu acara sekolahannya Janu?"

"Dari jadwal kamu di buku coklat." Buku itu tidak pernah lepas dari tangan Jinan. "Maaf, saya ... enggak sengaja ... baca."

"Mas ...."

"Kalau kamu merasa saya kelewatan, saya minta maaf, okay? Saya janji enggak akan mengulangi lagi tanpa seizin kamu."

Seizin aku. Jinan memutar bola matanya geli. Kali ini ia yakin hanya kelegaan yang mengisi relung hatinya. Toh, karena Catur, mukanya terselamatkan dari ingkar janji jilid kesekian.

"Mas Catur?"

"Y-ya?"

"Makasih. Pertolongan Mas sangat berarti buat saya. Sekali lagi makasih, ya?"

Dengkusan kecil Jinan tangkap di telinganya. Setelahnya, Catur tertawa. Jinan beneran lega.

"Anytime, Jinan."

"Bilang, apa yang harus saya lakukan untuk Mas sebagai rasa terima kasih?"

"A dinner. Malam ini. Saya, kamu dan Janu. Kalau kalian oke, saya akan jemput pukul tujuh."

Mau tak mau Jinan tersenyum dan melirik Janu yang ternyata sedang menatap kakaknya yang senyam-senyum sendiri.

"Baiklah. Nanti saya tanya Janu dulu."

"Saya tunggu kabar baiknya, Jinan."

"Iya."

"Oh, ya, satu lagi. Janu enggak akan marah sama kamu. Percaya sama saya. Dia memahami posisi kamu sebagai kepala keluarga. Dia lelaki cilik yang dewasa dan tangguh."

Lagi, Jinan melirik pada adiknya yang sedang melahap potongan piza ketiga dan membelai penuh kasih kepala adiknya.

"Ya, dia memang tangguh dan dewasa."

"He is."

Klik.

Setelah mengambil napas dan membuangnya pelan, Jinan memutar tubuhnya menghadap si bocah SMP.

"Dek."

"Apa?"

"Untuk semua janji yang enggak bisa Kakak penuhi, Kakak minta maaf, ya?" ucap Jinan sungguh-sungguh tepat ke dalam kedua bola mata adiknya.

"Sebenarnya Janu sempat sebel sama Kakak." Jinan langsung meringis tidak enak. "Tapi Janu sadar, ketidakhadiran Kakak juga demi Janu. Demi hidup kita berdua. Jadi Janu nggak mau komplain. Janu ngerti Kakak. Kalau Janu udah kerja dan punya uang banyak, giliran Janu yang bakal ngebahagiain Kakak." Lelaki kecil itu bicara dengan tenang dan nafas teratur, tapi matanya penuh tekad kuat selaras dengan kalimat terakhirnya.

"Januuu ..." Tetes bahagia mengalir syahdu di sudut-sudut mata Jinan.

Sejak kapan adiknya berubah dewasa begini?

Meski risih, Janu menerima pelukan kakaknya, ibunya, sekaligus ayahnya yang terkumpul dalam satu raga, yaitu seorang Jinan Anwar.

Benangnya dengan Janu putus? Tidak! Jinan tidak akan membiarkannya putus begitu saja. Ia justru akan mengeratkannya dengan mengganti semua waktu yang terbuang. Bagaimanapun, hanya Janu satu-satunya keluarga yang ia punya.

"Jan." Jinan mengurai pelukan mereka. "Emang, yang bakal nikah, siapa?"

"Bukannya Kakak sama Mas Catur pacaran?"

"Apa?! Enggak! Kami enggak pacaran."

"Janu restuin. Orangnya baik. Kalau enggak baik, mana mau dia repot-repot datang ke sekolah Janu?"

Jinan tercenung sejenak. 

Memintal benang baru dengan atasannya di luar konteks bos dan staf? Bagaimana mungkin ia akan mempertimbangkan ide itu?

Tapi, bukannya Janu sudah memberikan lampu hijau untuknya?[]

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
@carsun18106 : Fufufu, iye, kan? 😚 Thanks for reading Benang (yang Hampir) Putus 😗🥰
Yaudah dinner dulu aja kalian 😉
Rekomendasi dari Drama
Novel
Gold
Alang
Republika Penerbit
Novel
Aku Ingin Menjadi Aneh
rye
Novel
Bronze
Daun-Daun yang Merayu Angin
Khairul Azzam El Maliky
Cerpen
Benang (yang Hampir) Putus
Steffi Adelin
Novel
Bronze
Elegi 98
Sarwono
Skrip Film
Rockstar Girlfriend (SCRIPT)
Maya andita
Novel
Bronze
Hurted
Syafaria Aprilianti
Novel
Bronze
Mellifluos - The Melody of Heart
Nia Dwi Noviyanti
Novel
Telinga
Mala Armelia
Novel
Bronze
Diary Cinta Naelsa Macaca Lova
Niken Anggraini
Flash
Bronze
Suara adalah Aib
Siti Soleha
Novel
CHRISTABEL QUEENZA
Basmalahku
Novel
Curhatan Seorang Perantau
Cindy Cecillia
Flash
Guardian Angel
amor
Flash
Di Tengah Kemacetan...
Agung Prasetiarso
Rekomendasi
Cerpen
Benang (yang Hampir) Putus
Steffi Adelin
Cerpen
Jangan Takut
Steffi Adelin
Cerpen
Ebony & Ivory
Steffi Adelin
Novel
Ben & Cori
Steffi Adelin
Flash
Setan Jahanam
Steffi Adelin
Novel
Bayangan Matahari
Steffi Adelin