Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Ajeng duduk di sudut kafe kecil di dekat kampusnya. Secangkir kopi dingin tergeletak di atas meja, hampir tak tersentuh. Pandangannya menerawang keluar jendela, memerhatikan orang-orang berlalu lalang dengan pikiran yang bercabang. Dalam benaknya, ia terus bertanya-tanya, ke mana arah hubungan ini akan membawanya.
Sudah hampir dua tahun sejak ia mengenal Kuncoro. Hubungan mereka dimulai dengan ringan, penuh canda tawa, seperti dua sahabat yang tak terpisahkan. Mereka makan bersama, pergi ke bioskop, dan sering menghabiskan waktu seharian tanpa merasa bosan. Kuncoro adalah orang yang pertama kali Ajeng hubungi saat ia mengalami hari yang buruk, dan sebaliknya. Namun, di balik kenyamanan itu, ada hal yang membuat hati Ajeng resah.
Beberapa bulan terakhir, Ajeng menyadari bahwa Kuncoro sering sibuk dengan ponselnya, mengirim pesan-pesan yang sepertinya bukan untuknya. Beberapa kali ia melirik layar ponsel itu secara tak sengaja, dan nama-nama perempuan lain muncul. Ajeng tidak pernah berani bertanya langsung. Ia memilih diam, menahan rasa sakit yang perlahan menggerogoti dirinya.
“Kalau aku tanya, mungkin jawabannya malah menyakitkan,” pikir Ajeng saat itu.
Namun, semakin lama ia memendam perasaan itu, semakin berat beban di hatinya. Meski di depan Kuncoro ia tetap tersenyum dan bertingkah seolah segalanya baik-baik saja, Ajeng tahu bahwa ia mulai berubah. Ia tak lagi memprioritaskan Kuncoro. Pesan-pesan dari Kuncoro kadang dibiarkan tak terbalas hingga berjam-jam. Bahkan, jika dulu ia selalu menunggu-nunggu ajakan Kuncoro, kini ia merasa tak lagi seantusias itu.
Tapi di saat yang sama, muncul seseorang baru dalam hidupnya—Leo.
Leo adalah teman sekelas Ajeng di salah satu mata kuliah wajib di semester ini. Awalnya, Ajeng tak terlalu memperhatikan lelaki itu. Leo bukan tipe pria yang langsung mencuri perhatian dengan penampilan atau gaya bicara. Namun, ada sesuatu yang membuatnya nyaman. Suatu hari, saat kelas bubar, Leo menghampiri Ajeng yang sedang membereskan buku-bukunya.
“Ajeng, kamu selalu duduk di sini ya? Sendirian terus,” kata Leo dengan senyum ramah.
Ajeng sedikit terkejut, tapi ia membalas senyum itu. “Iya, kadang lebih enak sendirian biar bisa fokus.”
Sejak saat itu, mereka sering berbincang. Awalnya hanya obrolan ringan tentang tugas kuliah, dosen, atau kegiatan kampus. Tapi semakin sering mereka berbicara, semakin Ajeng menyadari bahwa Leo adalah seseorang yang berbeda. Ia perhatian, sabar, dan selalu tahu cara membuat Ajeng tertawa.
Hari demi hari, Ajeng merasa perasaannya pada Leo tumbuh. Ada debaran aneh yang muncul setiap kali mereka berbicara. Namun, perasaan itu bercampur dengan rasa bersalah. Bagaimana dengan Kuncoro? Bukankah ia masih dekat dengannya? Apakah pantas baginya untuk merasa bahagia dengan orang lain sementara ia belum menyelesaikan apa yang ia miliki dengan Kuncoro?
Ajeng mencoba untuk menjaga jarak dari Leo. Ia khawatir Leo akan salah paham jika mengetahui bahwa ada hubungan yang tak terdefinisi antara dirinya dan Kuncoro. Namun, semakin ia mencoba menghindar, semakin sering Leo hadir dalam pikirannya. Bahkan saat bersama Kuncoro, ia terkadang memikirkan senyum Leo atau lelucon-lelucon sederhana yang ia lontarkan.
“Ajeng, kamu kenapa akhir-akhir ini? Kok kayaknya jarang cerita?” tanya Kuncoro suatu sore saat mereka sedang makan bersama.
Ajeng tersenyum tipis. “Enggak kok. Mungkin lagi banyak pikiran aja.”
Padahal, dalam hati, ia ingin sekali berkata jujur. Ia ingin mengatakan bahwa ia lelah dengan hubungan yang terasa menggantung ini. Bahwa ia tidak tahu apa status mereka sebenarnya. Namun, ia takut kehilangan Kuncoro, meskipun ia sendiri mulai meragukan apa yang ia rasakan padanya.
Setiap malam, Ajeng merenung. Ia mencoba menganalisis perasaannya sendiri. Apakah ia masih mencintai Kuncoro? Ataukah perasaannya kini hanyalah kebiasaan yang sulit dilepaskan? Di sisi lain, ia merasa ada kebahagiaan baru yang muncul setiap kali ia bersama Leo. Tapi apakah adil bagi Leo jika ia membawa masalah ini ke dalam hidupnya?
Suatu malam, Ajeng menerima pesan dari Leo.
“Ajeng, kamu lagi sibuk? Aku pengen ngobrol sesuatu, kalau boleh.”
Ajeng membaca pesan itu dengan hati yang berdebar. Ia tahu ini adalah momen yang tak bisa ia hindari lagi. Leo mungkin akan menyatakan perasaannya, dan Ajeng harus memutuskan apa yang akan ia lakukan. Ia membalas pesan itu dengan singkat, mengiyakan ajakan Leo untuk bertemu di taman kampus.
Saat bertemu, Leo terlihat gugup. Ia menggaruk belakang kepalanya dan mencoba membuka percakapan dengan lelucon, seperti biasanya. Namun, setelah beberapa saat, ia akhirnya berkata dengan serius, “Ajeng, aku nggak tahu ini akan merusak hubungan kita atau nggak, tapi aku mau jujur. Aku suka sama kamu.”
Kata-kata itu membuat hati Ajeng bergetar. Ia menunduk, tak tahu harus berkata apa.
“Aku tahu mungkin kamu nggak merasa yang sama, atau mungkin kamu lagi dekat sama orang lain. Tapi aku cuma pengen kamu tahu perasaan aku. Aku nggak mau memaksakan apa-apa,” lanjut Leo.
Ajeng menarik napas dalam-dalam. “Leo, aku… aku juga suka sama kamu.”
Wajah Leo tampak cerah seketika, tapi Ajeng melanjutkan, “Tapi aku nggak yakin ini adalah waktu yang tepat. Ada seseorang dalam hidupku sekarang, meskipun hubungannya… rumit.”
Leo tersenyum tipis. “Aku ngerti, Ajeng. Aku nggak mau bikin kamu bingung. Tapi kalau suatu hari kamu udah yakin, aku akan ada di sini.”
Setelah pertemuannya dengan Leo, Ajeng tahu bahwa ia tak bisa lagi menunda-nunda. Ia harus berbicara dengan Kuncoro, meskipun sulit. Suatu sore, ia mengajak Kuncoro bertemu di tempat biasa mereka makan.
“Kuncoro, aku mau ngomong sesuatu,” kata Ajeng dengan suara yang sedikit bergetar.
Kuncoro menghentikan makannya dan menatap Ajeng. “Kenapa? Serius banget.”
Ajeng menunduk, mencoba mencari kata-kata yang tepat. “Aku rasa, kita harus bicara soal hubungan kita. Selama ini, aku merasa kita dekat, tapi aku nggak tahu kita ini sebenarnya apa.”
Kuncoro terdiam sejenak. “Ajeng, aku kira kamu nggak perlu pertanyaan itu. Bukannya kita udah nyaman kayak gini?”
“Tapi aku nggak tahu ke mana arahnya, Kuncoro. Dan… aku lihat kamu sering chatting sama orang lain. Aku nggak tahu harus merasa apa.”
Wajah Kuncoro berubah. “Ajeng, aku… Aku nggak pernah berniat nyakitin kamu. Tapi aku juga nggak mau berbohong. Aku belum siap untuk hubungan yang lebih serius.”
Kata-kata itu seperti paku terakhir bagi Ajeng. Ia mengangguk pelan. “Kalau begitu, mungkin ini saatnya kita berhenti saling menggantungkan.”
Setelah pembicaraan itu, Ajeng merasa lega sekaligus sedih. Namun, ia tahu bahwa ia telah mengambil langkah yang benar. Ia butuh waktu untuk memahami dirinya sendiri sebelum benar-benar melangkah dengan Leo atau siapa pun. Hari demi hari, ia mulai fokus pada kebahagiaannya sendiri, mengejar hal-hal yang ia sukai, tanpa merasa terikat oleh hubungan yang tak pasti.
Leo tetap ada di sisinya, sebagai teman yang mendukung tanpa menuntut apa-apa. Ajeng belajar bahwa terkadang, melepaskan sesuatu yang nyaman adalah langkah yang perlu untuk menemukan kebahagiaan sejati. Dan meskipun jalannya masih panjang, ia merasa siap untuk melangkah maju, perlahan tapi pasti.