Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Kemarin, menjelang waktu maghrib, sekitar jam 6 sore. Saya merasa cukup kenyang membaca sub bab penting di buku Pak Firmanzah yang bertajuk Marketing Politik. Penat. Saya memejamkan mata dan menyenderkan tulang punggung ke senderan kursi. Helaan napas yang menyeruak dari hidung saya terasa berat. Hanya ada satu hal yang paling menenangkan, terawangan pandang saya yang jauh ke luar jendela.
Ada bocah lelaki bermain layang-layangan di tengah sawah.
“Huft! Dia adalah manusia yang beruntung, masih bisa tertawa bebas di tahun 2025 ini, haaah..” padahal bocah itu tidak bersalah, tapi aku membuang napas kesal, “tertawalah dik, sebelum kamu berkenalan dengan kehidupan politik.” gumam saya sembari meraih ponsel yang saya abaikan seharian.
Seperti biasa, cukup banyak pesan masuk yang belum saya baca sejak pagi.
Izza.
Kontak teratas yang mengirimi saya pesan. Segera saya baca pesannya.
“Assalamualaikum mbak dindaaaa, apa kabar mbakk? Mbak, besok hari jumat izza semhas jam 8. Mohon doanya ya mbak, kalo ada waktu datang ya mbak ke fkg unand di jati, see uu mbakk.”
Saya kembali memejamkan mata, menghela napas sedalam mungkin. Adik kecil periang ini
Pukul 18.12 WIB saya baru membalas pesan Izza. Saya sampaikan suka cita saya mendengar pencapaiannya itu. Sebab saya kurang lebih tahu betul perjuangan untuk memperoleh gelar sarjana sangat terjal, penuh lika-liku. Saya bangga mendengar adik manis saya ini bisa sampai di tahap yang saya sendiri pun belum di restui untuk mencapainya. Tidak apa, saya tidak mempersalahkan itu karena paham ujian setiap orang berbeda-beda.
“Waalaikumsalam zaaa, omoo masyaa Allah izzaaa, congrats duluuu, bismillah yaa zaa, besok mbk lihat sikon bimbingan yaaa”
Izza langsung membaca pesan yang saya kirim. Ia doakan agar bimbingan saya lancar dan saya amini. Kemudian saya tanya, “Btw izza masih tinggal di kontrakan kemarin?”
Rencana saya, usai bimbingan mau mampir ke kontrakan Izza. Walau saya tahu betul hari Jum’at esok adalah hari yang panjang. Saya harus menunggu kabar dosen pembimbing yang mungkin bisa mengundur kapan pun waktu bimbingan. Sebab dosen pembimbing saya adalah ketua prodi sarjana, cukup-lumayan sibuk. Bahkan, beberapa hari lalu baru menerima dosen tamu dari Malaysia untuk kegiatan ‘International Visiting Lecture’, saya yang mendesain flyer kegiatannya. Tak masalah, saya rasa cukup mutualisme. Saya membantu pekerjaan beliau di saat saya tidak mendapat jadwal bimbingan, saya bisa berkonsultasi konsep penelitian dengannya. Mutualisme, kan?
Oh, tidak!
Bahan bimbingan saya belum selesai, saya harus memperbaikinya, sebab kemarin saya baru saja mendapat lima revisi dari dosen pembimbing pertama. Cukup banyak yang harus saya rombak di proposal.
***
21 Februari 2025
Skripsi itu isinya menunggu, menunggu ide, menunggu laptop menyala, menunggu loading unduhan jurnal, menunggu jadwal bimbingan, menunggu di ACC, ya… Untuk orang yang selama ini jarang mau menunggu, ini cukup menyebalkan untuk saya. Tapi saya harus menunggu hingga waktunya tiba untuk saya menyelesaikan skripsi.
Saya menunggu sejak pagi perihal jam bimbingan. Siang lewat, sore berganti malam. Ternyata akhirnya hari ini jadwal bimbingan dibatalkan. Bohong bila saya tidak kecewa. Tapi, hidup ini bukan hanya milik mahasiswa, dosen pun punya hidup. Tidak bisa saya tuntut untuk bisa memenuhi kebutuhan dan keinginan mahasiswa. Mereka punya keluarga, punya kehidupan pribadi juga, selagi sudah lewat jam kerja, saya tidak pandai mendesak dan merengek agar dosen melayani bimbingan di luar jadwal. Harusnya saya berlatih meminta sejak dulu, sayangnya inilah kelemahan saya.
“Oh iya, Izza …!” seru saya, ingat bahwa hari ini Izza seminar hasil skripsinya.
Namun, gelap sudah menggelayuti langit malam. Niatnya saya ingin ke kontrakannya, tetapi kawan kos saya menyampaikan bahwa barang dagangan ‘preloved’ kami ada yang mau mengangkut, transaksinya ‘COD’ di Budiman by pass. Sialnya, aku harus mengantar barang-barang dagangan kami malam ini juga. Aku menghela napas dalam, sedikit kesal dengan agenda saya hari ini yang banyak berjalan tidak sesuai rencana.
Rencana saya maksudnya.
Saya sudah lama tidak bertemu Izza, ingin menghampirinnya hari ini karena saya ingin berbincang ngalor-ngidul saja dengan gadis periang itu, mendengar cerita dia yang mengalir tanpa tema, atau mungkin saya yang akan lebih banyak bercerita. Rindu akhirnya kembali menyelip di kamus hidup saya. Ingin menjalin tali silaturahmi yang sudah lama terjeda kepentingan masing-masing itu masih ada.
Bagi saya, bertemu dengan gadis periang seperti Izza adalah obat bagi kecemasan yang sering hinggap di pundak atau puncak kepala saya. Mungkin karena saya jarang bisa bertemu keluarga di rantauan, sedangkan Izza sudah saya anggap adik. Saya pikir, bertemu Izza merupakan jalan pintas meredakan rindu pada keluarga yang sering meradang, rindu itu tidak sekali dua kali membuat saya sembab menanti waktu pulang.
“Hahhh ...”
Saya kesal sebetulnya karena terlalu banyak menghela napas akhir-akhir ini. Jum’at berlalu dan saya belum mengabari Izza bahwa saya batal menemuinya. Saya benci dengan sikap saya yang sering menunda ini, terlebih menunda berkirim kabar. Ini adalah penyakit yang kerap menggerogoti hubungan saya dengan manusia lain.
“Sesusah itu berkabar?”
Sialan!
Pertanyaan itu malah terputar lagi di benak saya.
Sudah-sudah!
Mari kembali merencanakan pertemuan dengan Izza, besok hari sabtu?
Sabtu esok saya ada jadwal menulis, kemudian ada kepentingan yang harus saya selesaikan di perpustakaan. Andai saja motor saya tidak mogok kemungkinan besar saya masih bisa ke sana menjelang senja hingga malam. Akhir-akhir ini saya sangat mengandalkan transportasi umum untuk berpergian.
***
Tulisan ini adalah saksi tentang hari yang cepat sekali berganti. Sabtu sudah tiba, ternyata memang ada tenggat-tenggat tugas yang mesti saya selesaikan. Menemui Izza secara langsung memang belum bisa saya lakukan. Sebab pertemuan itu bagi saya bukan sekadar datang menyapa, memberi buah tangan, lalu berfoto untuk diunggah. Mungkin kerumitan bahasa cinta saya inilah yang membuat banyak hal harus saya pertimbangkan. Semoga saja ada manusia yang bisa menerima saya dan beribu rumitnya ini.
Jika Izza membaca tulisan ini, saya ingin sampaikan bahwa kita mungkin belum bisa kembali betemu. Tapi, sejak beberapa hari terakhir, nama Izza bertamu di kepala ‘mbak’. Mbak adalah cara gadis periang itu memanggil saya.
“Maaf ya Za, sempat bilang berencana mampir. Tapi kabar pun tak mampir di ruang percakapan kita. Semoga dalam waktu dekat kita bisa bertemu, walau dengan cara yang tiba-tiba seperti di CFD, Mie Gacoan, atau tempat-tempat lainnya. Semoga apa yang harus di selesaikan setelah seminar hasil kemarin dipermudah oleh Allah. Bisa kan kita wujudkan cita-cita menjadi perempuan yang berdaya dan bernilai itu?”
Masih untuk Izza, “Mbak pamit ya dari tulisan ini, mbak lanjutkan lagi dulu aktivitas mbak, maaf jika sudah sangat sulit membersamaimu melangkah, tapi tidak pernah sulit bagi mbak untuk mendoakan kesehatan, kebahagian dan kesuksesan untuk Izza. Semoga kita lekas berjumpa adik manis.”
Mungkin orang semacam saya sangat menyebalkan karena terlalu perhitungan dengan waktu yang saya miliki. Saya tidak pandai melontarkan pembelaan atas pilihan hidup saya yang demikian.
Percayalah, saya sedang belajar untuk mengelola waktu yang saya miliki dengan sebaik mungkin. Naif bila saya katakan semua berjalan seperti keinginan diri ini.
Lihatlah! Keharusan menyelesaikan tenggat-tenggat tugas membuat saya mau tak mau merelakan pertemuan dengan seseorang. Tapi, saya lebih yakin lagi bahwa hal ini akan segera berlalu dan memang untuk beberapa waktu ini memang harus mengorbankan sesuatu yang saya anggap penting, agar kepetingan yang menyangkut banyak orang bisa saya selesaikan dengan baik.
Mungkin orang semacam saya sangat membosankan, selalu menjadikan tulisan sebagai jembatan pertemuan. Bagi saya tulisan adalah salah satu cara berkomuniksi yang ajaib. The universe told me, “Make your magic” and I listened.