Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Gang kelinci. Itulah sebutan gang kecil yang ada di perkampungan ini. Jalannya bahkan hanya cukup untuk dua orang yang saling beriringan. Dapur dan motor-motor menghiasi sisi depan rumah warganya. Hah? Apa iya? Memang benar, karena rumah-rumahnya kecil dan saling berapit, beberapa dapur warga berada di depan. Maka jangan heran jika melihat momen ketika ibu-ibu saling berbagi bumbu dapur.
"Mbak, ada laos gak?"
"Aduh, mau nyambel, kurang terasi. Punya terasi gak?"
Ungkapan-ungkapan itu kerap kali terlontarkan dari ibu-ibu yang sedang masak di depan rumahnya.
Aku sedang sibuk memainkan gadget. Buka instagram - keluar - buka twitter - keluar - buka youtube - keluar - buka whatsapp - keluar - buka instagram lagi. Ya seperti itulah siklus kegabutanku. Seorang remaja yang mulai beranjak dewasa, tetapi masih bingung harus berbuat apa. Akhirnya, aku memilih untuk menonton sebuah drama series.
Hari ini sepertinya sedang mendung, karena udara tidak sepanas biasanya. Tinggal di kota yang sering dijuluki hot potato-potato berarti harus siap untuk berteman baik dengan cuacanya yang panas. Belum lagi jika terjebak di lampu merah yang cukup lama. Ahh.. Hanya dengan membayangkannya saja sudah cukup membuat kesal dan gerah.
Aku masih terfokus pada alur drama itu. Barangkali saat ini kehidupan beberapa orang tidak jauh dari menonton drama. Apalagi produksi Negara Ginseng. Semua orang sepertinya kenal baik dengan akronim drakor. Mulai dari kalangan ibu-ibu yang ikut geram dengan The World of Marriage, hingga remaja-remaja yang di mabuk asmara oleh Han Seojun di True Beauty.
"Dek, belikan makanan sana! Apa kau tak bosan nonton tanpa nyemil kek gitu"
Kata abangku memecah keheningan.
"Hah? Makanan apa?" jawabku
"Terserahlah, apa saja yang bisa dimakan"
Jawabnya sambil menyodorkan selembar uang kertas berwarna ungu.
Ketika membuka pintu dan keluar rumah, aku sedikit terperangah melihatnya. Tetangga di sisi kanan, depan, dan kiri, semuanya berjualan. Oh iya, sepertinya aku belum menceritakan bahwa ibu-ibu disini sangat aktif dalam menunjang perekonomian. Ketika memasuki gang kelinci, beberapa orang mungkin akan bertanya-tanya apakah ini sebuah kampung atau pasar. Beberapa etalase toko, meja-meja dengan jajanan, dan semacamnya menghiasi jalanan di gang kecil itu. Biasanya, hanya beberapa dari mereka yang berjualan. Namun, hari itu semuanya menjajakan dagangannya.
"Kenapa tak jadi beli?" tanya abangku
"Bingung"
"Astaga dek, perempuan itu memang begitu ya. Beli makanan saja bingung"
"Semuanya jualan, jadi bingung mau beli yang mana"
"Ya kau beli saja itu semua"
"Engga cukup uangnya"
"Ya kau belilah yang kau suka"
Aku menimang-nimang. Pertarungan ini akan dimulai dengan tiga kandidat. Sisi sebelah kanan adalah Bu Rina yang menjual bakso dan mie ayam. Kemudian, sisi depan adalah Bu Sari yang menjual beberapa jajanan ringan pastel, kroket, dan risol. Sementara itu, sisi sebelah kiri adalah Bu Vina dengan produk berupa gorengan seperti tahu isi, bakwan, tempe. Ahhh! Aku benar-benar bingung. Ketiganya sama kuatnya.
"Kau beli makanan saja udah kek mo nyoblos ya! Bimbang kali, kulihatnya"
"Semuanya enak loh bang, bingung aku"
"Yaudahlah ndak usah beli, mana uangnya"
Kuberikan uang itu pada abangku dan menonton drama lagi. Setelah beberapa saat, memang rasanya ada yang kurang. Makanan-makanan itu kembali membuatku berpikir, mana yang enak untuk dibeli.
"Bang, lapar"
"Kan sudah kubilang, belilah makanan sana"
"Gatau mau beli yang mana"
"Ribet kau cewej"
"Tapiloh bang, nanti kalo cuma beli satu, pasti dijulidin sama yang laen. Kalo beli semua, uangnya ndak cukup"
"Yaudah, gak usah beli"
"Ya tapi butuh camilan bang. Gak enak banget nonton, gak ada yang dimakan"
"Terserah kau lah dek"
Aku keluar lagi setelah meminta uang ke abang. Baru sampai di depan pintu, beberapa tetangga sudah menanggapi
"Wah mbak Dea, nyari apa mbak. Ini ada mie ayam sama bakso mbak, enak loh mendung-mendung gini makan yang anget-anget" kata Bu Rina
Tiba-tiba sisi depan menyahuti
"Risol mbak? Ini enak banget loh, isi mayo. Kayak yang lagi piral-piral itu"
Seperti yang sudah di duga, kandidat sebelah kiri juga tidak mau kalah
"Gorengan mbak? Mbaknya kan suka banget bakwan, ini masih anget"
Aku hanya tersenyum, sambil garuk-garuk kepala karena bingung. Entah kenapa tiba-tiba aku reflek memasukkan tangan ke dalam kantong celana. Aku menemukan secarik kertas, setelah kubuka ternyata adalah coret-coretan.
"Oh ini bu, mau buang sampah" kataku membalas ibu-ibu itu, sambil memasukkan kertas tadi di tempat sampah depan rumah.
Kemudian, aku masuk lagi dan menutup pintu.
"Astaga, masih belum beli juga" kata abangku
"Abang gak denger apa? Aku diwawancarai sana-sini, udah kek apaan coba"
"Lebay kali kau dek, emang kau siapa? Artis" timpalnya sambil tertawa
"Iya ih bang. Mereka pada nawarin dagangannya semua. Dah aku mah bingung mau beli yang mana jadinya"
"Gini amat punya adek overthinking"
"Ya bukan masalah overthinkingnya bang!"
"Tinggal beli aja dibikin susah"
"Abang mau dijulidin tetangga karena cuma beli di satu penjual"
"Ya biarin sih, yakali mesti borong semuanya"
"Kalo aku sih gak mau ya. Misal nih ya, abang beli baksonya Bu Rina. Terus, abang mau keluar tuh, lewat depan rumahnya Bu Vina. Entah beliaunya mbatin 'sok iye banget ga beli makananku'. Eh iya, Bu Sari yang di depan juga pasti julid"
"Ya itu khayalan kau doang dek. Berlebihan kali jadi orang"
"Teruskan, abang sering pake wifi Bu Sari. Kalo abang ga beli disitu, abang ga boleh pake wifinya lagi"
"Lah apa hubungannya, orang pake wifi juga bayar"
"Oh iya ya, ya gitulah pokoknya. Bingung aku bang"
Aku menimang-nimang lagi. Bukannya fokus pada alur drama, aku justru dibuat bingung untuk membeli makanan.
"Beli gorengan aja ya bang?"
"Terserah dek, sudah ribuan kali kubilang terserah"
"Tapi nanti, kalau kita lewat depan rumah bu Rina terus dijulidin gimana"
"Ya gausah lewat depan rumahnya"
"Kalau jalan sebelah kiri ditutup kan harus muter lewat depan rumah bu Rina"
"Botak abang kau tanya kek gitu terus"
"Yaudah deh beli gorengan aja"
Aku beranjak dari depan laptop, dan keluar. Kemudian, aku berjalan ke depan rumah Bu Vina.
"Pasti bakwan kan mbak Dea" kata Bu Vina
"Eh iya bu"
"Ini mbak, ambil aja" kata Bu Vina sambil menyodorkan kertas untuk alas gorengan.
"Loalah, gak ada yang anget Bu?" tanyaku
"Wah, nyari yang anget ya mbak. Tapi ini saya masih goreng tahu. Nunggu dulu atau mau yang lainnya?"
"Masih lama ta bu?"
"Ya lumayan sih, atau gini aja, nanti saya anterin kalau udah mateng"
"Ndak papa ta bu?"
"Bakwan berapa mbak?"
"3 bakwan, sama 3 tahu deh bu"
"Oke mbak"
Aku berjalan, dan masuk ke rumah lagi
"Loh, belum beli juga?" tanya abang dengan nada sedikit geram
"Bentarlah, masih dimasak"
"Bukannya Bu Vina biasanya udah ready ya gorengannya?"
"Iya sih, cuma gak anget tadi bakwannya"
"Astaga adekku tersayang tercinta. Ribet kali kau"
Aku berlanjut menonton drama lagi. Setelah beberapa saat, gorengannya pun datang. Tanpa banyak cakap, abangku langsung mulai makan. Sementara itu, aku mengambil sebuah bakwan sambil meniup-niupnya karena masih panas.
"Aneh banget" celetuk abang
"Apanya yang aneh?" jawabku
"Bakwan dingin, minta yang panas. Dikasih bakwan yang panas, ditiup-tiup biar dingin"
Sontak saja aku tertawa mendengarnya