Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Peluhku bercucuran, aku tak berhenti berlari menghindari mereka yang tengah memburuku di ujung malam. Aku sesekali menoleh, mencari cara untuk menghindar lebih jauh dari kejaran mereka. Nihil, langkah mereka terlalu cepat.
“Berhenti kau di sana!”
“Jangan bersembunyi!”
“Kau penyebab semua ini, kau yang menyebabkan dia mati! Kau harus menebus semua kesakitannya!”
Teriakan-teriakan mereka, sungguh memekakkan telinga. Dan tidak, aku tidak membunuhnya, aku tidak melakukan itu. Aku tidak melakukan itu, aku yakin, dia terbunuh karena ulahnya sendiri.
“Itu bukan kesalahanku!”
Aku mulai menangis, mereka masih mengejar, langkahku semakin berat, aku lelah, napasku terengah-engah. Sudah, aku tidak sanggup, aku tidak bisa lari lagi, aku menjatuhkan diriku di tengah jalan.
Mereka akhirnya tiba di dekatku dan langsung mengerubungiku, mereka membentuk lingkaran dan memutariku dengan tatapan tajam siap menerkam.
“Kau salah!”
“Kembalikan dia yang mati!”
“Bayar semua dengan hidupmu!”
“Dia tak pantas mati! Kau yang harusnya mati!”
“Matilah! Pergi saja dari dunia ini!”
“Kau penyebabnya!”
“Kau biang masalah!”
“Kau tak pantas hidup tenang!”
“Kembalikan dia!”
Aku menutup telingaku, aku menunduk, aku menangis dan meraung. “Tidak, aku tidak membunuhnya ... aku tidak membunuhnya.”
“Mati saja kau, Neti!”
Aku histeris sendirian, tidak ada yang membelaku, aku benar-benar dijerat. “Aku tidak membunuhnya!”
“Banyak alasan, kita bunuh dia!”
“Bunuh dia!”
“Bakar saja! Bakar!”
Aku melindungi diriku dengan kedua tanganku, yang pasti tidak akan menahan apa pun. “Tidak, jangan! Aku tidak membunuhnya! Aku bukan pembunuh!”
Seseorang menghidupkan korek api. “Kau tidak bisa lari lagi, Neti.” Gelak tawa semua orang membuat kepalaku pening. Tidak ada celah untukku berlari, tidak ada waktu lagi untuk kuperbaiki, aku pasrah, aku lemah, tapi aku bukan pembunuh.
Panas, korek api dengan nyala api sempurna, mereka dekatkan ke wajahku. “Ini saatnya kau mati!”
Awalnya korek api hanya satu yang menyala, namun tiba-tiba semua orang yang mengerubungiku menyalakan korek api dengan sama besarnya. Mereka tertawa melihatku ketakutan, aku terus menghindar, tapi mereka terus mendekat. Aku takut, aku tidak siap untuk mati dengan cara seperti ini. Aku bukan pembunuh.
“Lempar!”
Seruan itu bak perintah untuk mereka yang menaruh dendam padaku. Korek api menyala itu mereka lemparkan dengan tawa yang semakin kubenci, pergerakannya seolah melambat, aku bisa melihat api beterbangan di udara menuju ke arahku.
“Jangan!”
Aku bergerak gelisah, melihat ke sana ke mari, mencari cara untuk kabur dari sana. Sialnya tidak ada celah sedikit pun, mereka rapat menutupiku. Panas, satu korek api jatuh di hadapanku.
“Tidak, aku tidak mau mati!” jeritku. “Aku tidak mau mati!”
“Neti ....” Aku merasakan tepukan halus di wajahku. “Neti, bangun.”
Aku semakin gelisah, gerakku tak beraturan, korek api satu persatu mulai berjatuhan. “Neti ....” Suara itu terdengar kembali. “Neti!”
Aku terperanjat, dengan peluh di sekujur tubuhku. Ibuku memelukku dengan erat, erat sekali. “Aku bukan pembunuh,” ucapku dengan suara parau. “Aku tidak membunuhnya, Bu.”
Ibuku mulai menangis, anehnya aku tidak merasa sedih, aku hanya merasa kosong. Aku menatap ke arah depan, mereka masih di sana memperhatikanku penuh kebencian. “Aku tidak bersalah, Bu.”
“Ibu tau, Ibu sangat mengenalmu. Kamu anak Ibu, anak Ibu paling pemberani. Jangan seperti ini, Ibu sedih melihatnya. Kembali kepada Ibu, Neti. Jangan seperti ini.” Ibu semakin menangis di pelukanku, tapi aku diam saja.
***
“Argh ....”
Aku membanting semua barang yang berada di dekatku, mereka masih di sana, mereka semakin menuntutku untuk mati. “Pergi kalian dari sini!” Semakin aku menjerit, mereka semakin menunjukkan kebahagiaan, mereka tertawa terbahak-bahak sembari menunjuk padaku, seolah aku dalang dari semua kehancuran dunia. “Pergi!” Tidak ada lagi yang bisa aku lempar pada mereka. Aku beranjak dari tempat tidurku, meraih apa saja yang ada di kamarku. “Pergi, aku bukan pembunuh! Aku tidak membunuh dia!”
Aku terus melempar semua barang, mulai dari baju, gantungan, botol-botol parfum, pengharum ruangan, gelas, mangkuk yang masih berisi makanan, aku lempar semuanya, tapi mereka masih bertahan di sana.
“Neti! Astaga, berhenti!” jerit ibuku. “Ibu bilang berhenti, Neti!”
Aku menggeleng. “Mereka tidak mau pergi, Bu.”
“Mereka siapa, Neti? Tidak ada orang lain di kamarmu. Neti, berhenti! Ibu mohon, Neti ... jangan seperti ini pada Ibu, sudah cukup hancur Ibu hidup sendirian, jangan seperti ini, Neti! Sadar Neti!”
Ibu menarik tanganku, ibu peluk aku lagi, katanya aku harus tenang. Padahal aku sudah cukup tenang, mereka saja yang tidak mau pergi. Ibu membawaku duduk, ibu juga memberiku satu butir pil. Aku tidak tau itu apa.
“Tidurlah, Ibu yang bereskan ini semua. Neti harus percaya pada Ibu, di sini hanya ada Neti dan Ibu, tidak ada siapa pun lagi. Kita hanya hidup berdua saja, tidak ada orang lain. Tidurlah, Ibu di sini bersamamu, Ibu tidak akan pergi.”
Ucapan ibu bagai alunan pengantar tidur, tiba-tiba saja aku mengantuk, mataku berat, dan aku perlahan-lahan menutup mata, setelah itu gelap.
Suara burung membangunkanku dari tidur panjangku, aku tidak bermimpi, aku tidak ingat apa pun. Aku langsung membuka mataku dan hendak beranjak, tapi aku merasakan berat di kakiku. Aku menyingkap selimut yang menutupi tubuhku, aku melihat kakiku menyatu dengan sebuah besi dengan rantai, tak hanya itu saja, aku juga melihat sebuah gembok. Aku melihat nanar ke sana, kakiku tak bisa bebas aku gerakkan, aku mulai menangis.
“Maafkan Ibu, Neti. Ibu tidak punya pilihan.”
Pagi ini, kamarku dipenuhi dengan tangisan. Sejujurnya, aku tidak suka ini, aku tidak seharusnya dikekang seperti ini. Aku baik-baik saja, aku tidak berbahaya, aku tidak menyebarkan virus. Tapi, aku juga tidak bisa berbuat apa-apa, tidak ada yang bisa menolongku.
***
Setiap harinya aku hanya bisa duduk dan berbaring di tempat tidurku. Mandi, berganti pakaian, ibuku yang melakukannya. Aku sempat bilang untuk membuka gemboknya, tapi ibu selalu bilang semua ini untuk kebaikanku. Padahal, itu semua membuatnya lebih sulit menjalani hidup. Ibuku terlalu pintar, dia lebih memilih menyiksa dirinya, dibanding membebaskanku.
Suatu hari tetangga menjengukku, aku senang awalnya, karena ibu jadi ada teman mengobrol. Tapi lama-lama, mereka datang bukan untuk menjengukku melainkan hanya untuk menghinaku, menjatuhkanku, memojokkanku dan yang paling parah menuduh ibuku ini dan itu.
Mereka bilang, “Dia kurang iman, jadi seperti itu.” Sudah cukup perkataan itu membuatku hancur, mereka tambahkan lagi dengan kata-kata, “Ini karma dari Tuhan, karena kau sudah berbuat tidak senonoh dengan orang lain,” tuduhnya pada ibuku. Hatiku menjerit, aku hancur mendengar itu. Aku tidak tahan lagi.
“Pergi! Aku tidak butuh kalian!” usirku.
Semenjak itu, aku tidak mengijinkan siapa pun untuk menjengukku, bahkan keluargaku sekalipun.
Hingga suatu masa, ada seorang pria datang ke rumahku. Entah ia tau dari siapa tentang kondisiku. Mereka meminta ijin pada ibuku untuk membawaku pergi bersamanya.
“Neti bisa disembuhkan, Bu. Masa depan Neti masih panjang, jika Ibu mengijinkan pada kami, Neti pasti sembuh, Bu.”
“Tapi Ibu tidak mau melihat Neti tersiksa.”
“Ibu coba lihat, apakah sekarang Neti terlihat tidak tersiksa.”
Ibuku melihatku, seketika berurai air matanya, lalu menggelengkan kepalanya.
“Ibu, Neti jauh lebih tersiksa berada di sini, ijinkan kami membawanya, Bu. Kami pastikan Neti akan jauh lebih bahagia dan sembuh, pulih, bisa seperti dulu lagi,” bujuknya.
Ibuku menatapku sekilas, lalu membuang muka begitu saja dan berkata, “Baiklah, Ibu ijinkan, tapi dengan satu syarat, bawa Ibu juga bersama kalian.”
Pria tadi tersenyum lega, dan langsung menyanggupi syarat yang diminta oleh ibuku. Rantai yang membelengguku hampir dua tahun akhirnya terlepas, aku bisa menggerakkan kakiku meskipun sakit. Pria itu memintaku untuk berdiri, aku mencobanya, tapi aku langsung terjatuh, kakiku rasanya lemah sekali.
Pria itu malah tersenyum melihatku kesusahan, tapi tak begitu lama ia menggendongku tanpa berkata apa pun dan membawaku ke dalam mobil yang ia bawa. Mobil mewah yang sangat bersih, di dalamnya pun tak kalah bersih dan rapi. Aku kira, aku akan dibawa dengan mobil ambulans, ternyata ini di luar dugaanku.
***
Aku tiba di sebuah bangunan megah, bukan, bukan rumah sakit jiwa. Aku tidak dibawa ke rumah sakit, ini jauh lebih baik dan di sini sangat tenang. Pria tadi kembali menggendongku, lalu beberapa orang keluar untuk membantu membawa barang-barang kami.
Aku ditempatkan di sebuah ruangan dengan penuh kehangatan dengan bau harum yang sangat nyaman. Di ruangan ini juga aku dijaga oleh beberapa wanita, sepertinya mereka perawat atau apa pun itu. Aku dibimbing untuk berjalan, mereka juga mengobati pergelangan kakiku, baru kusadari bagian pergelangan kakiku mengecil. Mungkin karena terlalu lama dibelenggu.
Kemudian, kami masuk ke sesi pertama. Pada tahap ini, aku diwawancarai tentang ini dan itu. Aku dipersilakan untuk mendongeng, aku menangis aku meraung, tapi mereka diamkan.
“Neti, boleh menangis, Neti boleh berteriak, silakan, Neti bebas berada di sini.”
Mereka mengamatiku, mencatat sesuatu di buku yang mereka pegang. Air mataku rasanya habis, tenggorokanku sakit, dan aku merasa sangat haus. Perawat yang tadi segera membawakanku secangkir coklat hangat dan beberapa kudapan. Aku buru-buru meraihnya dan memakannya saat itu juga.
Sesi tanya jawab selesai, mereka membawaku untuk merias diri. Aku mandi dan membersihkan seluruh tubuhku, dan mereka memilihkan pakaian paling cantik untukku.
Setelah selesai, aku dibawa lagi ke satu ruangan, ada bantalan duduk di sana. Juga ada seorang wanita yang langsung tersenyum begitu melihatku.
“Selamat datang, Neti, duduklah, kita akan memulainya.”
Aku mendudukkan diri di depan wanita itu.
“Aku Dumi, hari ini aku akan menuntunmu untuk keluar dari semua gelisahmu. Apakah kau keberatan?”
Aku menggelengkan kepalaku, aku setuju saja, aku juga sudah lelah dengan ini semua.
“Baiklah, mulai sekarang hanya dengarkan kata-kataku dan musik yang akan kuputar, oke?”
Aku menganggukkan kepalaku, menyetujui apa yang diminta Dumi.
“Pertama-tama tutup matamu dan buatlah tubuhmu rileks, buat lebih santai lagi dan lebih nyaman lagi, kemudian tarik napas dalam-dalam melalui hidung, dan buang melalui mulut.”
Aku mengikuti semua instruksinya, aku hanya mendengarkan suaranya dan alunan musik yang memenangkan.
“Sekarang, kamu bayangkan semua yang membuatmu lelah, semua yang membuatmu takut, semua yang membuatmu sulit, dan semua yang membuatmu marah.”
Secara ajaib, aku membayangkan semua kekesalanku, semua rasa marahku, semuanya, dan aku mulai menangis dan meraung lagi.
“Keluarkan saja semuanya, dan bayangkan semuanya secara nyata, bayangkan semua kejadian saat itu ada di depanmu.”
Aku melihat mereka yang memakiku, aku melihat kejadian yang ingin aku lupakan. Aku melihat bagaimana dia tertabrak karena ulahnya sendiri, aku melihat semua orang mulai menuduhku. Aku melihatnya, dan itu semakin membuatku sesak dan sakit.
Dumi membawaku keluar dari bayangan sulit itu, Dumi mengajakku untuk memaafkan apa pun yang terjadi di masa lalu dan Dumi menggandeng tanganku untuk melepaskan diri dari keterpurukan masa lalu.
“Neti, ini bukan salahmu.” Aku semakin menjerit, baru kali ini ada yang mengatakan kalimat itu padaku. “Itu semua adalah takdir, Neti. Itu semua terjadi di masa lalu, sekarang ikut aku Neti, ikut aku untuk menuju pintu yang lain. Lihat, di sana, ada cahaya yang siap membawamu ke tempat yang lebih membahagiakan.” Aku mengikuti cahaya itu. “Sebelum itu, lihatlah ke belakang, Neti. Ucapkan, terima kasih pada mereka, ucapkan terima kasih untuk semua pelajaran yang mereka berikan pada hidupmu, ucapkan selamat tinggal, ucapkan kau sudah memaafkan semuanya, Neti. Dan ucapkan, kau akan bahagia di luar sana, dan kau sudah memaafkan dirimu sendiri.”
Aku mengikuti semuanya, ada perasaan lega di hatiku, bebanku serasa diangkat. Rasanya hatiku penuh kembali, perjalanan menuju cahaya itu benar-benar mudah dan nyaman.
“Selamat Neti, sekarang kau sudah keluar dari masa lalumu.”
Aku membuka mataku, rasanya semua lelahku melebur, semua marahku meluruh, dan semua sakitku membaik.
Aku tersenyum, aku tersenyum untuk pertama kalinya, astaga aku senang sekali. Ya Tuhan, aku bahagia.
Dan sesi ini berlangsung selama dua bulan, kondisiku sudah semakin membaik dan ibuku juga sudah mulai pulih dan menerima dirinya sendiri. Akhirnya, aku bisa merasakan hidupku kembali, aku bisa berdamai dengan masa itu. Dan aku bisa kembali dengan hidupku yang baik.
***
Setelah aku pulih, aku tidak kembali ke rumahku. Aku memilih untuk tinggal jauh bersama ibuku, lingkungan di sini lebih nyaman dibanding tempat tinggalku dulu. Kami menjual rumah dan akhirnya bisa membeli satu unit apartemen yang tidak jauh dari gedung mewah itu.
Aku bisa bekerja, aku pulih, dan sembuh. Aku bisa memaafkan hidupku dan meraih impianku, masa sulit itu aku lewati.
Dari 2005, baru kali ini aku merasakan indahnya pemandangan dan hidupku. Omong-omong, aku sekarang bekerja sebagai tim rekrutmen di salah satu perusahaan yang direkomendasikan oleh pria yang menolongku waktu itu.
“Saya tidak bisa bekerja di bawah tekanan, Bu. Saya Bipolar,” ujar calon pegawai padaku.
Aku tersentak dan bingung. “Bi-bipolar?”
“Iya, jadi saya pilih kerja yang tidak berat, Bu.”
“Apa saran dari doktermu? Apa bekerja seperti ini tidak akan mengganggu?”
“Saya tidak pergi ke dokter, Bu. Buat apa? Semua gejala yang di tulis di Google dan aplikasi, mengindikasikan jika saya mengidap bipolar, saya tidak perlu ke dokter.” Dia menunjukkan ponselnya padaku. “Ini, saya bahkan sudah bagikan di media sosial saya, yang saya sematkan itu hasil dari tes aplikasi. Saya bipolar, dan tidak boleh tertekan sedikit saja.”
Aku terkejut mendengar penuturan salah satu calon pegawai ini, air mataku berlinang, tapi tak sampai terjatuh, aku bingung dengan situasi ini. Kenapa mereka dengan mudahnya memvonis diri seperti ini.
“Apa sebaiknya diperiksakan ke dokter dulu?”
“Tidak perlu, semua teman saya juga sudah tau, mereka memaklumi, dan mereka mendukung saya.”
“Bagaimana jika ini sebuah kesalahan, kita tidak bisa menjatuhkan vonis pada diri kita sendiri. Apalagi masalah kesehatan mental, alangkah lebih baiknya dikonsultasikan pada yang lebih ahli.”
“Wah, Ibu ini bagaimana? Aplikasi sudah bilang jika saya bipolar, kenapa tidak percaya? Ibu ini bodoh apa bagaimana?!” Dia menutup mulutnya seketika. “Oh, maafkan saya, Bu. Saya susah mengontrol emosi, saya bipolar.”
Astaga, aku tidak bisa seperti ini, aku wajib meragukan ini, bukan? Aku tidak terima, maafkan aku bila harus melibatkan perasaan. Tapi, tidak semudah itu mendiagnosis kesehatan mental kita. Astaga, aku bingung, aku marah.
“Untuk sekarang, silakan pulang dulu, nanti kami kabari.”
“Ah, baiklah, Bu. Ingat ya, Bu, saya bipolar, tidak bisa bekerja di bawah tekanan.”
Sepeninggalnya, aku buru-buru mencari informasi di mesin pencarian, dan benar saja semua tentang kesehatan mental dan kondisi kesehatan yang lainnya tersaji di sana. Ilmu seperti ini memang baik untuk dibagikan agar mereka lebih peduli terhadap kesehatan mental, tapi ini juga menjadi bumerang, dan bisa disalahgunakan seperti yang baru saja kualami.
Setelah itu, aku membuka platform yang menyediakan aplikasi yang bisa kita unduh. Dan betapa terkejutnya aku, aplikasi deteksi kesehatan mental bertebaran dan banyak yang mengunduhnya, tak sampai di sana, aku juga membuka media sosial yang lainnya. Dan, lebih miris lagi, mereka dengan bangga mengakui bahwa mereka mengalami gangguan mental, dan mereka mendapat dukungan dari orang banyak. Mereka merefleksikan diri dengan apa yang mereka dapatkan dari tes sebuah aplikasi. Aku marah, aku sedih, dan aku mulai menangis.
“Honey! Kenapa menangis? Ada apa?”
Aku menatapnya. “Aku ... aku tidak terima!”
“Hey, hey ada apa?” Dia memelukku.
“Mereka, mereka berbeda, mereka merdeka. Aku tidak terima, aku dulu dibelenggu, dikurung, dihina, dicaci maki, diasingkan. Tapi, mereka ... mereka mendapat dukungan, aku tidak terima, aku marah.”
“Sudah, sudah ... Honey, dengarkan aku baik-baik, mereka memang berbeda, tapi mereka belum selesai dengan dirinya sendiri. Tapi, kau, kau sudah selesai, kau jauh merdeka dibanding mereka, kau lebih kuat dibanding mereka. Biarkanlah, zaman sudah berkembang.”
“Justru karena zaman sudah berkembang harusnya mereka lebih peduli, bukan malah menjadikan isu kesehatan mental menjadi tameng, untuk menjatuhkan yang lain dengan dalih kesehatan mental mereka. Aku dulu kesulitan, aku dulu harus dibawa ke sini untuk bisa lebih hidup, mereka ... mereka ….”
“Aku mengerti, Neti, dan memang sudah berbahaya, tapi Neti, kau bisa menjadi pelopor untuk isu ini, kau bisa memberikan penyuluhan pada mereka, dan membuat mereka lebih peduli lagi pada kesehatan mereka. Kau bisa menjadi tombak, untuk merubah sistem ini, Neti. Kau bisa, jadi mari kita berjuang untuk melawan self-diagnosed yang sedang trend ini. Mari kita hancurkan benteng ego dari diri mereka. Neti, kita bisa berubah, dan zaman tak seharusnya membuat manusia lebih rendah, malah sebaliknya, zaman harus dibuat lebih baik mulai dari kita, Neti. Jadi, ayo semangat lagi, jangan seperti ini.”
Aku lebih tenang, aku tersadar, zaman memang berubah, tapi sepertinya pikiran orang-orang terlalu liar, dan lebih mempercayai sebuah tes aplikasi dibandingkan memeriksakan diri ke dokter, itu tindakan yang ilegal dan awal dari kemunduran zaman.
Setelah hari itu, aku memutuskan untuk ikut penyuluhan dengan Dumi, dan aku menjadi pembicara utama.
Aku senang banyak orang yang akhirnya menyadari kesalahan mereka, dan sebagian dari mereka tidak ada gejala apa pun, dan mereka baik-baik saja, tidak seperti yang dilaporkan aplikasi-aplikasi itu.
Aku memang senang dengan kemajuan zaman yang semakin canggih ini, tapi sepertinya mereka perlu untuk meneliti kemungkinan terburuk dari aplikasi-aplikasi seperti itu, termasuk aplikasi konsultasi dengan dokter umum sekalipun, karena yang paling benar adalah memeriksakan diri, tidak cukup hanya dengan konsultasi via pesan singkat, maupun panggilan video.
Kita perlu bertemu dengan dokter, diperiksa, dan hanya dokter yang akan menjatuhkan diagnosa melalui serangkaian tes, bukankah seperti itu lebih mudah? Dibanding kita harus merasa tersiksa sendirian tanpa hal yang pasti.
“Kau hebat, Neti.”
“Terima kasih, Dumi, ini semua berkat pertolonganmu, dan aku juga peduli dengan masa depan bangsa kita.”
“Itu bagus, omong-omong, kapan jadwal persalinannya?”
“Minggu depan,” jawabku, antusias.
“Dia datang Neti.”
“Sepertinya dia akan membawaku pergi, seperti waktu itu, Dumi.”
“Ah, aku tidak menyangka Ryan masih ingat denganmu, padahal kalian bertemu hanya satu kali.”
“Aku juga tidak menyangka, dia mengakui semuanya waktu itu, dan dia mendengar kabar tentangku, akhirnya aku bisa terbebas dari belenggu itu dan bonusnya, aku dinikahi olehnya. Alam semesta memang adil, bukan?”
“Kau benar.”
“Honey, ayo kita pulang.”
“Baiklah.”
Aku sudah memaafkan diriku yang dulu, aku sudah menerima kehidupanku dan aku memilih untuk bahagia di kehidupan sekarang yang sedang kujalani. Aku memilih untuk tidak takut dengan pandangan orang lain lagi, aku memilih bahagia, dan hidup bersamanya.
Sebenarnya kemajuan zaman memudahkanku, tapi dengan trend self-diagnosed, aku keberatan, sehingga aku akan terus melakukan penyuluhan agar mereka lebih peduli lagi, dan tidak hanya menggantungkan harapan pada sebuah aplikasi.
Aku berharap, tentang kesehatan mental ini menjadi kurikulum untuk anak sekolah, agar mereka lebih paham lagi tentang kesehatan mental, dan lebih mengenal diri mereka sendiri. Aku percaya, generasi sekarang ini, kehidupannya akan lebih bahagia, jika mereka tidak terlalu memikirkan hal-hal yang tidak perlu.
Aku hanya ingin melihat mereka atas diri mereka sendiri, tidak perlulah mereka mencerna omongan orang lain yang kadang membuat kita jatuh, sejatuh-jatuhnya. Kalian itu hebat, bahagia selalu dan percayalah pada diri kalian sendiri, alam semesta tidak diam, berbahagialah dan ucapkan ini dengan lantang, “Aku manusia paling bahagia, dan alam semesta merestui itu, alam semesta memberikan hal baik kepadaku, dan aku siap menerima semua itu.”
Kalian hebat! Tolong hanya dengar kata-kata itu saja.
END