Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Di dalam gubuk kecil di tengah sawah ini hampir setiap hari Rima duduk diam mengamati kereta api yang lewat di kejauhan. Gubuk ini selalu menjadi tempat favoritnya untuk menyendiri. Rima tak pernah bosan mengamati kereta api itu bergegas menuju Jakarta. Dulu, Rima pernah punya mimpi untuk hidup di Jakarta. Mimpi yang ia bangun bersama Firman, pemuda desa tempat ia tinggal, yang juga kekasihnya. Firman merantau ke Jakarta selepas SMA, hampir sepuluh tahun yang lalu. Dan berjanji hendak menikahi Rima jika ia sudah hidup mapan di kota metropolitan itu. Namun, janji tinggallah janji. Firman jatuh hati pada rekan kerja wanitanya, dan kemudian menikahinya. Meninggalkan Rima dengan luka hati yang menganga dan tak kunjung sembuh hingga hari ini, dua tahun setelah kejadian itu.
Rima menghela nafas pelan. Lalu mengalihkan pandangannya perlahan ke arah Pak Syarif, pemilik sawah yang gubuknya kerap ia singgahi, yang sedang asyik menghalau burung-burung kecil yang hendak memakan biji-biji padinya. "Sebentar lagi panen ya, pak?" Rima asal saja mencomot topik pembicaraan. "Iya, nduk. Bakalan panen raya sepertinya." Pak Syarif menjawab sambil masih sibuk menghalau burung-burung yang semakin bersemangat mengincar biji-biji padi yang ranum. Rima hanya tersenyum tipis. Pak Syarif perlahan mendekati Rima dan duduk di sampingnya. "Setelah panen nanti, bapak mau mengunjungi Ahmad. Istrinya sudah mau melahirkan." Mata Rima membulat. Ahmad, teman bermainnya sejak kecil yang merantau ke Jakarta dan menikah setahun lalu, ternyata sudah akan menjadi seorang ayah. "Wah, selamat ya, pak. Titip salam untuk Ahmad dan istrinya." Pak Syarif mengangguk sambil tersenyum.
Banyak anak muda desa ini yang memilih merantau ke Jakarta. Namun tidak semuanya menuai sukses seperti halnya Firman dan Ahmad. Sebut saja Bondan, Anjar, Seto, dan Lina yang harus bekerja keras untuk bertahan hidup di Jakarta. Karena untuk kembali ke desa pun mereka enggan. Gengsi katanya. Bahkan Tami, sahabat Rima, juga menjadi korban kerasnya kehidupan ibukota. Ia tanpa malu kembali ke desa membawa bayi mungil yang tampan, hasil hubungan gelapnya dengan seorang konglomerat. Tami memilih kembali ke desa dan membesarkan bayinya yang kini berusia satu tahun, sambil membuka salon kecil yang ia juluki sebagai tempat paling modern di desa ini.
"Kemarin si Hendra anaknya Bu Lastri datang dari Jakarta. Katanya mau bikin usaha di sini," Tami membuka topik pembicaraan ketika Rima dan Laila datang ke salonnya. Salon kecil itu kadang menjadi tempat berkumpul mereka bertiga. "Usaha apa?" tanya Laila. Di antara mereka bertiga, bisa dibilang Laila yang paling lurus dan mulus kehidupannya. Memutuskan untuk menetap di desa, menikah dengan teman dari kakak laki-lakinya, hidup bahagia bersama suami dan kedua anaknya sambil menjalani kehidupan sebagai petani, menggarap sawah peninggalan orang tua. "Aaaah, nggak penting itu..." Tami menjawab sambil mengibaskan tangannya. "Nggak penting gimana?" Laila kebingungan mendengar jawaban Tami. Rima tertawa kecil. "Yang penting itu, dia datang sama temen cowoknya," jelas Tami bersemangat. "Oooh..." Laila akhirnya paham kemana arah pembicaraan ini. Tami yang centil memang tidak pernah bisa jauh dari pembicaraan masalah laki-laki. "Ganteeeng..." Tami mengamati bayangan wajahnya di cermin sambil memilin-milin rambutnya yang dicat cokelat. "Terus kenapa, Tam? Mau cari bapak buat anakmu?" goda Rima. "Yaaa...siapa tahu..." jawab Tami sambil masih terus memandangi bayangan wajahnya di cermin. Rima dan Laila saling melemparkan senyum tipis. Sudah hafal dengan tabiat sahabat mereka yang satu ini.
"Permisi, mbak." Rima terkesiap kaget. Suara pembeli itu asing di telinganya. Bergegas Rima meninggalkan pekerjaannya menghitung barang-barang dagangan warung yang baru saja ia beli dari toko grosir di pasar. "Beli sabun dan odolnya ya," ujar pembeli asing itu yang ternyata adalah seorang pemuda tampan. "Iya, boleh. Sebentar ya, mas. Mau berapa?" tanya Rima sopan. "Satu sabun dan satu odol saja, mbak." jawab si pemuda. Ia mengangguk, lalu menyiapkan pesanan pemuda itu. "Sabunnya lima ribu. Odol juga lima ribu. Jadi semua sepuluh ribu," ujar Rima. Si pemuda menyerahkan uangnya pada Rima. Tiba-tiba saja Rima dikagetkan dengan ibunya yang sudah berdiri di sampingnya. "Eeeeh, ini Galang ya? Temannya Hendra?" sapa ibu Rima ramah. Rima menyikut ibunya pelan, tapi ibunya mengabaikannya. "Iya, bu. Saya Galang," jawab pemuda itu sopan. "Saya Bu Nurul. Ini anak saya Rima. Semoga betah ya di sini," ibu Rima memperkenalkan diri. Galang mengangguk pelan. "Iya, bu. Terima kasih. Saya permisi dulu." Setelah pemuda itu berlalu, Rima memprotes ibunya. "Bu, kok ramah banget sih? Malu ah." Bu Nurul menatap Rima tajam. "Siapa tahu jodohmu." Lalu meninggalkan warung dan kembali ke kesibukannya menimbang gula pasir yang hendak dijual di warung.
"Rima! Lagi ngapain di situ?" teriak Hendra ketika sore itu melihat Rima duduk di gubuk Pak Syarif. Rima menoleh lalu tersenyum. "Bantuin Pak Syarif ngusir burung, Ndra." Hendra tertawa mendengar jawaban Rima. Di belakangnya tampak Galang memperhatikan Rima dalam diam. Hendra berjalan menyusuri pematang sawah menuju gubuk tempat Rima duduk. Galang mengikuti di belakangnya. "Enak ya ternyata di sini. Sejuk. Seger," ujar Hendra sambil duduk di samping Rima. "Lupa ya rasanya tinggal di desa?" ledek Rima. Hendra kembali tertawa. "Eh, Rim kenalin ini temenku Galang," Hendra memperkenalkan Galang yang sejak tadi hanya mengikuti Hendra sambil membisu. Galang mengangguk, "Udah kenal, Ndra." Hendra bingung. "Beli sabun di warung tempo hari," jelas Rima sambil tersipu. "Terus?" tanya Hendra penasaran. "Ya nggak ada," jawab Rima. Galang tiba-tiba tertawa melihat kebingungan di wajah Hendra. "Kamu ngapain balik ke desa, Ndra? Kota udah nggak menarik lagi?" tanya Rima mengalihkan pembicaraan. "Hmmm...gini, Rim. Capek hidup di kota itu. Semuanya serba cepat. Aku nggak bisa menikmati. Orientasi hidupku jadi cuma uang dan uang. Karena butuh banyak uang untuk bertahan hidup di sana," jelas Hendra. Rima mengangguk pelan. "Aku kembali ke desa ini mau bikin usaha untuk distribusi hasil panen warga desa biar nggak dibohongi sama tengkulak terus, Rim. Nah, Galang ini investornya. Konglomerat dia ini," cerita Hendra panjang lebar. Galang tertawa terbahak-bahak, "Diaminin aja ya biar beneran jadi konglomerat." Rima hanya diam memperhatikan Galang. Ada yang lain pada pemuda ini yang membuat Rima tidak bisa mengalihkan pandangan darinya. Apa karena caranya tertawa membuat Rima terpesona? Seperti Firman dulu? Rima menggelengkan kepalanya, menepis bayangan Firman dari benaknya. "Kenapa, Rim?" tanya Hendra. "Lebah," jawab Rima asal.
Setelah pertemuan di gubuk Pak Syarif sore itu, Rima semakin sering bertemu dengan Galang. Entah karena pemuda itu berbelanja di warungnya atau karena ibunya menyuruhnya mengantar sesuatu untuk Bu Lastri, ibunya Hendra. Seperti siang ini, ibu memasak buntil daun pepaya cukup banyak dan meminta Rima mengantar sebagian ke rumah Hendra. "Biar buat makan Hendra sama Galang," ujar Bu Nurul. Rima heran dengan kelakuan ibunya. "Baik banget sih ibu. Perhatian sama Hendra dan Galang. Padahal Bu Lastri juga mestinya masak buat mereka lho, bu." Bu Nurul menyanggah ucapan Rima, "Lha mereka itu punya niat baik buat membantu petani-petani di sini. Harus kita dukung to, nduk. Bisanya mendukung dengan kirim makanan gini nggak papa kan?" Rima menghela nafas. "Terserah ibu deh." Ibunya tertawa puas. "Udah, anterin sana. Keburu waktunya mereka makan."
Rima berjalan ke arah rumah Hendra yang letaknya tidak jauh dari rumahnya. Sepi. Rima mengetuk pintu pelan. Beberapa kali, tidak ada jawaban. "Pada pergi, Rim." Rima terlonjak kaget karena ada suara Galang di belakangnya. "Eh, maaf nggak bermaksud bikin kaget," Galang tertawa kecil. "Pak Ali dan Bu Lastri masih di sawah. Hendra baru ke pasar, ini aku baru balik dari gudang mau ambil sesuatu," lanjut Galang. Rima salah tingkah, "Iya nggak apa-apa. Ini ada kiriman dari ibuku untuk Bu Lastri. Titip ya." Galang menerima bungkusan buntil daun pepaya yang disodorkan Rima. "Apa ini?Wangi banget baunya. Ibumu pintar masak ya," puji Galang. Rima mengangguk. "Kamu kenapa, Rim? Kok nggak banyak bicara?" tanya Galang. Rima memandang Galang. "Akuu...mmm...iya..mmm..nggak papa," jawab Rima gugup. Jantungnya berdebar kencang. Galang tersenyum. "Aku permisi dulu ya, Lang. Udah siang," pamit Rima. "Oke, sampaikan terima kasih buat Bu Nurul ya. Salam dari Galang," ujar Galang. Rima mengangguk dan setengah berlari menuju rumahnya. Galang memperhatikan gadis itu sambil tersenyum simpul.
Rima mengurungkan niat untuk pulang. Ia berlari ke salon milik Tami. Ada Laila yang sedang menyuapi anak bungsunya di depan salon. Laila memandangi Rima dengan wajah penuh tanda tanya. "Heeeiii...kenapa kamu, Rim?" tanya Laila. Rima terengah-engah. "Dikejar siapa? Tukang tagih hutang? Bukannya kamu nggak punya hutang, Rim?" Laila memberondong Rima dengan pertanyaan. Rima mengangkat tangannya meminta Laila berhenti bicara. Ia mengatur nafas. "Aku deg-degan, La," ujar Rima. Laila mengernyitkan dahi. "Lha iya kenapa?" tanyanya. "Galang," jawab Rima singkat. Tawa Laila pecah. "Taaaam...Tamiiii...Taaam....Siniii," teriak Laila memanggil Tami. Dari dalam salon, Tami yang sedang melayani pelanggan datang tergopoh-gopoh. "Apa sih? Teriak-teriak aja. Baru motong rambut ini," protes Tami. "Ya udah terusin dulu," jawab Laila masih sambil tertawa.
"Jadi, kamu deg-degan karena terpesona sama senyumnya Galang? Terus kamu jadi inget Firman? Oalah Riiiimaaa...Kapan sih si brengsek itu pergi dari pikiranmu? Kayaknya semua laki-laki bakalan kamu bilang mirip sama Firman deh. Duuuh, Rimaaa...Jauuuhh. Galang lebih ganteng daripada Firman, Rim. Buka mata dooong," Laila dengan gemas menanggapi cerita Rima, setelah mereka duduk bertiga di salon Tami yang sudah sepi. "Terus kita harus saingan gitu, Rim? Berebut cintanya Galang?" Tami bertanya ketus, menggoda Rima. "Tunggu duluuu...Gimana kalau ternyata Galang punya pacar di kota? Hayooo..." Laila yang ceplas-ceplos dan lucu melemparkan kemungkinan yang membuat tenggorokan Rima tercekat. Rima mengibaskan tangannya. "Udahlah, nggak usah ditanggapi serius. Ini kan cuma karena aku inget Firman aja," tukas Rima. "Firman udah nyakitin kamu lho, Rim. Masiiiih aja diinget. Buang-buang waktu," omel Laila lagi. Rima menunduk sedih. Tami merangkul bahu sahabatnya itu. "Jangan gitu, La. Kasihan Rima," bela Tami. Laila merengut, "Aku kesal sama yang namanya Firman. Aku nggak rela Rima jadi begini." Laila ikut merangkul bahu Rima. "Kalau mau suka sama Galang boleh kok, Rim. Tapi jangan jadikan dia bayang-bayang Firman." Laila menasehati Rima. "Dan pastikan dia jomblo," tambah Tami yang membuat mereka bertiga terbahak-bahak.
Panen raya selesai. Hasil bumi melimpah ruah. Para petani terlihat begitu bahagia. Seperti biasa, usai panen diadakan acara syukuran yang melibatkan semua warga desa. Masing-masing warga membawa masakan dari rumah yang kemudian dikumpulkan di balai desa. Doa bersama sebagai wujud rasa syukur kepada Tuhan dipimpin oleh Pak Kyai Ghofar, kemudian dilanjutkan dengan menyantap makan siang bersama. Sederhana tapi khidmat. Suasana yang tidak mungkin ditemukan di sudut kota besar manapun. Rima duduk menjauhi kerumunan sambil mengamati wajah-wajah bahagia warga desa. Ada ibunya dan Bu Lastri yang sedang sibuk mengambilkan makanan untuk para warga desa. Ada Pak Syarif yang bersemangat menceritakan rencana perjalanannya mengunjungi Ahmad di Jakarta pada beberapa warga yang duduk bergerombol dengan beliau. Ada Laila yang sedang sibuk membujuk anak sulungnya untuk makan, ada juga Tami yang sedang berusaha menikmati makanan sambil menjauhkan piringnya dari jangkauan anak di gendongannya. Rima tertawa kecil melihat adegan itu. Walaupun centil, tapi Tami memang cuek dan tanpa beban. Baginya, hidup terasa ringan saja meskipun masalah yang dihadapinya begitu besar. "Ngetawain apa, Rim?" Rima dikejutkan suara Galang yang tiba-tiba sudah duduk di sampingnya. Galang tertawa melihat Rima terkejut. "Kamu kagetan banget ya?" celetuk Galang. Rima meringis. Jantungnya kembali berdebar kencang. "Itu, ngetawain Tami. Mau makan tapi digangguin sama anaknya terus," jelas Rima. Galang ikut melihat ke arah Tami dan tersenyum lebar. "Seru banget acaranya. Sederhana tapi nggak tahu kenapa aku menikmati," ujar Galang. "Ya beginilah hidup di desa. Masih guyub rukun warganya. Suka bikin acara. Walaupun ada juga sih dramanya. Tetap aja ada warga yang suka julid. Suka gosip," jelas Rima. "Masa sih? Kok aku belum pernah ketemu yang kayak gitu ya?" tanya Galang penasaran. "Karena semua suka sama kamu, Lang. Kamu orang kota, dan orang kota selalu dipuja di sini," jawab Rima. "Coba, siapa sih yang suka julid? Tunjukin dong, biar aku waspada," pinta Galang. Rima tertawa kecil. "Serius?" ia balik bertanya. Galang mengangguk sambil tersenyum. Senyum yang mengingatkan Rima pada Firman. Rima memalingkan muka. "Itu, Bu Margono sukanya ngomongin orang, beda di depan sama di belakang. Yang itu Mbak Nur, bisa tiba-tiba berubah jadi jutek kalau ada tetangganya pakai barang baru, yang itu Bu Roro, lidahnya tajam dan suka pamer perhiasan, dijulukinya Raden Roro...." Rima menghentikan kalimatnya lalu menatap Galang. "Lang, kamu dengerin nggak sih?" tanya Rima. "Eh, iya...gimana? Bu Margono, Mbak Nur....terus siapa lagi?" Galang salah tingkah. Rima menunduk, perasaannya makin tidak karuan karena baru saja mendapati Galang menatap wajahnya begitu dalam.
Sore itu Rima duduk sendirian di gubuk Pak Syarif. Kali ini tidak ada Pak Syarif, karena beliau sedang mengunjungi Ahmad di Jakarta. Rima membaca buku yang baru dipinjamnya dari perpustakaan desa. Suara kereta terdengar mendekat. Rima mengangkat wajah dari buku yang sedang dibacanya, menatap kereta itu sejenak lalu kembali tenggelam dalam keasyikannya membaca. Tiba-tiba terdengar suara anak-anak yang sedang bermain layang-layang. Sawah yang belum ditanami kembali menjadi arena bermain yang sangat menyenangkan bagi mereka. Lalu, Rima melihat sosok itu. Galang. Asyik bermain layang-layang bersama anak-anak. Galang melihat Rima lalu melambaikan tangannya. Begitu ringan. Santai. Membuat Rima canggung. Tiba-tiba Galang berlari mendekat ke gubuk tempat Rima duduk. Rima panik. Tapi tidak sempat berbuat apa-apa. "Hai, Rima. Sendirian? Pak Syarif kemana?" sapa Galang. Rima mengangguk. "Pak Syarif ke Jakarta," jawab Rima. "Boleeeh...duduk di sini?" tanya Galang sopan. Rima kembali mengangguk. "Baca buku apa?" tanya Galang. "Ini, pinjam di perpustakaan desa," jawab Rima sambil menunjukkan buku yang baru dibacanya. "Aku tahu banyak cerita tentang kamu," ujar Galang tiba-tiba. Mata Rima membulat. Alisnya terangkat. Kepanikan tampak jelas di wajahnya. Galang tertawa. "Kok gitu sih? Kenapa?" goda Galang. Rima menggelengkan kepalanya kuat-kuat. "Dari Hendra. Pantesan dia bilang kamu pintar. Juara kelas. Sukanya baca buku-buku tebal begini ternyata. Berat lagi topiknya. Kenapa nggak lanjut kuliah, Rim?" tanya Galang pelan sambil memegang buku yang dibaca Rima. Rima tersenyum, "Nggak semua orang seberuntung Hendra yang bisa kuliah, Lang. Faktor biaya, apalagi. Banyak anak muda di sini yang akhirnya memilih merantau dan bekerja selepas SMA. Karena cuma itu pilihannya. Yang memutuskan tinggal ya meneruskan menggarap sawah orang tuanya," jawab Rima panjang. Galang mengangguk-angguk. "Sawah orang tuamu yang mana?" tanya Galang lagi. "Habis dijual. Buat bayar hutang," jawab Rima. "Hutang? Siapa?" Galang kembali bertanya. Rima menatap Galang. Pemuda itu menyadari ada yang tidak beres, "Maaf, Rim kalau pertanyaanku lancang." Rima menggeleng. "Buat bayar hutang bapakku ke rentenir. Hutangnya lunas, bapak malah pergi ninggalin aku sama ibu. Nikah lagi sama perempuan lain. Dan nggak pernah ada kabarnya sampai sekarang." Galang berusaha menyembunyikan rasa terkejutnya mendengar penuturan Rima. Diam-diam ditatapnya gadis itu dan ia bisa melihat gurat kekecewaan di matanya. Yang ia tahu dari Hendra hanyalah cerita tentang Rima dan Firman, dan betapa terpukulnya Rima setelah ditinggalkan oleh Firman. Ia tidak tahu bahwa Rima pun ditinggalkan oleh ayah kandungnya demi wanita lain. "Hidup emang banyak kejutannya ya, Rim. Dan kadang jauh banget dari harapan kita," ujar Galang bersimpati. Rima mengangguk. "Iya. Apalagi hidupku. Udah ditinggal bapak pergi, habis itu masih dikhianati laki-laki yang aku cintai." Rima berbicara sambil menerawang. Semilir angin meniup rambut panjangnya hingga Galang bisa membaui wangi rambut gadis itu. "Itu ngapain ya sore-sore berduaan di gubuk tengah sawah?" teriakan Mbak Nur membuat Rima dan Galang spontan menoleh. "Kalau berduaan, yang ketiga siapa??? Setaaan..." Mbak Nur masih berteriak. Wanita itu sedang memanggil anaknya yang masih asyik bermain layang-layang untuk pulang ketika tidak sengaja melihat Rima dan Galang mengobrol berdua di gubuk Pak Syarif. "Nggak berduaan kok, bu. Berbanyak ini. Tuuuh, ada anak-anak pada main layang-layang di situ," sanggah Galang. Mbak Nur merengut sambil mendelik menatap Galang. "Rimaaa...aku aduin ke ibumu ya!" ancam Mbak Nur. Rima tertawa. Galang ikut tertawa sambil menatap Rima. Wajah cantiknya tampak semakin cantik jika ia sedang tertawa.
Sejak sore itu, Rima merasa lebih dekat dengan Galang. Caranya memperlakukan Rima membuat ia merasa kembali hidup. Empatinya pada cerita hidup Rima membuatnya tidak lagi merasa dunia membelenggunya dalam kenangan sosok Firman. Galang sering mengajaknya bermain layang-layang bersama di sawah, menemaninya ke perpustakaan desa, bahkan ia pun tidak segan mengantar Rima membeli kebutuhan warung di pasar. Galang juga sering meminta Rima menemaninya bekerja di gudang tempat usahanya bersama Hendra. Terkadang jika sudah senggang, mereka duduk berdua di warung makan dekat pasar untuk sekedar mengobrol sambil menikmati segelas es teh, seperti saat ini. "Aku anak kota, Rim. Nggak pernah tinggal di desa. Orang tuaku orang berada. Mereka awalnya nggak setuju aku tinggal di sini bersama Hendra. Mereka maunya aku tetap kerja di kota, terus bekerja sebagai arsitek sesuai background pendidikanku. Tapi hidup di kota sumpek rasanya. Sampai aku diajak Hendra ke sini. Aku dan Hendra dulu kerja di gedung yang sama. Sering saling sapa, ketemu di kantin gedung, sampai akhirnya jadi dekat karena cara berpikir kami dan cara kami memandang hidup ternyata sama," cerita Galang pada Rima tentang kehidupannya dulu. Rima mendengar cerita Galang dengan seksama. "Kok diem?" Galang bertanya. Rima tersenyum, "Nggak papa..." Galang melihat sekelebat ekspresi sedih di wajah Rima. "Kenapa?" Galang bertanya lagi. Rima mendesah pelan. "Aku justru kepingin hidup di kota, Lang. Tapi desa ini rasanya membelenggu aku. Nggak pernah ngijinin aku pergi. Ada aja masalah yang menahanku." Rima akhirnya bertutur pelan. Galang menatap Rima lekat-lekat. Rima mengaduk es teh di hadapannya dengan sedotan. "Sampai akhirnya aku pasrah. Ketika dikhianati Firman, impianku juga hancur. Aku takut." Rima melanjutkan. "Aku bantu ibu mengurus warung kelontongnya sambil nyembuhin luka-luka hatiku. Banyak yang mencibir sih. Apalagi aku belum nikah sampai sekarang. Padahal temen-temen sebayaku rata-rata udah nikah dan punya anak." Entah kenapa Rima begitu lancar bercerita pada Galang. "Terus setiap sore di gubuk Pak Syarif? Ngapain, Rim?" tanya Galang. "Ngelihatin kereta ke Jakarta," jawab Rima polos. Galang seketika tertawa terbahak-bahak sampai es teh yang sedang diminumnya menyembur keluar. Rima menutupi wajahnya dengan kedua tangan. Malu. "Rim...tolong lah. Masa gitu amat sih," ucap Galang sambil menyeka mulutnya dengan tisu. Sisa tawa masih menggantung di wajahnya. Rima merengut. Tapi hatinya hangat. Walaupun jantungnya tetap berdebar kencang seperti biasa jika ia sedang bersama Galang. Semakin mengenal Galang, semakin Rima sadar bahwa pribadi pemuda itu jauh lebih baik daripada Firman. Dan membuka hati untuk Galang bukan berarti menjadikan pemuda itu sebagai pelampiasan rasa patah hatinya, melainkan sebagai awal lembaran hidup baru. Meskipun tidak dapat dipungkiri, Rima sangat takut untuk melangkah.
Rima turun dari boncengan motor Galang dan mendapati ibunya sedang gelisah di depan rumah. "Kamu dari mana aja siiih???" tanya Bu Nurul sambil menarik tangan Rima. "Dari warung sama Galang. Minum es teh," jawab Rima bingung. Galang yang sejak tadi berdiri di samping motornya pun ikut bingung dengan sikap Bu Nurul. Ibu Rima itu biasanya selalu ramah jika Galang datang. "Kenapa, bu?" tanya Rima. Bu Nurul melirik Galang, "Ada yang nyariin kamu," jawab Bu Nurul setengah berbisik. Namun cukup keras untuk didengar oleh Galang. Rima mengernyitkan dahinya. "Nyariin aku? Siapa?" Rima balik bertanya. Bu Nurul meremas tangannya. "Firman." Deg, jantung Rima seolah berhenti berdetak. Tenggorokannya tercekat. "Firman...???" bisik Rima pelan. "Dia ada di sini? Mau apa, bu?" tanya Rima. Bu Nurul hanya menggeleng. Lalu menyadari bahwa Galang sedari tadi masih berdiri di situ, mendengarkan percakapan mereka dengan ekspresi wajah yang sulit ditebak. "Terima kasih ya, Galang. Rima sudah diantar pulang," ucap Bu Nurul. Galang mengangguk. "Iya bu, sama-sama. Saya pamit ya, bu." Galang menengok ke arah Rima. "Aku pulang dulu, Rim." Rima mengangguk pelan, "Terima kasih, Lang." Rima mengantar Galang menuju motornya dan memperhatikan pemuda itu menjauh, dengan hati dan pikiran yang kalut dipenuhi pertanyaan akan kemunculan Firman.
"Ibu itu seneng kamu dekat sama Galang. Akhirnya kamu bisa melupakan Firman. Nggak jadi omongan orang lagi, dibilang perempuan aneh," Bu Nurul berkata sambil menatap Rima yang duduk di seberangnya di meja makan rumah mereka. Rima memainkan tangannya. Gelisah. "Bu, nggak usah dengerin omongan orang," tukas Rima. Matanya berkaca-kaca. Bu Nurul menghela nafas. "Mau kamu temui si Firman itu?" tanyanya. Rima hanya diam membisu. Berpikir keras kenapa Firman tiba-tiba kembali. Kenapa harus sekarang, ketika Rima pelan-pelan sudah bisa melupakannya. "Bu Nuruuul...beliii..." suara nyaring Bu Margono mengagetkan Rima dan ibunya. Bu Nurul tergopoh-gopoh berjalan menuju warungnya. "Ya, beli apa bu?" tanyanya pada Bu Margono. "Gula pasir setengah kilo. Telur setengah kilo. Oh sama teh tubruknya yang biasa satu bungkus." Bu Nurul dengan cekatan menyiapkan pesanan Bu Margono. "Buuu..." panggil Bu Margono. Bu Nurul menghentikan gerakannya. Hatinya was-was. Ini dia saat yang ditunggu. Gosip. Karena siapa yang tidak kenal dengan Bu Margono, tukang gosip nomor satu di desa ini. "Firman datang. Tadi aku lihat dia di teras rumah ayahnya. Sedang bal bul, ngerokok. Kayak orang stress. Tapi kok sendirian ya? Istrinya kemana? Apa pegatan (bercerai)?" cerita Bu Margono sambil setengah berbisik. Bu Nurul hanya menanggapi dingin. "Mana aku tahu, bu." Bu Margono tampak tidak puas dengan jawaban Bu Nurul. Matanya menyelidik. "Rima? Gimana?" tanyanya penasaran. Bu Nurul mengendikkan bahunya. "Baik-baik saja, bu." Bu Margono tertawa sinis. "Sudah nemu pengganti kok ya. Lebih-lebih dari Firman," sindir Bu Margono sambil menyerahkan selembar uang kepada Bu Nurul. Rima mendengarkan percakapan itu dari balik dinding sambil menggigit bibir.
Dinginnya pagi terasa menusuk kulit ketika Rima menyapu halaman rumah. Semalam ia tidak bisa tidur memikirkan alasan kedatangan Firman. Menyesal? Hendak meminta Rima kembali kepadanya? Bagaimana dengan istrinya? Pertanyaan-pertanyaan itu menggelayuti pikirannya. Bu Nurul pun tampak murung. Ia tidak bersemangat membuka warungnya. Di kejauhan, terdengar suara motor menderu mendekati rumah Rima. Sapu yang dipegang Rima tiba-tiba terjatuh. Motor itu berhenti persis di hadapan Rima yang mematung. "Rima..." sapa Firman, laki-laki yang dulu begitu ia cintai. Bu Nurul tertegun di depan warungnya. "Mau apa?" tanya Rima dingin. "Begitu? Kamu lupa siapa aku?" Firman balik bertanya. Rima memandangi sosok di depannya. Entah kenapa rasa benci begitu membuncah di dadanya. "Firman kan? Yang sudah menghancurkan hidupku," jawab Rima ketus. Firman terus menatap Rima. "Bukan maksudku, Rim. Aku yang salah. Aku menyia-nyiakan kamu," Firman berkilah. "Aku datang untuk minta maaf," ujar Firman. Rima diam seribu bahasa. Hanya air mata yang turun tak terbendung. Rima berlari masuk ke dalam rumah disusul Bu Nurul, meninggalkan Firman yang masih berdiri di halaman. Sementara itu, Galang mengamati apa yang terjadi dari teras rumah Hendra yang letaknya tidak jauh dari rumah Rima.
Kemunculan Firman pagi itu membuat hari Rima terasa berantakan. Ia menjauh dari semua hal. Menjauh dari Laila dan Tami yang mencarinya untuk memastikan keadaannya baik-baik saja. Dan menjauh dari Galang yang terdengar menanyakannya pada ibunya siang tadi ketika sedang membeli sesuatu di warung. Sore ini Rima menyepi di gubuk Pak Syarif. Pikirannya menerawang jauh sampai-sampai ia tidak menyadari kehadiran Galang di sampingnya. Pemuda itu menyodorkan bunga ilalang di depan wajah Rima. "Sore-sore ngelamun sendirian, non?" celetuk Galang. Rima tersenyum, mengambil bunga ilalang dari tangan Galang. "Maaf seadanya. Besok deh dibeliin bunga yang bagus," ucap Galang. Rima tersenyum tipis. "Terima kasih," ucapnya pelan. "Itu...matanya kenapa?" tanya Galang ragu-ragu. Rima memegang bawah matanya yang memang terlihat sembab. "Nangis. Kemasukan debu," jawab Rima. "Bohong," balas Galang sambil menatap lembut Rima. Yang ditatap hanya bisa menundukkan kepala. Galang tidak bertanya lagi. Hanya duduk diam di samping Rima, menemani gadis itu yang pikirannya entah sedang berkelana kemana. "Pulang yuk, Rim. Udah mau maghrib," ajak Galang melihat hari yang sudah semakin sore. "Sebentar lagi. Langitnya bagus," tolak Rima. Galang menurut. Menikmati semburat kemerahan di ufuk barat bersama Rima. Sambil sesekali mengagumi kecantikan gadis itu yang semakin luar biasa di bawah langit senja.
"Besok lagi jangan ke gubuk sendirian," nasehat Galang ketika ia dan Rima sedang berboncengan pulang. "Kenapa?" tanya Rima. "Nggak papa. Takut ada ular," jawab Galang. Rima tersenyum. Galang melirik Rima dari spion motornya. Tanpa sadar, mereka melintas di depan rumah Firman. Laki-laki itu sedang duduk di teras rumah sambil merokok. Dan langsung terhenyak begitu melihat Rima melintas berboncengan dengan Galang. Firman menghempaskan rokoknya ke tanah lalu berlari ke luar halaman, mengawasi Rima dan Galang hingga menghilang dari pandangan. "Itu temannya Hendra. Namanya Galang. Dari Jakarta. Memang dekat sama Rima, seluruh desa juga sudah tahu," Pak Banu ayah Firman mendekati anaknya sambil menjelaskan. Firman mengepalkan tangannya. "Kan sudah kamu tinggal, ya biarkan saja dia bahagia sama laki-laki lain," lanjut Pak Banu. Firman meninggalkan ayahnya dengan penuh amarah.
"Kamu nggak kepingin tahu apa alasan Firman kembali ke desa ini? Sejak nikah kan dia nggak mau lagi pulang ke desa ini. Udah merasa jadi orang hebat. Orang kota," ujar Laila ketika siang itu mereka berkumpul di salon Tami yang sedang tutup. Tami sengaja menutup salonnya khusus untuk membahas kepulangan Firman dan nasib Rima. Rima diam tidak menanggapi perkataan Laila. "Rim...jawab dong," desak Laila. "Ya sebenarnya aku penasaran, tapi aku takut. Nggak tahu kenapa perasaanku nggak enak. Apalagi kelihatannya dia datang ke sini tanpa istrinya." jelas Rima. Laila memainkan selendang gendongan anaknya. "Iya sih...Tapi dia harus diberi pelajaran," gumam Laila. Tami menengok ke arah Laila. "Maksudnya, La?" Laila terkejut. "Hah? Aku ngomong apa tadi?" Ia balik bertanya. "Pelajaran buat Firman," Tami mengingatkan. "Oh iya. Tunjukin hubungan kamu sama Galang, Rim. Tunjukin kalau kamu udah move on. Iya, move on. Kayak yang suka dibilang sama orang-orang kota," Laila bersemangat menjelaskan idenya pada Rima. Rima yang sedari tadi memperhatikan anak-anak Laila dan Tami berebut mobil-mobilan lantas memandang Laila sambil mengernyit. "Cari perkara itu sih. Kasihan Galang," tolak Rima. "Kamu pacaran sama dia?" tanya Tami penasaran. Rima tersipu malu. "Enggak, Tam. Cuma deket aja," jawab Rima. "Nggak seru," ejek Tami. "Tapi dia jomblo kan?" Tami kembali bertanya. "Hmmm...aku lupa nanya," jawab Rima polos. "Payah," bisik Tami di telinga Rima. Laila tertawa menyimak percakapan kedua sahabatnya itu.
Tiba-tiba mereka dikejutkan dengan ketukan di pintu salon yang tertutup rapat. "Tam...Tamiiii..." Rima langsung menutup mulutnya dengan tangan mendengar suara laki-laki yang mengetuk pintu. "Ngumpet...ngumpeeettt..." Tami memberi isyarat pada Rima untuk segera bersembunyi. Sementara Laila pura-pura sibuk mengasuh anaknya dan anak Tami. "Ya, tunggu. Baru jalan mau buka pintu," jawab Tami. Firman berdiri di luar pintu salon sambil berkacak pinggang. "Oh, kamu. Apa kabar, orang kota? Nyari siapa?" tanya Tami santai. "Lihat Rima nggak?" Firman balas bertanya. Tami menggelengkan kepalanya. "Nggak, anaknya udah berhari-hari nggak ke sini. Jaga warung mungkin." Firman tidak menghiraukan jawaban Tami. Ia celingukan, berusaha melihat ke dalam salon. Laila mendelik ke arah Firman, "Sini, mau ikut momong?" Firman mengalihkan pandangannya. "Ya udah, Tam. Jangan bilang Rima kalau aku cari dia." Tami tersenyum sinis. "Nggak janji ya."
Setelah kejadian di salon Tami siang itu, Rima merasa seluruh sudut desa tak lagi terasa aman baginya. Mbak Dewi petugas perpustakaan desa memberitahunya kalau ada seorang laki-laki menanyakannya. Sepertinya Firman tahu jika Rima sering meminjam buku di perpustakaan desa. Begitu juga dengan orang-orang di pasar. Firman bertanya tentang Rima kepada beberapa orang dari mereka karena ia tahu jika Rima sering berbelanja kebutuhan warungnya di pasar. Bahkan Firman pun sempat mampir ke tempat usaha Hendra dan Galang. Berpura-pura menanyakan kabar Hendra sambil mengawasi Galang yang sedang sibuk bekerja. Rima merasa terdesak. Dalam benaknya, tempat yang paling aman baginya hanyalah gubuk Pak Syarif. Karena Firman tidak mengetahui kebiasaannya duduk-duduk di gubuk itu hampir setiap sore. Hanya di gubuk itulah Rima merasakan kedamaian yang luar biasa ketika memandangi kereta yang selalu lewat di jam yang sama sambil menatap hamparan sawah dan merasakan semilir angin menerpa rambut panjangnya. Sore ini suasana di sekitar sawah Pak Syarif cukup lengang. Pak Syarif masih di Jakarta. Euforia kehadiran cucu pertama membuat beliau dan istrinya betah berlama-lama di ibukota. Sementara itu, bibit-bibit padi belum disemai kembali. Hiruk-pikuk kegiatan para petani pun belum dimulai. Dan selama belum ditanami kembali, sawah selalu menjadi tempat favorit anak-anak untuk bermain layang-layang. Tapi hari ini hanya ada tiga orang anak yang bermain layang-layang. Tidak seramai biasanya. Rima tidak terlalu mempedulikan keadaan di sekitarnya dan memilih untuk tenggelam dalam keasyikannya membaca buku yang baru saja ia pinjam dari perpustakaan desa.
"Rimaaa...." tiba-tiba suara Firman terdengar di samping Rima. Seketika ia menjatuhkan buku yang sedang dibacanya. Aroma alkohol menguar dari mulut Firman. "Ma...mau..apa kamu?" tanya Rima terbata-bata. Firman menatap Rima tajam. Tangannya berusaha meraih bahu Rima. Tapi Rima berhasil beringsut menghindar dari jangkauan tangan Firman. "Riiim...tolong aku. Min...minta maaf...Aku cinta kamu," Firman mengiba pada Rima. "Istriku selingkuh. Karina...diaa..dia pergi sama bosnya. Duitnya lebih banyak dari aku, Rim. Katanya dia nggak cinta lagi sama aku. Aku ditinggaaal...dikhianati..." lanjut Firman. "Dia cinta duitku, Rim. Bukan cinta sama aku," Firman masih terus berbicara. Tiba-tiba ia terisak lalu menangkupkan kedua tangan ke wajahnya yang memerah. "Ibuku benar. Ayahku benar. Aku yang salah...Aku yang bodoooohh..." Firman memukul-mukul dadanya sambil meraung. Rima bergidik ngeri melihatnya. Firman kembali menatap Rima. "Dulu ibuku bilang kalau kamu yang terbaik. Tapi aku nggak percaya. Sekarang aku percayaaa...percayaa..." Tiba-tiba Firman menyergap Rima. Meraih kedua pergelangan tangan Rima dan mencengkeramnya kuat. Rima terlambat menghindar. "Lepasin aku, Firman!" teriak Rima. Firman menggeleng. "Nggak boleh...Kamu nggak boleh pergi dari aku. Kamu punyaku. Bukan punya si brengsek dari kota itu. Gaa..Galang...Brengsek dia!! Dia rebut kamu dari aku!!" Firman berteriak di depan wajah Rima. Spontan Rima memalingkan wajahnya. Tidak tahan dengan aroma alkohol yang begitu menyengat. "Tolong, Firman. Kita sudah selesai. Biarkan aku melanjutkan hidupku," pinta Rima. "Selesai????!!!! Kita selesai???!!! Apa kamu bilang???!!!! Berani-beraninya kamu!!!!" Firman mulai tidak terkendali. Teriakannya mengagetkan anak-anak yang sedang bermain layang-layang. Mereka mengarahkan pandangan ke gubuk Pak Syarif dan menyadari ada yang tidak beres melihat Firman mencengkeram kedua tangan Rima sambil setengah menindih tubuhnya, dan melihat ekspresi ketakutan di wajah Rima. Ketiga anak itu berbisik-bisik, lalu dua anak tiba-tiba berlari meninggalkan sawah dan satu anak tetap diam di sana mengawasi Firman dan Rima.
Keringat membasahi wajah dan rambut Rima. Air matanya mengalir deras. Firman masih terus mencengkeram kuat tangan Rima dan setengah menindih tubuhnya sambil meracau. "Ga..lang itu harus dihabisi. Karena berani dekat...dekat...sama kamu." Rima ketakutan. Dia takut Firman akan berbuat tidak senonoh pada dirinya dan kemudian berbuat nekat pada Galang. "Jangaaan, Firman. Dia nggak salah..." bisik Rima pelan hampir tidak terdengar. "Apa??? Apaa??? Kamu bela dia??? Cinta sama dia??? Kamu cinta....diaaa..." Firman meraih rambut panjang Rima. Membelainya pelan lalu menjambaknya. Rima berteriak kesakitan. "Ini...karena ka..ka..kamu berani jatuh cin...ta...pa...da orang lain," bisik Firman. "Jangan gila! Kamu pengkhianat. Kamu beri aku harapan lalu kamu tinggal. Kamu pikir itu cinta?" bantah Rima. Entah darimana ia memperoleh kekuatan untuk bicara. Firman kembali menarik rambutnya. Tapi kali ini hanya sebentar, lalu ia meraba wajah Rima dengan tangannya. Menelusuri bulu mata lentik Rima, meraba hidung mancungnya, dan membelai bibir Rima. Pelan. "Lancang bibir ini..." gumam Firman. Rima menahan nafas. Berdoa agar ada seseorang yang menolongnya. Tapi siapa??? Otaknya berpikir keras. Rima melirik ke arah persawahan, hanya ada satu anak yang tinggal di sana sambil mematung memperhatikan ia dan Firman. Rima mengiba meminta tolong pada anak itu lewat tatapan matanya. Tapi anak itu hanya diam tak bergeming. Tidak tahu harus berbuat apa. Sementara Firman masih terus membelai bibir Rima dan pelan-pelan mengarahkan tangannya ke leher Rima. Rima pasrah. Ia memejamkan mata. Takut dan jijik. Air matanya terus mengalir turun.
Tiba-tiba cengkeraman Firman melemah. Rima merasa ada seseorang yang menarik paksa Firman menjauh darinya. "Lepasin dia." Suara Galang. Rima diam-diam merasa lega. Firman terkejut. Kesenangannya terganggu. Dia meraung marah dan spontan menyodok tulang rusuk Galang dengan sikunya. Galang tidak sempat menghindar. "Si breng..sek datang...Aku habisi..." Firman terkekeh. Galang mengaduh lalu mendelik ke arah Firman. Dengan terhuyung-huyung, Firman berusaha memukulkan tinjunya ke arah Galang. Tapi Galang berhasil menghindar. Firman kembali meraung. "Rima punyaku...Orang kota brengsek!!!" Firman berlari sempoyongan dan menubrukkan tubuhnya ke arah Galang. Mereka berdua terjatuh di tanah. Rima memekik. Firman bangkit dan meninju pipi Galang. Galang berteriak marah. Rasa nyeri di pipinya tidak ia hiraukan. Firman berada di bawah pengaruh alkohol yang membuatnya kurang waspada dan limbung. Dengan mudah Galang mencengkeram leher baju Firman, menariknya, lalu menghempaskannya ke tanah. Galang mengepalkan tinjunya bersiap hendak memukul laki-laki itu. "Jangan, Galang!!!" teriakan Rima membuat Galang menghentikan gerakannya. Kepalan tangannya menggantung di udara. Galang menatap Rima tajam. Rima tahu jika Galang marah. "Masih kamu bela? Dia udah hampir bikin kamu celaka. Masih kamu bela??!!" teriak Galang. Ia mulai tidak bisa mengendalikan amarahnya. Rima hendak mendekati Galang yang masih mengunci tubuh Firman dengan cengkeramannya. Sementara Firman meracau tidak jelas. "Jangan mendekat. Diam di situ!" teriak Galang. Rima menurut. Ia ketakutan. "Bukan tandingan kamu. Dia mabuk. Bawa aja dia pulang. Tolong, Galang..." Rima mengiba. Galang terengah-engah menahan amarahnya pada Firman sekaligus pada Rima. Ia marah karena Rima masih begitu baik memintanya untuk tidak memukul laki-laki ini. Laki-laki yang sudah menorehkan luka begitu dalam di hatinya. "Jangan nodai tanganmu untuk memukul orang yang nggak pantas kayak dia," pinta Rima. "Tolong, Galang...Tolong," Rima memohon sambil berurai air mata. Galang terdiam. Sejenak kemudian ia menyadari tidak ada gunanya mengotori tangannya untuk laki-laki brengsek seperti Firman. Dan terlebih lagi ia tidak tega mendengar Rima memohon sambil menangis. Ia menurunkan tangannya. Leher baju Firman masih ia cengkeram. Nafas Galang masih menderu menahan amarah. Ditatapnya Firman dalam-dalam. Laki-laki ini rupanya yang sudah melukai gadis cantik yang ia cintai. Sampai kemudian terdengar derap kaki mendekat. Hendra datang bersama Pak Banu ayah Firman. Pak Banu memegang tubuh Firman. Hendra membantu Galang berdiri. Firman meronta-ronta. Hendra kemudian membantu Pak Banu memegang tubuh Firman. "Bapak minta maaf, Rima, Galang," ujar Pak Banu penuh penyesalan. Rima mengangguk pelan sambil memalingkan wajah dari Firman yang terus menatapnya. Galang diam. Tangannya kembali terkepal. "Udah, Lang. Cukup," Hendra menepuk bahu Galang pelan, menenangkan sahabatnya. "Urus Rima. Dia shock. Aku bantu Pak Banu mengantar Firman pulang," ujar Hendra. Galang mengangguk. Hendra dan Pak Banu memapah Firman pulang. Rima masih sempat mendengar Hendra berterima kasih kepada anak-anak yang tadi bermain layang-layang di situ. "Terima kasih ya. Sekarang kalian pulang."
Galang menghampiri Rima yang duduk di gubuk sambil memegang dadanya. "Kamu nggak papa kan?" tanya Galang. Guratan rasa kesal masih tampak di wajahnya. Matanya menelusuri wajah Rima. Lalu memperhatikan rambut panjangnya yang kusut. "Diapain aja sama Firman?" Galang kembali bertanya sambil menyibakkan anak rambut yang menutupi dahi Rima. Rima menggeleng. Galang menghentikan gerakannya. Lalu menyentuh dagu Rima. "Aku bilang apa tempo hari? Jangan ke gubuk sendirian," ucap Galang tegas. Rima diam. Galang menghela nafas. Kesal. "Aku nggak bisa bayangin apa yang terjadi kalau aja anak-anak nggak nyari aku ke gudang." Rima baru sadar ternyata anak-anak yang bermain layang-layang tadi mencari Galang untuk memberitahu apa yang terjadi. "Aku langsung ngebut ke sini, Rim. Demi kamu," lanjut Galang. "Sekali-sekali nurut lah sama apa yang aku bilang!" teriak Galang. "Kenapa teriak?" tanya Rima. "Aku kesal, Rima. Aku cuma mau melindungi kamu dari laki-laki brengsek itu!!" Galang masih berteriak. "Kamu nggak tahu rasanya, Lang. Dimana-mana nggak aman buat aku," ucap Rima pelan. Galang menatap Rima. "Terus kamu pikir di sini aman?" tanyanya. Rima balas menatap Galang. "Karena cuma di sini aku merasa damai." Galang tersenyum sinis. "Damai? Di sini? Hampir setiap sore ngelihatin kereta? Mengenang Firman?" Galang kembali berteriak. Rima mendelik. "Galang!" Seketika Galang terdiam. Kaget dengan ucapannya sendiri. "Kamu nggak tahu apa yang aku rasakan bertahun-tahun lamanya. Kamu baru datang di kehidupanku, Lang," ujar Rima. Galang sadar, gadis ini begitu lembut. Hampir tidak pernah berteriak, bahkan dalam kondisi seperti ini sekalipun. Dan ia menyesal sudah terbawa emosi dan meneriaki Rima. "Maaf, Rima." Galang menatap Rima yang sedang menundukkan kepalanya. Terbayang di benak Galang seberat apa hidup yang sudah dilalui gadis ini. Dikecewakan dan dikhianati oleh dua orang laki-laki yang menjadi bagian penting hidupnya. Kuat sekali hatinya. Mata Galang memerah menahan tangis. Direngkuhnya Rima dalam pelukannya. "Aku cemburu, Rim. Sama kereta itu. Sama Firman. Karena aku jatuh cinta sama kamu," Galang mengakui perasaannya. Rima terisak dalam pelukan Galang.
Berita menyebar begitu cepat. Semua orang di desa tahu perbuatan Firman pada Rima. Firman yang sukses di kota dan dulu dipuja di desa ini, sekarang bagaikan sampah busuk yang dijauhi semua orang. Dari pelanggan-pelanggan di warungnya, Bu Nurul mendengar berita jika Firman kembali ke Jakarta karena malu dengan kelakuannya. Dan tentu saja Firman tidak tahan dengan sanksi sosial yang ia dapat dari warga desa sebagai konsekuensi atas kelakuan buruknya. Sementara itu sehari setelah kejadian, Pak Banu dan istrinya datang ke rumah Rima untuk meminta maaf kepada Rima dan Bu Nurul atas apa yang telah diperbuat Firman. Dan sepanjang jalan menuju rumah Rima, mereka tak luput dari tatapan sinis para tetangga. "Sekarang Firman udah pulang ke Jakarta. Orang tuanya juga udah menjamin kalau Firman nggak akan gangguin hidup kamu lagi. Terus kamu mau apa, Rim?" tanya Laila. Sore itu mereka duduk-duduk berdua di teras rumah Rima. Rima menggelengkan kepalanya. "Galang?" tanya Laila. "Pulang ke Jakarta," jawab Rima. Laila menghembuskan nafas lalu merangkul bahu Rima. "Balik lagi ke sini, kan?" tanya Laila lagi. Rima mengangkat bahu. "Kata Hendra sih iya. Tapi siapa yang tahu," jawab Rima. "Nggak hubungin kamu? Telepon? Video call? Kirim WA?" Laila memberondong Rima dengan pertanyaan. Rima menggeleng pelan. "Laki-laki emang sulit dipahami. Terutama laki-laki di dalam hidup kamu, Rim." Rima mencubit pinggang Laila. "Doain yang baik-baik." Laila mengangguk. "Pasti." Lalu mengeratkan rangkulannya pada bahu Rima.
Ketukan membabi buta di pintu membuat Rima dan Bu Nurul terkejut. Rima menengok jam dinding. Masih jam lima pagi. "Siapa, Rim?" tanya Bu Nurul. "Nggak tahu, bu. Coba aku lihat dulu," jawab Rima. Dari jendela, Rima mengintip ke luar. Dilihatnya Galang di teras rumah. Rima membuka pintu. "Galang? Ngapain pagi-pagi gini? Kapan datang?" tanya Rima bertubi-tubi. Galang tidak menjawab. Ia menarik tangan Rima dan menggandengnya ke arah motornya. "Ikut aku." Cuma itu yang dikatakan Galang. Rima bingung. "Ke..kemana? Ngapain???" tanya Rima. "Nurut aja kenapa sih?" sergah Galang. Bu Nurul memperhatikan dari depan pintu, sama bingungnya dengan Rima. "Pinjem Rima sebentar, bu," Galang meminta ijin pada Bu Nurul. Beliau mengangguk. Wajahnya menyiratkan rasa penasaran. Rima naik ke boncengan motor Galang. "Pegangan. Aku mau ngebut," perintah Galang. Rima meletakkan tangannya di pinggang Galang dengan ragu-ragu. "Yang kenceng," perintah Galang lagi. Rima menggerutu, "Galak banget sih." Galang mengendarai motornya dengan kecepatan cukup tinggi. Lalu berhenti di pinggir area persawahan dimana sawah Pak Syarif berada. "Ngapain ke sini?" tanya Rima. "Katanya di sini bikin kamu cemburu?" tambahnya. "Ssssttt..." cuma itu jawaban Galang. Ia meraih tangan Rima dan menggandengnya berjalan di pematang sawah, tidak jauh dari gubuk Pak Syarif. Langit pagi yang mulai merekah terlihat jelas di tengah area persawahan ini, tidak terhalang apapun. Galang meminta Rima menghadap ke timur, ke arah matahari terbit. "Lihat tuh. Bagus ya?" ujar Galang. Rima yang sudah sering melihat indahnya matahari terbit di desanya, hanya mengerutkan dahi. Merasa aneh dengan kelakuan Galang. "Rim..." panggil Galang sambil melihat ke arah matahari yang mulai muncul. "Hmm..." jawab Rima. Galang menatap Rima yang berdiri di sampingnya. "Nikah yuk..." ajak Galang. Rima mengangkat alisnya. "Apa?" tanyanya tidak percaya. "Nikah, Rim. Nikah..." ulang Galang. Rima menutup mulutnya dengan tangan. "Ini ceritanya aku dilamar?" Rima bertanya polos. Galang menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Iya, Rima Larasati. Nikah yuk..." Rima mengerjapkan matanya, menahan air mata yang akan turun. Galang meraih tangan Rima. "Mau?" tanyanya lembut. Rima menganggukkan kepala. Galang tersenyum hangat lalu menyelipkan cincin dari ilalang yang sedari tadi disimpan di kantong celananya. Rima tergelak. "Lucu banget." Galang tertawa sambil mengelus rambut panjang Rima, "Nggak romantis kamu tu. Polos." Tiba-tiba Rima tersadar, ada satu pertanyaan yang belum ia tanyakan pada Galang. Rima memegang lengan Galang. "Galang, tunggu..." ekspresi di wajah Rima membuat Galang cemas. "Kenapa lagi?" tanyanya takut. "Kamu...jomblo kan?" tanya Rima. Tawa Galang pecah. "Rimaaa...apa-apaan sih?" ia balik bertanya. "Dijawab dong. Ini penting buat aku," protes Rima. Galang mengangguk. "Iyaaa...iyaaa...jomblo. Tanya Hendra sana kalau nggak percaya." Rima tertawa. Tiba-tiba pagi itu terasa sangat indah. "Ada lagi, Rim. Tunggu ya," ujar Galang. Ia berlari menuju ke gubuk Pak Syarif. Lalu kembali membawa sesuatu. "Nih, kan waktu itu aku janji mau beliin bunga yang bagus," Galang menyerahkan buket bunga yang sangat cantik kepada Rima. "Aku bawa dari Jakarta, khusus buat kamu," jelas Galang. "Terima kasih," ucap Rima sambil tersenyum. Hatinya kembali menghangat. Jantungnya berdetak sangat kencang. Tubuhnya terasa ringan. Ekspresi bahagia terpancar di wajahnya.
Setelah lamarannya pagi itu, Galang bercerita pada Rima jika ia pulang ke Jakarta untuk menenangkan diri. Galang menumpahkan semua isi hatinya pada keluarganya. Beruntung ia lahir di tengah keluarga yang saling mendukung satu sama lain. Hingga akhirnya terlintas pikiran di benak ayah Galang untuk menyuruh anak laki-lakinya menikahi Rima, jika ia memang benar-benar mencintai gadis itu. Restu keluarga sudah ia kantongi, namun Galang bimbang. Sampai tiba waktunya kembali ke desa pun, ia masih bimbang. Ia takut bayang-bayang Firman akan terus menghantui hubungan mereka. Tapi, ia juga tidak bisa jauh dari Rima dan tidak rela jika gadis itu menemukan sosok laki-laki lain untuk dicintai. Setibanya di desa, semalam suntuk Galang tidak bisa tidur. Ia hanya duduk di teras rumah Hendra, tempatnya menumpang tinggal selama ini, sambil merenung. Dan tanpa sadar ia menganyam cincin manis dari ilalang yang tumbuh di depan rumah. Selepas subuh, entah kenapa tekadnya bulat. Ia harus menikahi Rima. Bergegas disambarnya cincin ilalang yang baru ia anyam, kunci motor, dan buket bunga yang memang akan ia berikan kepada Rima, jadi atau tidak jadi ia melamar gadis itu, lalu memacu motornya ke gubuk Pak Syarif untuk menyembunyikan buket bunga sebelum akhirnya menuju ke rumah Rima. "Terus kenapa harus di sini? Nggak bisa gitu ngelamar di rumah aja? Di depan ibu?" tanya Rima. Galang tertawa kecil. "Ada filosofinya," jawab Galang. "Apa?" tanya Rima penasaran. "Matahari terbit itu kan berarti awal hari yang baru. Nah, aku mau kamu memulai hidup yang baru sama aku," jawab Galang sambil memandang Rima. "Nggak juga siiih, kebetulan aja sebenernya. Dipas-pas in aja biar romantis. Ya nggak?" Galang melanjutkan ucapannya sambil menyenggol bahu Rima. "Ya...boleh deh," Rima meringis.
Bu Nurul berderai air mata bahagia mendengar cerita Rima ketika ia kembali ke rumah dan memamerkan cincin ilalang serta buket bunga cantik yang diberikan Galang padanya. Bu Nurul tidak pernah menyangka anak semata wayangnya akhirnya pelan-pelan menemukan kebahagiaan hidup. Laila dan Tami berteriak kaget ketika Rima tiba-tiba meminta mereka berkumpul di rumahnya dan menyampaikan berita gembira itu. "Romantiiiis....romantiiisss...Kayak di film-film," komentar Laila sambil memeluk tubuh Rima erat. "Selamat, Rima. Kamu pantas mendapatkan dia. Aku nggak pantas buat dia. Dan ini saatnya mencari mangsa baru untuk kujadikan bapak dari anakku," ujar Tami serius, lalu tertawa terbahak-bahak. Tentu saja dia hanya menggoda Rima. Rima memukul lengan Tami pelan, "Kacau memang kamu ini." Tami dan Laila tertawa. Mereka bertiga berpelukan. Merayakan kebahagiaan yang akhirnya menghampiri hidup Rima.
Rima belum pernah bertemu dengan keluarga Galang. Baru beberapa hari sebelum menikah, ia bertemu dengan kedua orang tua Galang. Mereka sangat ramah. Begitu juga dengan Raka, kakak laki-laki Galang dan Sarah, istrinya. Baru hari itu juga Rima mengetahui jika Galang memang konglomerat seperti yang dikatakan Hendra. Galang Mahardika Wiratama rupanya adalah bagian dari keluarga Wiratama yang terpandang di negeri ini. Keluarganya memiliki jaringan bisnis yang tidak main-main dan Galang sendiri adalah pemilik dari salah satu biro konsultan arsitek yang cukup terkenal di Jakarta. Kantor Galang memang berada di satu gedung yang sama dengan kantor tempat Hendra bekerja, yang kemudian membuat mereka berdua sering bertemu dan akhirnya menjadi dekat. Galang adalah pemuda yang rendah hati walaupun berasal dari keluarga kaya. Bahkan sekarang ia lebih memilih menjalankan usaha di desa bersama sahabatnya, lalu menyerahkan bisnisnya di Jakarta untuk dikelola oleh kakaknya. Bos yang kabur, julukan ayah Galang untuk anak bungsunya. Ibunya juga bercerita bahwa Galang adalah laki-laki pemilih. Entah kriteria gadis seperti apa yang ada di benaknya, karena banyak gadis cantik dan pintar yang mendekatinya di Jakarta sana, tapi hanya ia abaikan. Ia lebih memilih untuk tenggelam dalam kesibukannya bekerja atau sesekali pergi ke luar kota, ke daerah pedesaan tentu saja, untuk hiking ataupun hanya sekedar menikmati keindahan alam. Sedari kecil, Galang memang sangat menyukai suasana alam dan pedesaan. Bahkan cita-citanya adalah memiliki rumah di desa berhalaman luas dengan banyak tanaman. Dan ternyata di desa pula ia menemukan gadis idamannya. Rima tertawa mendengar semua cerita tentang Galang. Dalam hati ia berdoa semoga ia tidak salah memilih Galang untuk menjadi bagian dari lembaran baru hidupnya.
Pernikahan digelar sederhana di rumah Rima. Galang terlihat tampan dan gagah ketika duduk di hadapan penghulu. Tiba-tiba, Aidan keponakannya datang dan meminta duduk di pangkuannya. "Om mau ngapain?" tanya bocah kecil berusia tiga tahun itu polos. "Mau nikah sama tante cantik," jawab Galang. Aidan menatap Galang, "Nikah itu apa?" Sontak para tamu undangan tertawa melihat adegan itu. Raka buru-buru mengambil Aidan dari pangkuan Galang agar acara ijab kabul bisa segera dimulai. Tidak lama kemudian, Laila masuk ke ruang tamu tempat ijab kabul akan dilaksanakan sambil membawa secarik kertas yang ia berikan kepada Galang. "Dari Rima," bisik Laila. Galang membuka kertas itu, yang berisikan tulisan "Beneran jomblo kan?" Galang hampir saja tidak bisa menahan tawanya. Gemas dengan kelakuan Rima. Ia begitu takut salah melangkah. "Iya, jomblo 100% sebentar lagi jadi suami Rima," bisik Galang pada Laila. Senyum merekah di bibir Laila, ia mengacungkan jempolnya lalu kembali ke ruang tengah tempat Rima menunggu ijab kabul usai sambil membisikkan jawaban Galang ke telinga Rima. Samar-samar Rima tersenyum lega.
Ijab kabul berlangsung lancar. Rima menikah dengan wali hakim karena ayahnya tidak pernah ada kabar beritanya. Dan Rima pun enggan melacak keberadaannya. Keluarga ayahnya pun tidak hadir di pernikahan ini karena mereka malu dengan kelakuan ayah Rima. Usai ijab kabul, Rima dipertemukan dengan Galang, lalu mereka saling memakaikan cincin di jari manis masing-masing. Acara berlangsung lancar. Bu Nurul menitikkan air mata. Laila dan Tami berpelukan haru memandang sahabat mereka akhirnya bertemu dengan laki-laki yang tepat. Hendra dan Pak Syarif pun terlihat ikut bahagia. Ketika tiba waktunya untuk sungkem pada orang tua kedua belah pihak, Bu Nurul berbisik pada Rima,"Ibu benar kan, nduk? Dia jodohmu." Rima tersenyum mengingat celetukan ibunya di warung saat ia pertama kali bertemu dengan Galang. Dan Galang yang mendengar kalimat Bu Nurul pun ikut tersenyum.
Sehari setelah menikah, Galang mengeluarkan dua lembar tiket kereta api. "Mau naik kereta?" tanyanya pada Rima. Mata Rima membulat. "Kemana?" tanya Rima antusias. "Jakarta," jawab Galang. Rima terdiam. "Kenapa?" tanya Galang. "Ini beneran? Bukan mimpi?" Rima balik bertanya. "Sini aku cubit, kalau sakit berarti bukan mimpi kan?" Galang mencubit pipi Rima sambil tertawa. Rima mengaduh. "Jadi?" Galang kembali bertanya sambil mengacungkan dua lembar tiket kereta di tangannya. Rima mengangguk. Galang nyengir. "Sampai di Jakarta nanti, mau main kemana dulu?" tanyanya. "Dufan, Sea World, Taman Mini, Pondok Indah Mall, nonton bola di GBK, atau...." belum selesai Galang berbicara, Rima sudah menyahut, "Monas." Galang tertawa terbahak-bahak mendengar jawaban Rima. "Monas, Rim? Monas?" tanya Galang geli. Rima mengangguk, "Kenapa emangnya?" Galang mengelus rambut Rima dan menatapnya lembut. "Nggak papa. Kamu emang luar biasa, cantik pintar, tapi polos."
Dan di sinilah Rima sekarang. Di atas kereta api yang membawanya ke Jakarta bersama Galang. Kereta ini adalah kereta yang biasanya hanya bisa ia tatap dari gubuk Pak Syarif. Senyum tersungging di bibir Rima. Dalam hati tak henti ia bersyukur. Sesekali ditatapnya wajah Galang yang sedang tertidur pulas di sampingnya. Rima sadar, rupanya belenggu kehidupan ini hanyalah cara Tuhan memintanya bersabar menunggu datangnya orang yang tepat untuk berbagi kebahagiaan hidup. Rima mengelus wajah Galang pelan sambil berbisik, "Terima kasih untuk semuanya."