Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Komedi
Belajar Nyetir
0
Suka
1
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Ada sebuah fase dalam hidup seorang pria dewasa di mana dia merasa harus bisa mengendalikan mesin beroda empat. Bukan sekadar gengsi, tapi lebih kepada kebutuhan eksistensial. Bayangkan, usia sudah kepala tiga, tapi kalau mau ke minimarket depan komplek yang jaraknya 500 meter masih harus nunggu abang ojek online menerima orderan. Ngenes.

Motivasiku belajar nyetir sebenarnya sederhana: Aku ingin terlihat gagah. Aku ingin menjadi tipe pria yang bisa menyetir dengan satu tangan di kemudi sambil tangan lainnya memegang gelas kopi (atau memegang tangan gebetan, kalau punya). Aku ingin menjadi "Raja Jalanan".

Sayangnya, takdir memiliki rencana lain. Takdir ingin aku menjadi "Bencana Jalanan".

Hari itu, Sabtu pagi yang cerah, aku mendaftarkan diri di Kursus Mengemudi "Lancar Jaya Abadi". Nama yang optimis. Aku memilih paket mobil manual. Kenapa manual? Karena kata teman-temanku, "Cowok sejati itu pakainya tiga pedal, Bro! Kalau matic itu kayak main Bom-Bom Car di Dufan." Termakan provokasi maskulinitas rapuh itu, aku menyetujui kontrak kematianku sendiri.

Di parkiran kursus, aku diperkenalkan dengan dua entitas yang akan mengubah hidupku. Pertama, mobilnya. Sebuah Daihatsu Xenia keluaran tahun jebot yang warnanya sudah pudar, penuh baretan (tanda jasa dari murid-murid sebelumnya), dan di bumper belakangnya ada stiker besar bertuliskan: "HATI-HATI, SEDANG LATIHAN. JANGAN KLAKSON, MURID GAMPANG KAGET."

Kedua, instrukturnya. Namanya Pak Bambang. Seorang pria paruh baya dengan kumis tebal ala Pak Raden, kulit terbakar matahari, dan sorot mata tenang yang menyiratkan bahwa dia sudah melihat segala jenis kebodohan manusia di balik kemudi. Dia tampak sabar, tabah, dan belum tahu bahaya apa yang menantinya.

"Selamat pagi, Mas Cahyo," sapanya ramah. Suaranya bariton, menenangkan. "Sudah siap? Jangan tegang ya. Anggap saja kita mau jalan-jalan santai."

"Siap, Pak Bambang!" jawabku dengan semangat, menyembunyikan fakta bahwa lututku sudah gemetar seperti sedang joget TikTok.

Aku membuka pintu pengemudi dan duduk. Deg. Aura di dalam sini berbeda. Ini bukan sekadar kursi. Ini takhta kekuasaan. Ini kokpit pesawat tempur.

"Oke, Mas. Pertama, atur posisi duduk. Pastikan kaki bisa menjangkau semua pedal dengan nyaman," instruksi Pak Bambang.

Aku memajukan kursi. Terlalu maju sampai dadaku nempel di setir. Mundurin lagi. Terlalu mundur sampai kakiku melayang. Lima menit hanya untuk urusan kursi.

"Sekarang, kenalan dulu sama pedalnya," lanjut Pak Bambang sabar. "Paling kanan itu gas. Tengah itu rem. Paling kiri itu kopling."

Aku menatap ke bawah. Tiga pedal. Kakiku cuma dua. Matematikanya nggak masuk. "Pak," tanyaku polos. "Kaki kiri saya tugasnya cuma ngurusin kopling doang? Gabut dong dia kalau lagi jalan lancar?"

Pak Bambang menghela napas pendek. "Nanti juga kerasa gunanya, Mas. Kaki kanan yang sibuk, dia selingkuh antara gas dan rem. Kaki kiri setia sama kopling."

Filosofi yang menarik. Aku mencoba menginjak pedal-pedal itu. Kakiku kaku. Sepatu kets-ku terasa sebesar sepatu badut. Aku merasa setiap kali aku menginjak pedal, aku sedang menjinakkan bom waktu.

"Oke, sekarang pasang sabuk pengaman, atur spion, kita mulai," kata Pak Bambang.

Aku mengatur spion tengah. Yang kulihat bukan jalanan di belakang, tapi wajahku sendiri yang pucat pasi dan berkeringat dingin. Aku terlihat seperti sandera yang dipaksa menyetir mobil penculiknya.

Tanganku mencengkeram setir di posisi jam 3 dan jam 9. Bukan cengkeraman biasa. Ini cengkeraman maut. Buku-buku jariku memutih. Kalau setir ini terbuat dari arang, mungkin sekarang sudah berubah jadi berlian saking kuatnya aku meremas.

"Mas Cahyo, rileks aja setirnya. Nggak akan lari kok," tegur Pak Bambang lembut. "Ini rileks kok, Pak," jawabku bohong, padahal otot bisepku sudah kontraksi maksimal.

"Oke, mesin sudah nyala. Injak kopling full, masukkan gigi satu," perintah Pak Bambang.

Aku menginjak pedal kiri sekuat tenaga sampai mentok ke lantai. Tanganku yang gemetar memindahkan tuas persneling ke kiri depan. Masuk gigi satu. Jantungku berdegup kencang.

"Sekarang... ini yang paling penting di mobil manual," Pak Bambang memelankan suaranya, seolah membagikan rahasia alam semesta. "Angkat kopling pelan-pelan... sangaaat pelan... sambil kaki kanan pindah ke gas dan injak dikiit banget. Cari titik getarnya."

Teorinya mudah. Prakteknya? Ini seperti diminta menjinakkan singa lapar pakai bulu ayam.

Aku mulai mengangkat kaki kiriku. Satu milimeter. Dua milimeter. Mesin mobil mulai bergetar. Grrrrhhh... "Nah, itu titik getarnya. Tahan di situ, tambahin gas dikit," kata Pak Bambang.

Otakku panik mendengar mesin bergetar. Insting purbaku mengatakan: Bahaya! Lari! Alih-alih menahan, kaki kiriku malah tersentak mengangkat kopling terlalu cepat.

JEDUG! Mobil itu meloncat ke depan dengan kasar, lalu mesinnya mati seketika. Kepalaku dan kepala Pak Bambang terlempar ke depan, lalu menghantam sandaran kepala.

Hening.

"Maap, Pak... Kaki saya kayaknya punya pikiran sendiri," ucapku kaku. Pak Bambang tersenyum, tapi senyumnya mulai terlihat sedikit retak di ujung bibir. "Nggak apa-apa, Mas. Biasa itu. Namanya juga belajar. Ulangi lagi. Lebih pelan."

Percobaan kedua. Grrrhhh... JEDUG! Mati lagi. Percobaan ketiga. Grrrhhh... JEDUG! Mati lagi.

Lima belas menit berlalu. Kami belum bergerak satu meter pun dari posisi awal. Kami hanya melakukan simulasi gempa bumi lokal di parkiran. Aku menyebut manuver ini: "Lompatan Kanguru Mabuk".

Keringat dinginku sudah membasahi punggung. Pak Bambang mulai sering membetulkan posisi duduknya dan mengelus dada.

Akhirnya, di percobaan kesekian kali, dengan keajaiban dan doa restu ibu, aku berhasil menyeimbangkan kopling dan gas. Mobil melaju pelan. Sangat pelan. Mungkin sekitar 3 km/jam. Tapi bagiku, ini sudah terasa seperti kecepatan cahaya.

"Bagus! Bagus! Pertahankan, Mas!" seru Pak Bambang, nadanya terdengar sangat lega.

Kami keluar dari area parkiran menuju jalanan komplek perumahan yang sepi. Lebar jalan sekitar enam meter. Cukup untuk dua mobil berpapasan. Tapi bagiku, jalan ini terasa selebar benang layangan.

"Oke Mas, kita jalan lurus aja dulu. Gigi dua," instruksi Pak Bambang.

Aku berhasil memindahkan ke gigi dua (setelah sempat nyasar ke gigi empat sebentar dan bikin mesin ngeden). Kecepatan naik jadi 20 km/jam. Dunia di luar kaca depan terasa melesat cepat. Pohon-pohon terlihat buram. Padahal aslinya aku disalip sama ibu-ibu naik sepeda ontel yang keranjang depannya penuh sayuran.

Masalah utamaku adalah: Tunnel Vision (Pandangan Terowongan). Aku hanya bisa fokus ke satu titik di depan. Kalau aku melihat spion, setirku otomatis belok. Kalau aku melihat persneling, mobilku oleng.

"Mas, jangan terlalu ke kanan, nanti kita nyerempet trotoar," kata Pak Bambang. Aku panik, langsung banting setir ke kiri. "Eh, jangan terlalu ke kiri juga, nanti kita masuk parit!" teriaknya.

Aku jadi zig-zag di jalanan lurus. Seperti ular yang lagi kebelet pipis.

"Rileks, Mas! Rileks!" Pak Bambang mulai terdengar tidak rileks. Tangannya sudah standby di rem tangan dan dia memegang handle pegangan di atas pintu dengan erat. Itu adalah "Pegangan Panik".

Tiba-tiba, ada tantangan di depan. Sekitar 100 meter di depan, ada pertigaan. Dan di pertigaan itu, ada tukang bakso sedang mangkal.

"Oke Mas, di depan kita belok kiri ya. Nyalakan lampu sein kiri dari sekarang," perintah Pak Bambang.

Otakku menerima perintah: Sein Kiri. Tapi tangan kiriku yang gemetar dan panik, alih-alih menyentuh tuas lampu sein, malah menyentuh tuas di sebelahnya.

WIK WIK WIK WIK WIK!

Wiper kaca depan menyala dengan kecepatan penuh di kaca yang kering. Suara karet bergesekan dengan kaca kering itu sangat nyaring dan menyakitkan telinga. Krieeet... Krieeet... Krieeet...

Aku panik. "Pak! Ini kenapa malah joget kacanya?!" "Itu wiper, Mas! Bukan sein! Matikan! Tuas yang satunya lagi!" Pak Bambang mulai panik.

Aku mencoba mematikan wiper, tapi malah menarik tuas air washer. CROT! Air menyemprot ke kaca. Wiper makin semangat bekerja.

Di tengah kekacauan wiper dan air itu, aku lupa satu hal krusial: KITA SUDAH DEKAT PERTIGAAN.

Tukang bakso itu semakin dekat. Gerobaknya terlihat jelas. Bahkan aku bisa melihat uap dari panci kuahnya. "Mas! Rem! Rem dikit! Kita mau belok!" teriak Pak Bambang.

Kata "REM" di otakku yang sedang korslet diterjemahkan menjadi tindakan: INJAK APA SAJA YANG ADA DI BAWAH SANA DENGAN SEKUAT TENAGA.

Kaki kananku, alih-alih pindah ke pedal rem di tengah, malah menginjak pedal gas di kanan sampai mentok ke lantai.

NGUOOOOONNNGGG!!!!

Mesin tua Xenia itu menjerit. Mobil bukannya melambat, malah melesat maju seperti banteng melihat kain merah. Target kami: Gerobak Bakso Pak Kumis.

Waktu seakan melambat. Aku melihat mata Pak Kumis si tukang bakso melotot keluar. Dia menjatuhkan mangkok yang sedang dipegangnya.

"REM, MAS! REM! BUKAN GAS! ALLAHUAKBAR!" Pak Bambang menjerit. Suaranya melengking, kehilangan wibawa baritonnya.

Sadar aku salah injak, aku melakukan koreksi. Koreksi yang sama fatalnya. Aku mengangkat kaki kanan dari gas, dan dengan panik, aku menginjak pedal rem dengan kaki kanan, DAN secara bersamaan menginjak pedal kopling dengan kaki kiri. Keduanya kuinjak sekuat tenaga sampai mentok, seolah aku ingin menjebol lantai mobil.

CIIIIIIITTTTTTT!!!!

Ban mobil terkunci. Mobil meluncur di atas aspal berpasir. Karena setirku tadi sedikit miring ke kiri (efek panik wiper), mobil itu tidak berhenti lurus.

Mobil itu nge-drift. Ya, aku melakukan Tokyo Drift di pertigaan komplek dengan kecepatan 30 km/jam.

Buntut mobil bergeser ke kanan. Moncong mobil berbelok tajam ke kiri. Kami meluncur melewati gerobak bakso dengan jarak hanya sekitar lima sentimeter. Aku bisa mencium aroma kuah kaldu sapi yang nyaris menjadi aroma ganti rugi.

Mobil terus meluncur tak terkendali, menjauhi jalan aspal, menuju ke lahan kosong berumput di pinggir jalan. Di lahan kosong itu, ada sebuah gundukan tanah bekas galian dan sebuah tiang listrik beton yang berdiri kokoh.

"AWAS TIANG! AWAS TIANG!" Pak Bambang sudah tidak lagi berteriak, dia melolong. Tangannya menutupi wajah.

Aku memejamkan mata, pasrah menerima takdir. Cengkeramanku di setir mungkin sudah permanen.

GLODAK! BRUK! JLEB!

Mobil berguncang hebat. Bagian depan mobil naik ke atas gundukan tanah, lalu berhenti mendadak dengan posisi menukik ke bawah. Bemper depan menancap di tanah lunak, hanya berjarak sejengkal dari tiang listrik beton.

Mesin mati. Wiper akhirnya berhenti (dalam posisi tegak di tengah kaca). Hening. Keheningan yang absolut. Hanya terdengar suara napas kami berdua yang memburu. Hah... hah... hah...

Aku membuka mata perlahan. Aku masih hidup. Aku menoleh ke kiri, menatap Pak Bambang.

Pemandangan di sebelahku sungguh memilukan. Pak Bambang, instruktur gagah berkumis tebal tadi, kini bersandar lemah di kursinya. Wajahnya pucat pasi, lebih putih dari kertas HVS. Matanya menatap kosong ke depan, ke arah tiang listrik yang nyaris mencium kami. Kumis tebalnya terlihat layu dan bergetar hebat. Tangan kanannya masih memegang handle panik di atas pintu dengan kaku, seolah kalau dia lepas, dia akan jatuh ke jurang.

"Pak Bambang...?" pangguku lirih. "Bapak... masih hidup?"

Tidak ada jawaban. Dia hanya berkedip pelan. Sangat pelan.

Butuh waktu lima menit bagi Pak Bambang untuk mengumpulkan kembali jiwanya yang sempat lepas dari raga. Dengan tangan yang gemetar parah seperti orang yang kena Parkinson mendadak, dia merogoh saku kemejanya. Dia mengeluarkan bungkus rokok. Dia mencoba mengambil sebatang, tapi gagal tiga kali karena tangannya terlalu gemetar.

Akhirnya dia berhasil menjepit rokok di bibir. Dia menyalakan korek api. Cekrek... cekrek... Gagal nyala karena tangannya goyang terus.

Aku merasa sangat, sangat bersalah. Aku telah merusak pria ini.

"Mas Cahyo..." akhirnya dia bersuara. Suaranya serak, lemah, dan terdengar seperti orang yang baru saja melihat hantu.

"Iya, Pak?"

"Keluar."

"Hah?"

"Keluar dari kursi pengemudi. Sekarang. Pindah ke belakang. Biar saya yang bawa pulang."

Tanpa banyak tanya, aku menuruti perintahnya. Kami bertukar tempat di tengah lahan kosong itu. Saat Pak Bambang duduk di kursi pengemudi, dia tidak langsung menyalakan mesin. Dia memeluk setir sebentar, menempelkan dahinya di sana, mungkin berdoa syukur atau menangis dalam hati.

Perjalanan pulang ke tempat kursus adalah perjalanan paling sunyi dalam sejarah transportasi manusia. Pak Bambang menyetir dengan kecepatan maksimal 15 km/jam. Setiap kali ada motor lewat di kejauhan, dia kaget. Dia trauma.

Sesampainya di kantor kursus, Pak Bambang keluar dari mobil dengan langkah gontai. Dia tidak menoleh padaku sama sekali. Dia langsung berjalan menuju ruang admin, mungkin untuk mengajukan pensiun dini atau minta cuti sakit sebulan.

Seorang admin wanita menghampiriku yang masih berdiri bengong di samping mobil Xenia yang kini bemper depannya penuh tanah merah.

"Gimana Mas Cahyo latihan perdananya? Lancar?" tanya Mbak Admin ceria.

Aku menatap pintu ruangan di mana Pak Bambang menghilang. "Mbak, kayaknya saya punya bakat terpendam," jawabku ngenes.

"Wah, bakat apa tuh, Mas?"

"Bakat untuk membuat orang dewasa trauma seumur hidup dalam waktu satu jam. Tolong sampaikan maaf saya ke Pak Bambang, dan tolong pesankan dia bubur ayam... atau psikiater."

Aku pulang naik ojek online. Saat duduk di boncengan motor, ditiup angin sepoi-sepoi, aku menyadari satu hal: Menjadi "Raja Jalanan" itu overrated. Menjadi "Penumpang Setia yang Nggak Bikin Orang Lain Jantungan" adalah jalan ninjaku.

Mimpi menyetir mobil manual sambil memegang tangan gebetan resmi kubur dalam-dalam hari itu juga, bersama dengan sisa-sisa kewarasan Pak Bambang di gundukan tanah tadi.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Komedi
Cerpen
Belajar Nyetir
cahyo laras
Flash
Gowes Takabur 01
Rains Peter Aro
Flash
DUEL
Vica Lietha
Cerpen
Bronze
Kisah Tragis Vampire Penghisap ASI [Cerpen Penawar Kesepian]
Andi Resnadi
Flash
Bronze
Memadu kasih
penulis kacangan
Cerpen
Akew yang Menyakiti
E. N. Mahera
Cerpen
Journey to Tangerang
R. Rusandhy
Komik
Bronze
The Daily of ARLO
Anindosta Studios
Flash
Cinta yang NIHIL
Ula
Cerpen
Bronze
Nenek ku Super
Novita Ledo
Komik
Random Moment
giin_
Flash
Surat dari Masa Depan
Penulis N
Flash
Keran
Mata Panda
Cerpen
Bronze
Dravoryans: Kota Goblin, Monumen Es, dan Ranjau yang Dilupakan
Darian Reve
Flash
Ayam kampus
Bungaran gabriel
Rekomendasi
Cerpen
Belajar Nyetir
cahyo laras
Cerpen
Cintaku Bertepuk Sebelah Treadmill
cahyo laras
Cerpen
Jangan Ge-Er, Dia gitu ke semua orang
cahyo laras
Cerpen
Jiwa Lelaki Meronta, Otot Minta Pulang
cahyo laras
Cerpen
Sepatu Mangap di Marathon 10k
cahyo laras
Cerpen
Temen Papah Zone
cahyo laras
Cerpen
Tragedi Salah Makam
cahyo laras
Cerpen
Mission Impossible : Protocol Cepirit
cahyo laras
Cerpen
Senjata Biologis Buatan Gebetan
cahyo laras
Cerpen
Kesenjangan yang terlalu senjang
cahyo laras
Cerpen
Split Bill, Split Hidup
cahyo laras
Novel
Kontrak Terakhir
cahyo laras
Cerpen
Datang Bawa Malu, Pulang Bawa Duit (lagi)
cahyo laras