Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Romantis
Belajar masak yukz, Sayang
3
Suka
4,996
Dibaca

“ Selamat pagi.” Aku selalu merasa bahagia melihat senyum lebarnya, saat menyapaku setiap hari. Wajahnya selalu ceria, suara tawanya selalu membuat hariku terasa lebih bersemangat. 15 tahun aku mengenalnya, aneh rasanya bila sehari tidak bertemu.

Kami sudah kenal, dekat, berteman dan bersahabat cukup lama. Aku mengenal dia, begitu juga sebaliknya. Tidak ada cerita atau hal apapun, yang tidak kami ketahui satu sama lain. Tidak ada orang yang lebih dekat denganku, selain dirinya. Orangtua kami juga saling mengenal dan sering merasa heran dengan tingkah laku kami yang terkadang sangat rukun, terkadang seperti anjing dan kucing. Walau, akhir-akhir ini, kita bisa melihat anjing dan kucing bisa rukun juga sih.

Dia bisa sangat menawan, tapi juga bisa sangat menyebalkan. Kalau isengnya sedang kumat, dia senang menaburi kepalaku dengan bermacam-macam bunga, lalu mengambil langkah seribu bila melihat wajahku mulai memerah karena kesal. Di ulang tahunku yang ke-17, dia menghadiahkan peralatan menyulam yang sudah ada gambar kelincinya, jadi tinggal menjahitkan sesuai dengan warnanya.

“ Untuk umur 17 tahun, kamu termasuk pendek juga.” Aku menendang kaki kirinya, saat salah satu tangannya ditopangkan di kepalaku.

“Aduh…”Dia mengelus kakinya.

” Yang sebelah kanan mau sekalian ?” Dia tersenyum sambil menggelengkan kepalanya.

“ Tidak, terima kasih tuan putri.” Von selalu berhasil membuatku tersenyum dengan tingkahnya, rasanya tidak pernah rela berlama-lama marah sama dia.

“ Dei, umur kamu kan sudah 17 tahun, sudah bisa masak apa saja?” Ledeknya.

“ Banyak, masak nasi, masak air dan yang paling penting, masak mie rebus.” Von menjitak kepalaku.

“ Payah, kamu cewek tapi tidak bisa masak.”

“ Tuan Von, anda sendiri sudah berusia 22 tahun, bisa masak apa saja?” Dia mulai pasang gaya.

“ Masak adalah urusan seorang istri. Tugasku mencari uang yang banyak dan dilayani.” Aku mengelus dada.

“ Untung jodohku bukan kamu.” Von tersenyum genit.

“ Bukannya kita sudah dijodohkan sejak kecil ?”

“ Kamu pasti berhalusinasi.” Aku segera meninggalkan dia sendirian. Tidak kuperdulikan suara Von yang terdengar memanggil-manggil namaku.

***

Von benar-benar membuatku jengkel, sepertinya dia ingin membalas perkataanku padanya. Saat lewat di depan rumahku, dengan sengaja berbisik-bisik mesra dan tertawa-tawa dengan seorang cewek. Apa dia teman kuliah Von ? sejak kapan Von punya teman cewek yang tidak aku kenal, di kampus ? aku tidak pernah tahu. Jam 7 malam, aku pergi ke lapangan basket yang tidak jauh dari rumahku. Udara terasa lebih dingin, mungkin karena hujan sepanjang hari.

“ Main sendiri ? kenapa tidak telphon aku ?” Von merebut bola dari tanganku dan melemparkannya ke keranjang. Aku agak tertegun sejenak, merasakan hal yang berbeda dengan kehadirannya. Segera kuberlari ke arah Von.

“ Aku sedang ingin sendiri.” Kurebut bola itu.

“ Kenapa ? cemburu?” Aku tertawa.

“ Cemburu untuk apa ? cemburu tidak ada dalam kamusku. Aku sedang berfikir untuk membalas kamu.”

“ Membalas ?” Aku tidak memperdulikan kalimat terakhirnya, terus memasukan bola ke dalam keranjang. Von berlari ke arah ring dan mengambil bola yang kulempar, berjalan ke arahku sambil menatapku tajam.

“ Membalasku ?” Aku berjalan ke tempat duduk. Von tampak penasaran dan terus mengikutiku.

“ Gara-gara ucapan kamu di depan keluargaku, sekarang mereka memaksa aku untuk belajar masak, dan berkat hadiah sulaman kamu, aku harus menyulamnya setiap hari, tidak punya waktu untuk latihan basket.” Von menunduk. Aku segera menyesali ucapanku, mana mungkin aku tidak menyukai hadiah dari Von.

“ Memang belajar masak itu jelek ?” Gumamnya. Aku tidak bisa menilai apa yang dia rasakan saat ini, ekspresi wajahnya terlihat tidak bisa ku mengerti.

“ Sangat menyebalkan dan bukan impianku sama sekali. “ Aku menampar bola yang dipegang Von, lalu membawanya pergi. Kadang aku suka mengatakan sesuatu kepada Von, hal yang tidak sungguh-sungguh aku rasakan, hanya untuk menutupi rasa hatiku yang sebenarnya.

***

Mataku yang setengah terbuka, melihat jam weker di atas meja, jam 2 pagi !!

“ Halo..” Siapa sih yang telpon ??? berani banget nelphon jam segini.

“ Dei, aku minta maaf…” Suara Von. Tanpa sadar aku tersenyum. Akhir-akhir ini, aku sering merasa senang mendengar suaranya di telphon.

“ Aduh Von, sekarang jam 2 pagi…” Aku pura-pura kesal.

“ Iya, aku tahu, aku gak bisa tidur.”

“ Kenapa ?” Nada suaraku merendah. Aku bicara sambil memejamkan mataku.

“ Aku udah buat kamu kesel, jengkel, bete, aku memang brengsek…”

“ Von…” Segera kusela perkataannya. Hening sejenak.

“ Sejak kapan sih aku serius marah sama kamu ? cuma lagi kesal aja hari ini…kamu taukan apa yang terjadi di rumah.”

“ Serius..?” Nada suara Von terdengar riang.

“ He..eh, aku tidur ya…” Walau sebenarnya, sebagian rasa kantuku sudah hilang.

“ Eh…jangan dulu. Kita ngobrol yuk…”

“ Ngobrol apaan ? besok aku sekolah. Aku sudah 3 kali terlambat ke sekolah, gara-gara nemenin kamu ngobrol sampai pagi. Memang besok kamu gak kuliah?”

" Aman, besok aku libur. Masa sampai 3 kali terlambat? memangnya kamu gak pasang weker?"

" Sudah. Lagipula, kamu mau ngomong apa sih Von? kalau gak penting, aku matiin ya telphonnya. Sudah cukup aku absen ke ruangan kepala sekolah, jangan sampai keempat kalinya."

" Apa gak bisa diomingin besok pagi aja?"

" Gak bisa, benar-benar gak bisa."

" Kok? penting banget kah?" Aku langsung duduk di tempat tidur.

" Ini penting banget, sangat penting bahkan. Menyangkut kehidupan kita berdua..."

" Kehidupan kita berdua? maksudnya?" Terdengar tawa Von di sebrang sana.

" Iya, penting banget..."

" Apaan sih? bikin penasaran aja. Kalau engga penting, aku langsung matiin ya..." Ancamku.

“ Hm…aku setuju kok dengan perjodohan kita…” Telpon langsung aku tutup, tapi aku sempat tersenyum sebelum kembali tidur dan berharap pagi segera datang.

***

Sudah 1 minggu aku tidak bertemu Von, pasti dia sedang sibuk di kampus. Dia memang semakin sibuk sejak kuliah dan aktif di kegiatan kampus.

“ Dei, Von masuk rumah sakit, kecelakaan.” Tas sekolahku langsung terjatuh di lantai. Saat aku tiba di rumah sakit, cewek yang dulu kulihat jalan dengan Von sedang duduk di sebelah Von. Cewek itu tersenyum dan langsung berdiri menyambut kami.

“ Terima kasih sudah mau datang.” Apaan sih nih cewek ?? aku segera mendekati Von.

“ Von, kenapa loe ?” Von diam saja sambil menatapku dengan ekspresi bingung.

“ Von ?” Aku duduk di sebelahnya.

“ Dia lupa ingatan.” Cewek itu menyentuh pundakku. Aku menatap Von tidak percaya.

“Kamu pasti Dei, teman Von dari kecil. Aku Cinta, pacar Von.” Mana mungkin aku tidak tahu siapa pacar Von.

“ Sejak kapan ?” Aku mengerutkan keningku saat bertanya kepada Cinta. Aku tahu, sepertinya kurang sopan menanyakan hal tersebut dengan nada tinggi, tapi saat ini rasa sopan santunku sedang menguap entah kemana.

“ Sudah satu tahun.” Aku tertegun sejenak, kalimat itu terasa ganjil buatku. Tanpa basa-basi aku berdiri dan meninggalkan mereka. Ada apa ini???

***

“ Hai Von..” Hari ini Von sudah kembali ke rumah.

“ Hai Dei.” Von masih tampak pucat. Cara dia menyambutku tidak seperti biasanya, entah kenapa itu terasa sangat mengusikku. Tiba-tiba aku merasa sangat kehilangan Von, walau sosoknya ada di hadapanku.

“ Ingatan kamu sudah pulih ?” Aku langsung duduk di sebelah Von.

“ Cinta yang kasih tahu siapa kamu.” Senyumku langsung hilang. Aku menatap kedua mata Von, berharap mendapatkan jawaban dari misteri, atas apa yang terjadi saat ini.

“ Ayolah Von, kalau kamu sedang bercanda denganku, ini sangat tidak lucu. Aku akan mengikuti apa saja maumu, tapi berhenti bercanda ya..” Reaksi Von tidak seperti yang aku harapkan, diam dan menatapku dengan kening berkerut. Tidak lama dia tersenyum tipis.

“ Bisa minta tolong ?” Aku mengangguk kuat-kuat.

“ Tolong bantu aku mengingat semuanya. Aku cuma mengenal Cinta, dan dia bilang kalau kamu temanku sejak kecil. Pasti kamu bisa banyak membantu.” Hanya mengenal Cinta ?? Von, aku teman kamu sejak kecil, aku bahkan tidak tahu siapa Cinta ?? keluarga kamu cuma kenal aku… siapa itu Cinta???

“ Mau menolongku ?” Aku hanya bisa mengangguk pelan.

“ Aku ini orang yang seperti apa ?” Von orang yang seperti apa ? ramah, jahil, manja, lucu, menggemaskan, tapi kalau aku sebutkan semua itu, aku pasti tidak bisa menahan airmataku.

“ Hai, kenapa melamun ?” Aku berusaha tersenyum.

“ Aku tidak tahu, kita tidak terlalu akrab.” Kalau keadaan terbalik, pasti Von akan mati-matian membantuku mengingat semuanya, membuka semua album foto kita, menceritakan semua kenangan, bahkan mungkin akan sedikit diberi bumbu-bumbu.

“ Hm…mungkin yang bisa banyak membantuku hanya Cinta..eh, tapi jangan tersinggung ya, aku rasa Cinta mengenalku dengan baik.” Dengan susah payah aku menelan ludah. Bisa gak ya, aku pentokin kepala dia ke tembok, melanggar hukum gak sih? siapa tahu ingatan Von bisa kembali saat itu juga. Kenapa pikiranku jadi kriminal seperti ini.

“ Baguslah..” Aku duduk di pinggir jendela. Saat aku menoleh ke arah Von, dia sedang menatapku dengan pandangan aneh. Ah…,tapi pasti itu hanya perasaanku saja. Kami terdiam cukup lama.

“ Bisa membantuku ?” Von mengangguk. Aku berjalan ke arah Von dan berdiri di sampingnya.

“ Tolong cubit tanganku.” Dia terdiam sesaat, tatapan aneh itu kembali aku lihat.

“ Untuk apa ?” Akhirnya dia berkata sambil tersenyum lebar.

“ Supaya aku tahu ini bukan mimpi.” Tangannya bergerak mencubit tanganku, sakit..ini semua nyata.

***

Hari ini aku bangun dengan bersemangat. Semalam aku memimpikan Von, dengan tatapan dan senyum yang sama. Aku akan berusaha membantu Von mendapatkan ingatannya, bukan mahluk berjudul Cinta. Lagipula, kalau Von sampai punya pacar, pasti aku yang pertama tahu. Aku segera mandi dan mengenakan baju terbaikku.

“ Von…!!” Aku masuk ke dalam rumah Von, dengan sikap seperti biasa tentunya.

“ Selamat pagi tante, Von ada ?” Mamanya Von tersenyum lebar.

“ Ada di kamarnya, Cinta juga ada di sana.” Perasaanku kok tidak enak ya, kenapa nama itu selalu hadir di telingaku akhir-akhir ini? Aku langsung berlari ke kamar Von.

“ Hai Von, sudah siap-siap kan ?” Von dan Cinta menoleh ke arahku. Aku harus mengeluarkan kemampuan akting terbaikku.

“ Aku lupa, kamu kan kena amnesia. Hari ini kamu berjanji untuk pergi denganku, malah pakai sumpah segala.” Tawaku terdengar palsu di kupingku sendiri. Von menoleh ke arah Cinta.

“ Aku tidak tahu…aku..sudah terlanjur buat janji dengan Cinta…maaf.” Cinta tampak salah tingkah.

“ Tidak apa, lain kali saja kita perginya.” Bukannya langsung pergi dari tempat ini, cewek itu seperti menunggu sesuatu..

“ Tapi…aku sudah terlanjur janji sama kamu sayang, lagipula hal ini lebih penting, kamu berjanji akan menceritakan semua kenangan denganku.” Pakai acara bilang sayang lagi, gemes banget jadinya. Aku langsung memutar otak, kira-kira apa yang akan Von lakukan kalau jadi aku ???

“ Padahal hari ini kita akan pergi ke klub basket kamu, tapi ya…”

“ Klub basket ? aku suka main basket ? Cinta bilang aku tidak suka basket ?” Cewek yang menyebalkan, aku harus berhati-hati. Ternyata dia cukup tahu banyak tentang Von. Apakah Von sering curhat kalau dia tidak suka basket? sering merasa terpaksa bermain basket denganku? aku tahu kalau Von tidak suka main basket, dari dulu, tapi entah kenapa dia selalu datang untuk menemaniku latihan?

“ Mana mungkin, kamu ingin jadi pebasket profesional kok.” Apakah wajahku tampak meyakinkan?? pasti begitu, karena tampaknya Von termakan ucapanku dan wajah Cinta tampak bersemu merah.

“ Mungkin memang kamu perlu pergi dengan Dei hari ini, banyak hal yang agak mengagetkan.” Akhinya dia mengalah dan aku ingin bersorak gembira untuk hal sekecil ini.

“ Kamu tidak apa-apa kan, Cinta ?” Mereka ingin pamer kemesraan apa?? Cinta mengangguk pelan.

“ Lain kali saja, masih banyak waktu kok. Aku pulang dulu ya…” Aku berusaha memasang wajah setulus mungkin.

“ Sampai bertemu lagi, Dei.” Aku tersenyum. Cinta berdiri dan melangkah keluar dari ruangan.

“ Hati-hati di jalan.” Balasku. Aku seperti memenangkan sebuah perlombaan yang sangat penting, ataukah terlalu berlebihan rasa itu?

***

Aku membawa Von ke klub basketku dan mengajak dia bermain basket sepanjang hari. Wajahnya tampak tidak terlalu menikmati permainan ini, tapi yang penting hari ini aku bersama dia. Aku ceritakan semua hal yang lucu, yang pernah kami lalui bersama sejak kecil.

“ Kamu bilang, kamu tidak terlalu mengenal aku.” Tatapan aneh itu kembali aku lihat.

“ Hm..bukan itu, hanya saja aku agak bingung harus memulai darimana, terlalu banyak cerita yang kita lalui. Tapi ini rahasia kita ya…” Von tersenyum lebar.

“ Pasti Cinta akan tertawa mendengar cerita ini.” Aku menyikut pinggangnya. Von terlihat menyebalkan sejak kena amnesia.

“ Hei, ini rahasia kita berdua, jangan beritahu siapa-siapa.”

“ Kenapa ?” Dia mengerutkan dahinya.

“ Rahasia ya rahasia, tidak boleh dikatakan. Kalau kamu cerita, bibirmu akan panjang seperti Pinokio.” Von tertawa.

“ Aku ingat cerita itu, yang panjang hidungnya bukan mulutnya.” Aku menatapnya agak lama, dia tampak salah tingkah.

“ Kamu ingat cerita Pinokia ?? kenapa tidak bisa mengingat cerita kita.”

“ Maaf, pasti aku membuatmu sedih.” Aku tersenyum lebar.

“ Tidak juga, kadang kamu membuat kepalaku pusing. Hilang ingatan sebentar bagus juga, asal jangan terlalu lama.” Aku berdiri dan membersihkan rumput yang menempel di celana jeansku.

“ Sudah sore, kita pulang yuk.” Ajak Von. Aku menggeleng.

“ Aku ingin membawa kamu ke tempat tukang bakso langganan kita.”

*** 

Waktu terus berjalan dan aku terus berusaha membuat Von mengingat semuanya. Kehadiran Cinta benar-benar sangat menggangguku. Aku harus melakukan sesuatu untuk mengusir dia.

“ Von, aku merasa agak sedikit aneh.” Von menoleh.

“ Kenapa ?” aku mencari kalimat yang tepat.

“ Kamu selalu cerita apa saja kepadaku, tapi tidak pernah cerita tentang Cinta. Apa benar kalian pacaran ?” Von terdiam.

“ Apa Cinta berbohong ?” Aku mengangkat bahu.

“ Aku mana tahu, kamu kan engga pernah cerita.”

“ Untuk apa dia bohong ?”

“ Mungkin saja dia naksir sama kamu, tapi kamunya cuek aja. Nah, pas ada kejadian ini dia mengarang cerita sebagai pacar kamu, untuk mendapatkan kamu. Mungkin saja kan…” Von tampaknya terpengaruh.

“ Aku akan tanyakan padanya.” Aku kaget juga saat melihat Cinta di sekolah, mau apalagi dia ??

“ Hei Dei, bisa bicara sebentar.” Kami duduk berhadapan di kantin.

“ Von cerita kalau…kamu cerita…dia tidak pernah cerita apa-apa tentang hubunganku dengan Von…” Cinta tampak gugup.

“ Von mengatakan kalau aku…mungkin berbohong.” Pastilah kamu bohong.

“ Apa kamu berbohong ?” Cinta menggeleng.

“ Ini surat Von untuk aku, pasti kamu bisa mengenali tulisan tangannya.”Aku mengambil surat itu.

“ Mungkin…mungkin, Von tidak cerita ke kamu supaya tidak menyakiti hati kamu.” Aku terdiam saat mengenali tulisan Von.

“ Itu surat cinta pertama dari Von.” Aku tidak bisa mengerti kata-kata yang ada di dalam surat ini, tapi aku mengenali tulisan dan kertas suratnya, ini asli.

“ Aku tidak berusaha untuk menyingkirkan kamu sebagai sahabat Von, kamu akan selalu mendapat tempat di hati Von. Aku akan menjaga Von baik-baik, jangan khawatir.” Aku mengangguk pelan.

“ Aku harap kita bisa berteman, teman Von temanku juga.” Cinta beranjak dari bangku.

“ Sampai ketemu lagi.”

***

Aku terus memikirkan perkataan Cinta, apa benar Von tidak mau cerita karena takut aku tersinggung ?? dan dia jatuh cinta sama cewek itu karena aku tidak bisa masak ?? cinta kamu cuma segitu Von ?? menyebalkan sekali ??

“ Hai Von.” Von tampak baru selesai mandi.”

“ Hai, ayo duduk dulu.” Aku menggeleng.

“ Aku cuma mau pamit, besok aku pergi ke Medan.” Von terdiam.

“ Kenapa buru-buru ?” Aku berusaha tertawa.

“ Ini sudah direncanakan lama kok, kamu juga sudah tahu.” Von tersenyum lembut.

“ Tidak mungkin, kamu tidak pernah cerita ke aku. Pasti karena Cinta, kamu cemburu ya..?” Tawaku semakin terdengar aneh.

“ Sok tahu kamu, mana mungkin kamu ingat, kamu kan kena amnesia.” Tanpa bisa kucegah airmataku menetes, aku buru-buru memalingkan wajah.

“ Aku memang pernah bilang suka sama Cinta, tapi itu karena aku sedang patah hati, saat melihat kamu jalan sama Diko. Kami tidak pernah pacaran.” Aku tertawa, aneh sekali kedengarannya..

“ Cinta tampak yakin sekali kalau kalian berpacaran.” Von menggeleng.

“ Aku cuma bilang suka dan tulis surat padanya, tidak pernah mengajak dia berpacaran. Aku tidak pernah menjanjikan apa-apa padanya. Terserah, kalau kamu mau menganggapku kejam.”

“ Kenapa, ingatan kamu pulih ? kamu baru kejedot tembok ?” Von membungkuk di depanku sambil tersenyum lebar, senyum yang selalu aku suka.

“ Aku tidak pernah hilang ingatan, semua cuma sandiwara.” Aku terdiam sejenak, berusaha untuk mengerti.

“ Cinta teman kuliahku di kelas semester ini, makanya kamu belum aku kenalin ke dia.” Perlahan aku mulai mengerti apa yang sedang terjadi. Perlahan-lahan, dadaku dipenuhi rasa marah dan jengkel.

“ Jadi kamu bohong ? mau ngerjain aku ? apa bagus berbohong dengan pura-pura hilang ingatan?!!” Von berdiri tegak sambil tersenyum.

“ Marah ? silahkan saja.” Emosiku terasa sudah mencapai ubun-ubun.

“ Sudah tahu salah malah bertingkah !!”

“ Aku belajar dari kamu, kamu juga kalau salah suka tidak mau mengakui, bertingkah.” Entah kenapa, badanku terasa lemas melihat tatapannya yang tajam dan mesra.

“ Aku pergi dulu…” Aku berjalan menuju pintu.

“ Apa kamu lebih suka kalau aku kehilangan ingatan, baru berjuang untuk mendapatkan aku ?” Langkahku terhenti.

“ Bohong seperti itu tidak baik, tahu !!” Von berdiri di depanku dan kembali menunduk.

“ Aku tahu, tapi setelah ditolak 7 kali dan surat cintaku ditertawakan olehmu, aku juga ingin balas dendam.” Aku berusaha menghindar, tapi Von segera mencengkram kedua tanganku erat-erat.

“ Tidak selamanya aku suka menunggu…..” Kubalas tatapannya. Kami terdiam cukup lama.

“ Kamu mau apa ?” Von tersenyum.

“ Belajar masak, yuk.” Cowok menyebalkan, tanpa sadar aku tersenyum.

“ Aku tidak suka memasak…”

“ Aku juga tidak suka basket…” Kami terdiam, lalu tersenyum bersamaan.

 ***

Siang ini, di dapur rumahku ramai oleh suara aku dan Von yang sedang sibuk memasak.

“ Mau kemana ?” Kusembunyikan salah satu bumbu masakan di kantong celana.

“ Ke wc.” Aku segera mencari pembantu rumahku.

“ Bi..bi…ini namanya apa ?” Bi Sukir tersenyum geli melihatku.

“ Itu bawang bombay, neng.” Aku berbalik saat merasa kepalaku dipukul dari belakang. Von sudah berada di belakangku sambil membawa sendok nasi, yang kucurigai untuk memukul kepalaku, tadi.

“ Kenapa tidak tanya aku ?”

“ Sakit Von !!” Von tersenyum manis.

“ Maaf sayang, tapi sebagai sepasang kekasih kita harus terbuka dan saling percaya dong, jangan sembunyi-sembunyi seperti itu.”

“ Kata-katamu semakin lama, semakin menjijikan.” Aku bergegas kembali ke dapur, diikuti Von.

“ Von !! telor gorengnya kok gosong, kenapa ditinggal ?!!” Von tersenyum kecut.

“ Maaf..”

“ Aku sudah masak susah-susah….” Kumatikan kompor dan membuang telor gosong itu.

“ Engga usah masak telor deh, Von.” Von tertawa.

“ Susah Von, takut keciprat minyak panas.” Von mencubit pipiku.

“ Bagian ini dilewatkan saja ya.” Von kembali menyalakan kompor dan memasak 2 telor goreng. Pintar sekali dia masak, lebih hebat dari aku.

“ Jangan bengong, periksa dagingnya sudah empuk atau belum.” Kompor di rumahku memiliki 4 sumbu. Sambil menekan-nekan daging dengan garpu, aku mulai bersenandung.

“ Masak-masak yang enak, agar hati majikan senang.” Tawa Von tersebur keluar dan tiba-tiba memelukku, rasanya darahku berhenti mengalir.

“ Von….” Tenggorokan juga jadi mendadak kering.

“ Kenapa ?” Dia berkata tepat di kupingku.

“ Kalau masak kaya begini, aku rela deh belajar masak berjam-jam.” Von kembali tertawa.

“ Sana jauh-jauh ah, nanti terjadi gosip dan fitnah.” Aku mendorong Von menjauh.

“ Aduh anak mama, sudah sadar dengan kodratnya…” Aku melirik Von yang tampak menahan tawa.

“ Apaan sih ma ?” Bikin malu ajah.

“ Yang enak ya masaknya.” Mama meninggalkan kami di dapur, beserta rasa malu untukku, yang tersimpan di ruangan ini.

“ Von, kalau aku tetap tidak bisa masak, apa kamu akan memilih Cinta?” Von diam saja sambil menaruh telur matang itu di piring.

“ Von, jawab dong !” Von menoleh, wajahnya tampak kesal.

“ Pertanyaan basi, malas jawabnya. Cari pertanyaan yang lebih bermutu dong.” Aku sudah kenal tabiatnya yang satu ini, dia benar-benar kesal.

“ Mau sayur sop ? enak loh. Ini kesukaan kamu kan.” Von tertawa. Sambil membawa piring, dia pergi ke ruang makan.

“ Dei, sisa masakannya kamu yang beresin ya, aku tunggu di sini !!”

“ Von, masakannya mau diapain nih ? Von !! Von !!” Dia benar-benar menjengkelkan.

 

Ps : bisa gak urusan masak gua skip ????

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
@innuri : Terima kasih sudah mampir :)
Kisah yang manis
@semangat123 : Haha..makasih ya kak sudah mampir. Salam kenal 😀
Nggak bisa jangan di skip😁. Wkwkwk, ada si Von yang nemenin 🥰
Rekomendasi dari Romantis
Cerpen
Belajar masak yukz, Sayang
Irvinia Margaretha Nauli
Novel
Gold
Islah Cinta
Falcon Publishing
Novel
Senja
Erika Ardianti Dinata
Novel
Datang Lagi Rindu
Initial Jeka
Novel
Bronze
CAHAYA DI ATAS LUKA
sriwulandari
Novel
Mine
Syarah Amalia
Novel
Anyelir
Ninik Sirtufi Rahayu
Novel
Bronze
KASTURI DALAM SANGKAR
KUMARA
Novel
Bronze
Impian Mars
jangmi eileen
Novel
Bronze
PATAH HATI SEORANG DEMONSTRAN
Mario Matutu
Novel
Bronze
MarriedZONE!
JUST HANA
Cerpen
Bronze
Yang Fana Adalah Kamu
Suryawan W.P
Novel
GIORA
Salwa Auralyra H
Novel
Secret
Janis Etania
Novel
Real
Rushi Mu'min Aziz
Rekomendasi
Cerpen
Belajar masak yukz, Sayang
Irvinia Margaretha Nauli
Skrip Film
Her Podcast Case
Irvinia Margaretha Nauli
Flash
Prank April MOP
Irvinia Margaretha Nauli
Cerpen
Guru Utara dan Selatan
Irvinia Margaretha Nauli
Novel
Masha Man
Irvinia Margaretha Nauli
Flash
Kehilangan yang Tak Terbayangkan
Irvinia Margaretha Nauli
Flash
Princess Without Manners
Irvinia Margaretha Nauli
Flash
Menghidupkan Kembali Cinta Pertama
Irvinia Margaretha Nauli
Novel
Hujan di Tanah Utara
Irvinia Margaretha Nauli
Cerpen
Bronze
Rahasia Sang Pemimpi Wajah
Irvinia Margaretha Nauli
Flash
Fighter Kids - Give me more
Irvinia Margaretha Nauli
Flash
I Love You - Kisah Cinta 2045
Irvinia Margaretha Nauli
Skrip Film
Kereta Terakhir ke Nyumba
Irvinia Margaretha Nauli
Novel
Spanje - teman sekolah yang hilang
Irvinia Margaretha Nauli