Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Namaku Rafi, anak kedua dari dua bersaudara. Aku lahir di Semarang, dibesarkan di Bekasi, menempuh masa remaja di Tangerang, menjalani kuliah di Yogyakarta, dan kini tinggal di Cimahi untuk bekerja. Kalau ada sebuah quotes yang berbunyi, “Hidup adalah sebuah perjalanan,” maka aku adalah aktor dari cerita perjalanan hidup itu sendiri.
Sedari kecil, aku telah akrab dengan dunia perantauan. Meninggalkan satu kota ke kota lainnya sudah menjadi bagian dari hidupku. Rasa rindu, kegelisahan akan masa depan, bertahan hidup dengan seadanya, dan menjalin solidaritas terhadap sesama perantau adalah makanan sehari-hari.
Sebagai bagian dari keluarga kelas menengah, pilihan untuk merantau bukanlah sebuah petualangan romantis seperti yang banyak orang bayangkan. Itu adalah pilihan realistis dengan alasan agar mendapatkan kehidupan yang layak. Namun kenyataannya, hidup di perantauan tidak semanis yang digambarkan dalam film atau buku semata. Tak semua kota dapat menyambutmu dengan hangat, termasuk keluargaku.
Orang tuaku memilih Bekasi sebagai tempat tinggal kami sejak aku masih duduk di bangku SD. Saat itu, Bapak dan Ibu mendapat pekerjaan sebagai buruh pabrik. Namun tak lama kemudian, Bapak banting setir menjadi montir bengkel, sementara Ibu tetap bekerja di salah satu pabrik di bagian produksi. Sedangkan Kakak lebih memilih tinggal bersama Nenek di Semarang. Alhasil, aku satu-satunya anak yang ikut orang tua pindah ke Bekasi.
Kisah kami di Bekasi dimulai bukan dengan angin segar, melainkan dengan deru angkot dan bau selokan. Rumah kontrakan kami berada di pinggiran Kali Bekasi, di sebuah gang sempit yang becek saat hujan dan berdebu saat kemarau. Jalanan rusak dan genangan air seolah menjadi penghuni tetap setiap harinya. Udara Bekasi yang terkenal panas menjadi rutinitas harian kami. Namun di tengah segala keterbatasan itu, mau tak mau, hidup yang dipertaruhkan harus diselesaikan.
Setiap pagi, Bapak dan Ibu berangkat kerja, dan aku pergi ke sekolah sendirian. Tak seperti teman-teman yang diantar orang tuanya naik motor atau mobil, aku naik angkot sambil membawa tas dan sebuah kantong plastik berisi risol, lemper, dan gorengan lainnya. Ya, sejak kecil aku terbiasa berdagang di sekolah.
Suatu hari, Bu Reni, wali kelasku, bertanya,
“Kenapa kamu jualan, Rafi?”
Dengan penuh semangat, aku menjawab,
“Aku pengin jadi orang kaya, Bu!”
Ia hanya mengangguk dan tertawa kecil. Tapi bagi anak tujuh tahun sepertiku saat itu, impian menjadi kaya terasa sangat sederhana: jualan, untung, lalu bisa membeli apa pun yang aku mau.
Rutinitasku terus berulang setiap harinya. Pagi berjualan, siang bermain bola atau layangan bersama anak-anak kampung, sore dimarahi Ibu karena belum mandi, malam mengaji lalu tidur. Walaupun hidup serba terbatas, aku tidak pernah merasa kekurangan kasih sayang dari kedua orang tuaku.
Hingga usiaku menginjak 12 tahun, aku ingin masuk SMP favorit di Bekasi. Namun keinginanku tidak disambut antusias oleh Bapak dan Ibu. Mereka memintaku masuk pesantren saja. Katanya supaya aku jadi anak baik dan berakhlak. Aku sempat marah, merasa seperti tak dipercaya. Namun bertahun-tahun kemudian, saat aku sudah cukup dewasa, aku baru mengerti alasan sebenarnya: mereka tak punya cukup uang, dan aku bisa masuk pesantren karena lolos program beasiswa untuk anak kurang mampu.
Sejak tahu fakta itu, hatiku diliputi campuran rasa malu, marah, dan kecewa. Aku mulai memberontak. Beberapa kali aku menentang Bapak dan Ibu. Namun mereka hanya diam, tak berkata apa-apa. Mungkin karena mereka tahu, kata-kata mereka sudah tak cukup untuk meredam gejolak remaja dalam diriku.
Selepas SMA, aku memutuskan untuk tidak langsung melanjutkan kuliah. Aku ingin bekerja demi membantu Bapak dan Ibu. Kupikir, setiap peluh keringat yang mereka korbankan untukku sudah lebih dari cukup, dan aku ingin membalas pengorbanan mereka. Karena aku tahu, kadang Bapak terpaksa meminjam uang ke tetangga untuk kebutuhan sehari-hari. Ibu pun sering membawa dagangan sendiri ke pabrik tempatnya bekerja, berharap ada tambahan pemasukan untuk membiayai pendidikanku.
Suatu hari, Ibu berkata dengan lirih, “Nak, kamu jangan berhenti sekolah, ya.”
Aku menjawab, “Aku gak mau bikin Ibu sama Bapak makin susah. Mending aku kerja aja.”
Ia menatapku lama, lalu memegang tanganku. “Kamu harus sarjana, Sayang. Masa depan kamu lebih penting. Ibu sama Bapak gak mau kamu seperti kami.”
Namun aku tetap pada keputusan: aku ingin bekerja.
Namun ternyata, di balik diam mereka, Bapak dan Ibu tetap memikirkan jalan terbaik untukku. Tanpa sepengetahuanku, mereka mendaftarkanku ke sebuah kampus negeri di Yogyakarta. Dua bulan setelah lulus SMA dan menganggur, aku mendapat kabar diterima di jurusan Pendidikan Guru Sekolah Dasar.
Mengetahui kabar itu, tidak ada perasaan senang sama sekali. Aku malah sempat ragu, merasa gengsi, bahkan kecewa karena jurusannya tidak sesuai dengan yang kuharapkan. Namun daripada aku terus menganggur tanpa arah, akhirnya aku turuti juga keinginan mereka.
Di Yogyakarta, aku kembali menjadi perantau. Tinggal di kamar kos kecil, hidup serba hemat. Aku mulai mengenal kerasnya hidup sebagai mahasiswa: uang bulanan yang sering habis sebelum waktunya, tugas-tugas kuliah yang menumpuk, dan tekanan akademik yang terasa seperti beban tak terlihat.
Aku juga pernah jadi mahasiswa kupu-kupu—kuliah pulang, kuliah pulang—karena tak punya cukup uang untuk ikut organisasi atau nongkrong di kafe seperti teman-temanku. Kadang rasa iri muncul, tapi aku sadar, aku tak bisa menyamakan langkahku dengan orang lain. Aku datang dari tempat yang berbeda. Untuk bertahan hidup, aku juga mengambil pekerjaan sebagai driver ojol.
Selama di perantauan, rindu rumah kerap datang diam-diam. Aku sering mengingat aroma masakan Ibu, atau suara Bapak yang menyetel radio sambil memperbaiki motor. Saat uang habis, aku terpaksa berpuasa sambil pura-pura baik-baik saja di depan teman-teman. Apalagi ketika tahu situasi ekonomi keluarga juga sedang kesulitan. Namun justru dari situlah aku belajar banyak hal tentang hidup: tentang bertahan, mandiri, dan menghargai perjuangan orang tua.
Waktu terus berjalan, dan akhirnya aku lulus kuliah. Tanpa banyak pertimbangan, aku menerima tawaran kerja di Cimahi, Jawa Barat. Sebuah perusahaan pendidikan membuka lowongan, dan aku diterima sebagai staf pengembangan kurikulum. Gajinya tidak seberapa, tapi cukup untuk hidup dan menabung sedikit demi sedikit.
Kini, di usia 25 tahun, aku sudah tak lagi sering melawan. Justru aku mulai merindukan masa-masa dulu. Aku mulai sadar bahwa di balik segala rasa marahku pada macetnya, banjirnya, panasnya, dan jalan rusaknya Bekasi, ada cinta yang tak bisa kutemukan di kota lain.
Bekasi mungkin bukan kota yang sempurna. Masalahnya justru terlalu banyak: mulai dari pembangunan yang tak merata, perkelahian antarormas, kemacetan yang tak pernah selesai diatasi, korupsi, polusi, hingga banjir. Namun Bekasi adalah tempat di mana keluarga kecilku tinggal. Tempat aku memulai segalanya di perantauan. Tempat di mana rumah selalu terbuka saat sedang lelah, meski catnya mulai mengelupas dan pintunya sedikit berderit. Di sana, ada Bapak yang masih suka menanamkan keberanian dalam hidup, dan Ibu yang selalu mendengar serta merangkul saat aku sedang sedih.
Dan setiap kali aku pulang ke Bekasi, berjalan menyusuri gang sempit tempatku tumbuh, aku merasa tenang. Seolah semua lelah perantauan tak ada artinya saat melihat senyum Bapak dan pelukan hangat Ibu. Mungkin bagiku, Bekasi bukan hanya sekadar tempat tinggal. Ia adalah rumah yang selalu menerimaku kembali.
Bekasi telah bersamaku seperempat abad. Dan meski aku akan terus melangkah ke kota lain, hati kecilku tahu, rumah yang sejati adalah tempat di mana kasih sayang tinggal. Dan bagiku, rumah itu bernama Bekasi.