Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Di bawah lampu temaram yang merayap seperti asap, meja itu berdiri, bukan sekadar permukaan kayu, tetapi medan pertempuran bisu yang menyimpan luka tak terhapuskan. Bekas goresan itu, seperti guratan waktu yang menolak untuk luntur, menjadi saksi bisu dari kisah yang tak pernah selesai. Ia bukan sekadar noda, melainkan bisikan yang terperangkap di antara denting gelas dan tawa yang mengalun, sebuah rahasia yang bergetar di ujung kata namun tak pernah terucap.
Dia duduk di sudut yang sama, tubuhnya membeku dalam diam yang penuh akan arti. Matanya menelusuri lekuk bekas luka itu, menantang waktu untuk membuka tabir yang selama ini tersembunyi. Langkah yang mendekat tidak mengagetkannya; ia sudah tahu, malam ini akan kembali membawa cerita yang setengah mati ingin dilupakan.
“Kau kembali ke sini,” suara itu datang, berat dan penuh makna, seperti gema dari masa lalu yang tak pernah benar-benar pergi.
Dia mengangguk, senyum tipis terukir di bibirnya, tapi matanya tetap terkunci pada bekas luka. “Karena hanya di sini, aku bisa berdialog dengan bayanganku tanpa takut ditolak.”
Dialog itu bukan sekadar pertukaran kata; ia adalah medan perang antara keberanian yang tersisa dan penyesalan yang merayap, antara harapan yang terkubur dan luka yang membekas dalam-dalam. “Bayangan itu, kadang lebih jujur daripada sosok yang kau kejar,” balas suara itu, menatap lurus ke bekas luka di meja.
Bekas luka itu seperti lukisan abstrak yang diciptakan oleh waktu dan emosi, menyimpan lebih banyak cerita daripada yang bisa diungkapkan kata-kata. Ia adalah metafora hati yang pernah berdarah, janji yang patah tanpa suara, dan waktu yang mencuri kesempatan.
“Pernahkah kau bertanya pada diri sendiri, mengapa luka itu tetap ada?” suara itu bergetar, seperti angin yang menyelinap di celah pintu.
Dia menarik napas dalam, jari-jarinya menari di atas permukaan meja, mengikuti lekuk bekas luka itu. “Karena luka itu adalah pengingat. Pengingat bahwa aku pernah berani mencintai, dan berani kehilangan.”
Keheningan menggantung, berat dan pekat. “Bertahan bukan berarti kuat. Kadang, bertahan adalah cara lain untuk menyerah tanpa kata.”
Tatapan mereka bertemu, sebuah pertempuran diam yang penuh arti. “Mungkin. Tapi menyerah tanpa bertahan, itu bukan aku.”
Malam itu, kafe menjadi panggung di mana kata-kata menyembunyikan lebih banyak daripada yang mereka ungkapkan. Di balik dialog yang penuh subteks, ada pergulatan batin yang tak pernah usai. Bekas luka di meja itu bukan hanya saksi bisu, tapi bahasa yang hanya bisa dimengerti oleh mereka yang pernah merasakan sakit yang sama.
Di tengah percakapan yang mendalam, pelayan kafe datang dengan secangkir kopi hitam pekat dan sepotong kue cokelat. Aroma kopi yang menyengat mengisi udara, seolah mengundang mereka untuk melupakan sejenak beban yang ada.
“Ini untuk kalian,” kata pelayan itu sambil tersenyum, sebelum melanjutkan langkahnya. Dia mengambil cangkir kopi, menghirup aromanya dalam-dalam.
“Kau tahu, kadang aku merasa seperti kopi ini. Hitam, pahit, tapi tetap ada kehangatan yang bisa dirasakan,” ujarnya, menatap cangkirnya seolah mencari jawaban di dalamnya.
“Dan kue ini?” tanya suara itu, mengangkat sepotong kue cokelat. “Apakah ini mewakili manisnya kenangan yang kau inginkan kembali?”
Dia tersenyum pahit. “Mungkin. Tapi manisnya hanya sementara. Setelah itu, rasa pahitnya akan kembali lagi.” Suasana di kafe semakin hangat, ketika rintik hujan mulai membasahi jendela kafe, suara butiran air yang beradu dengan kaca menciptakan simfoni alam yang menggema di ruang sunyi itu. Setiap tetes yang meluncur meninggalkan jejak sementara, bagai garis-garis payung yang diukir oleh waktu.
Udara lembap membawa aroma petrichor yang khas, bercampur dengan wangi kopi yang menguar dari teko keramik di meja sebelah. Beberapa pengunjung terganggu oleh deru angin yang tiba-tiba menerpa jendela, namun bagi mereka, dentingan gelas dan derai hujan justru menjadi latar yang sempurna untuk melanjutkan pembicaraan mereka yang penuh makna. meski di luar hujan mulai turun, menciptakan irama lembut yang menambah kedalaman percakapan mereka.
“Hujan ini, seperti hidup kita. Kadang membawa kesegaran, kadang hanya menambah beban,” suara itu melanjutkan, menatap ke luar jendela.
“Dan kita, terjebak di antara keduanya,” jawabnya, menatap ke arah jendela yang mulai berembun. “Kita bisa memilih untuk berteduh atau tetap basah kuyup.”
Apakah kau ingin berteduh?” tanya suara itu, menantang.
Dia terdiam sejenak, merenungkan pertanyaan itu. “Berteduh berarti menghindar dari kenyataan. Tapi mungkin, terkadang kita perlu merasakan hujan untuk benar-benar memahami arti dari pelangi.”
Mereka terdiam, membiarkan kata-kata itu menggantung di udara. Dalam keheningan itu, suara dentingan gelas dan tawa pengunjung lain menjadi latar belakang yang kontras dengan perbincangan mereka. Setiap tawa seolah mengingatkan mereka akan kebahagiaan yang pernah ada, yang kini terasa jauh dan samar.
“Apakah kau ingat saat kita pertama kali datang ke kafe ini?” suara itu tiba-tiba mengalihkan perhatian, mengingatkan kenangan yang terpendam.
“Kita tertawa, berbagi mimpi, dan tak pernah berpikir bahwa kita akan berada di sini, dalam keadaan seperti ini.”
Dia mengangguk, senyum kecil muncul di bibirnya. “Ya, saat itu segalanya terasa mungkin. Kita berjanji untuk tidak membiarkan apapun memisahkan kita.”
“Dan lihatlah sekarang,” suara itu melanjutkan, nada sedih menyelinap di antara kata-katanya. “Kita terpisah oleh luka yang kita ciptakan sendiri.”
“Luka itu bukan hanya milik kita. Ia adalah bagian dari perjalanan kita,” jawabnya, berusaha menegaskan. “Kita bisa memilih untuk membiarkannya menghancurkan kita, atau menjadikannya pelajaran.”
Lampu kafe mulai meredup, bayangan mereka memanjang dan menyatu dengan gelap. Mereka bangkit tanpa kata, meninggalkan meja yang penuh bekas luka,bekas luka yang akan terus menunggu cerita berikutnya, cerita tentang keberanian, penyesalan, dan penerimaan.
Namun di balik keheningan itu, ada bisik yang tak terucap, janji yang terselip di antara celah waktu. Bahwa luka bukanlah akhir, melainkan pembuka jalan bagi sesuatu yang lebih jujur, lebih nyata. Bekas luka itu bukan hanya tentang masa lalu, tapi tentang bagaimana kita memilih berdamai dengannya, dan melangkah tanpa beban tak terlihat.
Dia berjalan keluar dari kafe dengan langkah berat tapi pasti, meninggalkan jejak tak kasat mata di lantai berkilau. Di luar, angin malam membawa aroma hujan yang belum turun, seolah menunggu untuk membersihkan bukan hanya jalanan, tapi juga hati yang penuh bekas. Di balik pintu kaca, meja itu tetap berdiri, diam dan setia, menyimpan luka yang tak pernah hilang, saksi bisu manusia yang berani menghadapi bayangannya sendiri.
Langit malam menggantung rendah, membungkus kota dalam selimut gelap yang pekat. Di sudut kafe, di bawah lampu yang redup dan hangat, dua sosok bertemu bukan untuk saling mengisi, tapi untuk saling menguji. Meja itu, dengan bekas lukanya yang dalam, menjadi medan pertempuran tanpa suara; medan di mana kata-kata yang tak terucap berkelindan dengan bayang-bayang yang menari.