Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Begalan di Hari Bahagia
Pagi itu, matahari merangkak pelan di langit Purwokerto. Udara masih sejuk, tapi halaman rumah keluarga Lena yang cukup luas sudah ramai. Bau bunga melati bercampur dengan dupa, sementara suara gamelan Banyumasan mengalun mengisi udara.
Di sisi halaman, meja panjang dengan hidangan prasmanan sudah tertata: nasi putih, opor ayam, tempe mendoan hangat, sate ayam, hingga sayur asem. Asap tipis dari kuah panas menebar aroma gurih yang bercampur dengan wangi sambal terasi. Tamu yang baru datang saling menegur, sembari berkomentar tentang lauk-pauk yang menggugah selera.
Anak-anak kecil berlarian di halaman, sesekali menirukan suara gamelan dengan tepukan tangan. Para tetua duduk di kursi panjang sambil merapalkan doa-doa lirih, sementara ibu-ibu sibuk membetulkan selendang dan kebaya mereka. Di sudut ruangan, ayah Lena berdiri dengan dada membusung, wajahnya menyiratkan kebanggaan sekaligus haru karena putri satu-satunya akan melepas masa lajang.
Di kursi akad, Lena duduk bersanding. Wajahnya berhias paes hitam, tangannya dingin, tetapi hatinya hangat. Lima tahun penantian akhirnya tiba: ia menikah dengan Riko.
Riko duduk di sampingnya, mengenakan beskap cokelat keemasan. Tubuhnya tampak kaku, asing dengan pakaian adat Jawa. Tapi setiap kali menoleh ke arah Lena, senyum itu muncul tulus, gugup, dan penuh cinta.
Ayah Lena mendekat, duduk di samping putrinya. Jemarinya yang mulai berkeriput menggenggam tangan Lena dengan hangat.
“Nak, rasanya baru kemarin Bapak mengantarmu sekolah dengan rambut dikepang dua. Sekarang kamu sudah siap jadi istri orang. Bapak hanya minta satu… jaga rumah tanggamu baik-baik, dan jangan pernah lupa pulang.”
Lena menahan tangis, suaranya bergetar. “Iya, Pak… Lena akan berusaha sebaik mungkin.”
Ayahnya tersenyum, menepuk pundaknya pelan. “Kalau begitu, ayo… sebentar lagi saatnya. Hari ini bukan hanya hari bahagiamu, tapi juga hari terindah bagi Bapak.”
Lena menarik napas panjang, mencoba meredakan getaran di dadanya. Lima tahun penantian itu terbayang: surat-surat panjang yang mereka kirimkan, jarak Kalimantan–Purwokerto yang kadang terasa seperti lautan tak bertepi, serta doa yang tak pernah putus di setiap malam. Semua terbayar hari ini, di hadapan orang tua dan sanak saudara.
Akad nikah berjalan singkat, suara penghulu tegas di telinga Riko. “Saya terima nikahnya Lenata Hardi binti Hardi Suwiryo dengan mas kawin tersebut, tunai.”
Teriakan “sah!” pecah dari para saksi. Lena menunduk, air matanya jatuh, bahagia.
Prosesi adat menyusul. Ada tawa kecil saat Riko menginjak telur ayam kampung, lalu Lena membasuh kakinya dengan air bunga. “Mulai sekarang, langkahmu adalah tanggung jawabku,” bisik Lena lirih.
Riko terdiam, dadanya penuh rasa tak percaya bahwa ia benar-benar sudah sampai di titik ini.
Namun, yang paling mengesankan datang setelahnya.
Dua pria tiba-tiba muncul, mengenakan pakaian ala jawara dengan pikulan di bahu. Mereka menghadang dengan suara lantang:
“Heh! Ora bisa liwat kéné. Dalane wis ditutup. Angger arep liwat, kudu ninggal barang!” (Heh, tidak bisa lewat sini. Jalannya sudah ditutup. Kalau mau lewat, harus meninggalkan barang!"
Tamu undangan terbahak. Riko tertegun. Ia belum pernah melihat adat seperti ini.
Dadanya berdebar, antara bingung dan kagum. Awalnya ia merasa canggung, takut salah menanggapi, tapi lambat laun rasa terhibur menyelusup. Ia bahkan ikut tersenyum saat para tamu tertawa, menyadari bahwa dirinya kini benar-benar sedang menjadi bagian dari budaya baru.
Dari samping kursi pelaminan pengantin, ibu Riko menatap penuh rasa heran bercampur kagum. “Di tempat kita tidak ada begini,” gumamnya pelan pada ayah Riko. Mereka berdua terkekeh geli. Bagi mereka, prosesi aneh ini justru jadi cerita yang tak akan terlupakan ketika pulang nanti.
“Lha kiye sapa? Rupamu kok ora Jawa. Asline ngendi, Mas?” (Lha ini siapa. Wajahmu kok tidak Jawa. Aslinya mana, Mas?" tanya salah satu begal.
Riko menelan ludah. “Saya… dari Kalimantan.”
“Wah, adoh temen! Wong Borneo gutul Purwokerto. Ya kudu ngerti adat Banyumas disit.” (Wah, jauh banget! Orang Borneo sampai Purwokerto. Ya harus tahu adat Banyumas dulu."
Dengan gaya teatrikal, keduanya mengeluarkan isi pikulan: wajan, talenan, pisau, gayung, hingga beras dan sayur. Satu per satu dijelaskan penuh makna.
Begal 1: “Heh! Ora bisa liwat kéné. Kiye dalané wis tek kancingi. Angger pengin liwat kudu ninggal barang!”
(Hei! Tidak bisa lewat sini. Jalan sudah dikunci, kalau mau lewat harus meninggalkan barang!)
Begal 2: “Lha kiye sapa? Wah, rupa-né kok ora Jawa. Aslimu ngendi, Mas?”
(Siapa ini? Wajahnya bukan Jawa. Asalmu dari mana, Mas?)
Riko menjawab malu: “Saya… dari Kalimantan.”
Begal 1: “Wah, adoh temen! Wong Borneo gutul Purwokerto. Ya kudu ngerti adat Banyumas disit.”
(Wah, jauh sekali! Orang Borneo sampai Purwokerto. Ya harus tahu adat Banyumas dulu.)
Begal 2: “Wis, ayuh dideleng barang sing digawa kiye. Ben ngerti maksude.”
(Sudah, ayo dilihat barang yang dibawa ini. Supaya tahu artinya.)
Begal 1: “Kiye waja. Rumah tangga kudu bunder, ora kothak, ora pecah. Aja kaya mantanmu ya, Mas.”
(Ini wajan. Rumah tangga harus bulat, tidak kotak, tidak pecah. Jangan seperti mantanmu ya, Mas.)
Begal 2: “Kiye talenan. Saben tumindak kudu ana landasané. Aja sembrana, angger sembrana bisa cilaka.”
(Ini talenan. Setiap tindakan harus ada landasannya. Tidak sembrono, kalau sembrono bisa celaka.)
Begal 1: “Kiye peso. Kudu ngati-ati nek nganggo. Salah-salah bisa gawe tatu. Padha karo tutuk, salah ngomong bisa gawe lara ati.”
(Ini pisau. Harus hati-hati kalau pakai. Salah-salah bisa membuat luka. Sama dengan mulut, salah ngomong bisa bikin sakit hati.)
Begal 2: “Kiye siwur. Urip kudu bisa mlaku terus. Rejeki kudu digawa metu dibagi karo bojone, aja diumpetna nggo awake dhewek. Angger diumpetna, sing seneng malah lintah darat.”
(Ini gayung. Hidup harus bisa jalan terus. Rejeki harus dibawa keluar dibagi dengan istri, jangan disembunyikan untuk diri sendiri. Kalau disembunyikan, yang senang malah lintah darat.)
Begal 1: “Lha kiye beras karo sayur. Tandha urip kudu dilakoni bareng. Mangan ora mung wareg, tapi kudu padha-padha ngopeni. Aja nganti bojomu mangan sega nganggo iwak, kowe mung kebagean sambel tok.”
(Lha ini beras dan sayur. Tanda hidup itu harus dijalani bersama. Makan tidak hanya kenyang, tapi harus saling mengurus. Jangan sampai, istrimu makan dengan ikan, kamu hanya kebagian sambal saja.)
Gelak tawa, sorak sorai, dan sorot kagum tamu menyatu. Bagi keluarga Riko yang jauh-jauh datang dari Kalimantan, prosesi ini adalah kejutan luar biasa. Bagi Lena, ini pengingat bahwa kebahagiaan bukan hanya soal mereka berdua, tapi juga bagaimana adat dan budaya merangkul perjalanan cinta mereka.
Ia sadar, setiap benda yang ditampilkan para begal itu hanyalah barang dapur biasa, namun maknanya dalam sekali. Seperti doa yang dibungkus kelakar, petuah yang disampaikan lewat tawa. Lena merasa adat begalan itu bukan sekadar hiburan, melainkan restu yang diwariskan leluhur untuk menguatkan langkah mereka.
Ketika begalan usai, gamelan kembali mengalun. Riko menoleh pada Lena, matanya berbinar.
“Aku nggak nyangka, pernikahan bisa seunik ini.”
Lena tersenyum, lalu berbisik, “Selamat datang di duniaku, Mas.”
Dan hari bahagia itu pun benar-benar terasa lengkap.
Riko meremas jemari Lena lebih erat. Dalam hatinya, ia berjanji akan belajar banyak tentang dunia istrinya. Lena pun tersenyum, menyadari bahwa perjalanan cinta mereka baru saja dimulai, dan hari ini hanyalah pintu pertama yang mereka buka bersama.
____
Terima kasih kepada keluarga, sahabat, dan para tetua adat yang telah menjaga dan melestarikan tradisi. Juga untuk setiap pembaca yang bersedia singgah sejenak di kisah ini, semoga hangatnya cerita bisa ikut terbagi ke hati masing-masing.
Kisah ini adalah awal dari perjalanan Lena & Riko yang akan berlanjut dalam novelku nanti.
Dukung terus ya, supaya aku semangat menulis 💖