Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Drama
Beban di Pundak Muda
0
Suka
3
Dibaca

Namanya Milea. Orang tuanya memberi nama itu dengan harapan hidupnya indah. Wajahnya cantik, hatinya lembut. Tapi hidupnya jauh dari kata mudah—lebih sering pahit daripada indah. Buatnya nama itu cuma hiasan.

"Beruntung kamu, Lin, uang gajimu aman. Kamu bisa menabung, nongkrong di kafe, beli make up, beli baju, kulineran," ungkap Milea sambil tersenyum kecut. Ia iri kepada Elina, salah satu rekan kerjanya di pabrik kopi.

Milea merupakan anak pertama dari sepuluh bersaudara. Ibunya seorang buruh cuci, sedangkan bapaknya berjualan siomay keliling. 

Sebelumnya, bapaknya berprofesi sebagai buruh bangunan, bahkan jam terbangnya sampai ke luar kota. Sejak insiden kecelakaan kerja yang hampir merenggut nyawanya, istrinya mati-matian melarangnya balik ke dunia kerja yang penuh risiko. Akhirnya, ia beralih profesi.

Bapak dan ibu Milea rajin sekali bikin anak. Tak tanggung-tanggung, anak yang mereka hasilkan sampai berjumlah sepuluh. Mereka berencana punya banyak keturunan, tetapi tanpa persiapan, perhitungan, bahkan perencanaan keuangan yang matang.

Finansial keluarga itu seadanya. Menyebabkan kebutuhan mereka terpenuhi secara pas-pasan. Milea dan adik-adiknya menjalani hidup yang malang. Tinggal di rumah kontrakan sempit. Yang penting punya tempat tinggal, kata orang tuanya.

Bayangkan, Milea memiliki tanggung jawab besar di pundaknya. Menjadi tumpuan harapan bagi orang tua serta kesembilan adiknya. Anak sulung selalu menjadi korban. Miris.

Istilah kerennya 'generasi sandwich.' Kedengarannya fancy, ya?

Padahal artinya kerja kayak budak—tidak pernah benar-benar punya hidup sendiri.

Padahal para tetangga tak bosannya mengingatkan supaya ibunya Milea menjalani program KB. Wajib!

"Bu, anakmu udah banyak, mending KB," tegur seorang ibu berdaster selutut.

Ibu Milea mendengus, berkacak pinggang. "Banyak anak, banyak rezeki, Bu!" balasnya di hadapan emak-emak berdaster yang tengah asyik nongkrong sambil bergibah ria.

Orang tua Milea percaya pada pepatah 'Banyak anak, banyak rezeki.' Sayangnya, nasib dan masa depan anak-anak mereka bukanlah sesuatu yang ikut mereka pikirkan.

"Tapi konsepnya nggak begitu, Bu. Udah tau miskin nggak usah sok-sok an punya banyak anak," cerewetnya. Ia paling vokal kalau soal beginian. 

"Rezeki mah Allah yang ngatur, Bu. Jangan iri sama saya," ucap ibu Milea, kekesalannya bertambah.

"Udah mah sering ngutang sembako di warung. Bayar kontrakan nunggak. Anak-anak ibu juga kekurangan gizi tuh," seorang ibu berperawakan kurus menimpali.

"Udahlah urus aja rumah tangga kalian!  Jangan ngerecokin rumah tangga saya. Kayak udah paling bener, paling sempurna aja kalian," sewot ibu Milea.

Suasana mendadak kaku.

Suatu kali, Milea remaja pernah menyuarakan protes kepada orang tuanya.

"Benar kata orang-orang. Lebih baik ibu pasang KB. Lagian aku udah nggak kepengen punya adik lagi. Udah cukup! Pusing kebanyakan orang di rumah ini. Kontrakan sempit udah kayak kaleng sarden," protes Milea menggebu-gebu.

Bapak Milea melotot. "Nggak usah dengerin mereka! Kalau banyak saudara, kan enak. Nanti kalau ada yang kesusahan yang lain bisa menolong. Terus kalau ibu sama bapak udah meninggal, banyak yang mendoakan," terangnya, agak meninggikan suaranya.

Mempunyai banyak keturunan memang ada sisi positif dan negatifnya. Namun, jika orang tua sampai lalai dan tidak memedulikan hak-hak anaknya, itu termasuk perbuatan zalim.

"Udah, sekarang tugasmu belajar aja yang rajin. Lulus, terus cari kerja, biar bisa bantu kami," pesan si ibu, seolah mempersiapkan anak sulungnya itu jadi tulang punggung keluarga. Tanpa memikirkan masa depannya. 

Tangan Milea mengepal di sisi rok sekolahnya. Percuma Milea menyuarakan pendapat, saran, ataupun protes—orang tuanya bebal bukan main.

Sekarang Milea—wanita muda berusia dua puluh satu tahun itu sudah bekerja. Gajinya UMR. Kerja banting tulang dari pagi hingga malam, lembur pun dijalani. Tujuannya sederhana—agar keluarga bisa makan, adik-adik tetap sekolah, dan orang tua tak terlalu susah di usia senja.

Hebat, bukan? Milea sudah kayak superhero. Bedanya, minus jubah dan minus tepuk tangan.

****

"Bu, ini uang gajian aku," Milea menyerahkan amplop putih berisi setumpuk uang merah. 

"Jumlahnya kayak biasanya, kan?" tanya si ibu memastikan.

"Iya."

"Ya udah. Makasih, ya, Lea. Kamu ambil sedikit aja buat pegangan. Toh, urusan makan dan lainnya udah ditanggung sama ibu dan bapak," tuturnya dengan santai.

"Iya," jawab Milea dengan nada datar.

"Oh, ya, ibu mau bayar cicilan baju sama bayar hutang di warungnya Bu Asih. Bapakmu hutang rokok sampe ratusan ribu," ceritanya.

Milea tak kaget. Kebiasaan itu sudah mendarah daging. Mereka pikir Milea hidup dan bekerja hanya untuk bayarin hutang, bayarin cicilan, sekaligus bayarin harapan mereka.

Gajinya itu cuma lewat doang kayak angin sepoi-sepoi. Hilangnya cepat. Rasanya Milea ingin mengeluh—capek luar biasa. Tetapi, keinginannya selalu digagalkan oleh kalimat syahdu dari mulut orang tuanya. "Rezeki anak solehah itu ngalir."

Iya ngalir… tapi ngalirnya ke mana? Jelas bukan ke Milea.

****

Malam itu…

"Ada apa ini rame-rame?" batin Milea, bertanya-tanya.

Suatu pemandangan tak biasa mengejutkan Milea yang baru saja pulang dari bekerja.

Beberapa orang berdiri di depan rumah kontrakan tempat Milea tinggal bersama keluarganya. Mereka datang dengan amarah yang tak lagi terbendung, berkata kasar disertai teriakan—hendak menuntut sesuatu—dan mengundang para tetangga untuk menonton.

Ibu dan bapak Milea terkepung. Rona wajah mereka memancarkan ketakutan dan kecemasan, sementara Milea menerobos di antara kerumunan orang.

Milea pasang badan, melindungi orang tuanya. "Bisa jelasin ke saya ada apa?"

"Kalian nunggak kontrakan udah tiga bulan! Mana?! Katanya janji mau bayar hari ini?!" anak perempuan si pemilik kontrakan bersuara lebih dulu.

"Adik kamu, Si Diki nyuri dua smartphone di toko saya. Ada buktinya di CCTV. Mana tuh anak setan?! Pokoknya saya minta ganti rugi atau saya laporkan ke polisi," gusar salah seorang bapak beretnis Tionghoa. 

Milea dan keluarganya tentu mengenal kedua orang itu.

"Adik kamu, Si Eko, nge-bully anak saya. Anak saya dipukulin sampai babak belur. Saya juga minta ganti rugi untuk biaya perawatan di rumah sakit."

"Bapak kamu nih banyak gaya. Minjem duit ke saya dua juta. Janjinya mau dikembalikan. Mana? Pembohong besar!"

"Pasti duitnya buat main judi, tuh," tuding para tetangga.

Penuh suara riuh. 

"Diam!" pekik Milea. Wajahnya panas. Telinganya berdenging.

Suara itu memecah udara. Semua orang terdiam sesaat, lalu bisik-bisik kembali bergemuruh. Hati Milea makin teriris.

"Bapak kamu traktir teman-temannya di warung makan saya. Dia baru bayar setengahnya. Udah mah yang minggu lalu belum lunas juga. Saya minta dilunasi secepatnya! Kalau miskin, nggak usah belagu!" giliran bapak pemilik warung bersuara, sedikit lantang. 

Nyali Milea tak ciut sama sekali. Justru, ia malu mendengar beragam laporan buruk tentang keluarganya. 

"Tolong kami, Nak," ucap sang ibu di iringi wajah memelas dan ketakutan.

Milea berjanji akan membayar sampai lunas. 

"Saya nggak akan ingkar janji dan nggak akan kabur," ikrarnya dengan ketegasan.

Untungnya, orang-orang itu percaya. Amarah mereka meredam, lalu pergi. Para tetangga tak menolong sama sekali, justru asyik menonton problematika drama rumah tangga keluarga itu.

Wajah Milea merah padam. "Ibu! Bapak! Uang gajiku itu untuk bayar kontrakan sama kebutuhan keluarga selama sebulan penuh! Bukan dipake buat arisan tas, nyicil ini itu, foya-foya, main judi!" murkanya, usai menginterogasi kedua orang tuanya.

Milea muak dengan drama keluarganya. 

Orang tuanya meminta maaf sebesar-besarnya—khilaf dan tak akan mengulangi kesalahan yang sama. Eko turut meminta maaf, sementara si berandal Diki entah ke mana. Kerjaannya cuma bikin susah keluarga saja.

Seringkali, Diki—adik kedua Milea—tak bisa dipungkiri senang sekali membuat masalah. Kecanduan judi online, sabung ayam, tawuran, mencuri. Udah gitu jarang pulang.

Dina, adik pertamanya, hamil di luar nikah dan terpaksa dinikahkan di usia 15 tahun. Kadang, ia datang meminta uang untuk kebutuhan rumah tangga. Sementara, si suami hanya kerja serabutan dan kecanduan judi. Kelakuannya itu persis bapak mertuanya.

Kepala Milea rasanya mau meledak mendengar setiap keluhan serta permasalahan yang ditimbulkan oleh keluarganya.

Beban keluarga semakin berat, dan semua ujung-ujungnya lari ke Milea.

Katanya keluarga itu rumah, tempat pulang. Tapi kenapa pulang selalu bikin tambah pusing?

Milea masih sangat muda, namun di haruskan menghadapi badai dinamika kehidupan.

Meski, Milea sering mengomel, namun ia tetap bayar semua itu. Kenapa? Karena katanya ini kewajiban, tanda bakti, tanggung jawab, pengorbanan.

****

Malam yang tenang. Sepulang kerja, Milea berdiri seorang diri di seberang jalan sembari menatap gedung kampus yang berdiri kokoh dan bertingkat-tingkat dengan lampu yang meneranginya. Ia sering melewati kampus besar tersebut. 

Sorot matanya tampak sedih. Kampus itu adalah incarannya. Sejak lama ia mendambakan bisa berkuliah di sana dan lulus dengan predikat camlaude. Ah, mustahil. Rasanya seperti ada tembok tinggi yang menghalangi. Selagi gelar sandwich generation masih menempel padanya, impian dan cita-citanya tak akan sempat ia kejar.

Kadang Milea mikir, kok bisa, ya aku jadi ATM berjalan keluargaku? 

Gajian, kirim ke orang tua, sisanya buat diri sendiri. Dan itupun tak banyak. Cukup untuk sekadar jajan nasi kucing di angkringan.

Salah satu sepupunya pernah bilang Milea manja. 

"Kamu tuh ya nggak tahan banting. Dikit-dikit stres."

"Coba sini tukeran posisi. Rasain tiap hari kerja kayak kerbau, terus masih ditagih uang bulanan. Diperbudak orang tua dan adik-adik," balas Milea dengan penuh kekesalan.

Sepupunya itu nasibnya bagus—termasuk kalangan menengah ke atas. Orang tuanya punya usaha rumah makan di beberapa tempat. Makanya, enteng sekali mulutnya mengata-ngatai Milea.

Di sudut hatinya, Milea juga merindukan hidup bebas, tanpa beban. 

Ia iri kepada orang-orang yang bebas belanja aneka barang, nongkrong, kuliah, kulineran, kencan dengan pacar, mengejar cita-cita. Padahal impiannya sederhana: menjadi dokter spesialis anak.

Tapi, ya sudahlah… sok kuat saja, pura-pura bahagia. Biar hidup pahit tetap kelihatan estetik.

Lucu, ya?

Hidup sengsara, tapi dibungkus dengan istilah yang estetik: generasi sandwich.

Ia tak boleh rubuh. Ia tak boleh menyerah. Ia tak boleh sakit. Ia harus tetap kuat dan sehat… karena semua keluarganya bertumpu ke pundaknya.

"Kalau sapi perah itu mati lebih dulu... kasihan mereka," desah Milea. "Mereka nggak akan punya lagi pegangan, nggak akan ada lagi yang bisa diandalkan untuk bertahan," sambungnya.

Terus dipaksa memberi, tanpa dipedulikan perasaannya. 

Milea menarik napas berat, lalu melangkah pulang ke kontrakan. Cukup ia saja yang merasakan; jangan sampai tradisi ini turun-temurun ke anak-anaknya kelak.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Drama
Novel
Bronze
Love And Try It
Jimin Sesungki
Novel
Bronze
Tak Sambat
Nuel Lubis
Cerpen
Bronze
Kontraktor
Fitri F. Layla
Cerpen
Beban di Pundak Muda
Amelia Purnomo
Novel
Bronze
Pretend to Forget
Afifah Azzahra
Novel
SEGARA
Fianaaa
Flash
Potongan-Potongan yang Tersisa
A. R. Tawira
Komik
Hello, Someday!
Gemi
Skrip Film
It's Not Easy to be A Single Dad
Amalina septiani
Novel
Aku Adalah Kamu
Sonya Mega Flourensia
Novel
YOUR EYES TELL
memia
Skrip Film
BUNGA TERAKHIR
Mutiaranuraenialfaruk
Flash
Nasihat Basi
Fadel Ramadan
Novel
Turn Back Heart
siti nurfaidah
Novel
Bronze
Jejak: Romantic Love Story #1
Imajinasiku
Rekomendasi
Cerpen
Beban di Pundak Muda
Amelia Purnomo
Flash
Rumah Mbakku
Amelia Purnomo
Cerpen
Cosplay Jadi Guling
Amelia Purnomo
Cerpen
Dendam Barbie
Amelia Purnomo
Cerpen
Besuk
Amelia Purnomo
Cerpen
Ulang Tahun
Amelia Purnomo
Flash
Hanya Ingin Pulang
Amelia Purnomo
Cerpen
Video Call
Amelia Purnomo
Cerpen
Salah Asuh, Salah Arah
Amelia Purnomo
Cerpen
Terror Anggia
Amelia Purnomo
Cerpen
Pengajian
Amelia Purnomo
Cerpen
Dendam Arwah
Amelia Purnomo
Cerpen
Numpang Ke Kamar Mandi
Amelia Purnomo
Cerpen
Boneka Terkutuk
Amelia Purnomo
Cerpen
Langkah Sepatu Bot
Amelia Purnomo