Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Kota Antares berdiri di tengah gurun, disinari tiga matahari. Tanaman? Hanya kaktus purba yang sanggup bertahan. Manusia? Mereka hidup di terowongan bawah tanah, bekerja sebagai penambang "Lumina" – kristal penghasil energi. Setiap pagi, bel alarm berbunyi nyaring, memanggil ribuan orang masuk lift baja menuju kegelapan. Di antara mereka ada Ara, gadis 17 tahun dengan tangan berkapalan dan mata yang selalu memandang langit saat jeda 5 menit di permukaan.
"Lupakan langit, Ara," bisik Taman, teman sekotanya. "Yang ada hanyalah debu dan terik di sini."
Tapi Ara tak bisa. Di dinding kotak tidurnya, tergambar sketsa bintang-bintang dari ingatan buku tua yang ditemukannya di gudang rongsokan. Dia menyebutnya "Peta Impian". Suatu hari, saat mesin pengeborannya macet di terowongan sektor 7, Ara menemukan sesuatu yang aneh: dinding batu itu memancarkan getaran halus. Bukan getar Lumina, tapi sesuatu yang lebih... hidup. Dengan risiko dihukum pengawas, ia menyelipkan pecahan batu itu ke dalam kantongnya.
Di kotak tidur, di bawah lampu temaram, batu itu bersinar lembut. Saat Ara menyentuhnya, gambaran muncul di benaknya: sebuah pohon raksasa dengan daun keemasan, tumbuh subur di permukaan gurun, akarnya menembus lapisan batu hingga ke sumber air purba. Pohon Penopang, begitu bisikan itu menyebutnya. Ia bisa merasakan kesejukan daunnya, mendengar desau angin di rantingnya.
"Mustahil," gumamnya. Tapi gambaran itu tak hilang. Ia mulai menggambarnya di samping Peta Impiannya.
Keesokan hari, bencana terjadi. Longsor besar menutup terowongan sektor 7. Puluhan pekerja, termasuk Taman, terjebak di dalam. Sistem penyelamatan konvensional gagal menembus puing. Suasana putus asa menyelimuti koloni. Ara, dengan jantung berdebar kencang, mendekati Kepala Teknik.
"Pak... Sektor 7... ada retakan alami di dinding timur, dekat tempat aku menemukan batu ini," kata Ara, menunjukkan batu bergetar itu. "Getarannya... mungkin bisa memandu pengeboran penyelamat."
Sang Kepala, Pak Ravi, memandangnya sinis. "Batu aneh dan mimpi anak kecil? Kita butuh data konkret, bukan dongeng!"
Ara gemetar, tapi bayangan Pohon Penopang yang tegak megah muncul di pikirannya. Ia menarik napas dalam. "Tuan! Apa kita punya pilihan lain? Sistem sensor tak bekerja di reruntuhan ini! Batu ini merespon sesuatu di balik puing. Aku bisa... bisa merasakannya. Percayalah! Biarkan aku tunjukkan!"
Diam sejenak. Tangisan keluarga korban menggema. Akhirnya, Pak Ravi menganggap berat. "Bawa dia ke unit pengebor darurat. Tapi kau bertanggung jawab jika gagal, Ara."
Dengan batu bergetar di genggaman, Ara memandu operator pengebor. Ia menutup mata, mengikuti getaran halus yang semakin kuat, mengabaikan ejekan dan pandangan ragu. "Ke kiri sedikit... stop! Sekarang turun 15 derajat... terus bor!" teriaknya, suaranya lantang di tengah deru mesin.
BRRRRAAAAKKKK!
Mata bor menembus rongga. Suara gemuruh terdengar, bukan dari mesin, tapi dari aliran air jernih yang tiba-tiba menyembur dari retakan yang baru terbuka! Air itu membersihkan debu, mengisi ruang kosong, dan—yang membuat semua orang ternganga—di tempat semburan air itu, tunas hijau kecil muncul dari celah batu, tumbuh dengan kecepatan yang terlihat oleh mata, merambat di dinding terowongan!
"Air! Dan... tumbuhan?" bisik seseorang tak percaya.
Pekerja yang terjebak ditemukan selamat, terperangkap di kantong udara yang terjaga oleh rembesan air dari sumber yang sama. Taman memeluk Ara erat. "Kau... kau menyelamatkan kami dengan 'dongeng'-mu."
Tapi Ara hanya tersenyum, menatap tunas hijau yang kini bersinar lembut di kegelapan. "Bukan dongeng, Tam. Ini bukti. Bahkan di tempat yang paling gersang, di bawah terik yang menghanguskan, ada kehidupan yang menunggu untuk ditemukan. Kita hanya perlu berani merasakan getarannya, dan berani bertindak mengikutinya."
Kisah Ara menyebar. Batu "Pemandu" dan "Pohon Penopang" pertamanya menjadi simbol harapan. Orang-orang mulai melihat ke atas, bukan hanya untuk menghindari terik, tapi untuk memimpikan kemungkinan. Mereka menyadari: motivasi terbesar bukan hanya untuk bertahan hidup di kegelapan, tapi untuk menciptakan cahaya sendiri—bahkan jika hanya dengan sebatang tunas hijau dan keyakinan akan getaran halus di genggaman tangan.
Ara tak lagi sekadar penambang. Ia menjadi "Pendengar Bumi", memandu koloni menemukan sumber air dan zona hijau baru. Peta Impiannya di dinding kini penuh dengan sketsa tunas-tuas baru dan jaringan air bawah tanah, jauh lebih megah daripada gambaran bintang-bintang lama.
Di Antares, mereka belajar: terkadang, harapan terkuat tumbuh bukan dari cahaya, tapi dari keberanian menyentuh kegelapan, merasakan getarannya, dan percaya bahwa di dalam diri setiap orang, ada getaran serupa yang menunggu untuk diikuti.
Tiga bulan pasca-penyelamatan Sektor 7, Antares berubah. Tunas hijau di terowongan yang Ara namai "Sang Penopang Kecil" tumbuh menjadi tanaman merambat setinggi manusia, daunnya memancarkan cahaya keemasan lembut di kegelapan. Air jernih yang ditemukan Ara kini dialirkan ke reservoir baru, mengurangi ketergantungan pada destilasi air keringat yang mahal.
Tapi perubahan membawa gejolak. Korporasi Lumina Corp., yang mengontrol penambangan kristal, merasa terancam. Manajer regional, Darius Thorne, menggelar rapat darurat di menara kontrol.
“Kristal Lumina adalah darah Antares!” hardiknya, menatap rekaman hologram tanaman Ara. “Jika orang-orang sibuk dengan... kebun bawah tanah ini, produksi akan turun! Dan lihat!” Ia menunjuk data: “Getaran aneh dari tanaman itu mengganggu frekuensi pendeteksi kristal!”
Sementara itu, Ara dan tim kecilnya termasuk Taman dan Pak Ravi yang kini mendukungnya mengeksplorasi jaringan gua di bawah Sektor 7. Dengan batu pemandu, Ara merasakan getaran lebih kuat: seperti denyut jantung bumi. Mereka menemukan ruang luas berisi kolam air biru jernih, dindingnya ditutupi fosil tanaman purba yang mirip Pohon Penopang dalam visinya.
“Ini... ini cadangan air purba!” desis Pak Ravi tak percaya. “Cukup untuk seluruh koloni selama puluhan tahun!”
Tapi kegembiraan mereka pupus saat kembali ke permukaan. Sang Penopang Kecil telah ditebang. Hanya tersisa pangkal batang yang menyedihkan, mengeluarkan cairan emas seperti darah. Di sampingnya, coretan spray paint: "Jaga Lumina, Hancurkan Khayalan!"
Ara jatuh berlutut, tangannya menyentuh sisa tanaman. Getaran panik dan sakit menyergap pikirannya. Batu pemandu di sakunya bersinar merah.
“Mereka tak mengerti, Ara,” bisik Taman, matanya berkaca-kaca. “Mereka tak merasakan apa yang kau rasakan.”
Ara mengangkat wajah, air matanya mengering oleh kemarahan. “Maka kita harus memperlihatkannya pada mereka.”
Ara merancang demonstrasi. Di alun-alun utama bawah tanah—tempat para pekerja berkumpul sebelum masuk shift—ia menanam tunas baru Sang Penopang di pot besar berisi tanah dari gua purba. Di depannya, ia letakkan batu pemandu.
“Lihatlah!” seru Ara, suaranya menggema di keheningan yang skeptis. “Batu ini bukan sihir. Ia adalah... bahasa bumi. Getarannya adalah pesan tanah, air, dan kehidupan yang ingin bangkit!” Ia menaruh tangan di atas batu. “Sentuhlah! Rasakan!”
Satu per satu, pekerja maju. Sebagian menggeleng, tak merasakan apa-apa. Tapi seorang wanita tua, Mama Ina, penambang senior dengan tangan keriput, menjerit kecil saat menyentuhnya.
“Aku... aku melihat ladang!” tangisnya haru. “Ladang hijau di permukaan... seperti sebelum Tiga Matahari membakar segalanya!”
Keesokan hari, berita mengejutkan datang: Mama Ina ditemukan tewas di kamarnya. Resmi: serangan jantung. Tapi Ara menemukan sesuatu—di bawah kuku Mama Ina, serat kain hitam halus, dan bau aneh seperti logam terbakar. Batu pemandu di dekat jasadnya bergetar kacau, memproyeksikan bayangan sosok bertopi menghilang di kegelapan.
“Ini pembunuhan,” geram Ara pada Taman dan Pak Ravi. “Darius Thorne takkan berhenti.”
Darius memang bertindak. Ia mengeluarkan dekrit: "Semua aktivitas non-penambangan, termasuk proyek 'Pendengar Bumi', ditunda. Batu aneh dikategorikan artefak berbahaya dan disita."
Pasukan keamanan Lumina Corp mengepung kotak tidur Ara. Tapi batu itu telah menghilang—melebur ke dalam kulit telapak tangan Ara, meninggalkan tattoo berpola akar emas yang berdenyut lembut.
“Ia memilihku,” bisik Ara, merasakan kehangatan baru di tangannya. “Sekarang... kita harus membawa Pohon Penopang ke permukaan.”
Ara tahu risiko: permukaan Antares dimonopoli Lumina Corp untuk panel surya raksasa. Keluar tanpa izin berarti hukuman mati. Tapi ia punya rencana. Pak Ravi, dengan aksesnya, memanipulasi sistem ventilasi Sektor 4—zona mati yang terlupakan.
“Lubang udara itu akan membawamu ke permukaan dekat Cekungan Sunyi,” kata Pak Ravi, memberikan masker oksida khusus. “Tapi kau hanya punya 30 menit sebelum Tiga Matahari mencapai zenit. Radiasi akan mencairkan maskermu.”
Dengan tattoo batu berdenyut sebagai pemandu, Ara merangkak melalui terowongan sempit. Taman bersikeras ikut. “Jika kau mati, siapa yang akan mendengar getaran bumi?” godanya, tapi matanya serius.
Permukaan Antares adalah neraka. Udara bergetar oleh panas, tanah retak-retak seperti kulit ular mati. Di Cekungan Sunyi—lembah berbatu terlindung—Ara menancapkan kapsul biji purba yang ditemukan di gua air, direndam dalam air suci cadangannya. Tangan bertattoo-nya menempel di tanah, mengirimkan gelombang getaran tenang.
“Tumbuhlah,” desisnya. “Tunjukkan pada mereka keajaiban yang masih mungkin.”
Tak ada yang terjadi. Waktu tinggal 5 menit. Taman menarik lengannya. “Ara, kita harus pergi!”
Tapi Ara menolak. Ia mengingat kematian Mama Ina, ketakutan Darius, keraguan para pekerja. Ia tekan tangan lebih kuat, mengalirkan semua harapan, amarah, dan keyakinannya. "Kita perlu bukti... bukan untukku... tapi untuk mereka yang masih takut..."
BRUMMM!
Tanah bergetar. Batu-batu di cekungan berdesis, retak. Dari celah terkecil, tunas keemasan menyembul—bukan hijau, tapi seperti emas cair! Ia tumbuh dengan kecepatan yang membuat Taman menjerit ketakutan sekaligus kagum. Dalam semenit, ia setinggi pinggang, batangnya berkilauan menahan terik.
Tepat saat Matahari kedua mencapai zenit, tunas itu mekar. Bunga raksasa berbentuk terompet memancarkan gelombang energi dingin biru, membentuk kubah pelindung sementara di atas Ara dan Taman. Radiasi terhalang.
“Ia... bernapas...” gumam Ara terkagum, merasakan getaran harmonis antara tattoo di tangannya dan bunga emas.
Dari kejauhan, alarm berbunyi. Drone pengawas Lumina Corp mendekat. Taman menarik Ara masuk ke lubang udara. Saat mereka menghilang, drone menembakkan sinar laser ke bunga emas.
Tapi sinar itu diserap. Bunga emas itu semakin bercahaya, lalu... meledakkan ribuan biji mikroskopis ke angin. Biji-biji itu, terbawa badai panas, menyebar ke seluruh cekungan.
Kembali ke bawah tanah, Ara dijuluki "Pembawa Biji Emas". Gambar drone yang diretas Taman—menunjukkan bunga emas menahan laser—menyebar seperti api. Para penambang, yang selama ini takut, mulai bertanya: Mengapa kita menyembah kristal, jika kehidupan nyata bisa tumbuh di atas?
Darius Thorne panik. Ia kirim pasukan ke Sektor 7 untuk menghancurkan sumber air dan gua purba. Tapi mereka terlambat. Jaringan akar Sang Penopang Kecil yang ditebang telah menjalar liar, menembus dinding terowongan, menyatukan dengan getaran bumi. Saat pasukan datang, akar-akar itu bergerak seperti ular, melumpuhkan senjata mereka, menjebak mereka dalam sangkar hidup tanpa melukai.
“Tanaman itu... melindungi tempat sucinya!” bisik-bisik takjub.
Ara merasakan semuanya melalui tattoo di tangannya. Ia paham: Pohon Penopang bukan hanya tanaman; ia adalah kesadaran kolektif bumi yang terluka, dan batu pemandu adalah antarmukanya. Visi pohon raksasa itu adalah masa depan yang mungkin—jika Antares memilih untuk berubah.