Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Bab 1: Hari Itu, Langit Menolak Biru
Jam dinding kelas menunjukkan pukul 07.21, tetapi bel belum juga berbunyi. Angin dari jendela mengibaskan tirai kusam yang bau debu, dan suasana kelas seperti biasa ramai, gaduh, penuh tawa. Tapi di telinga Beta, suara-suara itu seperti gema kosong. Tak berisi. Tak menyentuh. Ia duduk di pojok kelas, kursi ketiga dari belakang, sisi jendela. Posisi favoritnya untuk menghindari sorot mata siapa pun. Tangannya menopang dagu, dan matanya menatap keluar langit mendung. Lucu, pikirnya. Seperti tahu apa yang sedang ia rasakan.
"Bro, udah tahu belum?" suara Aldi menyentak keheningannya. Tanpa menunggu jawaban, Aldi menyambung, "Nayla jadian sama Revan. Barusan aku liat mereka gandengan tangan di kantin."
Dunia hening.
Beta tidak menjawab. Dia cuma tersenyum kecil senyum yang lebih seperti luka yang sedang mencoba berpura-pura.
"Oh. Gitu ya," katanya, lirih. Sangat lirih. Seperti kata-kata yang takut keluar dari mulutnya sendiri.
Aldi tak sadar. Dia tertawa kecil. "Gokil ya, padahal gue kira lo yang bakal nembak duluan. Kan deket banget kalian."
Dekat?
Beta hanya bisa menahan napas.
Kedekatan ternyata bisa menipu. Mungkin seperti jalan berdua dalam kabut: Beta pikir mereka menuju arah yang sama, tapi Nayla sudah berbelok sejak lama dan dia tak pernah menyadarinya.
Langit hari itu kelabu. Tidak hujan, tapi juga tak benar-benar cerah. Seperti langit sedang menunggu sesuatu untuk jatuh.
Beta menyandarkan kepala ke dinding, matanya terpejam. Suara-suara di kelas mengabur seperti gema dalam ruangan kosong. Bayangan wajah Nayla muncul dalam pikirannya: rambut dikuncir kuda, senyum kecil dengan lesung pipi di kanan, dan mata yang selalu berbinar tiap bicara soal buku atau laut.
Mereka biasa duduk bersama di perpus. Tertawa atas hal-hal remeh, bahkan saling kirim kode lewat tulisan di buku. Waktu itu, Beta kira, mereka punya dunia kecil berdua.
Ternyata dunianya hanya milik Beta.
Nayla hanya numpang lewat.
“Kalau nanti aku hilang, kamu cari aku ke mana?”
Pertanyaan Nayla dua bulan lalu, saat mereka duduk di bangku taman depan sekolah, masih terngiang. Waktu itu, Beta hanya tertawa dan menjawab,
“Kamu nggak akan hilang.”
Dan Nayla tersenyum, seolah tahu sesuatu yang Beta tidak tahu.
Mungkin, sebenarnya Nayla sudah mencoba memberi tanda. Tapi Beta terlalu sibuk berharap.
Bel sekolah berbunyi. Semua berhamburan ke luar kelas. Beta tetap duduk. Kepalanya masih menempel di dinding, seolah dinding itu satu-satunya yang mampu menopang semua berat yang tak bisa dilihat siapa pun.
Tiba-tiba, suara langkah ringan terdengar mendekat. Tanpa perlu melihat, Beta tahu itu Nayla. Nafasnya langsung berubah. Ia tahu langkah itu. Ia hafal.
"Nggak ikut keluar?" suara Nayla terdengar biasa saja, datar.
Beta membuka mata, menoleh perlahan.
Nayla berdiri di samping bangkunya, mengenakan jaket Revan yang terlalu besar untuk tubuh mungilnya. Dan di pergelangan tangannya gelang kulit coklat, yang dulu milik Beta. Hadiah ulang tahun dua tahun lalu.
Gelang itu masih dia pakai.
"Aku nggak lapar," jawab Beta pendek.
Nayla menunduk. "Beta..."
"Selamat ya," potong Beta pelan.
Nayla menggigit bibirnya, seperti hendak bicara sesuatu, tapi tak tahu harus mulai dari mana. Lalu akhirnya dia hanya mengangguk pelan dan pergi.
Langkahnya menjauh. Tapi di telinga Beta, suara langkah itu seperti palu yang memaku mati semua harapan yang pernah ia tanam.
Setelah semua orang pergi, Beta membuka tasnya. Mengambil buku catatan puisi yang sudah mulai sobek di ujungnya. Di halaman kosong, ia menulis:
> Hari ini, langit menolak biru.
Mungkin karena tahu, hatiku lebih kelabu daripada mendung yang tak turun.
Kamu dan dia.
Satu cerita, yang akhirnya tidak kutulis namaku di dalamnya.
Di balik dinding yang diam, Beta mulai mengubur suara.
Suara rindu, suara cinta, suara kecewa.
Tapi ia tahu, beberapa suara tidak bisa dikubur. Ia akan terus bergaung dalam hati, dalam senyap, dalam sepi.
Dan hari itu, untuk pertama kalinya, Beta sadar...
Tak semua yang kita beri cinta akan tinggal. Kadang cinta memilih pergi. Bahkan sebelum sempat berpamitan.
“Ada rumah yang menyambutmu. Tapi tidak semua rumah bertanya: ‘Apa hatimu baik-baik saja hari ini?’”
Beta pulang dengan langkah lambat. Sepatu hitamnya berdebu, menyeret kerikil kecil di jalan gang sempit. Suara anak-anak tertawa dari ujung gang menusuk telinga seperti pisau kecil yang tumpul tidak tajam, tapi menyak...