Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Bab 1: Bayangan di Kaca
Reno adalah perwujudan sempurna dari seorang mahasiswa teknik tingkat akhir: kantung mata yang menghitam karena begadang, aroma kopi instan yang melekat pada kausnya, dan otak yang dirancang untuk memecahkan masalah, bukan menciptakan masalah. Dunia baginya adalah serangkaian rumus, logika, dan sistem yang bekerja dengan presisi. Anomali adalah sesuatu yang harus dianalisis, dipecahkan, dan kemudian dilupakan. Namun, anomali yang satu ini, yang kini perlahan merayap ke dalam kesadarannya, adalah anomali yang menolak logika, mengejek rumus, dan mengancam untuk meruntuhkan seluruh sistem kepercayaannya.
Keanehan itu bermula dari hal-hal kecil, nyaris tak terlihat, seperti tetesan air yang jatuh pelan tapi konsisten, mengikis batu hingga berlubang. Minggu pertama, Reno mengira matanya lelah. Siang itu, ia berdiri di depan cermin kamar mandi, menyikat gigi dengan gerakan otomatis yang sudah dilakukannya ribuan kali. Matanya menangkap pantulannya, siluet familiar dari dirinya yang sedikit kurus, dengan rambut acak-acakan dan ekspresi kuyu. Saat ia selesai menyikat, ia meludahkan busa pasta gigi ke wastafel. Namun, di pantulan cermin, bayangannya tidak meludah. Bayangan itu hanya berdiri tegak, dengan senyum tipis, nyaris tak kentara, yang terukir di bibirnya. Senyum itu bukan senyum Reno. Reno tidak tersenyum. Ia terlalu mengantuk untuk tersenyum.
Ia mengerjap, menggosok matanya. Mungkin ia hanya salah lihat. Cahaya di kamar mandi kosan memang agak remang-remang, dan ia kurang tidur. Ia kembali menatap cermin, kali ini dengan mata memicing, mencari-cari sisa-sisa halusinasi. Bayangan itu ada di sana, meniru gerakannya dengan sempurna. Ia mengangkat tangan kanannya, bayangan itu juga. Ia menggaruk kepala, bayangan itu pun. Lega, Reno menghela napas. "Pasti cuma efek kurang tidur," gumamnya, meyakinkan diri sendiri.
Namun, kejadian itu mulai terulang. Beberapa hari kemudian, saat ia sedang belajar di perpustakaan kampus, otaknya dipenuhi dengan diagram sirkuit dan kode-kode rumit. Ia mengambil jeda sebentar, meregangkan punggungnya yang pegal. Di salah satu pilar marmer yang dipoles mengkilap, ia melihat pantulannya. Saat itu, ia sedang memikirkan deadline tugas yang semakin mepet, raut wajahnya serius dan sedikit tegang. Namun, pantulan di pilar itu, entah bagaimana, tampak lebih santai, bahkan kepalanya sedikit miring seolah sedang berpikir keras namun dalam cara yang berbeda. Reno buru-buru mengubah posisinya, mencoba meniru bayangannya, tapi pantulan itu menghilang, tertelan kerumunan mahasiswa lain yang lalu-lalang.
Reno mulai merasakan kegelisahan yang aneh, seolah ada sesuatu yang mengawasinya dari dalam dirinya sendiri. Ia mencoba untuk mengabaikannya, membenamkan diri lebih dalam ke dalam buku dan proyek. Logika adalah benteng pertahanannya. Semua bisa dijelaskan secara rasional. Mungkin pantulan di permukaan yang tidak rata menciptakan ilusi optik. Mungkin kelelahan memang telah mencapai titik di mana otaknya mulai bermain-main dengan persepsi. Teman-teman dekatnya, seperti Dika, seorang mahasiswa Teknik Mesin yang pragmatis, hanya menertawakan ceritanya, menganggapnya lebay karena kebanyakan ngopi dan begadang. "Mungkin lo butuh liburan, Ren," kata Dika sambil menepuk pundaknya, "otak lo udah korslet."
Kata-kata Dika, alih-alih menenangkan, justru menusuk Reno. Korslet. Itulah yang ditakutkan Reno. Kehilangan kendali atas pikirannya sendiri. Ia mulai mengamati lebih cermat. Di lift kampus yang berdinding cermin, Reno pura-pura sibuk dengan ponselnya. Tapi dari sudut matanya, ia mencuri pandang ke pantulannya. Ia bisa bersumpah, saat ia melangkah masuk, bayangannya sedikit terlambat mengikuti, seolah ada jeda sepersekian detik. Dan ketika ia menghela napas panjang, bayangannya tampak mengembuskan napas lebih dulu, seolah sudah tahu apa yang akan Reno lakukan. Sensasi yang merayap di kulitnya bukan lagi hanya kelelahan, melainkan ketakutan yang dingin dan merayap.
Ketakutan itu semakin menjadi ketika suatu malam, ia terbangun di tengah kegelapan, merasa haus. Ia bangkit, menyalakan lampu kamar. Di dinding yang putih bersih, bayangannya muncul. Reno mengusap matanya. Ia berjalan ke arah dapur kecil di kosannya, dan bayangannya mengikutinya. Namun, ketika Reno mengambil segelaskah air, bayangannya tampak menoleh ke arah jendela yang terbuka. Tidak ada apapu...