Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Bab 1: Kedatangan yang Kelam
Malam itu, desa terasa lebih sunyi dari biasanya. Maya memacu mobilnya pelan, melewati jalanan berbatu yang terasa akrab sekaligus asing. Ia sudah hampir sepuluh tahun tidak menginjakkan kaki di desa ini. Desa Wening, namanya, sebuah desa terpencil yang terjepit di antara hutan pinus dan jurang dalam. Nama itu ironis, karena yang Maya rasakan sekarang bukanlah ketenangan, melainkan kecemasan yang menggerogoti.
Ia kembali bukan karena keinginannya, melainkan karena kewajiban. Telepon dari bibinya dua minggu lalu seperti petir di siang bolong. “Ayahmu, Maya… dia tidak baik-baik saja.” Ayahnya, Pak Herman, menderita demensia. Penyakit yang pelan-pelan merenggut ingatannya, merenggut jati dirinya. Maya tahu ia harus pulang. Namun, ada bagian dari dirinya yang menolak. Bagian yang masih menyimpan luka lama, luka yang ditinggalkan desa ini.
Mobilnya berhenti di depan sebuah rumah tua berarsitektur khas Jawa, yang dindingnya mulai lapuk dimakan usia. Jendela-jendela kayu yang usang tampak seperti mata yang memandang kosong. Maya menelan ludah. Rumah ini, rumah masa kecilnya, adalah saksi bisu dari semua hal yang ia coba lupakan. Ia menarik napas dalam-dalam, menguatkan diri.
Seorang wanita paruh baya dengan rambut yang disanggul rapi menyambutnya di depan pintu. Itu Bibi Siti, adik dari ibunya yang sudah lama meninggal. Raut wajahnya tegang dan matanya memancarkan kesedihan.
“Maya, kau akhirnya pulang,” katanya, suaranya serak. Ia memeluk Maya erat, seolah menyalurkan semua bebannya.
“Bagaimana ayah?” tanya Maya, melepaskan pelukan.
Bibi Siti menggeleng pelan. “Demensianya semakin parah. Ia sering mengigau, menyebut-nyebut nama yang tidak kita kenal. Kadang, ia hanya duduk di depan jendela, menatap ke luar seharian.”
Hati Maya mencelos. Ia mengikuti Bibi Siti masuk ke dalam. Bau apak dan jamur langsung menyergap indranya. Semua perabotan masih sama seperti dulu. Foto ibunya yang tersenyum hangat masih tergantung di dinding ruang tamu. Maya tersenyum pahit. Ibu pergi terlalu cepat, meninggalkan ia dan ayahnya berdua. Setelah itu, ayahnya berubah. Ia menjadi pendiam, sering melamun, dan terkadang, tatapannya menjadi kosong, seperti orang yang kehilangan jiwanya.
Bibi Siti membawanya ke sebuah kamar di ujung koridor. Kamar itu gelap, dengan tirai tebal yang menutup jendela. Di sana, di sebuah dipan, terbaring seorang pria tua dengan rambut memutih dan wajah yang kurus. Pak Herman. Maya nyaris tidak mengenalinya. Pria tegap dan ceria yang selalu menggendongnya dulu, kini hanya tinggal bayangan.
Maya mendekat, duduk di samping ayahnya, dan menggenggam tangannya yang keriput. Tangannya terasa dingin dan gemetar. Pak Herman tidak bereaksi. Matanya terpejam.
“Ayah… ini Maya,” bisik Maya.
Perlahan, mata Pak Herman terbuka. Ia menatap Maya, seolah mencoba mengenali siapa wanita di depannya. Ada secercah ingatan, lalu lenyap lagi. Ia hanya menatap Maya dengan mata kosong. La...