Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Sudah seharusnya tiap-tiap keluarga untuk memenuhi kebutuhan keluarganya tersendiri. Bahkan segelintir orang memilih untuk melakukan cara yang salah untuk memenuhi nafsu dari harta, ketenaran bahkan umur yang panjang.
Hari yang biasa bagi seorang anak bernama Harsa yang duduk menatap akuarium. Satu ikan mas yang sudah ia rawat lebih dari 6 bulan yang lalu. Harsa bukan anak satu-satunya dikeluarga itu, ia mempunyai seorang kakak yang bernama Serayu atau akrab disapa keluarga dengan Ayu.
Bagi Harsa keluarga yang telah menemaninya tidak terasa berbeda dengan keluarga lainnya. Keluarga mereka dapat dikatakan berlebih kalau soal harta. Suatu ketika Ayu sang kakak bercerita tentang keluarganya yang kekurangan bahkan untuk makan malam saja terkadang tidak ada. Tetapi suatu hari keluarga mereka mengalami hal yang tidak terduga sejak memutuskan untuk pindah kerumah yang sekarang sedang mereka tinggali berdampak perubahan 180 derajat kekehidupan mereka.
Ayah merekapun mengatakan nasib di rumah ini sangat baik hingga mereka memiliki harta yang melebihi yang diinginkan. Bagi Harsa yang tidak mengalami masa-masa itu terasa seperti cerita yang membuat takjub dan sedih. Ia merasa beruntung bisa berada dikeluarga tersebut. Cahaya oranye yang mulai redup menandakan bahwa langit memberikan tirai hitam untuk menemani keluarga itu. Mereka yang disaat malam memilih untuk makan bersama diruang makan lengkap dengan 4 orang anggota keluarga.
Harsa yang melihat ayah yang selalu tersenyum disaat bertemu dengan anak-anaknya tidak menyimpan kecurigaan. Dia selalu membalas senyuman itu tanpa ada alasan apapun. Hingga suatu hari setelah makan malam, ayah mereka memilih untuk masuk ke kamar terlebih dahulu. Aku memahami ayah akan lebih membutuhkan istirahat karena sudah lelah seharian kerja.
Disaat Harsa menanyakan pekerjaan, ayah selalu menjawab dia akan melakukan apapun demi anak-anak dan keluarganya. Sampai hari ini Harsa belum mengetahui pekerjaan seperti apa yang ayah kerjakan dari pagi hingga sore hari pulangnya.
"Yah, mau dibuatin kopi gak Ibu nanyain tadi," sembari mengintip didepan pintu, Harsa melihat ayahnya dengan posisi duduk diatas tempat tidur menatap kosong kearah jendela luar yang gelap. Tak satupun kedipan mata yang terlihat. Hanya hening yang dapat dirasa, disaat Harsa mengetuk pintu disaat itulah ayah menatapnya dengan senyuman seperti biasa.
"Bilangin Ibu buatin kayak biasa aja sa," Harsa yang turun dari kamar ayahnya menuju ke dapur dan memberikan pesan dari ayahnya tadi.
Suatu kejadian yang membuat Harsa penasaran sekaligus takut atas kejadian yang baru saja dilihatnya.
Sejak kejadian malam itu, Harsa terus mengintip ayahnya saat sendirian di kamar. Kejadian yang sama terulang, jendela yang masih terbuka saat malam ditambah ayah yang terus melamun ke arah gelapnya malam. Malam kelima bertepatan dengan hari minggu ayah libur seperti pekerja pada umumnya. Saat tepat jam 8 malam Harsa kembali melihat kekamar ayahnya, akan tetapi malam itu kamar ayah tidak terlihat lampu menyala seperti biasa. Hanya terlihat bias dari cahaya lilin dan tercium aroma dupa. Pintu kamarpun tidak tertutup rapat, dengan rasa penasaran dan Harsa memilih melihat dari celah pintu ayah yang duduk termenung menatap lemari kayu yang sudah jarang terpakai. Lilin berwarna hitam yang terpampang rapi didepan lemari tersebut dengan tatapan ayah yang tak lepas dari lemari.
“Engkau yang datang saat cahaya hilang, engkau yang memberi keberuntungan dan harta, engkau yang terus menemani dikala gelap datang.” Hanya perkataan itu yang terdengar Harsa setelah itu ayah terlihat membaca kalimat yang tak dipahami dan didengar.
Lemari yang terbuka dengan sendirinya, seakan menatap balik ayah yang duduk termenung dihadapannya.
Samar-samar bayangan hitam keluar dari lemari, ayah yang sedari tadi termenung kedepan langsung menundukkan pandangannya. Seakan tahu bahwa yang dipanggilnya telah datang.
Bayangan itu semakin dekat dengan ayah seperti memberikan perkataan dengan pemahaman sendiri. Ayah mengangguk dan menoleh kearah pintu dengan cepat. Harsa yang terkejut langsung memalingkan wajah dari celah tersebut. Harsa memilih untuk menyudahi kegiatan yang dapat terungkap oleh ayah kapan saja.
Kejadian tersebut membuat rasa takut anak bungsu itu memuncak. Setiap melihat kearah lemari, Harsa merasa kalau apa yang ada dibalik lemari terus menatapnya.
***
Disaat malam Harsa dengan rasa kantuknya memilih untuk tidur lebih awal.
“Gelap banget kok gak ada cahaya, Kakak ini lagi mati lampu ya?” yang dapat dilakukan Harsa hanya memanggil dan terus meraba dengan harapan menemukan sakelar yang ada di dinding. Akan tetapi Harsa merasakan ruangan itu seakan tidak memiliki batas. Seketika terlihat cahaya lilin dari arah belakang.
“Lagi mati lampu ya kak?” Harsa masih berusaha untuk memanggil kakaknya.
Bayangan hitam yang tiba-tiba muncul tepat dari arah berlawanan, “namamu Harsa kan?” terdengar suara laki-laki yang dapat diperkirakan sebaya dengan Harsa.
“Iya, gimana kamu tahu namaku? Siapa kamu?” dalam jarak tersisa 1 langkah Harsa memulai komunikasi dengan apa yang ada dihadapannya.
“Hem namaku rahasia, kamu mau gak main sama aku. Aku lagi gak ada temen sekarang.”
“Oh mungkin kamu bingung ya denganku, tunggu sebentar ya,” bayangan hitam itu menarik diri kebelakang.
Dalam sekejap terlihat sepasang tangan mengarah ke cahaya lilin, “Maaf ya udah buat bingung, kalau begini kamu mau main gak sama aku,” tangan berwarna putih bersih lengkap dengan gelang dilengan kanannya, tali gelang yang berwarna perak dihiasi dengan dua permata hitam pekat diatasnya.
Tangan yang sedari tadi menggenggam itu mengeluarkan 3 jenis benda yaitu kertas kecil, batu dan ranting dengan tiap-tiap jenis berjumlah dua. “Ini mainan favoritku loh! Dulu aku senang sekali bermain disaat gelap gini.” Harsa yang masih kebingungan melihat barang yang sudah tergeletak dilantai. Harsa mencoba untuk melihat wajah dari apa yang dihadapannya akan tetapi itu sia-sia.
“Mainnya gimana?” Harsa bertanya diiringi raut muka kebingungan.
“Mudah banget, masing-masing kita simpan 3 benda. Disaat yang bersamaan kita harus mengambil dan menunjukkan benda yang kita pilih. Batu lebih kuat dari kertas tapi kalah dari ranting dan kertas lebih kuat daripada ranting.” Dengan nada riang bayangan tersebut menjelaskan cara bermainnya.
Harsa mengambil masing-masing satu buah dari 3 benda tersebut. Harsa memutuskan untuk mengeluarkan kertas. Disaat bersamaan Harsa menunjukkan pilihannya, tidak terduga lawan bermainnya memilih batu dan Harsa dinyatakan kalah pada babak ini.
“Yey aku menang, ayo lanjut lagi,” Harsa terus memainkan permainan itu hingga tepat pada hitungan kesepuluh skor masing-masing mereka seimbang dan satu kali lagi akan menentukan pemenangnya. Harsa memilih batu dan disaat yang sama masing-masing mengeluarkan pilihannya. Lawan bermainnya memilih ranting dengan kata lain Harsa kalah.
“Kamu jago banget mainnya,” ucap Harsa.
“Ah gak mungkin, kamu aja yang belum terbiasa,” balas bayangan itu.
“Kita lanjutin nanti lagi aja ya, aku mau pergi dulu,” bayangan itu menghilang sekejap dan Harsa merasakan mata yang semakin berat, hingga akhirnya Harsa terbangun dia melihat ibunya memanggil-manggil Harsa dengan cemas.
“Harsa kamu kenapa nak? Kok kamu tiduran dilantai gini?” Harsa melihat sekeliling dia sudah berada dibawah padahal dia tidak merasa kalau dia berpindah tidur saat tadi.
Tampak raut muka kebingungan dari Harsa, hanya saja kejadian yang barusan ia alami dapat diingatnya dengan jelas dan terasa seperti bukanlah sebuah mimpi. Kejadian itu selalu diingat Harsa hingga Harsa menginjak umur 17 tahun. Sejak dia memimpikan bayangan itu dia tidak pernah bertemu bayangan itu didalam mimpinya dan kebiasaan dari ayahnya seolah lenyap begitu saja.
Hingga suatu saat tepat pada tanggal 17 April, disaat malam menunjukkan gelapnya. Entah mengapa suasana malam hari itu terasa lebih gelap dan dingin. Awan-awan hitam yang mengelilingi rumah mereka disertai kilatan petir dengan keanehan tidak ada setetes air hujan yang turun.
Diruang makan, keluarga tersebut tidak menunjukkan gelagat yang mencurigakan. Disaat Harsa ingin menyudahi makannya tiap-tiap sudut rumah mendadak gelap. Penerangan yang dimiliki rumah tersebut mati serentak. Harsa memutuskan yang memeriksa kabel utama tapi tak kunjung menemukan pintu keluar ia merasa kalau dia terus memutari rumah tersebut dalam kondisi gelap.
Harsa yang sedari tadi berjalan mendadak berhenti di depan ruangan yang diterangi cahaya lilin. Ia melihat 3 anggota keluarganya duduk bersimpuh menghadap lemari yang sama dilihat Harsa saat ia masih kecil yaitu disaat bayangan aneh keluar.
“Ha kok semua pada disitu!” ucap Harsa tanpa menggerakkan bibirnya.
“Ayah, Ibu, Kak Ayu pada ngapain disana?” perkataan Harsa sama sekali tidak membuat keluarganya berkutik sedikitpun. Disaat Harsa ingin menghampiri mereka, tubuh yang terasa mematung dan tak bisa digerakkan membuat panik Harsa.
“Eh badanku kok gak bisa digerakin, Bu bantuin Harsa gak bisa gerak,” Harsa yang panik berteriak sekencang-kencangnya kearah keluarganya akan tetapi tak satupun perkataan Harsa yang didengar oleh mereka.
Kesunyian terpecah dengan terbukanya lemari dan sosok hitam yang sudah lama ia ingat kembali muncul. Bayangan yang tingginya melebihi rata-rata manusia umumnya, bayangan tersebut keluar sepenuhnya. Kini tiga anggota keluarga yang telah berhadapan dengan sosok tersebut terus menunduk. Pemandangan itu membuat Harsa seakan memikul kumpulan es dipundaknya. Tubuhnya bergidik tidak dapat bergerak, hanya dapat menatap penuh kearah keluarganya.
Sedetik berikutnya seakan membuat jiwa Harsa terlepas, bayangan itu menunjuk kearah mereka dan anggukan sebagai pemahaman intruksi yang diberikan. Dengan bersamaan keluarga itu memegang kepala mereka dan melepaskannya tanpa ada reaksi apapun.
“Kumohon hentikan ini, keluargaku …, keluargaku satu-satunya aku gak berhasil lindungin mereka,” tetesan air membasahi wajah kering Harsa. Tiga anggota keluarga tersebut tetap dalam posisi yang sama. Seketika terdengar suara disela-sela tangis Harsa.
“Harsa ini aku, kamu gak ingat aku? Aku rindu banget sama kamu.” Suara yang tidak asing membuat Harsa sadar.
“Gak … kamu bukan temanku, kamu pembunuh!” teriak Harsa.
“Pembunuh? Mereka gak mati kok, mereka sendiri yang memutuskan untuk memberikan jiwa mereka. Aku hanya memenuhi keinginan mereka dengan bayaran menguasai mereka kapanpun dan dimanapun tanpa mereka tahu apa yang dilakukan tubuh mereka sendiri.” Tak percaya dengan jawaban yang diberikan Harsa tak dapat memberikan respon apapun.
“Aku gak akan ngelukain mereka, asalkan kamu mau main denganku selamanya.”
“Masuklah, silahkan duduk kita main bareng lagi. Aku yakin kamu masih ingat dengan permainan terakhir kita. Hem tapi aku mau nyobain yang lain, gimana kalau kita main petak umpet. Kamu sembunyi lalu nanti kami berempat mencarimu.” Harsa yang duduk disamping ayahnya tak dapat sekalipun melirik kearah kanan kepada ayahnya yang seolah telah terpenggal.
“Aku itungin sampai 30 ya, sembunyi yang benar kalau tertangkap keluargamu kamu akan mati dan kalau tertangkap olehku jiwamu akan kuambil. Waktu bermainnya hanya 15 menit, kalau kamu menang aku akan melepaskan kamu dan keluargamu.” Harsa yang merasa tidak ada pilihan lain, memutuskan berlari menuju ruang keluarga. Dalam kegelapan Harsa terus meraba untuk memastikan lokasi yang dipilihnya tepat, disebelah televisi terdapat lemari yang cukup tinggi dan Harsa memilih untuk bersembunyi diatas lemari.
Perasaan yang berdebar, putus asa dan fikiran yang terasa kosong. Sebuah kenyataan yang harus Harsa hadapi, bahkan sekarang tak ada satupun solusi yang dapat Harsa lakukan. Perlahan dibalik kegelapan ia melihat Serayu berjalan dengan kepala yang terus dibawa didepan tubuhnya.
“Kakak …!” teriakan dari Harsa membuat respon Serayu yang kini berjalan terarah kepada Harsa.
Tanpa disadari bayangan hitam yang sedari tadi telah memperhatikan Harsa. Perlahan menekan dada Harsa hingga menembus tepat dijantung.
“Bermainlah denganku Harsa, bermainlah untuk selamanya.” Kalimat terakhir yang terdengar Harsa disaat tubuhnya mulai mendingin. Hanya tatapan penuh penyesalan yang diberikan oleh Harsa.
***
“Kau sudah tahukan apa yang kumaksud,” tanya bayangan itu yang kini menghadap dengan ayah.
“Tak cukupkah jiwaku kuberikan, aku merasa terlalu berlebihan kalau mengorbankan anak bungsuku.” Jawab ayah dengan jiwa yang penuh harap agar anak bungsunya dapat selamat.
“Perjanjianku, perjanjianmu adalah ikatan dan Aku membutuhkan wadah agar keinginanmu terpenuhi. Itu adalah keputusanmu disaat pertemuan pertama kita.”