Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Bab 1: Titik Buta yang Berbisik
Dunia Rizky, sang fotografer lanskap, dulunya adalah hamparan tak terbatas dari warna, tekstur, dan detail. Setiap lekuk pegunungan, setiap tetes embun di daun, setiap kerutan di wajah manusia, adalah sebuah cerita yang ia tangkap melalui lensa dan jiwanya. Kini, dunia itu terfragmentasi. Sebuah bintik buta permanen—seperti lubang hitam yang menganga—telah menetap di bagian tengah lapang pandangnya, sebuah anomali langka yang disebut scotoma yang tidak dapat diobati. Bukan kegelapan total, melainkan ketiadaan, sebuah kehampaan yang terus-menerus menutupi apa pun yang ia coba fokuskan. Ironi yang brutal bagi seorang yang hidup dari penglihatannya.
Ia telah memutuskan untuk mengasingkan diri ke sebuah rumah kayu terpencil di kaki Gunung Bromo, Jawa Timur. Udara dingin pegunungan dan pepohonan pinus yang menjulang tinggi menawarkan ketenangan yang ia dambakan, atau setidaknya, sebuah ilusi ketenangan. Rumah itu adalah warisan keluarga, telah lama kosong, diselimuti aroma kayu lapuk, debu, dan keheningan yang tebal. Ia berharap bisa menemukan kedamaian, berdamai dengan kegelapan yang kini bersemayam di matanya.
Sejak hari pertama ia menginjakkan kaki di ambang pintu, ketidaknyamanan itu sudah hadir. Bukan dinginnya udara atau kesunyian yang mencekam. Melainkan sensasi yang lebih dalam, lebih pribadi. Bintik buta itu, yang seharusnya hanya area kosong, terasa seperti sesuatu yang hidup. Bukan hanya sebuah ketiadaan visual, melainkan sebuah kehadiran yang samar, bersembunyi di balik penglihatannya yang sehat.
Rizky mencoba mengabaikannya. Ia mulai dengan membersihkan rumah, membuka jendela-jendela tinggi agar cahaya matahari masuk, mengusir debu dan sarang laba-laba. Namun, setiap kali ia menggerakkan kepalanya, setiap kali matanya melayang, kilasan bayangan hitam pekat akan muncul di dalam bintik buta itu. Mereka bergerak cepat, terlalu cepat untuk diidentifikasi, seperti siluet-siluet yang menari di atas kanvas kosong. Awalnya, ia berasumsi itu adalah adaptasi otaknya, sebuah ilusi visual yang diciptakan oleh kondisi sarafnya.
Ia memasak makan malam pertamanya di dapur kecil, suara desis minyak memenuhi ruangan. Namun, ia sering merasa ada yang mengawasinya. Bukan dari luar jendela, melainkan dari dalam rumah. Ia akan berbalik tiba-tiba, namun hanya ada kursi kosong, meja makan yang berdebu. Namun, di sudut bintik butanya, ia melihat bayangan yang baru saja lewat, menghilang di balik lemari.
Rizky mengeluarkan kamera lamanya, sebuah DSLR yang telah menemaninya ke berbagai pelosok dunia. Ia mencoba mengarahkan lensa ke arah bintik butanya, seolah-olah ia bisa menangkap apa yang ia lihat. Namun, hasilnya selalu sama: foto-foto yang sempurna, tanpa noda, tanpa bayangan. Kamera hanya menangkap realitas fisik, bukan distorsi dalam retinanya.
"Ini cuma pikiranmu, Rizky," bisiknya pada dirinya sendiri, suaranya parau karena jarang berbicara. "Stres, kecemasan, itu saja."
Namun, di malam hari, ketegangan itu memuncak. Rumah itu seolah bernapas. Setiap desiran angin di luar, setiap gemerisik daun, terasa seperti bisikan samar yang berasal dari dalam dinding. Ia berbaring di tempat tidur, mencoba memejamkan mata. Namun, bahkan dalam kegelapan kelopak matanya, bayangan-bayangan itu tetap ada, menari-nari di dalam bintik butanya, semakin jelas, semakin berani.
Ia mulai merasakan sentuhan dingin yang menusuk secara acak di kulitnya, seolah ada tangan tak terlihat yang menyentuhnya. Kadang di lengannya, kadang di lehernya. Ia akan melompat, menyalakan lampu, mencari sumbernya, namun tidak ada apa-apa. Hanya kehampaan yang dingin.
Aroma aneh mulai muncul. Bukan bau kayu lapuk atau debu. Melainkan sesuatu yang pahit, seperti tanah basah bercampur logam karat, dengan sedikit bau yang mengingatkan pada lumut tua. Aroma itu akan muncul tiba-tiba, memenuhi ruangan, lalu menghilang secepat ia datang, meninggalkan sensasi mual di perutnya.
Rizky mulai mendokumentasikan fenomena-fenomena ini. Ia tidak lagi menggunakan kamera untuk memotret lanskap, melainkan untuk merekam suara dan mendikte deskripsi rinci tentang apa yang ia alami. Ia berbicara ke arah mikrofon, mencoba tetap tenang dan rasional, meskipun suaranya seringkali bergetar.
"Hari ketiga di rumah," ...