Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Bab 1 – Meja yang Tak Pernah Diisi
Langit pagi itu kelabu, dengan awan yang menggantung seperti rahasia yang terlalu berat untuk disimpan. Daun-daun jatuh satu-satu di halaman sekolah, dan Ares anak pindahan dari kota seberang menjejakkan kakinya ke SMA Harapan Utara dengan rasa asing yang tak mampu ia tolak.
Suasana sekolah tampak biasa saja: murid-murid berseragam putih-abu yang berlarian menuju kelas, beberapa guru yang menyeruput kopi dari gelas tua, dan petugas kebersihan yang menyapu tanpa menatap siapa-siapa. Tapi entah mengapa, udara di pagi itu terasa lebih tebal dari yang seharusnya.
Ares berjalan menyusuri koridor kelas XI-B. Tangannya menggenggam surat pindahan, dan matanya menangkap papan nama tua yang sedikit retak di sudut pintu.
Ketika ia mengetuk dan masuk, suara-suara di dalam langsung berhenti, seolah kehadirannya adalah jeda dari sesuatu yang sedang berjalan terlalu lama.
"Silakan duduk di bangku kosong paling belakang, dekat jendela,"
kata wali kelas yang suaranya terlalu datar untuk sebuah sapaan.
Ares mengangguk, menarik napas, dan melangkah pelan ke arah kursi yang ditunjuk. Namun saat sampai di sana, ia berhenti.
Meja itu memang kosong. Tapi… tidak benar-benar kosong. Ada sebuah pulpen hitam yang tergeletak lurus di tengah meja. Kursinya ditarik sedikit keluar, seperti seseorang baru saja duduk di sana dan meninggalkannya dalam keadaan tergesa.
Dan…ada bau samar seperti parfum tua yang tertinggal di udara.
Ares memandang sekeliling.
Tak ada yang menoleh.
Semua sibuk menunduk.
Seolah tak ingin mengakui bahwa mereka juga melihat hal yang sama.
Ia duduk perlahan.
Pulpen di depannya bergeser sedikit, sendiri, tanpa disentuh. Mungkin angin, pikirnya.
Atau mungkin...
Bel masuk berbunyi..Kelas kembali sibuk. Pelajaran dimulai. Tapi Ares tak bisa fokus.
Dari sudut matanya, ia melihat sosok samar duduk di kursi sebelahnya.
Putih pucat. Kepala sedikit menunduk. Wajah tak terlihat.
Setiap kali ia menoleh, sosok itu hilang. Tapi setiap kali ia mengalihkan pandangan, kursi itu seperti bernafas.
“Mungkin kamu terlalu lelah. Atau mungkin sekolah ini memang menyimpan lebih banyak keheningan dari yang kau kira,” gumamnya dalam hati.
Saat jam istirahat tiba, Ares tetap duduk di tempat. Tak ada yang mengajaknya bicara. Mereka berjalan melewatinya seperti angin. Hampir semua murid tidak menatap ke arah meja itu. Seolah ia dan kursi itu telah menjadi satu bayangan panjang yang dihindari.
Lalu tiba-tiba, seseorang menepuk bahunya dari belakang.
Seorang gadis, wajahnya pucat, rambutnya dikuncir satu.
"Namamu Ares, kan?"
"Iya."
"Jangan terlalu lama duduk di situ."
Ares mengernyit. "Kenapa?"
Gadis itu hanya menatapnya sejenak, lalu menunduk.
"Kursi itu… sudah pernah diisi. Dan belum dikosongkan."
Sore itu,...