Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Bab 1: Pintu yang Tertutup Rapat
Angin laut yang asin menusuk hingga ke tulang, membawa serta aroma lumut dan sedikit busuk dari rawa-rawa bakau di kejauhan. Maya, dengan rambut hitam panjangnya yang selalu sedikit berantakan dan tatapan mata yang sering kali lebih banyak melihat ke dalam daripada keluar, menggigil kecil. Bukan karena dinginnya udara Kendari yang sebenarnya cukup bersahaja, melainkan karena getaran aneh yang merayapi punggungnya setiap kali ia melangkah lebih jauh ke dalam pekarangan rumah tua ini. Rumah ini berdiri di pinggir kota Kendari, agak terpencil dari keramaian Jalan Z.A. Sugianto yang tak pernah tidur, dikelilingi pagar kawat berkarat yang diselimuti tanaman merambat liar.
Rumah itu adalah warisan dari kakek buyutnya yang tak pernah ia kenal, sebuah warisan yang baru terungkap setelah serangkaian tragedi menimpa keluarganya. Ayah dan ibunya meninggal dalam kecelakaan mobil setahun yang lalu, menyisakan Maya yang sendirian di Jakarta. Dan kini, setelah memutuskan hubungan pertunangannya yang terasa hambar dan membelenggu, ia merasa Kendari adalah tempat yang tepat untuk menghilang, untuk menyembuhkan luka-luka yang menganga di jiwanya. Ia adalah seorang seniman grafis, pekerjaannya tak terikat lokasi, dan sepi adalah teman terbaiknya saat ini.
Pintu utama yang terbuat dari kayu jati tua, berat dan mengelupas, terbuka dengan derit panjang yang membuat bulu kuduknya meremang. Aroma apek, debu, dan sesuatu yang sulit dijelaskan—semacam aroma waktu yang berhenti—menyambutnya di ambang pintu. Jendela-jendela di ruang tamu yang tinggi ditutupi tirai tebal berwarna kusam, membuat ruangan terasa gelap dan sesak. Di tengahnya, sebuah meja kayu bundar dengan ukiran naga yang usang menjadi satu-satunya perabot yang tertinggal.
Ia menghela napas panjang, mencoba meyakinkan dirinya bahwa semua ini hanyalah efek dari kelelahan dan kesedihan yang masih membalut hatinya. "Ini rumahmu sekarang, Maya," bisiknya pada dirinya sendiri, suaranya terdengar kecil dan rapuh di dalam keheningan yang menyesakkan itu.
Beberapa hari pertama di rumah itu berlalu dengan usaha keras untuk mengubahnya menjadi tempat yang layak huni. Ia membersihkan debu setebal jari, menyapu sarang laba-laba, dan mencoba membuka jendela-jendela yang seolah terpaku oleh waktu. Proses itu sendiri terasa seperti terapi. Setiap sapuan, setiap usapan lap, adalah upaya untuk membersihkan bukan hanya rumah, tetapi juga kekacauan dalam pikirannya.
Malam pertama di rumah itu adalah yang terberat. Suara jangkrik di luar terdengar lebih nyaring, dan keheningan di dalam rumah terasa begitu tebal, seolah bisa dipegang. Maya berbaring di kasur lipatnya yang sementara, menatap langit-langit yang tinggi dengan mata terbuka lebar. Ia mendengar suara-suara yang tak biasa. Suara gesekan, seperti sesuatu yang diseret di lantai atas. Sebuah langkah kaki yang berat, bergerak perlahan dari satu kamar ke kamar lain. Ia menahan napas, telinganya menajam. "Hanya angin," bisiknya, mencoba menenangkan jantungnya yang berdebar tak karuan. "Atau mungkin tikus." Tapi suara itu terlalu berat untuk tikus, terlalu teratur untuk angin. Itu adalah langkah kaki manusia.
Ia memejamkan mata erat-erat, mencoba menghalau ketakutan. Ia membayangkan kekasihnya, Rendy, memeluknya erat. Tapi bayangan itu memudar secepat datangnya, menyisakan rasa perih di hatinya. Kepergian Rendy, bukan karena kematian, melainkan karena pengkhianatan, meninggalkan luka yang mungkin lebih dalam daripada kematian orang tuanya. Ia tahu, ia harus melepaskan diri dari bayangan Rendy, sama seperti ia harus melepaskan diri dari bayangan rumah ini.
Pagi harinya, ia memeriksa lantai atas. Kamar-kamar kosong, berdebu, dan sepi. Tidak ada jejak apapun yang menunjukkan adanya gerakan di sana. Ia bahkan memeriksa loteng, berharap menemukan tanda-tanda keberadaan hewan pengerat, tetapi hanya ada kegelapan dan aroma kayu lapuk. Ia menghela napas lega, menyalahkan imajinasinya yang terlalu aktif.
Namun, keanehan kecil itu terus berlanjut. Suatu sore, saat ia sedang menggambar sketsa desain grafis di meja ruang tamu, ia merasakan sesuatu yang aneh. Dari sudut matanya, ia melihat bayangan sekilas di ambang pintu dapur, seperti seseorang yang mundur dengan cepat. Ia sontak meno...