Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Malam itu, cuaca di desa Sumber Alam terasa mencekam. Angin bertiup kencang, membawa suara gemerisik dedaunan yang seolah berbisik satu sama lain. Hujan mulai turun dengan deras, menciptakan suasana lembab yang membuat bulu kuduk berdiri. Di tengah suasana yang seram ini, seorang gadis bernama Lani tengah duduk sendirian di dalam rumahnya yang tua.
Rumah itu milik neneknya yang telah meninggal beberapa tahun lalu. Sejak saat itu, Lani tinggal di sana, mencoba merawat tempat yang penuh kenangan. Meskipun rumah itu indah dengan arsitektur klasiknya, aura misterius selalu menyelimuti ruangan-ruangannya. Terlebih lagi, nenek Lani pernah bercerita tentang hantu yang sering terlihat di malam hari. Kisah itu, meskipun terdengar konyol, tak bisa menghilangkan rasa takut di hati Lani.
Saat hujan semakin deras, Lani merasakan kesepian menyelimutinya. Dia memutuskan untuk mengalihkan perhatiannya dengan membaca buku. Dengan senter di tangannya, dia membuka halaman-halaman buku tua yang berdebu. Namun, saat dia asyik membaca, sebuah suara aneh tiba-tiba membuatnya terdiam. Suara itu berasal dari luar, seperti suara ketukan pelan di jendela. Lani teringat cerita neneknya tentang hantu yang suka mengetuk jendela.
“Pasti hanya angin,” pikirnya sambil berusaha menenangkan diri.
Namun, ketukan itu terus berulang. Rasa penasaran mulai mengalahkan ketakutannya. Lani berdiri dan mendekati jendela. Dia menatap keluar, tapi hanya melihat kegelapan yang pekat. Dia menarik nafas dalam-dalam, berusaha menenangkan dirinya sebelum kembali duduk.
Tak lama kemudian, suara itu terdengar lagi, kali ini lebih keras. Lani terloncat dari kursinya. Ketukan itu begitu nyata dan menakutkan. Dengan gemetar, dia memberanikan diri untuk membuka tirai jendela. Saat tirai terbuka, bayangan gelap melintas cepat, membuat Lani terkejut.
“Siapa di sana?” tanyanya dengan suara bergetar.
Hanya keheningan yang menjawab. Dia merasa jantungnya berdegup kencang. Dia ingin menutup jendela itu, tetapi ada sesuatu yang menarik perhatian. Di sudut mata, dia melihat sosok putih yang berdiri di balik pepohonan. Sosok itu tampak samar, tetapi Lani dapat merasakan tatapan kosong yang tertuju padanya.
Dia memutuskan untuk menyalakan lampu di ruang tamu. Dengan cahaya yang lebih terang, dia merasa sedikit lebih tenang. Namun, bayangan di luar jendela terus mengganggu pikirannya. Lani kembali duduk di kursi, mencoba mengabaikannya dan fokus pada buku yang dibacanya.
Saat larut malam, hujan mulai mereda, tetapi ketukan di jendela kembali terdengar. Lani merasa frustasi. “Siapa yang terus mengetuk?” gerutunya. Dia merasa tidak nyaman di rumah itu, seolah ada sesuatu yang mengawasi setiap gerakannya.
Tiba-tiba, lampu di rumah itu mati. Suasana menjadi gelap gulita, membuat Lani merasa terjebak dalam kegelapan yang mencekam. Dengan panik, dia meraih senter yang sempat dia letakkan di meja. Namun, saat dia menyalakannya, cahaya senter menunjukkan sesuatu yang mengerikan.
Di jendela, dia melihat sosok perempuan bergaun putih, wajahnya pucat dengan mata yang dalam dan kosong. Lani terperangah, hampir tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Sosok itu tersenyum lebar, senyum yang tampak menyakitkan dan menakutkan.
“Lani…” suara itu terdengar lirih, hampir seperti bisikan. “Aku menunggumu…”
Jantung Lani berdegup sangat cepat. Dia berusaha berlari menjauh dari jendela, tetapi kakinya terasa berat. “Apa yang kau inginkan?” tanyanya, suara bergetar.
“Aku hanya ingin berbicara,” jawab sosok itu, suaranya makin jelas. “Tolong, Lani. Aku butuh bantuanmu.”
Lani merasakan keringat dingin mengalir di sepanjang punggungnya. Dia ingin berteriak, tetapi mulutnya terasa kering. Dia mengingat kembali cerita neneknya tentang hantu yang tersesat, yang mencari jalan pulang.
“Siapa kau?” tanya Lani, berusaha bersikap berani.
“Aku Mira. Sahabatmu,” jawab sosok itu. “Aku… terjebak di sini.”
Lani mengingat Mira, teman masa kecilnya yang hilang sepuluh tahun lalu. Mereka biasa bermain di hutan di belakang rumah. Mira menghilang tanpa jejak, dan pencarian yang dilakukan orang-orang tidak membuahkan hasil.
“Kenapa kau ada di sini?” tanya Lani, berusaha memahami.
“Aku tidak bisa pergi, Lani. Aku butuh bantuanmu untuk membebaskan diriku,” Mira menjelaskan. “Aku terjebak di antara dua dunia. Aku bisa merasakannya, tetapi aku tidak bisa menemukan jalan pulang.”
Lani merasakan kesedihan mendalam saat mendengar penjelasan itu. Kenangan indah saat mereka bermain bersama datang kembali, tetapi saat yang sama, ketakutan menyelimutinya. “Bagaimana aku bisa membantumu?”
“Datanglah ke tempat di mana aku terakhir kali terlihat. Di hutan belakang rumah ini. Hanya di sana aku bisa bebas,” jawab Mira.
Hati Lani berdebar, tetapi dia merasa terikat oleh rasa penasaran dan kasih sayang pada sahabatnya yang hilang. “Baiklah, aku akan membantumu.”
Dengan berani, Lani mengambil jaket dan senter, lalu berjalan menuju pintu belakang. Kegelapan di luar terasa lebih menakutkan dibandingkan di dalam rumah. Dia menelusuri jalan setapak menuju hutan, berusaha untuk tidak teringat tentang cerita hantu yang selalu menakut-nakutinya.
Setelah beberapa menit berjalan, Lani sampai di tempat yang dia ingat. Pohon-pohon tinggi dan semak-semak rimbun menyambutnya. Dia menyalakan senter, tetapi cahaya hanya menjangkau sedikit dari kegelapan. Tiba-tiba, dia merasakan hawa dingin, seolah ada sesuatu yang mengawasinya.
“Di sini, Lani…” suara Mira terdengar lagi, kali ini lebih dekat.
“Di mana kau?” Lani memanggil, berusaha menahan rasa takut.
“Di belakangmu,” jawab Mira.
Lani berbalik dan melihat bayangan sosoknya berdiri di antara pepohonan. Dia menelan ludah, lalu bertanya, “Apa yang harus aku lakukan?”
“Cobalah ingat kenangan kita. Hal yang membuat kita bahagia,” Mira menyuruh.
Lani mulai mengingat saat-saat indah mereka, tawa yang mengisi hari-hari. Dia mengingat permainan petak umpet yang mereka mainkan di hutan ini, dan bagaimana mereka saling mendukung dalam keadaan sulit. Semakin dia mengingat, semakin terang sinar di sekeliling mereka.
“Aku merasa… ada yang berubah,” Mira berbisik. “Terus ingat, Lani. Aku bisa merasakannya!”
Ketika Lani mengingat kenangan-kenangan itu, sosok Mira mulai bergetar. Cahaya mulai bersinar dari dalam dirinya. “Ya, itu dia! Aku hampir bebas!” teriaknya dengan penuh semangat.
Namun, saat cahaya itu semakin terang, Lani merasakan sesuatu yang aneh. Hawa dingin semakin tajam, dan bayangan gelap muncul dari kegelapan hutan, melingkari Mira.
“Tidak!” Lani berteriak. “Apa ini?”
Bayangan itu merayap, mencoba menarik Mira kembali ke kegelapan. Lani, dengan keberanian yang tersisa, berlari menuju Mira dan menggenggam tangannya. “Kita tidak akan terpisah lagi!” dia bertekad.
Dengan kekuatan persahabatan yang kuat, Lani berusaha menarik Mira keluar dari bayangan gelap itu. Mereka berjuang melawan kegelapan, dan akhirnya cahaya mengelilingi mereka. Dalam sekejap, Lani merasa sebuah tarikan kuat, lalu mendengar suara Mira sekali lagi.
“Terima kasih, Lani. Aku bisa pergi sekarang,” kata Mira dengan suara lembut.
Saat itu, cahaya memancar sangat terang, dan Lani terlempar ke belakang. Dia terjatuh di tanah, dan saat dia membuka mata, dia menemukan dirinya kembali di dalam rumah.
Ruangan itu sunyi, tidak ada ketukan lagi di jendela. Lani berusaha memahami apa yang baru saja terjadi. Apakah itu hanya mimpi? Atau benar-benar nyata? Namun, saat dia melihat ke luar jendela, dia melihat secercah cahaya di hutan. Dia tahu, itu adalah tanda bahwa sahabatnya sudah pergi.
Malam itu, Lani merasa lega sekaligus sedih. Dia berhasil membantu sahabatnya menemukan jalan pulang, tetapi dia juga merindukan kenangan indah bersama Mira.