Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Lampu neon di langit-langit kantor Golden Vein Resources berkedip sebentar sebelum akhirnya menyala penuh, memancarkan cahaya dingin yang menyoroti tumpukan dokumen di meja Galang. Tangannya yang biasanya lincah menari di atas keyboard sekarang terasa kaku, jari-jemarinya mengetuk meja dengan ritme tak menentu. Spreadsheet di layar komputernya penuh dengan angka-angka yang seharusnya tidak ada di sana - kolom-kolom tersembunyi berisi transaksi fiktif yang sengaja ia sisipkan untuk menutupi lubang besar dalam laporan keuangan perusahaan.
Keringat dingin mengalir di pelipisnya ketika ia menyadari ada yang salah dengan dokumen halaman 147. Cadangan mineral tambang emas di Papua itu terlalu sempurna, terlalu rapi. Sebagai akuntan yang sudah sepuluh tahun berkecimpung di dunia pertambangan, Galang tahu betul tidak ada deposit emas yang begitu konsisten hasil assay-nya. Angka-angka itu bohong, dan sekarang ia terjebak dalam kebohongan itu.
Ponsel di saku dadanya bergetar, menghentikan lamunannya. Pesan dari nomor tak dikenal: "Besok jam 9. J. Wijaya." Hanya itu. Tidak perlu lebih. Galang mengenal nada ancaman yang terselubung dalam kalimat singkat itu. Ia menatap jam dinding - pukul 03.18 dini hari. Masih ada waktu lima jam sebelum pertemuan itu, tapi tidur jelas bukan pilihan sekarang.
Ketika matahari mulai menyembul di balik gedung-gedung Jakarta, Galang sudah berdiri di depan jendela kantor Jonathan Wijaya. Ruangan itu terlalu besar untuk satu orang, terlalu mewah untuk sekadar kantor. Jonathan tidak menyuruhnya duduk, hanya menyodorkan segelas whisky yang baunya menusuk hidung.
"Kau pikir aku tidak tahu permainanmu, Pratama?" Jonathan membalikkan tablet di mejanya. Rekaman CCTV menunjukkan Galang bertemu dengan seorang pria bertato ular di parkiran bawah tanah minggu lalu. Pria yang sama yang pernah memberinya amplop coklat tebal tiga bulan silam.
Galang menelan ludah. Ia tahu persis siapa di balik tato ular itu - kurir dari organisasi yang selama ini menjadi klien sampingannya. Organisasi yang dipimpin oleh seseorang yang hanya dikenal sebagai Tangan Iblis.
"IPO ini harus berjalan mulus," Jonathan mengatupkan jari-jemarinya seperti sedang berdoa. "Dan kau akan memastikan itu terjadi. Kecuali kau ingin video ini sampai ke pihak yang tidak seharusnya melihatnya."
Sepanjang jalan pulang, bayangan Jonathan dan pria bertato ular itu terus mengikutinya. Ia berhenti di kedai kopi tua tempat Reno biasa menghabiskan malam. Temannya itu langsung menyodorkan kopi hitam pekat tanpa bertanya, seolah sudah tahu Galang membutuhkannya.
"Lo keliatan seperti baru melihat hantu," Reno mencoba melucu sambil menyulut rokok.
Galang memutar-mutar gelas kopinya. "Hanya deadline IPO. Laporan keuangan yang tidak mau berdamai."
Jika saja Reno tahu bahwa di dalam tas Galang, tersembunyi dokumen asli laporan cadangan mineral Golden Vein - dokumen yang bisa menjatuhkan perusahaan itu - dan sebuah pistol Sig Sauer P226 yang sudah ia bawa sejak pertemuan dengan pria bertato ular itu.
Malam itu, ketika Jakarta sudah tertidur dan hanya lampu-lampu gedung pencakar langit yang masih berjaga, Galang terjaga di depan komputernya. Sebuah email anonim tiba di inbox khususnya:
"Kami menawarkan 5 juta dolar tunai untuk membatalkan IPO Golden Vein. Karaoke Room, The Ledger. Besok malam. Jangan bawa senjata."
Galang menatap layar dalam waktu yang lama sebelum akhirnya menekan tombol print screen. Tangannya yang terlatih menangkap setiap detail header email - alamat IP, server perantara, jejak digital yang suatu saat bisa menjadi senjata.
Di kejauhan, Jakarta berkedip-kedip seperti spreadsheet raksasa yang penuh dengan sel-sel tersembunyi. Setiap angka punya cerita. Setiap koma punya konsekuensi. Dan Galang? Ia hanya seorang akuntan yang tahu terlalu banyak, seorang pembunuh bayaran yang terjebak dalam pembukuan paling berbahaya dalam hidupnya.
Angin malam menerpa wajahnya ketika ia berdiri di balkon apartemen. Dua hari lagi sebelum IPO. Dua hari sebelum segalanya berubah. Di saku jaketnya, ia meraba botol kecil berisi pil yang membuatnya tetap terjaga selama 72 jam terakhir. Ia membutuhkan semua waktu yang tersisa untuk menyiapkan langkah berikutnya - karena setelah pertemuan besok malam di The Ledger, tidak akan ada jalan kembali.
***
Galang meneguk wiski terakhirnya, es batu berderik seperti kode morse yang hanya dipahaminya. Bar "The Ledger" di Jakarta Selatan ini selalu jadi tempatnya meracik angka—atau kadang, rencana pembunuhan. Tapi malam ini, dia hanya ingin jadi akuntan publik biasa, lepas dari bayang-bayang pekerjaan sampingannya.
"Galang! Lagi ngitung duit klien atau duit sendiri?" Reno, teman kuliahnya, menyambar kursi di sebelahnya dengan senyum lebar. Reno adalah orang yang percaya Galang hanya bekerja dengan kalkulator dan spreadsheet.
"IPO perusahaan tambang Golden Vein. Lumayan ribet," Galang mengalihkan pembicaraan, jarinya mengetuk-ngetuk gelas.
Reno tertawa, "Dasar workaholic! Nanti gw kenalin sama cewek—"
Sebelum kalimatnya selesai, ponsel Galang bergetar. Satu pesan: "VVIP Room. Sekarang."
"Maaf, Reno. Ada urusan klien," Galang mengangkat diri, meninggalkan Reno yang masih bercerita tentang kencan butanya.
Ruangan karaoke VVIP itu lebih mirip ruang rapat eksekutif: lampu temaram, meja marmer, dan bau parfum mahal yang menusuk. Di ujung sofa, seorang pria berjas hitam—Tangan Iblis—bersandar dengan senyum yang membuat Galang ingin menarik pistol dari balik ikat pinggangnya.
"Kau tahu kenapa kita ada di sini, Mr. Accountant?" suara Tangan Iblis seperti pisau berminyak.
"IPO Golden Vein," Galang menjawab datar.
"Betul. Tapi bukan angka-nya yang kami mau. Kami mau... CEO-nya hilang. Permanen."
Galang mengerutkan kening. "Saya auditor, bukan assassin."
Tangan Iblis tertawa, lalu melemparkan sebuah tablet ke meja. Di layarnya, foto Reno—dijepit dua orang bersenjata—di parkiran klub.
"Kau punya keahlian ganda, Galang. Dan kami tahu segala rahasiamu," bisiknya. "Lakukan ini, atau Reno dan keluarganya jadi liabilitas yang kau hapus dari neraca hidup."
Galang menatap tablet itu. Angka-angka di kepalanya tiba-tiba berantakan. Dia bisa membunuh Tangan Iblis sekarang, tapi Reno akan mati duluan.
"Deadline?"
"Besok malam. Sebelum IPO ditandatangani."
Galang keluar dari klub, angin malam Jakarta menyapu wajahnya. Di sakunya, ada flashdrive berisi data CEO Golden Vein—rute harian, kebiasaan, titik lemah. Reno masih tertawa di bar, tak sadar bahwa nyawanya baru saja jadi collateral damage.
Galang menghirup dalam-dalam. Besok, ia harus memilih: menyelamatkan teman, atau membunuh seorang CEO.
Tapi bagi seorang akuntan sepertinya, setiap pembunuhan adalah sekadar debit dan kredit. Dan malam ini, neracanya mulai tidak seimbang.
***
Galang Pratama bangun dengan mata berpasir. Cahaya pagi menyelinap lewat gorden hotel, melukis garis-garis tajam di atas sprei putih. Tangannya otomatis meraba luka kecil di pelipis—kenang-kenangan dari pertarungan semalam.
Di atas kursi, seragam barista coklat muda tergelar rapi. Sebuah name tag "Rio" dan sertifikat barista palsu menunggu. Galang menghela napas. Hari ini, ia harus menjadi orang lain.
"Kau Rio sekarang. Barista freelance untuk acara Golden Vein."
Jakarta pagi sudah berdenyut ketika ia melangkah keluar. Di saku jaketnya, botol kristal kecil berisi sianida berbunyi nyaring saat ia berjalan melewati poster besar IPO Golden Vein. Wajah Jonathan Wijaya tersenyum sombong di atas tulisan "Masa Depan Investasi Indonesia".
Ballroom The Majestic Hotel riuh oleh suara gelas yang berdenting. Booth kopinya berdiri tepat menghadap panggung utama.
"Rio! Americano untuk Pak Direktur, cepat!" teriak supervisor.
Galang mengangguk. Tangannya bergerak lihai—menggiling biji kopi, menuang air panas 92°C. Jari kelingkingnya membuka botol kecil. Serbuk putih lenyap dalam buih susu.
Jonathan Wijaya naik panggung dengan langkah percaya diri. "Atas nama Golden Vein—"
Kalimatnya terpotong ketika Galang menyodorkan cangkir. "Americano spesial, Pak."
Jonathan meneguk. Sekali. Dua kali. Tiba-tiba matanya membelalak. Tangannya mencengkeram dada.
Keributan meledak. Galang sudah sampai di pintu belakang ketika tubuh Jonathan rubuh. Ia melepas seragam, menggantinya dengan jas Armani dari tong sampah.
Ponselnya bergetar. Pesan dari nomor tak dikenal:
"Parkiran B1. Mobil hitam."
Senyum tipis menguar. Tangan Iblis mengira ini akhir cerita.
Tapi tadi pagi, kopi yang sama sudah ia berikan pada seorang pengawal dengan tattoo ular di leher—tanda kesetiaan pada sang bos.
Angin Jakarta menyambutnya. Sirene mulai terdengar. Seorang akuntan sekaligus pembunuh telah menyelesaikan pekerjaannya.
Tapi neraca darahnya masih jauh dari seimbang.