Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Semuanya bermula dari luka. Bukan dari Yudit, tapi dari Yosi, mantan yang lebih dulu meninggalkan jejak perih di hatimu. Seseorang yang membuat runtuh kepercayaan dan kasih sayangmu, yang membuatmu tanpa berfikir panjang untuk menjauh dari luka yang membekas di ingatan. Kau mencoba bangkit, mencoba percaya lagi. Dan saat itu, Yudit hadir laki laki yang berbeda jauh umurnya dengamu. Ia tidak datang dengan keraguan, tidak dengan teka-teki. Ia mendekat dengan cara yang jujur dan terang terangan, spontan dengan aksinya yang gesit dan tidak menunda nunda. Ia menyukaimu, dan ia tidak menyembunyikannya dari orang lain manapun, ia mencoba terus menerus mendekatimu tanpa rasa lelah dan takut akan penolakan. Kau merasa dihargai, merasa dilihat. Ia menemanimu berjalan dimanapun trotoar jalanan, mengantarmu jajan,olahraga bersama, bahkan hanya duduk berdua tanpa tujuan. Ia hadir dengan ketulusan yang tidak kau ragukan tanpa mengenal waktu dan tempat, ia selalu hadir untuk menemuimu. Tapi kau tahu, hatimu belum pulih. Kau mencoba membuka diri, mencoba memberi ruang. Kau ingin membalas kebaikannya, ingin memberi kesempatan. Tapi rasa tidak bisa dipaksakan, kau belum mampu untuk mencintainya sepenuhnya, karena umurnya yang sangat bertolak belakang denganmu. Kau menyimpan rasa untuk orang lain Alam, yang tidak pernah mengungkapkan, tapi selalu hadir. Dan di sisi lain, ada Ishan, adik Alam, yang juga menunjukkan perhatian, meski dalam versi yang lebih jahil dan penuh teka-teki.
Yudit tidak pernah melukaimu. Ia tidak pernah membuatmu merasa kecil. Justru ia adalah orang yang paling berani mencintaimu secara terang-terangan. Tapi kau tahu, kejujuran juga berarti berani berkata: aku tidak bisa membohongi hati sendiri aku belum mencintainya, aku takut ia terjun ke rasanya yang paling dalam. Dan kau pun mengakhiri hubungan itu, dengan cara yang paling lembut yang kau bisa. Kau tidak ingin menyakiti, tapi kau juga tidak ingin bertahan dalam ketidakjujuran.
Alam bukan sahabat lama, hanya rekan kerja yang selama ini kau temui di sela tugas. Tapi entah mengapa, kau merasa ia akan mengerti. Saat kau rapuh, kau menghubunginya. Ia datang. Tanpa banyak tanya, tanpa syarat. Saat kau menangis di pinggir jalan, ia merangkulmu, menggandengmu pelan, seolah kau tak perlu bicara untuk dimengerti menawarkan punggungnya untuk mengendongmu di kala lemah. Hari-hari berikutnya, ia hadir dengan cara yang tak biasa. Ia mengingatkanmu tentang hal-hal kecil, bercanda ringan, mengantar ke mana pun kau pergi. Ia tidak pernah meminta balasan, hanya memberi ruang yang membuatmu merasa aman. “Kalau kamu ngerasa sendiri, kan ada aku, ceritalah kapanpun jangan sungkan” katanya suatu hari. Kau hanya diam, menyimpan getar di dada yang tak kau tahu harus kau artikan sebagai apa. Namun, kau tahu ia memiliki kekasih. Kau pernah melihatnya sibuk dengan ponsel, bercakap dengan seseorang. Tidak ada kata romantis, hanya percakapan datar yang membuatmu bertanya-tanya: apakah ia benar-benar bahagia, atau hanya menjalani hubungan yang sudah lama kehilangan arah?
Ia tidak pernah berbicara banyak tentang dirinya. Kau adalah satu-satunya teman perempuan yang ia izinkan untuk berkeluh kesah, katanya. Tapi tentang isi hatinya, ia tetap diam. Ia hanya menjadi pendengar yang setia, yang tahu saat kau melamun, dan menyadarkanmu dengan lembut tanpa menghakimi. Di tengah kebingunganmu tentang Alam, kau mulai menyadari kehadiran Ishan adiknya. Ia hadir dengan cara yang berbeda: jahil, ringan, tapi tetap terasa. Ia sering menggodamu, mengunci pintu hanya untuk bisa berbicara berdua, dan sesekali melontarkan kalimat yang membuatmu terdiam. “Aku menyukai seseorang, tapi bertepuk sebelah tangan, dan itu rasanya sakit, mau mencoba mengungkapkan tapi takut akan penolakan” katanya suatu hari. Kau tidak tahu apakah itu untukmu, atau hanya gurauan yang terlalu jujur.
Ia tidak pernah mengungkapkan secara langsung, tapi kau menangkap isyaratnya. Tatapannya, candanya, bahkan diamnya saat kau pamit, semuanya terasa seperti pesan yang tak pernah selesai ditulis. Kau berada di tengah tiga bayang. Satu yang berani mencintai, satu yang kau cintai diam-diam, dan satu yang mungkin menyimpan rasa tapi tak pernah bicara. Dan kau, yang hanya ingin merasa tenang, justru terjebak dalam pusaran yang tak kau rencanakan.
Lalu kau mulai menarik diri. Kau melihat Alam wanita lain saling beradu pandang saat makan, dan hatimu seperti diremas. Kau tahu, ini saatnya mengalah. Kau mulai menjaga jarak, bersikap biasa, bahkan kadang sengaja bersikap cuek. Tapi Alam tetap seperti dulu masih bercanda, masih memberi perhatian, seolah tak ada yang berubah. Kau memutuskan untuk berhenti bekerja. Bukan karena ingin lari, tapi karena kau ingin memberi ruang bagi dirimu sendiri untuk sembuh. Saat hari terakhir tiba, kau menemuinya. Ada sesuatu di wajahnya bukan kata-kata, tapi sorot mata yang tak bisa kau abaikan. Seperti sedih, seperti kehilangan, tapi tetap diam.
Ia tidak berkata banyak. Hanya menemanimu menunggu angkutan bersama Ishan. Saat kau pergi membeli jajanan kecil, kau sempat mendengar Alam bertanya pada Ishan, “Dia ke mana?” Suara itu lirih, tapi cukup untuk membuat hatimu bergetar. Kau pura-pura tak dengar, tapi kalimat itu tinggal di benakmu lebih lama dari yang kau harapkan. Dan Ishan, yang selama ini hanya bercanda, tiba-tiba berkata, “Yuk, aku anter kemas barang-barang.” Ia membukakan bungkus makananmu, lalu diam membatu didepanmu. Tatapannya kosong, seperti sedang melamun. Kau tahu, ia sedang menyimpan sesuatu. Mungkin rasa, mungkin sedih, mungkin hanya bingung karena kehilangan seseorang yang selama ini ia perhatikan dari jauh. dan akhirnya kau melambaikan tangan pada tiga pria yang pernah hadir dan membuat hidupmu berwarna.
Kau tidak tahu apakah waktu akan mempertemukan kalian kembali. Alam, Ishan, Yudit, bahkan Yosa semuanya pernah menjadi bagian dari perjalanan yang membentukmu. Tapi kau tahu, jika suatu hari kalian bertemu lagi, kau akan menyambut mereka dengan versi dirimu yang berbeda. Bukan lagi gadis yang bingung menafsirkan perhatian, bukan lagi perempuan yang menyimpan rasa dalam diam. Tapi seseorang yang telah belajar tentang batas, tentang kejujuran, tentang melepaskan dengan tenang. Jika kelak kau bertemu Alam, kau ingin menatap matanya tanpa getar, hanya dengan senyum yang tulus. Kau ingin tahu apakah ia sudah menemukan tempat pulang yang ia cari. Jika bertemu Ishan, kau ingin bercanda seperti dulu, tapi tanpa bayang yang menggantung. Dan jika bertemu Yudit, kau ingin mengucapkan terima kasih—karena ia pernah mencintaimu dengan cara yang baik, meski tak kau bisa balas. Kau tidak tahu kapan, tidak tahu bagaimana. Tapi kau tahu, jika pertemuan itu terjadi, kau akan siap. Karena kau telah tumbuh. Dan karena kau tahu, cinta yang dewasa bukan tentang memiliki, tapi tentang memahami.