Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Bel sekolah berdentang tiga kali, nyaring dan tegas seperti biasa. Tanda bahwa jam pelajaran telah usai. Namun siang itu, bunyinya terasa berbeda di telinga Mira. Seperti gema yang berlarut-larut, menggantung di udara, lalu menukik pelan ke dalam dadanya, menyisakan kehampaan yang sulit dijelaskan.
Ia masih duduk di bangkunya, memandangi papan tulis kosong. Tangannya meremas tali tas tanpa sadar, seolah ada yang ingin dipegang erat tapi tak bisa disentuh.
“kenapa sih rasanya beda? Padahal ini Cuma hari biasa… toh pulang sekolah biasa.Mira menghela napas perlahan. Lalu melirik kea arah pintu. Di sana, seperti biasa, Laras berdiri. Tubuhnya disandarkan santai ke kusen pintu, tapi matanya langsung mencari Mira, dan saat mata mereka bertemu, Laras menyunggingkan senyum. Cepat, tipis, dan nyaris tak terlihat.
Mira balas tersenyum. Setidaknya berusaha. Ada gemetar halus di bibirnya yang tak ia sadari.“Laras pasti ngerasa juga ya? Aku kayak aneh hari ini. Tapi mau ngomong mulai dari mana?”
Perlahan, Mira bangkit dari kursi. Langkahnya menuju pintu terasa berat. Bukan karena kelelahan, tapi karena isi kepalanya dipenuhi banyak hal yang berjejal tanpa bentuk, mimpi aneh semalam, pesan Ayah yang datang tiba-tiba, dan bayangan Ibu yang muncul entah dari mana.
"Mungkin aku cuma capek. Mungkin juga aku cuma... takut."
Laras menoleh saat Mira mendekat. “Kamu nggak apa-apa?”
Pertanyaan itu sederhana. Tapi entah kenapa, terasa seperti angin yang membuka pintu-pintu lama di dalam dirinya.
Mira tersenyum kecil. “Aku nggak tahu. Tapi kayaknya... banyak banget yang muter di kepala aku hari ini.”
Laras tak membalas, hanya mengangguk, lalu berjalan di sampingnya. Mereka melangkah menyusuri koridor sekolah yang mulai sepi. Suara sepatu mereka bersahutan, menimpa lantai semen yang hangat oleh sisa matahari.
Di dalam hati, Mira kembali berbicara pada dirinya sendiri.
"Apa aku bisa cerita semuanya ke Laras? Tentang Ayah? Tentang mimpi itu? Tentang rasa sesak yang nggak tahu kenapa munculnya?"
Ia menarik napas dalam-dalam.
"Nanti saja... pelan-pelan. Mungkin, hari ini, cukup dengan ada yang jalan di sebelahku."
***
Di rumah, Mira membuka pintu kamar pelan. Ia langsung merebahkan diri di atas kasur tanpa dipan. Hening menyergap, hanya terdengar detak jarum jam di dinding dan napasnya yang berat. Matanya lurus menatap langit-langit, kosong. Pikiran masih berkecamuk, mencoba meraba-raba sebenarnya apa yang akan terjadi? Ada rasa tidak nyaman yang tak bisa dijelaskan. Semacam firasat. Tapi samar, terlalu samar untuk di tangkap akal.
Mira tak pernah membayangkan hal-hal buruk. Hidup baginya seperti arus air tenang mengalir perlahan, tanpa kejutan. Tapi entah mengapa, hari ini terasa berbeda.
Namun Mira menepisnya. "Ah mungkin cuman lelah," batinnya
Di atas ranjang yang sunyi, Mira meraih benda kecil di samping bantal, ponsel yang sejak tadi hanya terdiam, menanti disentuh. Jemarinya yang gemetar menyapu layar, membuka menu yang sudah begitu ia hafal. Setiap malam, setiap pagi, ritual itu tak pernah ia lewatkan. Mengecek pesan masuk, melihat daftar panggilan, berharap ada satu nama yang muncul di sana.
Ayah.
Orang yang akan pulang dari rantauan. Orang yang menjanjikan kembali, membawa pelukan, cerita, dan kehangatan yang sudah terlalu lama hilang dari hidupnya.
Tapi hasilnya tetap sama.
Kosong. Tak ada pesan. Tak ada panggilan. Hening seperti malam yang engan berbicara.
Mira menatap layar ponselnya lama, lalu memeluk lutut di sudut tempat tidur. Sesekali ia menarik napas dalam-dalam, seolah mencoba menyembunyikan sesak yang perlahan memenuhi dadanya.
Di luar kamar, Bibi Wati berdiri di ambang ragu. Sudah hampir satu jam sejak ia memanggil Mira untuk makan malam, tapi tak juga ada tanda-tanda keponakannya keluar. Suara sendok dan piring dari dapur sudah lama berhenti. Hanya detak jam dinding dan suara angin dari sela-sela jendela yang tersisa.
Ia melangkah mendekat, mengetuk pintu pelan.
Tok.
Tidak ada jawaban.
Tok. Tok.
Masih hening.
Ketika ketukan ketiga terdengar, barulah suara lirih menyusup dari dalam, nyaris tak terdengar, “Iya, Bi...”
Pintu dibuka perlahan. Engselnya berderit, seolah ikut menyesali waktu yang berlalu dalam diam. Wajah Mira muncul dari balik pintu, pucat, mata sembab, dan rambut yang belum sempat ia sisir. Di balik pandangan sayunya, ada rindu yang tak bisa dituturkan.
Bibi Wati menatapnya dengan lembut. “Kamu belum makan, Nak. Bibi udah nunggu dari tadi.”
Mira menunduk, suaranya parau. “Maaf, Bi... Mira cuma... nunggu kabar.”
Dari Ayahmu?”
Perlahan, Mira mengangguk.
“Belum ada, ya?”
Mira menggeleng. Kali ini, air matanya nyaris jatuh, tapi ia cepat menghapusnya.
Bibi Wati menarik nafas perlahan. Ia tak berkata banyak, hanya merengkuh bahu Mira dengan pelukan sederhana—hangat dan penuh pengertian.
“Kadang, yang kita tunggu memang belum tentu datang saat kita butuh. Tapi bukan berarti kamu harus nunggu sendirian. Bibi di sini, sayang... Kakek juga. Kami semua sayang Mira.”
Mira menahan tangisnya dalam diam. Ia hanya memejamkan mata sejenak, meresapi kehangatan itu—yang mungkin tak bisa menggantikan kehadiran Ayahnya, tapi cukup untuk membuatnya tetap bertahan hari ini.
"Yuk, kita makan bareng. Supnya masih hangat kok," ucap Bibi, tersenyum tipis.
Mira mengangguk kecil. Ia berjalan perlahan mengikuti Bibi ke ruang makan. Dan untuk malam itu, meski ponsel tetap tak berbunyi, Mira tahu, ia tidak benar-benar sendiri.
***
Pagi ini, Mira terbangun dengan perasaan yang jauh lebih baik dari kemarin. Tidak ada mimpi aneh, tidak ada isak yang tertinggal di bantal seperti malam-malam sebelumnya. Kali ini terasa lebih ramah, lebih ringan, seolah dunia memberinya sedikit ruang untuk bernapas lega.
Ia menarik selimut ke pinggir tempat tidur, lalu duduk perlahan di tepinya. Udara pagi menyusup lembut dari jendela yang sedikit terbuka.
“Ah iya, hari ini aku ada janji sama Laras,” gumamnya pelan, seraya mengusap wajah yang masih setengah mengantuk.
Ia bangkit dan melangkah keluar kamar. Aroma teh menyambut dari arah dapur—hangat, akrab, seperti pelukan yang tak diucapkan. Udara pagi membawa ketenangan yang lembut, membasuh sisa-sisa gelisah dari malam sebelumnya.
Di ruang tengah, Kakek sudah duduk di kursi rotan favoritnya, seperti biasa. Kacamata bacanya bertengger di batang hidung, sedikit melorot, sementara tangannya membalik halaman koran dengan gerakan tenang dan penuh kebiasaan.
Tak jauh dari sana, Bibi Wati duduk di ujung sofa, tubuhnya sedikit membungkuk ke arah televisi yang menyala pelan. Acara pagi dengan warna-warna cerah dan suara riang memenuhi ruangan, menjadi latar yang tidak mengganggu. Sesekali Bibi Wati mengangguk kecil tersenyum, seolah ikut tenggelam dalam cerita ringan yang ditampilkan layar kaca.
Beberapa menit setelahnya, dering ponsel Bibi Wati memecah pagi yang semula tenang—seperti petir yang menyambar di langit cerah. Ia tersentak, tangannya bergetar saat menjawab panggilan itu. Suara di seberang sana terdengar lirih, nyaris tak percaya, tapi maknanya menghujam begitu dalam. Sebuah kabar yang tak diundang, datang membawa duka yang belum siap diterima.
Tanpa aba-aba, televisi di ruang tengah berpindah saluran. Gambar kabur sesaat, lalu muncul sosok pembawa berita dengan wajah muram dan suara datar yang justru menggema keras di telinga Mira.
Sebuah kapal penumpang dilaporkan tenggelam di perairan timur Nusa Tenggara Barat saat dalam pelayaran menuju Lombok. Kapal yang membawa puluhan penumpang itu mengalami kecelakaan fatal dan menyebabkan seluruh penumpang serta awak kapal dinyatakan tewas. Tidak ada satu pun korban selamat dalam insiden memilukan tersebut.
Menurut informasi dari Badan SAR Nasional, kapal berangkat dari Pelabuhan pada Sabtu malam dan dijadwalkan tiba di Lombok keesokan harinya. Namun, komunikasi terakhir dengan kapal tersebut terputus sekitar pukul 02.00 WITA. Tim pencari dan penyelamat yang segera dikerahkan menemukan puing-puing kapal terapung serta beberapa jenazah di lokasi kejadian, sekitar 25 mil laut dari daratan…”
Namanya ituu adaa.
Nama yang Mira kenal lebih baik dari siapa pun.
Kapal yang ditumpangi Ayah tenggelam di tengah lautan.
Tak ada satu pun korban yang selamat.
Semua lenyap. Termasuk Ayah.
Mira terdiam. Suara televisi masih menyebutkan daftar nama-nama yang belum ditemukan, seolah berharap ada keajaiban. Tapi nyatanya, dunia tak selalu memberi keajaiban kepada orang-orang yang terus berharap. Kadang, dunia hanya memberi kenyataan—yang pahit dan tak bisa ditolak.
“Ayah pasti ketakutan di sana,” bisiknya lirih, suaranya tercekat oleh tangis yang tak pernah sempat diundang.
Saat itu juga, dunia di sekelilingnya seperti kehilangan warna. Ia berdiri kaku, napasnya terhenti separuh jalan. Air mata turun tanpa permisi, seperti hujan yang jatuh sebelum langit sempat gelap. Tak ada suara keluar dari bibirnya, hanya sepi yang menggantung di dadanya—terlalu nyeri untuk diucapkan, terlalu tajam untuk ditahan.
Bibi Wati menjatuhkan ponsel dari tangannya. Ia menjerit pelan—bukan jeritan biasa, tapi suara hati yang pecah berkeping-keping, keluar sebagai bisikan getir yang tak mampu ditahan.
“Tidak mungkin… tidak mungkin…” ucapnya berulang-ulang, dengan suara gemetar, seolah pengulangan itu bisa mengubah kenyataan yang sudah terpatri dingin di layar ponsel.
Sosok kakak yang selama ini ia tunggu, telah sirna.
Bertahun-tahun sang kakak pergi merantau, memikul beban hidup sendirian. Ia bekerja siang dan malam, membanting tulang demi biaya sekolah anaknya, demi kebutuhan adiknya, demi kehidupan ayah mereka yang sudah renta.
Kini, semua kelelahan itu telah usai.
Dia tak perlu capek lagi, tak perlu menahan sakit punggung karena kerja keras yang tak kenal waktu.
Tak ada lagi lembur tanpa istirahat, tak ada lagi tidur hanya satu-dua jam demi dapur tetap mengepul.
Kakaknya… akhirnya beristirahat. Tapi bukan istirahat yang mereka harapkan.
Keduanya terbenam dalam kesedihan yang tak bisa saling mereka jangkau. Duka mereka berdiri sendiri, sunyi, dan sama-sama dalam. Tak ada peluk yang bisa menguatkan, karena masing-masing terlalu sibuk menahan runtuhnya hati sendiri.
Mira merasa hidup benar-benar tak adil padanya. Mimpi yang sejak semalam bergelayut di dada kini menjelma nyata, seperti kabut yang akhirnya membuka tirai gelapnya.
"Hidupku seperti abu—terbang tanpa arah, terseret angin tanpa tujuan, tak lagi punya bentuk, dan tak lagi punya arti, gumam Mira dalam hati yang nyaris retak, hampir pecah oleh beban yang tak mampu ia bagi.
Cerita yang selama ini ia nanti dari seorang ayah—sebuah pulang yang dijanjikan, sepotong kasih yang sempat hilang, pelukan yang hanya hadir di ujung doa—kali ini benar-benar tak datang.
Yang tersisa hanya bayang-bayang—bayang langkah yang tak pernah benar-benar kembali, bayang suara yang hanya hidup di ingatan, bayang senyum yang perlahan memudar dimakan waktu.
Bayang-bayang yang menggantung di dinding rumah, yang muncul dalam mimpi, tapi tak pernah hadir saat mata terbuka.
Kini, semuanya senyap.
Hanya kehilangan yang menggema di ruang yang dulu penuh harap.
Ruang yang dulu hangat oleh tawa, kini dingin oleh luka yang diam.
Ia telah pergi—untuk selamanya.