Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
BAYANG-BAYANG TARIM
Oleh: Dian Pafilay
Malam itu, angin berhembus lembut menyapu halaman rumah kami yang sederhana. Aku, seorang anak kampung yang tumbuh di bawah naungan kasih sayang ibu dan ayah, selalu memendam impian besar di dalam hati. Sejak kecil, aku bercita-cita menuntut ilmu di negeri para ulama, Tarim, tempat yang selalu kusebut dalam setiap do'a. Namun, hidup di keluarga sederhana membuatku paham, bahwa tidak semua keinginan bisa terwujud semudah membalikkan telapak tangan.
"Ah, sekolah di Tarim? Tidak perlu, kamu tidak usah sekolah di sana. Cari sekolah lain saja yang lebih dekat dan lebih baik."
Ayah, dengan segala keterbatasannya, hanya mampu menatapku dengan mata yang lelah saat aku mengutarakan keinginanku. Sejak saat itu, aku sadar, langkahku mungkin harus berbelok, menapaki jalan yang tak pernah aku rencanakan sebelumnya. Ayah yang hanya mengatakan patah-patahan kata itu, lalu kembali menatapku dengan mata yang sunyi. Tidak ada terlihat dia peduli dengan keinginanku. Aku tahu Ayah memiliki alasan, mungkin karena biaya atau jarak yang jauh.
Aku berusaha menahan kecewa dan menekan harapan yang perlahan-lahan mulai padam. Namun, semua harapan benar-benar telah pupus, semua impian sudah hangus terbakar oleh waktu dan kenyataan. Ibarat garam yang tertimpa oleh hujan, semangatku pun larut dan hilang tanpa jejak, terkikis oleh derasnya kenyataan. Kini, yang tersisa hanyalah kepedihan yang membakar perlahan, mengingatkanku pada segala yang telah hilang dan tak mungkin kembali.
Di saat-saat itu, aku sering teringat kembali pada wajah Ayah yang sunyi dan penuh kelelahan. Rasanya seperti ada beban berat yang tak pernah hilang dari pundaknya, beban yang membuatnya harus menahan segala keinginanku yang sederhana.
***
Seiring berjalannya waktu tidak terasa bahwa 4 tahun sudah aku duduk di bangku MA'HAD, menjalani hari-hari yang tak ingin aku lewati. Setelah semuanya selesai, aku memilih untuk istirahat sejenak sembari menunggu kabar baik yang aku tidak tahu entah kapan datangnya. Akhirnya, aku memutuskan untuk pergi ke Negeri Timur. Bukan untuk melanjutkan sekolah seperti yang pernah kuimpikan, melainkan untuk mencari rezeki di tanah yang jauh.
“Di sana, pekerjaan cukup banyak dan hasilnya menjanjikan. Aku bisa membangun rumah, membeli mobil, dan menabung banyak uang,” ujarku sambil membayangkan semua itu sudah ada di depan mata.
Cerita tetangga yang pulang membawa banyak uang semakin menambah semangat, hatiku berdebar, tak sabar menanti keberangkatan. Setelah beberapa lamanya, persiapan yang tidak mudah karena beberapa bulan tertunda membutuhkan kesabaran yang menguras pikiran, pada akhirnya waktu yang ditunggu-tunggu sudah tiba. Kabar baik itu datang, aku akan berangkat seminggu lagi.
“Ting-ting"
Suara interkom menandai persiapan penerbangan sudah terdengar. Aku berangkat dengan menempuh perjalanan yang lumayan panjang, dengan sedikit bekal dari keluarga. Dengan bekal seadanya dari keluarga, aku menempuh perjalanan panjang. Berjam-jam di udara, melihat atap rumah dan ranting pohon dari ketinggian, aku tahu aku sudah sampai di tujuan. Langkah pertamaku adalah mencari kos-kosan sebagai tempat menetap dan beristirahat.
Setelah beberapa hari, aku menyadari bahwa kenyataan tidak seperti impian yang pernah aku genggam. Setiap hari terasa seperti beban yang tak terhingga, melelahkan baik fisik maupun jiwa. Aku tinggal di kos-kosan yang sempit, di mana kamar yang seharusnya menjadi tempat beristirahat berubah menjadi arena pertarungan ego dan suara-suara yang tak henti-hentinya. Asap rokok mengepul, obrolan yang tak berarti menghantui, dan aku merasa seperti orang asing di antara mereka. Padahal, mereka adalah orang-orang yang aku kenal, bahkan berasal dari daerah yang sama denganku, atau bisa dibilang tetangga di negeri asal. Namun, bukannya memberikan rasa nyaman, kehadiran mereka justru menambah beban dan membuatku semakin terasing di tanah rantau.
Aku memilih untuk memisahkan diri, menghindari keributan yang tak pernah berhenti, dan mencari kesunyian di dalam diriku sendiri. Kesepian menjadi teman yang setia, mengiringi langkah-langkahk di setiap malam. Aku pernah membayangkan kehidupan yang glamor dan bahagia, tapi kenyataan berbicara lain. Aku harus berhadapan dengan budaya yang berbeda, teman-teman yang tidak sejalan, dan itu semua terasa seperti beban yang tak pernah usai.
***
Dikala senja itu, aku lagi-lagi menempuh perjalanan yang cukup jauh untuk mencari kebebasan. Namun kali ini, tujuanku bukan sekadar melarikan diri, melainkan mengunjungi tempat yang sudah lama aku impikan—tempat belajar yang dihuni oleh para ulama yang aku kagumi.
“Aku hanya akan tinggal beberapa hari di sini, tapi mungkin Tuhan menjawab doaku lewat perjalanan ini. Terima kasih, Tuhan, walaupun aku tidak datang untuk sekolah, setidaknya Engkau memberiku kesempatan untuk berkunjung ke tempat ini,” ujarku sambil merenung di tengah perjalanan. Beruntung aku sempat bekerja, sehingga biaya perjalanan kali ini bisa kutanggung sendiri tanpa bantuan orang tua.
Sesampainya di sana, aku mendengar kabar dari rekan kerja bahwa gaji terakhirku telah dibicarakan di antara teman-temannya. Mereka bahkan meminta aku meminjamkan uang kepadanya. Awalnya aku mencari alasan untuk menolak, tapi melihat wajahnya yang kecewa, aku pun akhirnya mengalah dan meminjamkannya.
'Aku sangat kesal dengan rekan kerja itu. Kenapa dia harus membicarakan jumlah gajiku kepada orang lain? Bukan aku pelit, tapi untuk biaya pulang besok saja belum tentu cukup,' keluhku dalam hati.
Hari-hariku berjalan seperti membosankan, tidak ada aktifivitas atau pekerjaan yag aku lakukan. Yang aku lakukan hanyalah makan, minum, dan tidur, lalu bangun, makan lagi, minum dan tidur. Hanya itu saja yang aku lakukan. Bagaimana mungkin aku tidak merasa sangat bosan?
***
Setelah waktu berlalu satu bulan lebih, aku memutuskan kembali lagi ke Mekkah untuk melanjutkan pekerjaan. Sesampainya disana pekerjaanku lumayan lancar. Aku mulai menapaki impianku satu per satu. Mulai dari membeli tanah, membangun rumah, dan membeli kendaraan. Semua terasa sangat melelahkan tapi setengah dari harapanku sudah mulai tercapai.
Meski segala sesuatu mulai tampak berjalan sesuai rencana, aku tak bisa menepis rasa hampa yang kadang menyelinap di sela-sela pencapaian itu. Setiap keberhasilan yang ku raih membawa kebahagiaan sesaat, namun ada bagian dari diriku yang terus merindukan sesuatu yang lebih dari sekadar materi—sebuah makna yang belum kutemukan dalam perjalanan panjang ini.
Kini, setelah bertahun-tahun berlalu, aku berdiri di depan rumah yang berhasil kubangun dari hasil jerih payah di negeri orang. Mobil sederhana terparkir di halaman, dan sepetak tanah menjadi bukti kerja kerasku selama ini.
Namun, setiap kali aku mengingat impian yang dulu begitu terang kini hanya tinggal kenangan kelabu. Aku memang telah meraih sebagian harapan, namun impian sejati untuk menuntut ilmu di Tarim tetap menjadi bayang-bayang yang tak pernah bisa kugapai. Segala pencapaian ini terasa hampa, karena aku tahu, ada bagian dari diriku yang hilang dalam perjalanan panjang ini. Aku tidak berhasil mengajar impian untuk sekolah di Tarim, tapi impianku yang lain gini berada di depan mata. Rumah baruku, kendaraan hasil jerih payahku sendiri kini sudah siap dihuni.