Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Horor
Bronze
Bayang - Bayang Senja
1
Suka
79
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Bisikan itu datang lagi. Bukan bisikan biasa, melainkan suara yang berdesir seperti daun kering di tengah malam, memanggilnya dengan nama yang bukan miliknya. Senja. Reno menekan pelipisnya, berharap denyutan di kepalanya mereda. Ia baru saja selesai mengantarkan surat terakhirnya hari itu. Udara sore di Jakarta terasa lembap dan lengket, menusuk kulitnya. Ia memarkir motornya di garasi kecil di samping rumah kontrakan. Suara mesin yang mati tak mampu membungkam bisikan itu.

"Tidakkah kau merindukannya, Reno?" Suara itu berbisik, lembut namun penuh rayuan. "Aroma darah yang kental, kepuasan yang tak terlukiskan..."

Reno menggelengkan kepalanya kuat-kuat. "Pergi," bisiknya, suaranya serak. "Aku tidak ingin mendengarnya."

Ia berjalan masuk ke dalam rumah, menanggalkan seragamnya yang lusuh. Lima tahun. Lima tahun ia hidup dalam ketenangan, membangun kembali hidupnya dari puing-puing kegelapan masa lalu. Ia bekerja sebagai tukang pos, rutinitas yang membosankan namun menenangkan. Ia menghindari keramaian, berbicara seperlunya, dan menghabiskan malamnya dengan membaca buku atau mendengarkan musik klasik. Ia berusaha menjadi manusia normal, manusia yang utuh.

Namun, Senja, alter ego yang ia benci, tidak pernah benar-benar mati. Ia hanya tertidur, menunggu momen yang tepat untuk bangkit. Dan sekarang, bisikan itu kembali, lebih kuat dari sebelumnya.

Malam itu, Reno berbaring di kasurnya, menatap langit-langit kamar yang kusam. Bisikan Senja berputar-putar di kepalanya seperti lalat yang terperangkap. Ia mencoba mengalihkan pikirannya. Ia memikirkan Ibu, wanita yang membesarkannya dengan penuh kasih sayang. Ibu yang selalu percaya bahwa di balik kegelapan ada cahaya. Ibu yang meninggal tiga tahun lalu, meninggalkannya sendirian menghadapi hantu-hantunya.

Air mata menetes di pipinya. Ia merasa lelah. Lelah melawan dirinya sendiri. Ada bagian dari dirinya yang ingin menyerah, membiarkan Senja mengambil alih. Ia merindukan sensasi itu, adrenalin yang membakar, kekuasaan yang ia rasakan saat nyawa seseorang berada di tangannya. Namun, ada bagian lain yang menjerit, berteriak, memohon agar ia tetap kuat.

Esok harinya, Reno bangun dengan perasaan yang campur aduk. Bisikan Senja masih ada, namun kini ia lebih halus, lebih manipulatif. "Hanya satu, Reno. Satu saja, untuk meredakan hasrat ini. Setelah itu, kau bisa kembali menjadi dirimu yang membosankan."

Reno berusaha menepis pikiran itu. Ia memakai seragamnya, mengikat tali sepatunya, dan mengambil kunci motornya. Sepanjang jalan, ia melewati berbagai macam orang. Pasangan yang saling berpegangan tangan, ibu-ibu yang berbelanja, anak-anak yang bermain di taman. Wajah-wajah yang penuh kehidupan, yang Senja ingin padamkan.

"Lihatlah mereka," bisik Senja. "Betapa mudahnya memadamkan cahaya itu. Betapa fana kehidupan ini."

Reno mempercepat laju motornya. Ia harus cepat sampai di kantor. Ia harus sibuk, ia harus bekerja. Rutinitas adalah bentengnya, pelindung terakhirnya dari kegelapan.

Hari itu, ia mengantarkan surat ke sebuah apartemen mewah. Ia naik lift, merasakan jantungnya berdebar kencang. Lift itu kosong, hanya ada ia dan bayangannya di cermin. "Aku di sini," bisik Senja, suaranya terdengar dari pantulan di cermin. "Di dalam dirimu, selalu."

Reno mengepalkan tangannya. Keringat dingin membasahi punggungnya. Ia berusaha mengendalikan napasnya, menenangkan dirinya. Pintu lift terbuka. Ia berjalan keluar, mencari nomor apartemen yang tertera di surat.

Saat ia menyerahkan surat itu kepada seorang wanita muda, tangannya gemetar. Wanita itu menatapnya dengan aneh, dan Reno segera berbalik. Ia berjalan cepat, seolah dikejar sesuatu. Ya, ia memang dikejar. Dikejar oleh dirinya sendiri.

Saat ia sampai di motornya, ia merasakan dorongan kuat untuk kembali. Untuk melakukan sesuatu yang mengerikan. Bisikan Senja menjadi raungan, menguasai pikirannya. Ia melihat sebuah pisau buah tergeletak di samping tempat sampah. Matanya terpaku pada kilauan logam itu...

Baca cerita ini lebih lanjut?
Rp18.000
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Horor
Cerpen
Bronze
Bayang - Bayang Senja
Christian Shonda Benyamin
Cerpen
Bronze
Putih
Christian Shonda Benyamin
Flash
Fajirah
Roy Rolland
Cerpen
Bronze
Kaca Retak
Christian Shonda Benyamin
Flash
Astral
Suci A.D.T
Cerpen
Bronze
DIRUNDUNG
Ari S. Effendy
Cerpen
Dendam Barbie
Amelia Purnomo
Skrip Film
ADARUSA
Nicko Falih Al Furqon
Cerpen
Bronze
Curahan hati seorang anak
Pius Giri Sugiharta
Novel
Bronze
Tembung Lakar
Keefe R.D
Skrip Film
Cerita Keluarga
Aditya Prawira
Cerpen
Bronze
Loloh dari Truyan
gungkeris
Novel
Bronze
Sixth Sense
Lucyana
Flash
Bronze
MANGKAT
IGN Indra
Novel
Gold
Fantasteen The Escapist
Mizan Publishing
Rekomendasi
Cerpen
Bronze
Bayang - Bayang Senja
Christian Shonda Benyamin
Cerpen
Bronze
Putih
Christian Shonda Benyamin
Cerpen
Bronze
Kaca Retak
Christian Shonda Benyamin
Cerpen
Bronze
Pelaku
Christian Shonda Benyamin
Cerpen
Bronze
Mereka Nyata Dan Bercerita
Christian Shonda Benyamin
Cerpen
Bronze
Dari Aku Untukku
Christian Shonda Benyamin
Cerpen
Bronze
Simfoni Terlarang
Christian Shonda Benyamin
Cerpen
Bronze
Pusaka Naga Hitam
Christian Shonda Benyamin
Cerpen
Bronze
Kamera Tua
Christian Shonda Benyamin
Cerpen
Bronze
Jerat Senyap
Christian Shonda Benyamin
Cerpen
Bronze
Sahabat Backpacker Ku
Christian Shonda Benyamin
Cerpen
Bronze
Tak Ada Percaya Pada Ku
Christian Shonda Benyamin
Cerpen
Bronze
Maut Di Kapal Tua
Christian Shonda Benyamin
Cerpen
Bronze
Ujung Koridor
Christian Shonda Benyamin
Cerpen
Bronze
Senandung Lukisan
Christian Shonda Benyamin