Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Drama
Bayang-Bayang Kesempurnaan
1
Suka
302
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Damar duduk di meja belajarnya yang terbuat dari kayu jati, seakan menjadi penguasa kecil di hadapan lautan angka-angka yang berlarian di buku latihan matematika terbuka lebar di depannya. Matanya menatap kosong, seperti kapal yang terdampar di tengah badai, merasakan sesak di dada akibat tekanan yang datang tanpa henti. Di ruangan yang hanya diterangi lampu meja berwarna kekuningan, suara detak jarum jam berdetak, membisikkan janji waktu yang tak mau menunggu.

“Damar,” suara ibunya memecah keheningan, mengalir dari ruang tengah, “sudah selesai soal-soalnya?”

Belum juga setengah jalan, namun Damar tahu bahwa jawaban ‘belum’ bukanlah pilihan yang bijak. Dia menghapus peluh yang mengucur di dahinya dengan punggung tangan, berusaha fokus meski kepalanya berdenyut. Dia tahu, jika tidak selesai tepat waktu, ceramah panjang dari ibunya akan kembali menyergap, tentang betapa pentingnya menjadi juara kelas dan bagaimana dunia hanya memberi ruang bagi mereka yang sempurna.

“Sebentar lagi, Bu,” jawabnya, suara seraknya menyiratkan kepedihan, seperti anak kecil yang menahan tangis di ujung senja.

Sejak usia lima tahun, rutinitas ketat telah menjadi sahabatnya yang paling akrab. Bangun pukul lima pagi, sarapan terburu-buru, diikuti les tambahan sebelum berangkat sekolah. Ketika anak-anak lain bercerita tentang permainan atau kartun favorit, Damar memilih diam, tak mengerti kenapa mereka tertawa lepas saat dunia di sekelilingnya hanya berputar di antara angka—angka yang harus sempurna di setiap ujian.

Ibunya, wanita tegas dengan wajah yang selalu tampak serius, bekerja sebagai guru matematika di sekolah swasta. Setiap kali membicarakan nilai Damar, ada garis tipis di bibirnya, seperti ada sesuatu yang tak pernah terpenuhi. Ayahnya, meskipun tak sekeras ibunya, menanamkan keyakinan bahwa prestasi adalah satu-satunya jalan menuju keberhasilan. Meski jarang berbicara panjang, sorot matanya saat melihat rapor Damar berbicara lebih banyak: “Kau bisa lebih baik dari ini.”

Ketika Damar berhasil menyelesaikan soal terakhir, langkah kaki ibunya terdengar mendekat. Ia masuk ke kamar dengan senyum kecil yang tampak kaku.

“Selesai?” tanya ibunya sambil meraih buku latihan di meja. Damar mengangguk, penuh harap.

Ibunya membuka halaman, memeriksa pekerjaan Damar dengan teliti, seperti guru yang menilai ujian muridnya. Sesekali dia mengerutkan dahi, menggeleng pelan. Damar menunduk, meremas ujung kaos yang dikenakannya, berusaha menyimpan rasa sakit yang menyelinap.

“Ada yang salah di sini,” kata ibunya dingin, menunjuk salah satu jawaban. “Mengapa kau tak hati-hati?”

“Aku sudah mencoba, Bu,” Damar berusaha menjelaskan dengan suara pelan, seolah mengungkapkan rahasia yang tertahan.

“Tapi mencoba tidak cukup. Kau harus selalu benar. Apa gunanya jika salah satu jawabannya salah?” Suara ibunya memecah keheningan, meletakkan buku latihan itu dengan bunyi yang nyaring, membuat Damar terkejut.

Diam sejenak melingkupi kamar, hingga akhirnya ibunya menghela napas panjang. “Kau harus lebih fokus, Damar. Aku dan ayahmu sudah bekerja keras untukmu. Jangan sia-siakan kesempatan ini.”

Damar hanya bisa mengangguk. Kata-kata itu, yang sudah sering ia dengar, kembali terdengar seperti beban yang semakin menekan di pundaknya. “Kesempatan” itu bukanlah anugerah; itu adalah bayang-bayang yang terus mengejarnya, membesar seiring setiap langkah yang ia ambil.

Beberapa minggu lalu, saat ujian semester, Damar tidak meraih nilai sempurna di satu mata pelajaran—matematika. Ia hanya mendapat nilai 92. Hanya beberapa angka yang kurang, tapi cukup untuk membuat ibunya marah besar. Tanpa teriakan, tatapan dingin dan kecewa ibunya lebih menyakitkan daripada omelan apa pun.

“Apa yang terjadi?” tanya ayahnya saat makan malam. Suaranya tenang, namun tatapannya menunggu penjelasan yang tak kunjung datang.

Damar tak tahu harus berkata apa. Ia sudah berusaha keras, sangat keras. Namun, entah mengapa, angkanya tak mencapai puncak seperti yang diharapkan.

Ibunya menjawab, “Dia kurang fokus, tidak berhati-hati.” Suara ibunya seperti pisau tajam yang menusuk ke dalam hatinya.

Malam itu, setelah semua selesai, Damar mengunci pintu kamarnya dan menangis diam-diam di sudut tempat tidurnya. Dia tidak ingin mengecewakan orang tuanya, tetapi setiap kali berusaha, rasa takut itu selalu menyergap. Takut gagal. Takut tidak cukup baik.

Pagi ini, Damar bangun dengan perasaan yang sama—rasa cemas yang mencekik. Dia menatap bayangan dirinya di cermin: seorang anak berusia delapan tahun dengan tubuh kurus dan mata yang tampak lelah, jauh lebih tua dari usianya. Anak-anak lain di sekolah mungkin sedang tertawa atau bermain di lapangan, tetapi baginya, hanya ada satu hal yang penting: nilai.

Suara dari luar kamarnya mengalun, ayahnya bersiap-siap untuk berangkat kerja. Ibunya sudah lebih dulu pergi, mungkin untuk mengajar kelas pagi di sekolah. Ayahnya, insinyur tenang yang jarang berbicara tentang perasaannya, meskipun Damar tahu, harapannya pun tak jauh berbeda—kesempurnaan.

Ketika Damar melangkah keluar kamar, ayahnya menatapnya dari meja makan. “Sudah siap berangkat?” tanyanya.

Damar mengangguk, mengambil tasnya. Dia tidak ingin mengecewakan lagi. Hari ini ada ujian di sekolah, dan Damar tahu, apa pun yang terjadi, ia harus mendapatkan nilai sempurna. Tak boleh ada kesalahan.

Sebelum Damar melangkah keluar rumah, ayahnya berbicara lagi, “Ingat, Nak. Dunia ini tidak menunggu mereka yang setengah-setengah.”

Damar hanya mengangguk, meski di dalam hatinya, ia merasa semakin kecil, semakin tak terlihat. Langkahnya terasa berat, seolah setiap detik membawa lebih banyak tekanan yang harus ia bawa sendiri.

Di luar sana, dunia tampak seperti arena perlombaan yang tak pernah usai, menunggu siapa yang berani melangkah maju.

Sepulang sekolah, setelah ujian panjang yang membuat kepalanya berdenyut, Damar kembali ke rumah. Tubuhnya terasa berat, seakan ditarik oleh beban tak terlihat. Ketika masuk dari pintu samping, dia melihat ayahnya tertidur di depan televisi.

Ia berdiri di ambang pintu, menatap punggung ayahnya. Di dalam dirinya tumbuh rasa takut yang tak pernah lepas, rasa cemas yang menempel di kulitnya, mengingatkannya bahwa ia tak pernah boleh gagal.

***

Damar kini duduk di bangku SMP, dan dunia di sekelilingnya tampak semakin menyempit, seolah setiap hari hanyalah pengulangan dari hari sebelumnya. Sekolah, les, pulang, belajar, lalu tidur—begitu terus berulang. Hanya satu hal yang semakin nyata: ekspektasi orang tuanya, terutama ibunya, yang terus membesar, menuntut lebih.

Di setiap kesempatan, ibunya selalu membandingkannya dengan anak-anak lain yang lebih unggul. “Lihat, Damar, anak tetangga kita, Aditya. Dia sudah bisa menyelesaikan soal matematika tingkat SMA. Kenapa kamu belum bisa?” Perbandingan itu mengisi ruang-ruang pikirannya, seperti hantu yang terus mengganggu, membuatnya merasa bahwa seberapa keras pun ia berusaha, selalu ada orang lain yang lebih baik.

Sore itu, setelah pulang dari sekolah, Damar melempar tasnya ke atas tempat tidur, lalu membuka buku pelajaran dengan semangat yang pudar. Angka-angka kembali menghampirinya, seperti barisan panjang yang tak kunjung berakhir. Kini, ia dihadapkan pada persamaan kuadrat. Soal-soal yang dulu mampu ia selesaikan dengan mudah kini terasa semakin rumit. Bukan karena ia tak mampu, tetapi di dalam kepalanya, suara yang sama terus berdengung: Kalau gagal lagi, apa yang akan dikatakan Ibu?

Jantungnya berdegup lebih cepat saat pensil berada di tangannya. Kertas latihan di depannya tampak seperti medan pertempuran. Tangannya sedikit gemetar, namun ia berusaha mengabaikan gejolak itu. Begitu ia mulai mengerjakan soal pertama, pikirannya tiba-tiba kosong. Kenapa aku tak bisa memikirkan jawabannya? Ia mencoba lagi, tetapi kepanikan semakin menguat. Napasnya terasa pendek.

Ibunya masuk ke kamarnya tanpa mengetuk pintu. “Bagaimana hasil ulangan kemarin?” tanyanya, nada suaranya tak memberi ruang untuk basa-basi. Di tangan ibunya ada daftar peringkat siswa, yang pasti sudah ia peroleh dari guru kelas.

Damar menelan ludah. Ia tahu nilainya tidak sempurna kali ini, meskipun masih di atas rata-rata kelas. Tapi bagi ibunya, 'di atas rata-rata' bukanlah yang diinginkan—hanya yang terbaik yang bisa diterima.

“Aku… aku dapat sembilan puluh, Bu,” jawabnya pelan, tak berani menatap wajah ibunya.

Wajah ibunya langsung berubah. Alisnya terangkat, bibirnya mengerucut dalam ekspresi tak puas. “Sembilan puluh? Kenapa tidak seratus? Anak-anak lain bisa dapat seratus. Apa kau kurang belajar?”

Damar terdiam, tak tahu harus menjawab apa. Ia telah mengorbankan waktu bermainnya, bahkan enggan keluar dengan teman-temannya, semua demi belajar. Namun, itu tak pernah cukup. Selalu ada kekurangan di mata ibunya.

“Aku sudah mencoba yang terbaik, Bu,” ucapnya pelan, tetapi kata-kata itu terdengar hampa di telinganya.

Ibunya mendekat, tatapan tajamnya menembus jiwanya. “Coba saja tidak cukup, Damar. Kamu tahu itu. Dunia tidak peduli dengan mereka yang hanya berusaha. Mereka hanya menghargai yang terbaik. Kalau kamu terus seperti ini, kamu mau jadi apa nanti?”

Pertanyaan itu menghantam Damar lebih keras daripada apapun. Ia sering mendengarnya, namun setiap kali terdengar, seolah ada bagian dari dirinya yang runtuh sedikit demi sedikit.

Setelah ibunya pergi, Damar merasa ruangan kamarnya semakin sempit, seolah dinding-dindingnya menutup rapat ke arahnya. Ia menarik napas dalam-dalam, berusaha mengusir rasa sesak itu. Namun tidak ada yang bisa menghilangkan beban tak kasat mata yang menghimpit dadanya setiap kali ia memikirkan masa depan, nilai-nilai, dan ekspektasi orang tuanya.

Malam harinya, Damar berusaha tidur, tetapi matanya terus terbuka. Di langit-langit kamar, ia bisa membayangkan angka-angka yang berputar, setiap angka menjadi tangga yang harus ia daki. Semakin ia memanjat, semakin curam, dan setiap kali hampir mencapai puncak, tangga itu semakin tinggi.

Kekhawatiran tentang ulangan minggu depan mengisi pikirannya. Ia tahu bahwa satu kesalahan saja bisa membuat ibunya semakin kecewa, dan itu terus menghantuinya. Napasnya semakin pendek, seolah tidak ada cukup oksigen di kamar itu. Damar bangkit dari tempat tidur dan duduk di lantai, membenamkan kepalanya di antara lututnya. Malam-malam seperti ini sudah menjadi rutinitas. Tidur menjadi hal yang sulit didapatkan, karena otaknya tak pernah berhenti berputar.

Ia teringat saat-saat di mana ia masih bisa tertawa dan bermain bersama teman-teman di sekolah dasar, sebelum semua berubah menjadi perlombaan yang tiada akhir. Sekarang, bermain adalah kemewahan yang tak bisa ia nikmati. Bahkan saat ada waktu luang, ia lebih memilih mempelajari soal-soal tambahan, karena rasa bersalah akan selalu muncul jika ia melakukan hal-hal yang dianggap tidak produktif.

Keesokan paginya, Damar duduk di ruang makan bersama ayah dan ibunya. Ayahnya, seperti biasa, hanya berbicara singkat, menanyakan soal sekolah dan rencana masa depannya.

“Bagaimana dengan rencana ikut olimpiade matematika?” tanya ayahnya, menatap Damar dengan tenang tetapi tajam.

Damar hanya bisa mengangguk. Sejujurnya, ia tidak ingin ikut olimpiade itu. Tekanan yang ia rasakan sudah terlalu berat, dan mengikuti kompetisi hanya akan menambah beban. Namun, bagaimana ia bisa mengungkapkan itu pada ayahnya?

“Ayah tahu kamu bisa melakukannya. Ayah tidak pernah ragu soal kemampuanmu,” kata ayahnya, diiringi senyum tipis. Namun, di balik kata-kata yang penuh dukungan itu, Damar merasakan ekspektasi yang menggelayuti.

Setiap langkah Damar kini terasa seperti berjalan di atas tali yang tipis, di mana satu kesalahan saja bisa membuatnya jatuh ke dalam jurang kegagalan. Dan jurang itu—jurang kegagalan—menjadi ketakutan terbesarnya. Ia tak bisa mengecewakan kedua orang tuanya. Tidak bisa.

Di sekolah, Damar semakin mengisolasi diri. Saat anak-anak lain tertawa dan bermain di lapangan, ia hanya duduk di pojok perpustakaan, menekuni buku-buku pelajaran. Bukannya ia tidak ingin bergabung, tetapi rasa takut akan kegagalan mengurungnya dalam ketidakberdayaan.

Beberapa kali teman-temannya mengajaknya bermain, tetapi Damar selalu menolak dengan alasan belajar. Seiring waktu, ajakan itu semakin jarang datang, hingga akhirnya mereka berhenti mengajaknya sama sekali.

Damar menyadari bahwa hidupnya perlahan-lahan berubah menjadi lingkaran angka dan harapan, dan ia tak bisa lepas dari itu. Setiap angka, setiap nilai ujian, menjadi tolok ukur dari siapa dirinya, dan semakin lama, semakin ia merasa bahwa dirinya hanyalah angka-angka di atas kertas—tidak lebih.

Di dalam kesunyian antara halaman-halaman buku, Damar mulai bertanya-tanya, Sampai kapan aku bisa bertahan?

***

Setelah melewati masa SMP yang penuh tekanan, Damar kini memasuki fase baru dalam hidupnya: SMA. Semua harapan orang tuanya kini tertumpu pada langkah ini. Masuk universitas terbaik adalah tujuan yang terukir jelas dalam pikiran ibunya, dan Damar tahu bahwa untuk mewujudkan harapan itu, dia harus berjuang lebih keras lagi. Tekanan semakin meningkat.

Hari pertama sekolah tiba, dan suasana kelas baru dipenuhi tawa serta percakapan ceria. Namun, Damar, yang duduk di sudut kelas, merasakan gelombang kecemasan menggelora di dalam hatinya. Dia memandangi teman-teman sekelasnya yang tampak begitu bersemangat, sementara dirinya hanya bisa terpaku pada ujian-ujian yang akan datang. Dalam pikirannya, tak ada lagi ruang untuk bermain atau bersenang-senang; segala sesuatunya harus berpusat pada nilai dan prestasi.

“Iya, Damar! Coba kamu ikut bimbingan belajar di tempat yang baru itu. Banyak yang bilang bagus,” ucap Adi, teman sekelasnya, ketika mereka sedang istirahat. 

“Ya, mungkin,” jawab Damar dengan senyum tipis, meski dalam hatinya, rasa tertekan semakin menyusutkan harapan. Sejak awal tahun ajaran, orang tuanya sudah mendorongnya untuk mengikuti bimbingan belajar. Bahkan, mereka sudah menyewa tutor khusus yang datang setiap malam ke rumah untuk membantunya mempersiapkan ujian. Semua tuntutan ini membuat Damar merenung, satu pertanyaan terus menggema di benaknya: Apakah ini yang benar-benar aku inginkan?

Setiap hari, Damar menghabiskan waktu di bimbingan belajar hingga larut malam. Ia merasa seolah robot yang diprogram untuk belajar, mengorbankan semua minat dan hobi yang dulunya mengisi harinya. Ketika berusaha mengingat kembali saat-saat di mana ia menikmati menggambar atau bermain gitar, semua itu terasa seperti kenangan samar yang tersimpan jauh di relung hati.

Di tengah bimbingan belajar, Damar duduk terfokus di depan buku, menatap angka-angka dan rumus yang semakin sulit dipahami. Meski ia telah berusaha keras, hasil yang diperoleh kerap kali tak memuaskan. Jika satu rumus saja salah, tatapan kecewa ibunya terasa seperti beban yang menggencet jiwanya. “Apa yang kurang, Damar? Kenapa kamu tidak bisa lebih baik?” Suara ibunya mengalun dalam pikirannya, menggema dan mengganggu konsentrasinya.

Setiap kali pulang ke rumah, Damar merasakan kebisingan di kepalanya semakin menggelora. Suara-suara itu tak pernah berhenti—semua harapan, semua ekspektasi, berbaur menjadi satu dan memicu perasaan cemas yang tak berujung. Ia sudah merasa lelah, tapi tak ada pilihan lain. Dengan penuh kesadaran, ia mengubur keinginan untuk berbagi perasaan itu dengan siapa pun.

Malam itu, Damar duduk di meja belajarnya, menatap tumpukan buku yang tampaknya tak ada habisnya. Ia meraih pensil dan mulai menulis di buku catatan, mengekspresikan ketidakpuasan. “Kenapa aku harus terus berjuang untuk sesuatu yang bukan aku inginkan?” tulisnya dalam hati. “Kenapa aku tidak boleh menjadi diriku sendiri?”

Ketika ujian pertengahan semester tiba, rasa cemas Damar memuncak. Ia sudah berusaha sekuat tenaga, namun saat melihat lembaran soal, semuanya terasa kabur. Jari-jarinya bergetar saat menulis jawaban, dan saat pengawas membagikan lembar jawaban, perasaan nyeri menjalar di dada Damar.

Setelah ujian selesai, ia kembali ke rumah dan menemui ibunya. Ia berharap mendapatkan sedikit pujian atau pengakuan, meski dalam hati, ia tahu bahwa harapan ibunya jauh lebih dari sekadar lulus. “Bu, aku sudah belajar keras,” ucapnya, berusaha menyimpan secercah harapan.

Ibunya menatapnya dari balik buku catatan yang dipenuhi coretan. “Bagaimana nilaimu? Kalau tidak dapat yang terbaik, semua usaha ini sia-sia,” jawabnya tanpa menoleh.

Damar mengangguk, menahan air mata yang ingin jatuh. Hatinya hancur, ia sudah melakukan yang terbaik menurutnya, tetapi semua usaha itu selalu terasa tidak cukup.

Hari demi hari berlalu, Damar semakin tenggelam dalam perasaan gelapnya. Ia merasakan gejala depresi yang nyata. Sering kali, ia merasa lelah, tidak berharga, dan bahkan kesepian meski dikelilingi orang tua dan teman-temannya. Melihat teman-teman bergaul dan bersenang-senang membuatnya merasa terasing dari dunia.

Suatu malam, saat Damar terbangun dari tidur gelisah, ia mendengar ibunya berbicara dengan ayahnya di ruang tamu. “Damar tidak seperti dulu lagi. Dia kehilangan semangatnya. Aku khawatir jika dia tidak bisa mencapai apa yang kita inginkan,” suara ibunya penuh kecemasan.

Damar menyimak dalam keheningan, terjebak di antara harapan orang tuanya dan keputusasaannya sendiri. Di sisi lain, ayahnya mencoba menenangkan, “Dia hanya butuh waktu. Setiap orang mengalami masa-masa sulit, kita harus percaya padanya.”

Mendengar itu, air mata Damar jatuh tanpa bisa ditahan. Rasa sakit di dalam hatinya semakin dalam. Ia tidak ingin menjadi beban bagi orang tuanya, namun ia juga tak bisa mengabaikan perasaannya yang terus menghimpit. Ia merasa terjebak dalam labirin tanpa jalan keluar.

Satu minggu setelah ujian, hasilnya diumumkan. Damar merasakan jantungnya berdebar keras saat mendekati papan pengumuman. Ketika matanya menemukan namanya di antara deretan nilai, perasaannya campur aduk. Nilai yang diperolehnya cukup baik, tetapi tak cukup untuk memenuhi harapan ibunya.

Kekecewaan itu seperti palu yang memukul kepalanya. Dalam sekejap, ia merasa seluruh dunia runtuh di sekelilingnya. “Kenapa kamu tidak bisa lebih baik? Kenapa kamu tidak bisa seperti anak-anak lain?” Suara ibunya bergaung kembali dalam pikirannya.

Kembali di rumah, Damar berusaha untuk tidak menunjukkan betapa hancurnya hatinya. Ia memilih mengurung diri di kamar, menyalakan musik yang biasanya menyenangkan tetapi kini terasa hampa. Ia meraih gitar tua yang tidak pernah ia sentuh lagi dan mulai memetik senar, mencoba mengekspresikan apa yang ia rasakan. Namun, melodi yang keluar tidak lebih dari sekadar kesedihan yang terpendam.

Hari-hari berlalu, dan Damar terus berjuang melawan rasa cemas dan depresi yang semakin menggerogoti jiwanya. Meskipun nilai-nilainya terlihat baik di luar, di dalam dirinya, ia merasa semakin kosong. Rasa sakit yang terus-menerus mengintai membuatnya semakin kehilangan arah. Melihat teman-temannya berlari menuju masa depan mereka dengan semangat, Damar merasa terjebak dalam bayangan—tak bisa bergerak maju.

Suatu hari, saat berlari-lari kecil di sekolah untuk menenangkan pikiran, Damar bertemu dengan Maya, teman sekelas yang tampak lebih ceria. “Hei, Damar! Kenapa kamu selalu sendirian? Yuk, ikut gabung ke grup belajar kami!” ajak Maya dengan senyum lebar.

Damar tertegun. Ia ingin sekali bergabung, tetapi rasa cemas membuatnya mundur. “Aku… aku sibuk,” jawabnya dengan suara pelan.

Maya menatapnya dengan penuh empati. “Damar, kamu tidak perlu berjuang sendirian. Kadang, belajar itu lebih baik kalau dilakukan bersama-sama. Kamu tidak harus sempurna, kamu hanya perlu berusaha.”

Mendengar kalimat itu, Damar merasakan secercah harapan baru. Mungkin ada harapan di luar semua tekanan ini. Mungkin, ia bisa mencari dukungan dari teman-temannya. Mungkin, ia bisa menemukan cara untuk kembali kepada dirinya yang hilang.

Dalam perjalanan pulang, Damar mulai memikirkan kalimat Maya. Dia merasakan secercah harapan kecil di dalam hatinya yang gelap. Mungkin tidak ada salahnya untuk mencari teman dalam proses ini.

Dengan langkah sedikit lebih ringan, Damar pulang ke rumah, berharap bahwa mungkin suatu hari nanti, ia bisa menemukan cara untuk berdamai dengan harapan orang tuanya tanpa kehilangan jati dirinya. Mungkin, saatnya telah tiba untuk mencari kembali arah hidupnya.

***

Masa perkuliahan seharusnya menjadi pengalaman yang penuh warna, sebuah pelayaran menuju impian yang selama ini dinanti. Namun bagi Damar, semuanya terasa lebih berat. Setelah berhasil menembus gerbang universitas terkemuka yang selalu menjadi harapan orang tuanya, dia seharusnya merasakan bangga, merayakan pencapaian yang dinantikan. Namun, alih-alih bahagia, ia terjebak dalam tekanan baru yang menggelayut dalam sepi.

"Beasiswa, Damar! Itu yang kami harapkan," ujar ibunya dengan nada serius saat ia melangkah masuk ke rumah. Damar sudah tahu bahwa pembicaraan tentang beasiswa akan segera hadir, menanti dengan sabar. Meskipun ia telah berjuang keras, setiap detak jantungnya terasa terikat oleh ekspektasi yang tak kunjung surut. “Kami tidak bisa membayar biaya kuliahmu jika kamu tidak mendapatkan beasiswa. Ingat, banyak yang ingin mendapatkan tempat di universitas ini.”

Beban di pundak Damar semakin berat, seperti sebuah gunung yang mendesak tubuhnya ke dasar. Tidak hanya nilai tinggi yang harus dicapai, tetapi juga persaingan ketat untuk mendapatkan beasiswa. Dalam benaknya, semua usaha yang dilakukannya seakan tak pernah cukup, seperti debu yang tersapu angin. Rasa tertekan itu semakin memburuk ketika ia melihat teman-teman sekelasnya yang seolah melambai penuh keceriaan, sementara Damar lebih memilih bersembunyi di antara tumpukan buku di perpustakaan. Di tengah keramaian, ia merasa seperti bayangan yang tersisih.

Di dalam kelas, wajah-wajah baru muncul, tetapi ia merasakan jarak yang membentang. Salah satu teman sekelas, Ika, adalah gadis ceria yang senantiasa menyemarakkan ruangan dengan senyumannya. “Damar! Yuk, kita belajar bareng! Aku butuh teman untuk mengerjakan tugas ini,” ajaknya suatu hari, suaranya bak angin segar di tengah kebisingan.

Namun, meskipun tawaran itu menggoda, Damar hanya mampu memberikan senyum canggung dan menolak. “Aku ada banyak tugas. Mungkin lain kali,” ujarnya dengan nada ragu, enggan membiarkan beban yang ia pikul terlihat.

Ika tak menyerah. Ia terus mendekati Damar, meski Damar berusaha menjaga jarak. “Ayo, kita bisa berbagi tugas dan saling membantu. Kalau kamu terus sendirian, kapan bisa bersenang-senang?” kata Ika sambil tertawa, menggapai harapan yang tampak terjauh.

Ketidakmampuan Damar untuk bersosialisasi membuatnya semakin terasing. Setiap kali ia berusaha berinteraksi, ketakutan menyergapnya: ketakutan akan penilaian, ketakutan akan kegagalan. Dia merasa terkurung di balik kaca tebal, terpisah dari dunia di sekitarnya, seperti layang-layang yang putus tali.

Setiap hari, ia melihat teman-teman berkumpul, bercanda, dan menikmati waktu bersama. Sebaliknya, Damar hanya menghabiskan waktu di perpustakaan, dikelilingi buku-buku tebal yang seolah menjadi pelarian dari kenyataan. Dalam pikirannya, kalimat-kalimat mengulang, “Kamu harus jadi yang terbaik. Kamu tidak boleh gagal.”

Suatu malam, setelah melewati hari yang panjang dan melelahkan, Damar merasakan tekanan yang tak tertahankan. Ia berusaha tidur, tetapi pikirannya terus melayang, seperti awan kelabu yang tak kunjung pergi. Kecemasan mulai merayap, mengambil alih kendali. Dalam kondisi putus asa, ia teringat saran Ika untuk mencari bantuan. 

“Aku butuh bantuan,” gumamnya pelan, menandai momen keberanian. Keesokan harinya, ia melangkah ke pusat konseling kampus, hati berdebar penuh harap.

Di ruang konseling, ia bertemu Dr. Mira, seorang psikolog paruh baya dengan senyum menenangkan. “Selamat datang, Damar. Apa yang bisa saya bantu?” tanyanya lembut, suaranya seolah memberi ketenangan di tengah badai.

Damar menghela napas dalam-dalam, berusaha merangkai kata-kata. “Saya merasa cemas terus-menerus. Rasanya saya tidak bisa melakukan apa-apa dengan benar,” ungkapnya, suara bergetar.

Dr. Mira mendengarkan dengan penuh perhatian, seolah menampung setiap kata. “Cemas itu wajar, terutama ketika kamu berada di bawah tekanan. Mari kita coba mengenali apa yang membuatmu merasa cemas,” ujarnya sambil mencatat.

Sesi demi sesi berlalu, Damar mulai membuka diri, menjelaskan beban yang dipikulnya. “Aku merasa semua ini bukan untukku. Semua pencapaian ini, rasanya hanya untuk memenuhi ekspektasi orang tuaku,” ujarnya, suara penuh kesedihan.

Dr. Mira membantunya memahami bahwa banyak dari kecemasan yang ia rasakan berasal dari tuntutan tinggi orang tuanya. “Terkadang, kita perlu mengenali diri kita sendiri dan mencari apa yang benar-benar kita inginkan. Tidak ada salahnya untuk memprioritaskan kebahagiaanmu,” ujarnya dengan lembut.

Damar merasakan harapan mulai bersemi. Dia belajar cara menghadapi kecemasannya dan menemukan cara untuk menyayangi diri sendiri. Namun, perjalanan itu tak selalu mulus.

Di tengah perjalanannya, ia bertemu Rian, sosok yang mudah bergaul dan penuh percaya diri. Mereka sering berinteraksi di kelas, dan Rian terlihat antusias saat membicarakan proyek-proyek menarik. Rian melihat potensi Damar dan berusaha mengajaknya bergabung dalam proyek mereka.

“Damar, ayo ikut! Ini proyek yang menyenangkan. Kita bisa belajar banyak dan mungkin kita bisa mengerjakannya bersama,” ajak Rian dengan semangat yang menular.

Damar ragu. Ia ingin bergabung, tetapi rasa cemas itu kembali menyergap. “Aku… aku tidak yakin bisa,” jawabnya pelan.

“Kenapa kamu tidak percaya diri? Kita akan bekerja sama. Ini bukan hanya tentang nilai, tapi juga tentang bersenang-senang dan belajar,” Rian meyakinkan, harap yang tulus berpendar di matanya.

Akhirnya, Damar setuju untuk bergabung. Dia merasa ada secercah harapan baru saat melihat Rian yang antusias. Mereka mulai mengerjakan proyek bersama, dan meskipun kecemasan masih menyertai, kehadiran Rian memberi ketenangan.

Namun, saat Damar mulai merasakan kebahagiaan, pesan dari ibunya datang menyerang. “Damar, kapan kamu bisa menunjukkan hasil yang memuaskan? Kami berharap banyak darimu,” pesan itu menghantam pikirannya, seakan menghancurkan semua usaha yang telah ia bangun.

Semangat yang baru saja menghangatkan hatinya mendadak sirna. Rasa cemas itu merayap kembali, menjalar ke segenap pori. Rian melihat perubahan sikap Damar dan berusaha mengajaknya berbicara.

“Damar, kamu kenapa? Sepertinya ada yang mengganggumu,” tanya Rian, tatapan penuh empati.

“Ini… pesan dari ibuku. Dia selalu mengharapkan yang terbaik dari aku, dan aku merasa tidak pernah bisa memenuhi harapannya,” ungkap Damar sambil menunduk, suara teredam.

Rian mengangguk, memahami. “Mungkin kamu perlu menjelaskan padanya tentang bagaimana perasaanmu. Terkadang, orang tua hanya ingin yang terbaik untuk kita, tetapi mereka tidak selalu mengerti tekanan yang kita hadapi,” ujarnya, suaranya bergetar lembut.

Kata-kata Rian menggelitik benak Damar. “Mungkin kamu benar,” ujarnya pelan. “Tapi bagaimana aku bisa menjelaskannya tanpa membuatnya marah?”

“Cobalah untuk terbuka. Berbicara dari hati. Ini penting untuk kesehatan mentalmu,” Rian menyarankan, wajahnya berseri penuh harapan.

Damar berusaha menyiapkan diri untuk berbicara dengan ibunya. Namun, saat ia berdiri di hadapan ibunya, rasa takut itu kembali menggerogoti. “Bu, aku ingin bicara,” ucapnya, suara bergetar.

Ibunya menatapnya serius, menunggu jawaban. “Apa yang ingin kamu katakan? Kami sudah menunggu hasil yang baik dari kamu.”

Damar menarik napas dalam-dalam, mencari kata yang tepat. “Aku merasa tertekan, Bu. Aku tidak tahu bagaimana memenuhi harapan itu. Semua yang kulakukan, aku merasa tidak pernah cukup,” ungkapnya, harapan mulai berlipat.

Percakapan itu berlangsung lama. Damar menguraikan rasa cemas dan tekanan yang menyelimutinya. Awalnya, ibunya terkejut, tetapi seiring waktu berlalu, Damar bisa merasakan bahwa ibunya mulai memahami. Mungkin butuh waktu untuk membangun jembatan pemahaman di antara mereka, tetapi Damar merasa lega karena akhirnya bisa menyampaikan isi hatinya.

***

Setelah melewati empat tahun yang penuh liku-liku di kampus, Damar akhirnya berdiri di podium wisuda dengan gelar sarjana di tangannya, predikat cum laude yang disandangnya seperti mahkota. Kebanggaan orang tuanya, terutama ibunya, menyala di dalam mata mereka, bercahaya seperti bintang di langit malam. Damar melihat ibunya, sosok yang selalu menjadi sumber inspirasinya, duduk di barisan depan, menahan haru ketika nama putranya dipanggil untuk menerima ijazah.

Namun di balik senyum yang mengembang, terpendam kecemasan yang terus merayap dalam hati Damar. Ia tahu betul, pencapaian ini hanyalah awal dari tuntutan baru yang lebih berat yang siap menjepitnya. Harapan-harapan orang tuanya takkan pernah berhenti, dan ekspektasi itu, seperti bayang-bayang, mengikutinya ke mana pun ia pergi.

Setelah wisuda, tawaran pekerjaan datang bagaikan mimpi yang menjadi nyata. Sebuah perusahaan besar, terkenal dan bergengsi, menginginkan jasanya. Damar merasa seolah telah mencapai puncak kesuksesan. Namun saat ia membawa kabar baik itu pulang, sambutannya disambut dengan pelukan hangat, tetapi di balik tatapan ibunya, ia bisa merasakan bayangan tekanan yang tak terucapkan.

“Damar, aku sangat bangga padamu! Sekarang, saatnya membuktikan bahwa semua kerja kerasmu terbayar. Jangan lupa, naik jabatan secepatnya!” suara ibunya penuh semangat, meski ada nada yang mengisyaratkan beban di balik kata-katanya.

Damar hanya bisa mengangguk, merasakan beban baru yang semakin menumpuk di pundaknya. Di permukaan, hidupnya tampak sempurna, tetapi di dalam hatinya, perasaan tertekan menggelora. Setiap malam, ketika gelap merayap masuk ke kamarnya, ia terbaring dalam hening, mempertanyakan, “Apakah ini yang aku inginkan? Apakah aku bahagia?”

Di tengah perjalanan hidup yang tampak ideal ini, Damar bertemu Clara. Wanita ceria yang selalu mampu melihat keindahan di balik kepahitan. Clara, teman kuliahnya di kelas desain, memiliki impian yang jauh dari dunia korporat yang kini ia jalani. Mereka menjalin hubungan yang dipenuhi tawa dan kehangatan. Bersama Clara, Damar merasakan kebahagiaan yang selama ini ia cari, seperti embun pagi yang menyegarkan jiwa.

Namun, jalannya tak selamanya mulus. Saat Damar memberitahu ibunya tentang Clara, reaksi yang didapatkan tak sesuai harapannya. “Dia bukan orang yang tepat untukmu, Damar. Pikirkan masa depanmu. Kamu harus bersama seseorang yang bisa mendukung kariermu,” ucap ibunya tegas, suara itu bagaikan petir di siang bolong.

“Bu, aku mencintainya. Dia membuatku merasa hidup,” Damar mencoba mempertahankan hatinya, suaranya bergetar penuh emosi.

“Cinta tidak cukup. Kamu butuh seseorang yang sejalan dengan ambisimu. Dia tidak akan bisa membantumu mencapai sukses yang kamu inginkan,” ibunya berujar, tatapannya dingin dan menembus jiwa.

Damar merasakan detak jantungnya semakin kencang. Ia terjepit dalam dua pilihan; cinta dan kebahagiaan bersama Clara atau memenuhi harapan ibunya yang tiada henti. Di satu sisi, cinta itu hangat dan tulus; di sisi lain, ada tekanan yang terus membebani pundaknya.

Clara, yang selalu berusaha memahami, berkata lembut, “Kamu tidak perlu merasa tertekan untuk memilih antara aku dan orang tuamu. Yang terpenting adalah kamu bahagia.” Tangannya yang lembut menggenggam tangan Damar, menyalurkan kekuatan dan pengertian.

“Aku ingin, Clara. Aku ingin bersamamu. Tapi semua ini terlalu rumit. Mereka tidak akan pernah menerima kita,” jawab Damar lirih, dalam hati, rasa cemas dan putus asa terus merambat.

Damar terperangkap dalam dua dunia yang saling bertentangan. Semakin ia berusaha memenuhi ekspektasi orang tuanya, semakin ia kehilangan dirinya. Dalam spiral ambisi yang dipaksakan, cinta Clara terasa seperti cahaya harapan di tengah kegelapan.

Suatu sore, Damar pulang dari kantor dengan pikiran yang penuh gejolak. Telepon dari ibunya datang, mendesak, penuh rasa urgensi. “Damar, kami ingin bertemu dan membahas karir mu. Ada tawaran lain yang lebih baik, dan kami ingin kamu mengambilnya,” ucap ibunya tanpa basa-basi.

Di hadapan kedua orang tuanya, Damar mendengarkan rencana masa depan yang dipaparkan ibunya, bagaikan puisi tanpa melodi. “Kamu harus memikirkan langkah selanjutnya. Tidak cukup hanya mendapatkan pekerjaan. Kamu harus terus naik jabatan dan mendapatkan lebih banyak uang. Itu yang kami harapkan darimu.”

Damar merasa hatinya semakin tertekan. “Bu, aku sudah melakukan semua ini. Tapi aku tidak merasa bahagia. Aku terjebak dalam apa yang kalian inginkan, bukan apa yang aku inginkan,” suara Damar meninggi, penuh emosi yang tak tertahan.

Dalam momen itu, wajah ibunya memancarkan kekesalan. “Kami hanya ingin yang terbaik untukmu, Damar! Kenapa kamu tidak bisa mengerti itu?” teriaknya, suaranya menggema dalam keheningan ruang.

“Karena yang terbaik untukku mungkin tidak sama dengan apa yang kalian inginkan!” Damar merasa air matanya menggenang. “Aku tidak ingin hidup hanya untuk memenuhi harapan kalian.”

Puncak emosi itu pecah, merobek ketegangan yang telah mengendap. Damar meluapkan semua ketidakpuasan, ketidakbahagiaan, dan cinta yang ia rasakan untuk Clara. Di saat itu, aliran lega mengalir dalam dirinya, meski harus membayar mahal dengan keretakan hubungan dengan ibunya.

Setelah pertemuan itu, ada sesuatu yang berubah dalam diri Damar. Ia menyadari bahwa kebahagiaannya takkan ditentukan oleh orang lain. Dengan semangat baru, ia merancang rencana untuk berbicara kepada Clara, untuk memperjuangkan hubungan mereka melawan tekanan dari orang tuanya.

“Clara, aku ingin memperjuangkan kita. Aku ingin kamu ada di hidupku, meski aku tahu ini tidak akan mudah,” Damar mengungkapkan harapannya.

Clara tersenyum lembut, seperti cahaya mentari yang menembus awan kelabu. “Aku siap mendukungmu, Damar. Kita bisa menghadapinya bersama. Cintamu adalah yang terpenting,” jawabnya, menghadirkan kekuatan dalam diri Damar.

Keterbukaan Damar kepada Clara dan keberaniannya untuk berbicara jujur kepada ibunya menjadi langkah awal untuk membebaskan diri dari tekanan yang selama ini membelenggunya. Ia tahu perjalanan ke depan akan penuh rintangan, namun kini, ia merasa siap untuk menghadapinya.

***

Kehidupan Damar mulai terasa hampa. Walaupun dia telah meraih pekerjaan impian yang selalu diidamkan orang tuanya, rasa puas dan bahagia yang diharapkan justru menguap bagai embun di pagi hari. Di balik meja kerjanya yang rapi, dia merasa terperangkap dalam rutinitas monoton yang tak berujung. Setiap pagi, dia pergi ke kantor, melaksanakan tugas yang tak pernah ingin dilakukannya, dan pulang larut malam tanpa rasa pencapaian. Ia terperangkap dalam ekspektasi orang tuanya, tanpa pernah berhenti untuk bertanya pada diri sendiri, "Apa yang sebenarnya aku inginkan?"

Kelelahan menggerogoti Damar, dan di dalam keheningan malam, dia sering terbangun dengan cemas, seakan ada sesuatu yang tak beres. Dalam momen-momen seperti itu, ia teringat Clara, yang selalu bisa membangkitkan semangatnya. Namun, seiring berjalannya waktu, jarak di antara mereka mulai terasa. Clara tampak lebih bahagia, lebih bersemangat mengejar mimpinya di dunia desain. Damar merasa terkurung dalam rutinitasnya, sementara Clara menari di atas panggung impiannya.

Suatu sore, saat beristirahat di kafe dekat kantor, Damar tak sengaja bertemu dengan Aris, sahabat lamanya. Aris, sosok yang penuh semangat, selalu memancarkan energi positif. Damar merasa seolah menemukan oase di tengah badai kehidupannya.

“Damar! Lama tidak bertemu! Kamu terlihat lelah,” sapa Aris dengan senyuman cerah.

“Ya, kehidupan kerja ternyata lebih berat dari yang kuharapkan,” Damar menghela napas. “Bagaimana denganmu? Masih berkutat dengan proyek-proyek kreatifmu?”

Aris mengangguk. “Aku baru saja menyelesaikan beberapa proyek seni. Hidupku menyenangkan, Damar. Tapi, kamu, apa yang sebenarnya terjadi?”

Damar merasa tersentuh oleh kepedulian sahabatnya. Mereka duduk, dan Damar mulai berbicara tentang keraguannya dan bagaimana ia merasa kehilangan arah. Ia mengungkapkan bahwa semua pencapaian yang dibanggakan orang tuanya terasa hampa, seolah-olah dia tidak memiliki kehidupan.

Aris mendengarkan dengan seksama. “Damar, hidupmu seharusnya tidak hanya tentang memenuhi harapan orang lain. Kamu berhak mengejar apa yang kamu inginkan. Kenapa tidak berani mencoba hal baru?”

Kata-kata Aris menyentuh bagian dalam hatinya yang sudah lama terpendam. Ia teringat kembali saat-saat ketika ia bercita-cita menjadi penulis, membayangkan cerita-cerita yang ingin ia sampaikan ke dunia. Selama ini, dia terjebak dalam labirin ambisi yang dibangun oleh orang tuanya.

“Kadang, aku merasa seperti boneka. Tidak ada yang tahu apa yang aku rasakan. Mereka hanya melihat hasil, bukan prosesnya,” ucap Damar, suaranya mulai serak.

Aris mengangguk. “Beranilah untuk berbicara, Damar. Jangan biarkan dirimu terjebak dalam tekanan itu. Hidupmu adalah pilihanmu.”

Setelah pertemuan itu, Damar merasa semangatnya mulai pulih. Dia ingin mencoba berbicara dengan orang tuanya tentang semua perasaannya. Namun, saat kembali ke rumah, ketakutannya kembali menghantui. Dia tahu berbicara tentang ini tidak akan mudah.

Malam itu, Damar duduk bersama orang tuanya di ruang tamu. Suasana terasa tegang, detak jantungnya kian memekakkan telinga.

“Bu, Ayah, ada yang ingin aku bicarakan,” Damar memulai, berusaha menenangkan diri.

“Ada apa, Damar?” ibunya menjawab, nada suaranya penuh perhatian, tetapi Damar bisa merasakan ketegangan di balik itu.

“Aku merasa tertekan dengan semua ekspektasi yang kalian berikan. Meskipun aku berhasil di kantor, aku tidak merasa bahagia. Seperti hidupku bukan sepenuhnya milikku,” ucapnya, suaranya bergetar.

Ibunya menatapnya, bingung, seolah tidak bisa memahami apa yang Damar maksud. “Apa maksudmu? Kamu mendapatkan pekerjaan yang baik, prestasi yang baik. Apa yang kurang?”

“Aku merasa semua ini bukan untukku, tetapi untuk memenuhi harapan kalian. Aku ingin menemukan jalanku sendiri,” Damar berkata, suaranya semakin tegas.

Namun, reaksi orang tuanya mengejutkan Damar. “Damar, kamu terlalu berlebihan. Kami hanya ingin yang terbaik untukmu. Apa lagi yang kamu inginkan? Kamu sudah memiliki segalanya!” seru ibunya, nadanya semakin tinggi.

“Aku ingin menjadi diriku sendiri! Bukan apa yang kalian inginkan!” Damar tidak bisa menahan emosinya. Air mata mulai menggenang, seolah hatinya terbelah dua.

Ayahnya, yang selama ini terkesan tenang, ikut campur, “Kamu harus menghargai semua usaha kami. Kami berkorban banyak untukmu, Damar. Jangan sia-siakan semua ini hanya karena perasaanmu yang sementara.”

Perkataan itu terasa seperti tamparan keras. Damar merasakan duniannya runtuh. “Ini bukan tentang perasaan sementara, Ayah! Ini tentang hidupku! Aku sudah cukup menderita dengan semua ini!” Damar berteriak, menambah ketegangan di ruangan.

Di saat itu, Damar merasakan sebuah titik balik dalam hidupnya. Semua perasaan terpendamnya mulai meledak. Dia berlari keluar rumah, tak peduli dengan teriakan orang tuanya di belakang. Dalam kebingungan, ada rasa lega yang perlahan mengalir dalam dirinya.

Damar berjalan tanpa tujuan, mencari udara segar di tengah malam yang dingin. Saat berhenti di taman, ia mengingat kata-kata Aris, “Hidupmu adalah pilihanmu.” Ia merasa berada di persimpangan jalan yang menentukan masa depannya.

Di tengah perjalanan pikirannya, Clara tiba-tiba muncul. Dalam momen keraguan ini, Damar semakin bingung. Apakah dia mampu memperjuangkan cintanya dengan Clara jika dia tidak bisa memperjuangkan dirinya sendiri?

Di bawah cahaya bulan purnama, Damar menatap langit gelap. Dalam keheningan malam, dia membuat keputusan yang akan mengubah hidupnya selamanya. Dia tidak bisa lagi terjebak dalam ekspektasi orang lain.

***

Damar duduk dalam mobilnya, menatap gedung perkantoran megah yang menjulang di depan. Sejak pagi, detak jantungnya berpacu, seolah menandai sebuah momen yang telah lama ditunggu. Di balik pencapaian yang semestinya menjadi puncak harapan orang tuanya, ada sebuah keraguan yang menyesakkan dada. Hari ini adalah hari presentasi yang menentukan di hadapan jajaran direksi, dan ia tahu betapa besar harapan yang tersemat dalam tatapan mereka.

Ketika langkahnya membawa Damar memasuki gedung, rasa cemas seolah meliputi tubuhnya. Setiap helaan napasnya terasa berat, dan senyuman yang ia paksakan seolah tak mampu menutupi rasa gelisah yang menggerogoti. Di ruang konferensi yang megah, ia berdiri di depan meja panjang yang dipenuhi oleh para eksekutif, wajah-wajah mereka tampak acuh tak acuh, tanpa mampu mengurangi beban di pundaknya. Di antara mereka, bayangan orang tuanya menghantui, mengawasi setiap detak langkahnya.

Presentasi dimulai. Damar berusaha menjelaskan proyek yang telah ia kerjakan dengan sepenuh hati, meracik kata demi kata, berharap ada yang menyentuh. Namun, saat tatapan para direksi tidak beranjak dari layar presentasi, hatinya merosot. Semua usaha dan pengorbanan yang terbenam dalam setiap rincian presentasi itu terasa sia-sia. Seperti prestasi lainnya, kesuksesan ini tak mampu mengisi kekosongan yang menganga dalam jiwa.

Setelah presentasi berakhir, Damar melangkah keluar, seolah terjebak dalam pikirannya sendiri. Rasa sakit dan tekanan yang telah bertumpuk selama bertahun-tahun mendesak untuk dikeluarkan, memaksa diri untuk merasa. Dalam malam yang sunyi, ia terperangkap dalam ingatan, bayang-bayang harapan orang tuanya, dan rasa terasing yang melingkupi hidupnya.

Tidur menjauh dari Damar malam itu. Pikiran-pikiran berputar di benaknya, terjebak dalam lingkaran kecemasan. Ia tahu harus berbicara dengan orang tuanya, tetapi rasa ragu menyelimuti hati. Akankah mereka bisa memahami? Akankah mereka mendengarkan?

Dengan keberanian yang mulai merayap, Damar memutuskan untuk menghubungi mereka. Percakapan itu canggung, penuh ketegangan yang menyesakkan. “Aku merasa hampa. Segala yang kulakukan terasa tidak pernah cukup. Aku ingin kalian bangga padaku, tetapi aku juga ingin merasakan kebahagiaan sendiri,” ujarnya, suara bergetar.

Kediaman orang tuanya melanda suasana. Ibunya yang biasanya berbicara cepat kini terdiam, sementara ayahnya merespons dengan nada tenang, “Kami tidak ingin membebani kamu. Kami hanya ingin yang terbaik.” Namun, Damar bisa melihat kebingungan di wajah mereka, seolah mereka tak sepenuhnya menangkap maksudnya.

“Tetapi aku merasa tertekan! Semua pencapaian ini tidak pernah cukup. Hidupku terasa asing,” Damar membalas, suaranya semakin meninggi, air mata mengalir membasahi pipinya. “Aku ingin menjadi diriku sendiri, bukan sekadar memenuhi harapan yang kalian tanamkan.”

Dalam sekejap, suasana berubah. Waktu seakan berhenti, dan Damar merasakan sesuatu yang mengalir di antara mereka—satu titik pengertian. Ibunya menatapnya, matanya berbinar dengan empati yang tulus. “Damar, maafkan kami jika kami tidak melihat itu. Kami hanya... tidak tahu cara lain.”

Di antara keheningan yang melingkupi, Damar merasakan beban di pundaknya mulai sirna. Meski ia tak tahu apakah orang tuanya akan mengubah cara pandang mereka, untuk pertama kalinya, ia merasa tidak sendirian. Keberanian yang mengalir dari mulutnya menjadi langkah penting dalam proses penyembuhan jiwa yang telah lama terperangkap dalam keraguan.

Dengan hati yang lebih ringan, Damar melangkah keluar dari ruangan, bersiap menghadapi dunia yang baru. Harapan mulai bersemu, meski ia menyadari jalan di depan tak akan mudah. Ia siap untuk berjuang, tidak hanya untuk dirinya, tetapi juga untuk hubungan yang lebih baik dengan orang tuanya. Dalam perjalanan pulang, harapan dan ketakutan berbaur menjadi satu, menuntun Damar menuju takdir yang selama ini menantinya.

Beberapa minggu setelah percakapan emosional itu, Damar merasakan aliran baru dalam dirinya. Ia mulai menyadari bahwa tidak ada satu jalan pun yang sempurna untuk menjalani hidup ini, dan pencapaian tak selamanya harus diukur dengan nilai atau pujian. Melalui sesi terapi dan dukungan setia dari sahabatnya, Aris, Damar belajar untuk lebih menghargai diri sendiri—sesuatu yang selama ini terasa asing.

Ketika hari pertemuan keluarga tiba, perasaannya campur aduk. Orang tuanya, dalam upaya untuk menunjukkan dukungan mereka, berusaha tampil berbeda. Ibunya mulai mengajak Damar berbincang tentang minatnya yang lain, menjelajahi hobi di luar ranah akademis. Ia bahkan mendorong Damar untuk melukis, sebuah gairah yang telah lama terabaikan. Damar terkejut, namun di sisi lain, rasa senang menyelinap masuk, meluruhkan kecemasan yang sebelumnya mengikatnya.

Dalam satu momen berani, Damar menunjukkan lukisannya kepada orang tuanya. “Ini adalah apa yang aku rasakan,” katanya, sambil mengangkat kanvas yang dipenuhi warna-warna cerah dan emosi yang mengalir. Di seberang meja, orang tuanya terdiam, matanya menyimak setiap goresan dengan seksama. Ibunya menahan air mata, terharu melihat ungkapan hati yang selama ini terpendam dalam jiwa anaknya.

“Damar, ini luar biasa. Kami tidak pernah menyadari betapa berbakatnya kamu dalam melukis,” ujar ibunya, suaranya bergetar penuh haru. Damar merasakan sentuhan mendalam, seperti mendapatkan pengakuan yang selama ini ia cari, seakan semua usaha dan perjuangannya tak lagi sia-sia.

Meskipun orang tuanya tidak sepenuhnya memahami perjalanan Damar, mereka menunjukkan itikad baik. Setiap percakapan terasa lebih hangat, diwarnai oleh upaya untuk saling menghargai dan memahami. Damar menyadari bahwa mereka mungkin tidak akan pernah sepenuhnya puas dengan pilihannya, tetapi ia belajar untuk menerima bahwa tidak semua orang akan mengerti jalan hidupnya.

Kini, fokus Damar beralih kepada kesehatan mental dan kebahagiaannya. Ia menjalani hidup dengan lebih seimbang, menjalin ikatan yang lebih erat dengan teman-teman. Bersama Aris, mereka menghabiskan waktu menjelajahi minat baru, saling berbagi tawa, dan berusaha mendekatkan persahabatan yang lebih intim. Damar merasa hidupnya berdenyut kembali, berani menjadi dirinya sendiri tanpa terikat oleh harapan orang lain.

Suatu sore, saat duduk di taman dengan lukisan di pangkuannya, Damar merenungkan masa depannya. Ia menyadari bahwa hidup ini tidak selalu mudah, tetapi kini ia telah diperlengkapi dengan alat untuk menghadapinya. Dengan terapi, dukungan sahabat, dan penerimaan yang mengalir dari orang tuanya, Damar merasa lebih siap untuk menjelajahi dunia.

Dalam diam, ia mengucapkan terima kasih kepada diri sendiri, menghargai setiap perjuangan dan usaha yang telah dilalui. Damar menyadari bahwa ia tidak perlu sempurna untuk dihargai. Cinta dan penghargaan harus datang dari dalam diri, bukan semata-mata bergantung pada pandangan orang lain. Dengan rasa syukur yang mengisi dadanya, ia menatap masa depan, berharap untuk menemukan cahaya baru yang bersinar dalam setiap langkahnya.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi dari Drama
Novel
Nana's Agreement
Ayuning Dian
Novel
Kisah Belum Tergoreskan
Hilda Resina
Cerpen
Bayang-Bayang Kesempurnaan
Sayidina Ali
Novel
All beautiful at the right time
Maria Sere J S
Novel
Perempuan Berwajah Duka
Goebahan R
Novel
Candu di Tawangmangu
Diyah Ayu Trisnawati
Novel
Trapped in first love
Nadzwa Clarisa
Novel
Bronze
Dua Cinta Pertama
L
Novel
Bronze
Pintu Tauhid 1&2 (Bundling)
Imajinasiku
Novel
Galih & Alana
Larasatiameera
Novel
A Really Awkword Love Story
ANNISA
Novel
Bronze
Nama Kecil
Yunia Susanti
Flash
Bronze
Aku Bisa Apa?
drizzle
Novel
Bronze
Tanya Hati
jingria_jk
Novel
Sulur Luka
FA NELA
Rekomendasi
Cerpen
Bayang-Bayang Kesempurnaan
Sayidina Ali
Novel
Cinta dalam Cerita
Sayidina Ali
Novel
Kita dalam Kehidupan Bumi & Bulan
Sayidina Ali
Cerpen
Bernasib Seperti Socrates
Sayidina Ali
Cerpen
Antara Bumi & Angkasa
Sayidina Ali
Cerpen
Rumah yang Tak Kunjung Pulih
Sayidina Ali
Cerpen
Rumah yang Tak Berharap Kembali
Sayidina Ali