Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Di sudut kota yang dilupakan, lorong-lorong sempit di antara bangunan tua berderit menyimpan rahasia yang tak pernah terucap. Bau besi karat dan air selokan menguar di udara malam yang dingin. Lampu jalanan yang berkedip-kedip hanya menambah kesan mencekam, seolah-olah lorong itu menolak cahaya. Di sinilah, di tengah kegelapan, dua sosok bertemu—bukan karena takdir, tetapi karena dendam yang telah membusuk selama bertahun-tahun.
Rudi, pria bertubuh gempal dengan wajah penuh bekas luka, berdiri di ujung lorong. Matanya menyipit, memindai bayang-bayang yang bergerak di depannya. Di tangannya, sebilah pisau belati berkilau samar, ujungnya masih bernoda darah dari pertarungan sebelumnya. Napasnya berat, bukan karena lelah, tetapi karena amarah yang mendidih di dadanya. Di sisi lain lorong, sosok lain muncul dari kegelapan—Dika, pria ramping dengan tatapan dingin seperti ular. Di tangannya, sebuah kapak kecil dengan gagang kayu yang sudah usang, namun bilahnya tajam, siap memotong apa saja yang menghalangi.
Keduanya tidak berbicara. Tidak perlu. Sepuluh tahun lalu, pengkhianatan Dika telah merenggut nyawa adik Rudi, seorang gadis remaja yang tak tahu apa-apa tentang dunia gelap yang mereka jalani. Rudi bersumpah akan membalas, dan malam ini, setelah bertahun-tahun mencari, dia akhirnya menemukan Dika. Lorong ini akan menjadi saksi akhir dari dendam mereka.
Tanpa aba-aba, Dika bergerak lebih dulu. Kapaknya diayunkan dengan kecepatan mematikan, mengarah ke leher Rudi. Rudi menghindar, tubuhnya yang besar ternyata lincah, dan dengan gerakan cepat, dia menusukkan belatinya ke arah perut Dika. Pisau itu hanya menggores kulit, meninggalkan garis merah yang segera mengucurkan darah. Dika meringis, tapi tidak mundur. Dia malah menyerang lagi, kali ini dengan tendangan keras ke lutut Rudi, membuat pria itu terhuyung.
"Lo pikir lo bisa selesaikan ini gampang-gampang?" sembur Dika, suaranya parau penuh kebencian. "Adik lo mati karena dia sendiri yang cari masalah!"
Rudi menggeram, matanya membelalak penuh amarah. "Jangan sebut dia!" teriaknya, lalu melompat ke depan, belatinya menusuk udara. Dika menghindar, tapi tidak cukup cepat. Ujung pisau mengoyak lengan kirinya, darah menyembur dan membasahi dinding lorong. Dika menjerit, tetapi rasa sakit itu seolah memicu sesuatu dalam dirinya. Dengan gerakan liar, dia mengayunkan kapaknya ke arah bahu Rudi. Bilah kapak menggigit daging, dan darah merah pekat mengalir deras dari luka yang dalam.
Rudi meraung, tapi tidak berhenti. Dia meraih lengan Dika yang memegang kapak, memelintirnya dengan kekuatan brutal hingga terdengar bunyi tulang yang patah. Kapak itu jatuh ke tanah, bergemerincing di atas aspal basah. Dika mencoba menarik diri, tapi Rudi tidak memberi kesempatan. Dengan tangan kosong, dia menghantamkan kepalan tangannya ke wajah Dika, sekali, dua kali, tiga kali, hingga hidung Dika hancur dan darah mengalir seperti air mancur.
Lorong itu kini penuh dengan bau darah dan keringat. Dika, meski terluka parah, masih belum menyerah. Dengan tangan yang masih utuh, dia merogoh saku jaketnya dan mengeluarkan pisau lipat. Dengan gerakan cepat, dia menusuk sisi tubuh Rudi, bilahnya menembus hingga ke tulang rusuk. Rudi tersentak, napasnya tersengal, tapi amarahnya lebih besar dari rasa sakit. Dia menangkap pergelangan tangan Dika, memelintirnya hingga pisau itu jatuh, lalu menghantamkan kepalanya ke wajah Dika dalam gerakan headbutt yang brutal. Tulang pipi Dika retak, dan dia ambruk ke tanah, setengah pingsan.
Rudi berdiri di atasnya, napasnya memburu. Darah menetes dari luka di bahunya dan sisinya, membentuk genangan kecil di tanah. Dia mengambil kapak yang tergeletak, memandangnya sejenak, lalu menatap Dika yang terkapar. "Ini untuk dia," bisik Rudi, suaranya penuh dendam. Tanpa ragu, dia mengayunkan kapak itu ke arah kaki Dika. Bilahnya menggigit betis, memotong daging dan tulang dengan suara mengerikan. Dika menjerit, suaranya memecah kesunyian malam, tapi tidak ada yang akan mendengar di lorong terpencil ini.
Dika mencoba merangkak menjauh, meninggalkan jejak darah di aspal. Rudi mengikuti, langkahnya berat tapi penuh tekad. Dia mengangkat kapak lagi, kali ini mengarah ke punggung Dika. Bilah itu mengenai tulang belakang, dan suara retakan keras terdengar. Dika ambruk sepenuhnya, tubuhnya gemetar hebat sebelum akhirnya diam. Rudi berdiri di atasnya, napasnya masih berat, kapak di tangannya kini berlumur darah.
Tapi pertarungan belum selesai. Dari kegelapan, tiba-tiba muncul dua sosok lain—kaki tangan Dika yang ternyata telah mengintai. Mereka adalah bagian dari geng yang sama, dan mereka tidak akan membiarkan Rudi pergi begitu saja. Yang satu memegang rantai besi, yang lain membawa tongkat baseball dengan paku-paku tertancap di ujungnya. Mereka menyerang bersamaan, tanpa kata-kata, hanya dengan niat membunuh.
Rudi, meski terluka parah, tidak mundur. Dia menghindar dari ayunan rantai, tapi tongkat baseball mengenai lengannya, paku-paku itu mengoyak daging hingga tulang terlihat. Darah menyembur, tapi Rudi tidak berteriak. Dia menyerang balik, menusukkan belatinya ke perut pria yang memegang rantai. Pisau itu masuk dalam, dan pria itu ambruk sambil memegangi lukanya, darah mengalir di antara jari-jarinya.
Pria dengan tongkat baseball tidak berhenti. Dia mengayunkan senjatanya lagi, kali ini mengenai kepala Rudi. Paku-paku itu menggores kulit kepala, dan darah mengalir membutakan salah satu mata Rudi. Dengan kemarahan yang membabi buta, Rudi meraih tongkat itu, menariknya dari tangan pria itu, lalu menggunakannya untuk menghantam wajah lawannya. Paku-paku itu menancap ke dahi, dan pria itu jatuh dengan jeritan yang terputus.
Lorong kini sunyi, hanya ada suara napas Rudi yang tersengal dan tetesan darah yang jatuh ke tanah. Dia terhuyung, tubuhnya penuh luka, darah mengalir dari berbagai bagian tubuhnya. Dia memandang tubuh-tubuh yang tergeletak di sekitarnya—Dika dan dua kaki tangannya, semuanya tak lagi bergerak. Rudi jatuh berlutut, kapak dan belati terlepas dari tangannya. Dia tahu dia tidak akan bertahan lama. Luka-lukanya terlalu parah, dan darah terus mengalir tanpa henti.
Di kejauhan, sirene polisi mulai terdengar, tapi Rudi tidak peduli. Dia memandang langit malam yang kelam, seolah mencari wajah adiknya di antara bintang-bintang yang tak terlihat. "Aku selesaikan, Dek," gumamnya, suaranya lemah. Dia tersenyum tipis, lalu ambruk ke tanah, darahnya bercampur dengan genangan di lorong itu.
Malam menelan segalanya. Lorong itu kembali sunyi, hanya menyisakan bau darah dan bayang-bayang yang kini menyimpan satu rahasia lagi. Tidak ada pemenang di sini, hanya dendam yang telah memakan semua yang terlibat.
Sirene polisi kian mendekat, memecah kesunyian lorong yang kini dipenuhi bau darah dan kematian. Rudi, meski terkapar dengan luka menganga, masih bernapas tipis. Di tengah kabut rasa sakit, dia mendengar langkah kaki mendekat—bukan polisi, melainkan sosok baru, berpakaian hitam dengan topeng kain menutupi wajahnya. Sosok itu, yang dikenal sebagai "Bayang", adalah pemimpin geng Dika yang sebenarnya, dalang di balik pengkhianatan sepuluh tahun lalu.
Bayang berjongkok di samping Rudi, mencibir. "Lo pikir ini selesai?" katanya, suaranya dingin seperti es. Dia mengeluarkan pisau bedah, ujungnya berkilau di bawah lampu jalanan yang redup. Tanpa ampun, Bayang mengiris luka di lengan Rudi, memperdalam penderitaannya. Rudi meraung lemah, tapi matanya tetap membara—dendamnya belum padam.
Tiba-tiba, sebuah ledakan kecil mengguncang lorong. Asap tebal menyebar, dan dari kegelapan muncul seorang wanita misterius, bersenjatakan dua belati pendek. Dia adalah Mira, sahabat adik Rudi yang telah lama mencari keadilan. Dengan gerakan cepat, Mira menyerang Bayang, belatinya mengoyak udara. Darah kembali tumpah saat bilah Mira menancap di bahu Bayang, tapi pria itu balas menyerang, pisau bedahnya nyaris mengenai leher Mira.
Pertarungan singkat namun brutal terjadi. Mira, dengan kelincahannya, akhirnya berhasil menikam jantungan Bayang, membuatnya ambruk. Dia berlari ke arah Rudi, mencoba menahannya agar tetap sadar. "Bertahan, Rudi!" serunya, tapi darah Rudi terus mengalir, menggenangi aspal.
Polisi akhirnya tiba, sorot lampu senter menyapu lorong. Mira menghilang ke kegelapan, meninggalkan Rudi yang kini tak lagi bergerak. Lorong itu kembali sunyi, menyisakan misteri baru: siapa Mira sebenarnya, dan apakah dendam ini benar-benar berakhir?