Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Thriller
Bawa Aku Terbang, Tuhan!
0
Suka
730
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

“Anhe sayangku, putriku, berlianku, hartaku. Ibu menyayangimu, sayang.”

Hari itu ulang tahunku yang ke 5. Ibu memberiku hadiah Sepatu dan ayah memberiku gaun putih yang indah. Namun, gaun yang ayah berikan terlalu besar untukku yang berusia baru lima tahun. Gaun itu cocok untuk usia sebelah tahun. Tapi ayah mengatakan “Ayah menyukai gaun itu. Jadi, ayah belikan saja langsung. Kamu bisa mengenakannya jika sudah pas. Siapa tahu besok-besok gaun itu tidak ada lagi,” jelasnya.

Aku dan ibu tertawa dengan kata-kata ayah. Itu sangat lucu. Dan aku tidak keberatan, toh juga gaunnya emang beneran bagus. Aku berharap bisa segera besar untuk mengenaka gaun itu. Gaun selutut berwarna putih tulang yang modelnya biasa saja tapi terlihat elegan dan mewah. Aku suka. Gaun itu seperti gaun bidadari-bidadari dalam dongeng yang sering ibu bacakan. “Mungkin, di usia 11 atau 12 tahun nanti, aku bisa menjadi seorang bidadari,” pikirku. Dan pikiran itulah yang akan aku sesali sampai kapanpun.

Pada mulanya semua orang menganggap keluargaku adalah keluarga yang berantakan. Karena sebelum kelahiranku, kata ibu, ayah adalah seorang pemabuk dan pecandu wanita. Bahkan, ayah mendapatkan ibu pun dengan cara yang tidak senonoh. Mendengar hal itu, jujur saja aku membenci ayah saat itu. Namun, melihat hubungan mereka baik-baik saja dan bahkan ayah selalu membantu ibu dalam mengurusku, memandikanku, membelikanku banyak mainan dan makanan enak, menggendongku serta meniduriku membuatku merasa menjadi satu-satunya gadis paling bahagia di dunia ini. Sesekali ayah juga membacakan dongeng untukku. Dan aku merasa, ayah sudah berubah dan duniaku akan berwarna sampai seterusnya (pikirku enam tahun lalu).

Namun, nyatanya aku salah.

~ Tahun 1988 (cerita ibu)

Ibuku bernama Liǔ Yuè seorang anak tauke beras keturunan Cina bernama Lù Cháng'ān, kakekku. Kakek memiliki toko beras besar yang sebagian besar buruhnya adalah pribumi, termasuk seorang pemuda bernama Baqir, asli Madura dan dialah ayahku.

Ayah dan ibu saling mencintai karena sering bertemu di toko. Kakek tidak tahu mereka saling mencintai. Namun, suatu hari kakek menemukan ayah dan ibu tengah berpelukan di ruang kerja ibu. Hal itu tentu saja membuat kakek marah, sampai mengeluarkan kata-kata yang mungkin saja saat itu menyakiti hati ayah.

“Dasar bajingan! berani-beraninya kamu memeluk putri saya. Enyahlah dari sini! dasar tidak tahu malu! pemuda tidak berbudaya! saya tidak rela jika putri saya mencintai apalagi menikah dengan seorang buruh kasar hina seperti kamu. Pergilah! Jangan pernah Kembali lagi kesini, keparat!”

Ayah memohon ampun pada kakek, namun kakek tetap mengusirnya. Sekalipun ayah adalah buruh paling pekerja keras dan paling baik di toko kakek, tapi tetap saja kakek mengusirnya.

Cukup lama ayah merasa sakit hati dengan kata-kata kakek, hingga membuat ayah menjadi seorang penjahat. Ia banyak bermain wanita untuk mengalihkan sakit hatinya. Ayah meminum minuman keras setiap malamnya, dan itu cukup membuat orang-orang lupa seberapa pekerja kerasnya seorang Baqir.

Perlakuan kakek membuat ayah depresi. Ayah akhirnya pergi entah kemana. Ibu terpukul dengan kepergian ayah dan bahkan membenci tindakan kakek itu. Ibu berharap kakek memberikan kesempatan pada ayah untuk bekerja di toko lagi. Namun, kakek tetap saja menolak permintaan ibu.

Lima tahun kemudian tepatnya di tahun 1993, ayah kembali menemui ibu. Tapi kali ini ayah mendengar kabar ibu akan segera dinikahkan dengan seorang pemuda berdarah Cina seperti ibu. Lima tahun menghilang, ayah luntang lantung mencari pekerjaan, hingga akhirnya ia menyebrang ke pulau Kalimantan dan mendapatkan pekerjaan sebagai mandor perkebunan sawit di sana. Lima tahun berlalu, ayah tetap mencintai ibu. Ayah berharap dengan pekerjaan dan pengahasilannya sebagai mandor, bisa membuka hati kakek untuk menerimanya dan tidak lagi menghinanya. Tapi sayang, kakek orangnya begitu keras kepala. Ia tidak mau menikahkan ibu dengan seorang pribumi, apalagi berbeda keyakinan dengan ibu. Kata ibu, Ayah adalah seroang muslim. Dan tidak ada di antara mereka yang mau mengubah status masing-masing. Status apa?

Selama lima tahun itu pula ibu masih mencintai ayah, dan berharap ayah kembali dan menikahinya. Penantian yang Panjang bagi ibu.

“Kau tau, Anhe? Satu minggu sebelum pernikahan ibu dengan seorang pemuda berdarah cina itu, ayahmu kembali dan mengatakan ingin menikahi ibu. Ibu senang, tapi juga sedih. Ibu ceritakan pada ayahmu bahwa kakek telah menjodohkan ibu dengan orang lain dan tujuh hari lagi kami akan menikah,” ungkap ibu dengan nada sedih.

“Ayahmu terpukul, sayang. Ia kembali menghilang selama beberapa hari. Hingga akhirnya ayahmu Kembali tepat di malam pernikahan ibu. Dia datang dengan keadaan yang kacau. Aroma alkohol tercium dari tubuhnya. Dia datang saat semua orang tengah tidur karena terlalu lelah mempersiapkan acara pernikahan ibu keesokan harinya. Ayahmu tiba-tiba masuk ke kamar ibu dan kau tau Anhe? Ayahmu melakukan dosa malam itu.”

Dosa? Apa itu?

Kakek yang mendengar teriakan dari kamar ibu, terbangun dan memergoki mereka tengah melakukan dosa. “Kakekmu marah," kata ibu. Kakek memukul kepala ayah dengan tongkat baseball di samping pintu kamar ibu. Kakek merasa sangat sedih, marah sekaligus terpukul. Hingga akhirnya untuk menutupi aib itu dari semua orang, kakek membatalkan pernikahan ibu yang akan dilaksanakan besok paginya. Kakek terpaksa menikahkan ibu dengan ayah. Dan hal itulah yang membuat kakek sakit-sakitan sampai bertahun-tahun.

Begitulah yang ibu ceritakan padaku.

Namun sayangnya, kebiasaan ayah meminum alkohol dan bermain wanita itu terus berlanjut sampai aku dilahirkan. Seakan-akan semuanya menjadi candu bagi ayah. Tapi anehnya, ibuku tidak pernah protes. “Mungkin ibuku memang wanita yang sangat sabar,” batinku.

***

Sampai sini, aku berpikir ayahku jahat karena telah membuat kakek sakit-sakitan dan membuat ibu menangis malam itu, bahkan ayah juga merusak masa depan ibu. Seperti kata orang-orang kebanyakan tentang ayahku, “Baqir bukan lagi pemuda baik-baik. Dia pemuda jahat. Seorang iblis. Dia tetaplah seorang pendosa. Laki-laki kotor!”

Kemudian aku pahami apa maksud kalimat itu beberapa tahun kemudian.

~ Tahun 1999 (tahun kelahiranku)

Sebelas tahun lalu, saat aku dilahirkan dan untuk pertama kalinya ayah melihat aku dengan mata berbinar. Bukan. Bukan karena terharu ataupun bahagia. Tetapi karena ia menemukan ‘mangsa baru’. Aku seorang perempuan, dan ayah menyukai itu. Tubuhku putih bersih dengan postur calon tinggi seperti ibu. Darah cina ibu sepertinya mendominasi diriku. Sayangnya, kesempurnaan fisik itu pada akhirnya menjadi alasan kenapa aku menyesali ayah sebagai ayahku.

Semua orang berpikir ayah berubah semenjak aku dilahirkan. Dia lebih rajin bekerja, dia lebih sering menemaniku bermain, bahkan dia juga rela memandikanku. Namun, tetap saja bukan itu tolak ukur kebaikannya. Saat aku beranjak berusia lima tahun, aku sudah memiliki tubuh yang sehat dan padat. Itu berkat ayah. Ia memberiku makanan bergizi sejak kecil. Postur tubuhku juga lebih tinggi dan proposisi dibandingkan postur tubuh anak Indo pada umumnya yang sedikit lebih pendek. Dan sekali lagi aku ulangi, “ayah menyukai itu.”

Suatu hari saat aku tengah bermain bersama teman-temanku, ayah memanggil dengan nada yang terdengar riang. “Anhee…kemarilah sayang! Ayah membawakan hadiah untukmu.” Aku dengan senyum yang mengembang segera berlari dan menghampiri ayah. “Apa yang ayah bawa untukku?” tanyaku dengan nada penasaran. Ayah dengan senyum manisnya menggenggam tanganku dan mengajakku masuk ke dalam rumah. Waktu itu ibu sedang tidak ada di rumah. Ibu pergi ke rumah kakek yang sedang sakit, dan ayahku katanya memilih untuk menjagaku di rumah. Aku mengikuti langkah ayah yang mengajakku masuk ke kamar. Dia memberiku sebuah kotak yang indah, dan di dalamnya ada gaun putih yang cantik. “Ayaahhh? ini untukku?” tanyaku dengan antusias tak percaya. “Iya, sayang. Ini untukmu. Selamat ulang tahun, Anhe,” ucap ayah sembari mengecup bibirku. Bibirku? Iya, ‘bibirku’.

Saat aku tengah asik memperhatikan gaun indah di depanku itu, ayah kemudian berkata; “Ayo ayah mandikan engkau terlebih dahulu! Kemudian gunakan gaun ini dan pamerkan kepada teman-temanmu!” Aku sedikit tidak setuju, karena sebelum bermain tadi aku sudah mandi. Jadi, kenapa aku tidak kukenakan saja gaun ini sekarang? Ayah meyakinkanku dengan mengatakan; “Kamu akan terlihat lebih cantik menggunakan gaun ini dalam keadaan sudah mandi, sayang,” katanya. Baiklah. Aku setuju! Aku akhirnya setuju untuk dimandikan oleh ayah. Hari itu ayah mengambil semuanya. Di dalam kamar mandi, ayah mengatakan gaun itu akan lebih cantik untuk dikenakan jika aku sudah remaja, karena katanya tubuhku akan lebih pas untuk mengenakannya tiga atau empat tahun lagi. Bodoh! Mengapa aku tidak mengatakan sanggup untuk menunggu tiga atau empat tahun lagi waktu itu? Dengan bodohnya aku mengatakan “kalau begitu, aku ingin menjadi remaja sekarang, agar aku bisa mengenakan gaun itu, ayah. Bagaimana caranya menjadi remaja dengan cepat?” tanyaku dengan nada polos yang bahkan sampai saat ini aku menyesal telah mengatakannya. “ayah akan mengajarkanmu bagaimana menjadi remaja dengan cepat. Tetapi mungkin sedikit sakit. Tapi tenang! Setelahnya kamu akan menjadi remaja dan akan menjadi cantik mengenakan gaun itu, Anhe,” katanya sambil menggosokkan sabun ke seluruh tubuhku.

Sejak hari itu, aku telah resmi menjadi ‘remaja’ bagi ayahku. Sejak hari itu juga, aku bukan lagi seorang gadis. Aku adalah ‘pelacur kecil’ untuk ayahku. Dan sejak hari itu pula aku telah menjadi binatang yang terlahir dari rahim seorang manusia. Sayangnya, mengapa tidak ada malaikat atau makhluk halus lainnya yang membisikkan padaku bahwa ini salah? Akalku selalu berkata; dia ayahmu. Dia mencintaimu. Dia menyayangimu. Dan apapun yang dilakukannya itu adalah bukti cintanya padamu. Sialan! Bahkan saat ibu dan teman-temanku bertanya “mengapa cara jalanmu aneh, Anhe?” aku selalu berkata; “Aku abis jatuh terpeleset.” Lalu kemudian mereka hanya mengangguk kemudaian mengatakan; “lain kali berhati-hatilah, Anhe.” dan tidak ada yang akan bertanya lagi. Akal bodoh ini mulai bisa mengajariku saat aku menginjak usia sepuluh tahun. Saat aku sudah mengerti apa yang dilakukan ayah selama ini adalah sebuah tindakan hina. Dan sayangnya dia adalah ayahku. Sekali lagi aku katakan, dia ayahku.

Hari itu saat pulang sekolah, aku melihat dua ekor anjing tengah melakukan aktivitas persis seperti yang aku dan ayah lakukan setiap kali ayah memberiku hadiah. Akal yang bodoh ini tiba-tiba saja berpikir “apakah anjing juga melakukan hal yang sama dengan yang ayah lakukan? Atau apakah ayah meniru apa yang dilakukan anjing? Atau, apakah aku dan ayah adalah binatang juga? Atau apa mungkin ayah menjadikanku binatangnya?” Aku tiak melihat ada gaun atau benda apapun yang mungkin saja ditawarkan oleh anjing itu pada temannya atau mungkin itu adalah anaknya, seperti aku dan ayah. Aku terus menanyakan pertanyaan-pertanyaan itu pada diriku sendiri, sampai pada akhirnya aku beranikan diri bertanya pada salah seorang Lǎoshī (guru) di sekolahku.

“Guru, bisakah kau jelaskan hubungan badan yang dilakukan manusia mengapa bisa dialakukan juga oleh seekor anjing?” kataku dengan nada penasaran.

Guruku terkejut mendengar pertanyaanku.

“Anhe, siapa yang mengajarimu berbicara tentang itu?” tanyanya dengan nada sedikit kecil menekan.

“Ayahku. Setiap kali ayah memberiku hadiah ulang tahun, ia selalu memintaku tidur bersamanya dan melakukan sesatu yang aku tidak tau apa namanya, bu,” jawabku dengan serius. “anehnya, aku melihat anjing juga melakukan hal yang sama. Tetapi tidak ada gaun pesta di sampingnya seperti yang biasa ayah berikan padaku, bu,” jelasku.

Terlihat ekspresi kaget dari muka guruku. Tampaknya ia begitu khawatir dengan apa yang aku katakan. Kemudian Lǎoshī mengatakan; “Anhe. Dengar! Apa yang kamu lakukan dengan ayahmu, itu salah, sayang. Itu tindakan pelecehan. Yang boleh melakukan itu hanyalah ayah dan ibumu, bukan ayahmu dan kamu. Kamu tahu pelecehan? Itu sebuah tindakan merusak dan menghina seseorang, Anhe.”

“mengapa? Kata ayah itu boleh selama aku tidak memberitahu siapapun. Tapi aku memberitahu ibu karena aku penasaran dengan apa yang dilakukan anjing itu saja, bu,” bantahku.

“Anhe, seorang manusia yang ingin melakukan hal seperti itu harus melewatu ritual pernikahan dulu, sayang. Dan anak hasil pernikahan, tidak bisa melakukan hal sama dengan ayah atau ibunya sendiri. Agama manapun tidak membenarkan itu, Anhe. Itu salah. Itu dosa. Itu pelecehan, Anhe!”

Agama? Apakah agama juga diajarkan dalam rumah? Bukannya agama hanyalah mata pelajaran yang hanya diajarkan di sekolah? Seharusnya agama hanya berlaku di sekolah, bukan?

Sampai usia sepuluh tahun pun aku tidak pernah mendengar ayah atau ibuku membicarakan agama. Bahkan agama apa yang aku anut sampai saat ini juga tidak aku ketahui. Aku banyak mendengar teman-temanku membicarakan ibadah di rumah mereka. Rumah? Ibadah? Ibadah apa?

Ibu mengajakku merayakan imlek, aku mengikutinya menyalakan dupa di depan sebuah patung yang disebut dewa. Ayah juga sesekali mengajakku merayakan hari raya ke sebuah bangunan megah bernama masjid, dan akupun mengikuti setiap gerakan orang-orang di sampingku. Aku hanya mengikuti, tanpa pernah bertanya apa yang aku lakukan ini? Hanya itu. Setelahnya tidak ada lagi gerakan-gerakan serupa setiap kali kami di rumah. Lalu, bagaimana bisa teman-temanku membicarakan ibadah di rumah mereka masing-masing? Apakah di setiap rumah harus ada masjid atau kelenteng?

Setelah apa yang guruku jelaskan, aku akhirnya menyedari kesalahan ini. Aku menangis. Mengapa aku sebodoh ini? Tuhan, maafkan aku! Aku tidak tahu apakah engkau benar-benar ada dan sedang menyaksikan tangisku. Tapi aku mohon, kali ini selamatkan aku. Aku ingin hidup lebih baik di masa depanku, Tuhan. Aku berbicara dengan yang manapun yang saat ini punya waktu untuk mendengarku. Aku mohon!

~ Tahun 2010 (Aku pergi)

Dua hari lalu aku genap berusia dua belas tahun. Untuk pertama kalinya, aku takut mendapatkan kejutan apapun dari ayah. Aku hanya ingin pergi jauh sebelum ayah menemukanku. Tapi sayang, tahun ini memang tidak ada hadiah gaun atau boneka. Tidak ada perayaan, tidak ada kue, bahkan tidak ada ucapan selamat. Aku justru memulai usia baruku dengan luka biru yang kian menghitam, bibir yang sedikit miring, mata yang membengkak, dan tulang sendi yang bengkok. Tahun ini, ayah tidak memberiku hadiah barang. Tahun ini ayah tidak memberiku senyuman dan belaian halus. Aku berusaha kabur, tapi telat. Ayah kembali melecehkanku dengan kasar, karena ia mulai menyadari aku memberikan perlawanan. Aku memberontak. Aku berteriak. Dan ayah tidak suka itu. Ayah menamparku, namun tetap menunggangiku.

“Ayah, aku mohon hentikan! Ini salah, ayah!” terikku dalam tangis.

Tidak ada jawaban. Hari itu aku seperti kuda bagi ayah. Aku adalah kuda yang sedang dinaiki oleh seorang pemburu liar. Aku terus menangis dan memohon ampun, lalu ayah membungkam mulutku. Ayah menarik rambutku. Hari itu untuk kedua kalinya aku memohon pada tuhan yang mana saja. “Tolong selamatkan aku! Tolong matikan saja aku secepatnya, Tuhan!” Aku merengek memohon ampun pada ayah, namun ia seolah-olah tuli. Ayah terus memacuku dengan kasar. Aku lelah, aku lemah, namun ayah belum sedikitpun terlihat menyerah.

Hari ini aku berdiri menyaksikan tubuh ayah yang sudah mulai membusuk. Perutnya mulai mengembung mengeluarkan aroma yang memuakkan. Hari ini, kisah ayah sudah selesai. Namun, apa yang ayah bisikkan dua hari lalu saat memacuku, masih membuatku terpukul sampai saat ini. Hari itu, saat aku memohon ampun dengan sisa-sisa tenagaku, ayah berbisik;

“Maafkan ayah, Anhe. Semua ini seharusnya dipertanggungjawabkan oleh ibumu sendiri. Dia yang menyusun semua rencana ini bertahun-tahun lamanya. Dia yang memaksaku memperkosanya waktu itu. Dia yang membunuh kakekmu demi harta dan memalsukan kabar kematiannya. Dan dia juga yang menyerahkanmu padaku, sayang. Ibumu, Anhe. Ibumu! Ibumu hanya ingin aku dan kamu mati, agar dia bisa menikmati harta kakekmu dan hartaku sendiri. Ibumu pintar, Anhe. Dan kitalah korbannya.” ungkap ayah dengan suara tawa yang terdengar hampa. Terdengar amat getir. Ayah menangis? Apa yang ayah tangisi?

Untuk pertama kalinya aku mendengar ayah menangis dan memohon maaf padaku, namun tetap memacuku dengan kasar. Mendengar hal itu, aku menangis sejadi-jadinya . Ibu? Ibuku? Benarkah? Aku tidak lagi merasakan sakit fisik yang ayah berikan, aku kini hanya merasakan sakit hati yang teramat dalam setelah mendengar apa yang ayah katakana. Ibuku?

Di hari yang sama, setelah ayah menceritakan cerita pahit itu, aku tiba-tiba saja tidak merasakan rasa sakit apapun secara fisik. Hanya tersisa sakit yang tidak bisa aku gambarkan, terlalu sakit dan terlalu dalam. Aku mati di medan pacuanku. Aku mati saat ayahku mengendaraiku. Ayah tidak panik. Dia tersenyum, dan bahkan terlihat sangat senang. Dalam hati mungkin ayah mengatakan;

“saatnya kita pergi, Anhe.”

Kemudian ayah meminum sesuatu yang ia sudah siapkan di atas nakas. Ayah tiba-tiba saja lemas dan terbaring di sampingku. Kami mati di hari yang sama, di tempat yang sama, dan dengan keadaan yang ‘hina’. Sampai hari ketiga tidak ada yang menyadari kematian kami, hingga akhirnya terlihat ibu yang sedang berdiri di ambang pintu tengah menyunggingkan tersenyum puas yang dengan lihainya langsung dijadikan sebagai tangis dan teriakan histeris.

“Putriku dan suamiku telah mati dan menghianatiku!” teriaknya dengan isak tangis yang terdengar menyedihkan.

Iya. Semua orang melihat keadaanku dan ayah yang mati di atas kasur tanpa busana. Dan hari ini, di hari ke tiga ini, aku menyunggingkan senyum getirku melihat ibu. "Aku mencintaimu, Ibu. Tapi aku juga membenci ibu. Maukah ibu pertanggungjawabkan semua ini, Ibu? Tuhan sepertinya akan segera menawarmu dengan harga murah, setelah kau gadaikan anak dan suamimu dengan harga yang mahal."

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Thriller
Cerpen
Bawa Aku Terbang, Tuhan!
siti faizah
Novel
DJAHOEL
Hendra Wiguna
Novel
Gold
Into the Water
Noura Publishing
Novel
Ich bin (F*cking) CEO
Cantik Rizqy
Novel
Bronze
Budak Cacing
Omius
Novel
Bronze
Cinta Bersemi di Kolong Jembatan Miring
AndikaP
Flash
SENYUMIN AJA
Aston V. Simbolon
Novel
Bronze
CETIK
Bakasai
Flash
Bronze
Pembunuhan dibalik Truk Tengah Hutan
Silvarani
Flash
Sandiwara Berdarah
Allamanda Cathartica
Cerpen
Pengantin Bara
Vanillanil
Komik
Anak Cumi
Gideon Partogi panjaitan
Novel
Bronze
Hari Pertama Sekolah
Mario Matutu
Novel
Ritual Sugih Ni Putri Anjani
E. N. Mahera
Skrip Film
BOSS: 'Psyco Or Not' [SKRIP FILM]
Priki~
Rekomendasi
Cerpen
Bawa Aku Terbang, Tuhan!
siti faizah