Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Bab 1: Kedatangan di Rumah Tua
Udara Kendari di penghujung Juni terasa lembap, meski matahari telah beranjak ke barat. Amara menyesuaikan kacamata hitamnya, menatap lurus ke depan melalui kaca depan mobil sewaan yang berdebu. Pemandangan kota yang padat perlahan digantikan oleh hamparan sawah dan perbukitan hijau yang belum terjamah pembangunan. Setiap kilometer yang ia tinggalkan terasa seperti satu lapisan beban yang terlepas dari pundaknya. Depresi pasca-trauma akibat kecelakaan setahun lalu, yang merenggut nyawa adiknya, Maya, adalah beban tak kasat mata yang selama ini mencekiknya. Terapi dan obat-obatan hanya mampu menahan, bukan menyembuhkan. Jadi, ketika ia melihat iklan sewa rumah di sebuah website properti obscure, terpencil di pinggir kota Kendari, jauh dari keramaian dan hiruk pikuk, hatinya langsung terpaut. Ia butuh pelarian. Ia butuh isolasi. Ia butuh tempat untuk menyembuhkan dirinya sendiri.
Rumah itu berdiri di ujung jalan tanah berbatu, tersembunyi di balik rimbunnya pepohonan mahoni tua yang menjulang tinggi, seolah-olah enggan menampakkan diri pada dunia. Begitu Amara mematikan mesin mobil, kesunyian segera menyergap. Bukan kesunyian yang menenangkan, melainkan kesunyian yang terasa tebal, penuh rahasia, dan sedikit menyesakkan. Ia melangkah keluar, menyeret koper roda empatnya melintasi kerikil kasar. Aroma tanah basah bercampur dedaunan lapuk menyeruak, disusul bau apek dan debu dari rumah yang sepertinya sudah lama tak berpenghuni. Jantung Amara berdegup lebih kencang dari biasanya. Bukan karena lelah, tapi karena firasat aneh yang tiba-tiba muncul. Firasat itu terasa dingin, menusuk hingga ke tulang.
Rumah bergaya kolonial tua itu tampak megah sekaligus menyeramkan. Dindingnya yang dicat putih gading kini mengelupas di sana-sini, memperlihatkan noda lumut dan kehitaman. Jendela-jendela besar dengan kusen kayu usang tampak seperti mata kosong yang menatap Amara. Halamannya ditumbuhi ilalang setinggi pinggang, dan beberapa pohon kamboja tua berdiri tegak, dengan bunga-bunga putihnya berguguran di tanah, menciptakan karpet kematian yang cantik.
Amara membuka gerbang besi berkarat dengan suara derit panjang yang memekakkan telinga. Ia melangkah masuk, melewati serambi yang luas dan lapuk. Pintu utama, terbuat dari kayu jati tebal, terasa dingin saat ia menyentuhnya. Kunci yang dikirimkan pemilik melalui pos terasa aneh di tangannya, terlalu berat, seolah menyimpan bobot rahasia. Dengan satu tarikan napas dalam, Amara memasukkan kunci, memutarnya perlahan. Terdengar bunyi klik berat, dan pintu terbuka dengan derit yang serupa dengan gerbang, mengundang Amara masuk ke dalam kegelapan yang pekat.
Begitu masuk, bau apek yang lebih menyengat langsung menyerang indra penciumannya. Udara di dalam terasa pengap, dingin, dan lembap, meskipun di luar matahari bersinar terik. Amara menyalakan sakelar lampu, tapi tak ada yang terjadi. Ia merogoh ponselnya, menyalakan senter, dan sinarnya menyapu ruangan luas di depannya. Ruang tamu itu tampak muram, dengan perabot kuno yang diselimuti sarung putih, tampak seperti hantu-hantu yang membeku dalam waktu. Debu tebal menyelimuti setiap permukaan, menciptakan selimut kelabu yang suram.
Namun, satu hal yang langsung menarik perhatian Amara, bahkan dalam remang-remang senter ponselnya, adalah sebuah lukisan kuno yang tergantung di dinding paling mencolok. Lukisan itu berukuran besar, depicting seorang wanita dengan gaun panjang berwarna gelap, duduk di sebuah kursi beludru tua. Wajah wanita itu dipenuhi kesedihan yang mendalam, matanya cekung dan tampak menatap Amara dengan tatapan kosong, namun entah mengapa terasa begitu mengancam. Lukisan itu seolah-olah memiliki daya tarik yang aneh, menarik Amara untuk mendekat, meskipun rasa takut mulai merayapi hatinya. Ia merasakan bulu kuduknya berdiri. "Hanya imajinasimu, Amara," bisiknya pada diri sendiri, mencoba menenangkan kegelisahan yang tiba-tiba mencengkeram.
Ia menghabiskan sisa sore itu dengan membersihkan seadanya, membuka jendela-jendela untuk membiarkan udara segar masuk, meskipun hanya sedikit yang berhasil. Ia menemukan kamar tidur utama di lantai atas, yang cukup luas dengan kasur pegas tua yang tertutup seprai kusam. Ada kamar mandi dengan bak mandi porselen yang terlihat antik, namun bersih. Malam pertama itu, setelah lelah membereskan b...