Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Slice of Life
Batas Pacuan
1
Suka
34
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

"HIYYA! Ayo, Charles! Kita kalahkan si Monang dan Si Gale-Gale[1] itu! Maju terus, pantang madabu!" Domu dan Charles Star melewati aku dan Monang tanpa perlawanan. Aku sendiri hanya menyumbang tawa kecil, mencoba meniru Lindung yang tertawa lepas sendirian di bawah pohon jengkol yang tidak pernah berbuah setahun belakangan. Sore itu kami bersandiwara menjadi horseman gadungan. Aku menunggangi Monang, kuda poni lokal yang sama sekali tidak memiliki bakat balapan. Lain halnya dengan Domu; menjadi keponakan pengelola peternakan kuda kawakan di seluruh Siborongborong membuatnya terbiasa menunggangi Charles Star, kuda poni terlatih dengan postur lebih besar dari Monang. Jika dilihat dari rasnya, Charles Star dan Monang tidak terlalu berbeda: sama-sama jenis kuda poni lokal. Namun, aku yakin; perawatan ekstra menjadikan kuda yang bulunya lebih terang dari Monang itu memiliki tubuh yang lebih berotot.

"Heh, Sungguh! Apa benar, kau itu pahompu-nya Ompung Sorman?" tanya Domu saat aku berhasil menyusulnya, berhenti di dekat pohon jengkol tempat Lindung berteduh.

Aku menuruni Monang dan mengelus-elus pangkal hidungnya. "Kenapa? Kau mau membanding-bandingkan kami?" jawabku. Aku tidak pernah keberatan dipanggil Si Gale-Gale, tapi aku selalu merasa kesal dengan orang-orang yang membandingkanku dengan Ompung Doli. Orang tua itu memang pernah menjadi joki andalan se-Tapanuli Utara saat piala Pordasi masih menjadi rebutan di Pacuan Kuda Siborongborong. Namun, bukan berarti aku yang sebagai cucunya harus mewarisi bakat menunggang itu.

Domu ikut turun dan giliran Lindung yang menaiki Charles Star. Kakak beradik itu memang selalu bergantian saat berkuda. Paman mereka tidak ingin rugi karena meminjamkan dua kuda tanpa bayaran.

"Bekali-kali kubilang: jangan kau bawa si Monang ke pasar. Sekarang lihatlah, dia itu sudah jadi kuda ecek-ecek. Jalannya lembek dan mengkek."

Kulihat Monang menyundul-nyundulkan kepalanya ke telapak tanganku yang berhenti mengelusnya. Seolah menjadi bukti pembenaran ejekan Domu. "Kalau tidak kubawa ke pasar, tidak ada uang jajan di kantong. Omak pun makin yakin untuk menjualnya." Aku segera memelankan suara agar Monang tidak tersinggung mendengar perkataanku. "Kau tahu sendiri. Abangku di Medan lagi butuh biaya untuk PKL-nya," lanjutku.

"Ah, macam ada saja yang mau naik ke punggung si Monang." Domu menggeleng prihatin. Entah apa yang dia sayangkan. Apakah itu nasib si Monang, ataukah nasibku sendiri. Entahlah. Di sela pembicaraan mengenai perlakuanku terhadap Monang, langit mendung mengingatkan kami akan waktu. Sudah lebih tiga jam kami bermain bersama kuda kesayangan kami, menghabiskan waktu liburan kenaikan kelas di tanah lapang tepat di belakang peternakan kuda yang kini dikelola Uda Hobas, pamannya Domu dan Lindung. Tidak setiap hari aku datang ke sini karena di hari Selasa dan Sabtu aku harus ke pasar untuk memamerkan si Monang, berharap ada wisatawan yang menyewa Monang untuk berkeliling pasar. Namun, betul yang dikatakan Domu. Wisatawan Siborongborong semakin tidak tertarik menaiki kuda. Mereka cepat terpuaskan hanya dengan mengambil foto di samping kuda melalu kamera ponsel mereka. Aku sempat berpikir untuk menerapkan biaya setiap kali ada yang berfoto bersama si Monang, tapi ujung-ujungnya tidak tega.

Menyadari langit yang semakin gelap, kami segera bergegas masuk ke dalam peternakan. Domu dan Lindung mengembalikan Charles Star ke tangan Uda Hobas. Setelah itu, kami pulang dengan menggiring si Monang. Di sepanjang perjalanan, orang-orang menyapa ramah. Jika semua menatap Domu dengan bangga, lain halnya denganku. Aku tidak heran. Menjadi cucu dari Ompung Sorman Hutasoit membuatku terbiasa akan tatapan kagum sekaligus iba. Kagum karena Ompungku adalah legenda Silaitlait; iba karena tidak ada keturunannya yang mengikuti jejak Ompungku. Bapakku memilih menjadi supir bus antarkota. Katanya gaji menjadi supir bus lebih terjamin daripada menjadi supir kuda. Sementara paman-pamanku lebih memilih merantau ke kota. Tidak ada yang tertarik melanjutkan bakat berkuda. Meskipun begitu, aku tetap bangga. Ompung Doli adalah horseman sejati. Bahkan sampai usia lima puluhan pun dia tetap menunggang di jalur pacuan kuda. Julukannya adalah Soit Black karena kuda yang ditungganginya adalah jenis kuda berbulu hitam legam.

Di perjalanan pulang, kami melewati sebuah lapangan raksasa. Lapangan itu adalah kebanggaan penduduk Siborongborong, terutama desa Silaitlait. Langkah kami memelan ketika melewati pintu gerbang sederhana. Pandangan kami sama-sama terarah menembus ke dalam gerbang, menatapi satu-satunya fasilitas pacuan kuda di Sumatera Utara itu. Meskipun hanya melihat kekosongan, aku masih bisa melihat sebuah kenangan: ketika aku menonton pacuan kuda di umur enam tahun. Itu pertama kalinya aku menghadiri pacuan kuda. Saat itu, Soit Black menjadi joki andalan para penonton di sepanjang tribun. Mereka tanpa henti meneriaki nama ompungku, seperti mengisyaratkan sebuah kematian jika ompungku tidak menang. Tidak lama kemudian, aku baru menyadari kalau mereka adalah pejudi yang bertaruh atas nama Ompung. Ompungku sendiri terlihat gagah di atas kuda hitamnya, padahal usianya sudah lewat setengah abad. Meskipun tanpa peralatan yang lengkap, penonton tetap menganggapnya sebagai joki kelas atas.

Itu terakhir kalinya aku melihat ompungku berkuda karena setelah itu, dia tidak pernah berkuda lagi. Alasannya adalah orang tua itu meninggal lima bulan setelah pertandingan karena penyakit dalam. Semua orang bersedih kecuali diriku. Menurutku, Ompung termasuk beruntung karena tidak meninggal di arena pacuan kuda, mengingat banyak joki yang menjadi korban akibat kurang memadainya fasilitas di Pacuan Kuda Siborongborong.

Sekarang, pacuan kuda tidak seramai dulu. Pertandingan hanya dilaksanakan setahun sekali saat peringatan kemerdekaan RI. Itu pun pesertanya bisa dihitung jari.

"Kau udah daftar Hoda Marsiadu bulan depan?" tanyaku kepada Domu saat kami sudah jauh dari lapangan raksasa itu. Domu adalah peserta tetap di acara Pacuan Kuda setiap 17 Agustus sejak dia berumur 13 tahun. Prestasi terbaiknya adalah juara tigaa di kelas 1600 meter dua tahun yang lalu—saat itu kami masih kelas 3 SMP.

"Mana perlu aku daftar-mendaftar. Sudah menjadi hukumnya Domu Nababan dan Charles Star ikut berperang di Hoda Marsiadu," jawab Domu dengan lantang.

"Kalau kau, Sungguh? Masih ciut nyalimu itu? Apa salahnya kau teruskan gelar ompungmu itu?" Lindung balik bertanya saat kami tiba di depan rumah sederhana milik keluarga Nababan. Rumahku sendiri harus masuk gang di seberang.

Siapa bilang nyaliku ciut? Kalian tidak sadar, untuk apa aku berlatih di tempat Uda Hobas seminggu ini?" Tanpa menunggu jawaban, aku meninggalkan Nababan Bersaudara yang masih linglung mencerna pertanyaanku. Ada senyum puas yang tebersit di wajahku. Tekatku sudah bulat. Akan kupatahkan pandangan rendah orang-orang terhadapku. Kuelus punggung si Monang dan bergumam, "Monang, kita pasti bisa menang."

***

"Heh! Sudah kubilang dari dulu, jangan kau ikuti jejak ompungmu. Jangan berani-beraninya kau bawa si Monang ikut Hoda Marsiadu. Dia itu kuda untuk disewa di Pasar, belum telatih untuk diajak balapan. Lagian mana ada kuda tua bisa menang." Seruan lantang ibuku menjadi penutup makan malam di ruang tengah keluarga Hutasoit. Adik perempuanku yang masih SD hanya diam sembari menyapu butiran-butiran nasi yang menempel di atas tikar.

"Omak pernah janji: kalau aku sudah masuk SMA, aku boleh bawa si Monang ikut Hoda Marsiadu. Mana janji itu?" Dengan berani, aku mencoba menagih janji yang pernah diucapkan ibuku dulu. Sewaktu kecil, aku memang pernah mengutarakan hasrat untuk menjadi joki di Hoda Marsiadu, tapi ibuku melarang. Katanya aku masih terlalu kecil untuk ikut balapan kuda.

"Kubilang tidak, tetap tidak. Jangan lagi kau bawa si Monang ke tempat si Hobas." Ibuku masih menentang sembari menyiapkan gula merah untuk isian Ombusombus.

"Bah, biarlah. Biar si Monang dibawa ke tempat si Hobas. Mana mungkin dia di kandang terus." Bapakku yang masih menggunakan seragam supir bus antarkota akhirnya ikut membelaku. Kancing seragamnya sengaja dibuka semua karena terasa sesak akibat perutnya yang semakin buncit, terisi nasi. Pembelaan itu membuat ibuku berhenti mengiris gula merah dan menatap Bapak dengan geram.

"Macam mana kau ini. Si Monang itu harus dijual ke Dolok Sanggul, selagi daging kuda lagi mahal di sana. Kau pikir dari mana lagi uang untuk PKL si Pintor? Kau pikir cukup gajimu itu? Bayar kamar kosnya saja harus kutambah dari jualan Ombusombus."

Terhenti sudah suara sapuan sapu ijuk di permukaan tikar. Adikku sudah selesai menyapu dan sekarang memilih sibuk di kamar. Aku sendiri tidak ingin malam ini berakhir dengan adu mulut kedua orangtuaku.

"Kalau si Monang mau dijual, bisa diundur setelah Hoda Marsiadu selesai," usulku kemudian.

"Kau pikir PKL abangmu bisa diundur?" Ibuku malah balas bertanya. Setelah itu, aku hanya berani diam. Rasanya ingin marah, tapi itu bukan hakku. Monang adalah kuda milik keluarga Ompung Sorman Hutasoit; bukan milik Sungguh Hutasoit, pelajar SMA yang lembek seperti Si Gale-Gale. Jadi, aku hanya bisa diam tanpa melawan.

***

Larangan ibuku tidak menyurutkan niat untuk membawa Monang ke jalur pacuan kuda. Bagiku, selama si Monang belum laku terjual, aku tetap memiliki hak untuk menggunakannya. Seperti biasa, setiap siang aku membawanya ke tanah lapang di belakang peternakan. Uda Hobas pun tidak jarang mengajariku beberapa teknik berkuda. Domu dan Lindung masih setia mentertawakanku tatkala Monang tersadung batu. Meskipun begitu, aku tetap bisa merasakan kobaran api yang meledak-ledak ketika berhasil menunggangi Monang melewati gundukan-gundukan tanah berumput kasar. Bayangan Ompung Doli di lintasan pacuan kuda kembali menghantui. Namun, kini wajah garang ompungku itu terganti menjadi wajah ambisius milik Sungguh Hutasoit. Berhari-hari berlatih, membuatku yakin untuk bisa menembus lintasan pacuan kuda di 17 Agustus nanti.

Sayang, gairah itu seketika padam tepat di tiga minggu sebelum hari pertandingan. Malam itu sisa jatah tidurku masih ada tiga jam lagi. Suara berisik jangkrik ternoda dengan grasah-grusuh di halaman belakang rumah; menjadi sebuah alarm yang berhasil mengusik tidurku. Menyadari bahaya yang mengancam, aku turun dari tempat tidur dan secepat kilat melangkah menuju dapur. Percakapan dengan suara rendah tidak berhasil ditangkap telingaku. Namun, intuisiku menyadari apa yang tengah terjadi. Aku tidak berani melangkah lebih jauh. Di balik celah jendela kayu yang menghadap tepat ke kandang kuda, tampak jelas dua pria sedang mengikat muncung si Monang. Sementara itu, ibuku membantu menenangkan kuda di hadapannya. Aku menggeram marah ketika menyadari dua pria itu adalah Bapak dan Uda Hobas. Jelas sekali, hanya Uda Hobas yang mengerti permasalahan jual-beli kuda di kampung ini.

Sekali lagi, aku hanya bisa diam. Monang bukanlah milik Sungguh Hutasoit. Kuda itu milik keluarga Ompung Sorman Hutasoit. Meskipun berhasil menahan amarah, aku tetap tidak mampu menahan kecewa. Air mataku tanpa henti mengalir saat melihat si Monang digiring menuju mobil pickup di depan rumah. Kali ini kuakui: aku memang seorang pecundang. Laki-laki lemah yang hanya bisa menyaksikan kepergian kuda kesayangannya dari jendela kamar sambil meratapi kegagalan untuk mengikuti Hoda Marsiadu; dan memilih kembali tidur dengan harapan tidak pernah bangun lagi.

***

"Bang Sungguh! Bangun kau!"

Aku kenal betul pemilik suara itu. Adikku sedang mencoba membangunkanku. Aku menarik selimut dengan cepat, menutupi tubuh sampai kepala. Sudah dua hari terlewati semenjak kepergian Monang. Tidak ada lagi alasan untuk bangun di pagi hari.

"Bang Sungguh! Bangun! Ada si Domu di depan."

"Suruh dia pulang," sahutku dari balik selimut. Sesaat tidak terdengar lagi usahanya untuk membangunkanku. Aku pikir mereka telah menyerah, tapi aku salah.

"Hoy, Sungguh! Memang benarlah kau ini Si Gale-Gale."

Bukan suara perempuan yang kini terdengar, melainkan suara besar milik Domu. Dengan sekali hentakan, kubuang selimut ke lantai. Aku terpaksa bangun dan bersandar di dinding tempat tidurku. "Ribut kali kau, Domu! Bukan rumahmu ini!" seruku dengan tatapan garang.

"Ah, cengeng kali pun kau. Memang ciut nyalimu. Hanya karena si Monang dijual, jadi cengeng begini kau."

Aku menduga-duga apakah Domu masih bisa berkata seangkuh itu jika Charles Star bernasib sama seperti si Monang. Domu tidak berniat menghentikan olokannya. Laki-laki tegap itu kini memilih duduk di tepi tempat tidur.

"Sekarang kutanya samamu. Sebenarnya kau mau apa? Kau mau jadi joki seperti ompungmu atau kau hanya mau si Monang ikut Hoda Marsiadu?" Muka tegas Domu terlihat semakin beringas.

Aku mencerna pertanyaannya lalu teringat saat Ompung memperkenalkanku dengan seekor anak kuda poni. Saat itu umurku baru lima tahun, Ompung sengaja membeli kuda jantan itu untuk dipelihara. Aku sangat senang karena untuk pertama kali bisa menaiki seekor kuda meski harus digendong untuk bisa sampai ke punggung kuda.

"Aku pernah berjanji ke Ompung untuk membawa si Monang ikut lomba," ucapku dengan sendu.

"Kalau begitu, mentalmu belum mental joki! Ompungmu pasti lupa memberitahu kalau seorang joki harus bisa bertanding dengan kuda mana pun."

"Apa sebenarnya masksudmu? Kau mau menghinaku?"

"Aku kasih kau kesempatan." Domu menurunkan nada suaranya, tapi masih menatapku garang. "Adikku Lindung tidak jadi ikut karena dia dipaksa menemani Omak pulang kampung. Jadi, kau boleh pakai si Charles di nomor 1000 meter, menggantikan Lindung."

Aku baru teringat kalau Nababan Bersaudara sama-sama memakai Charles Star di dua kelas berbeda. Lindung di kelas 1000 meter, sementara Domu di kelas yang lebih mahir. Aku menimbang tanpa mengalihkan pandangan dari wajah Domu. Setelah melihat kesungguhan di mata sahabatku itu, akhirnya kuterima tawarannya. Tanpa berniat mandi, aku langsung mengikuti Domu menuju peternakan.

***

"Bah, masih latihan marhoda kalian?" Uda Hobas yang sedang memberi makan kuda menyambut kedatangan kami.

"Masih, Uda. Biatr jadi juara di Hoda Marsiadu," jawab Domu dengan yakin.

"Bah, belum tahu kalian kabar itu?" Uda Hobas menatap kami, heran.

"Kabar apa, Uda?" tanyaku penasaran. Apalagi setelah menyadari wajah khawatir Uda Hobas yang kini menggaruk gelisah rambut keritingnya.

"Jadi, kalian tidak lewat lapangan tadi?"

Aku menggeleng. "Kami lewat jalan kecil karena tidak bawa kuda."

Uda Hobas takut-takut bersuara, tetapi Domu ikut-ikutan memaksanya memberi penjelasan.

"Tahun ini, Hoda Marsiadu ditiadakan." Uda Hobas akhirnya bersuara. Aku dan Domu serentak berseru tidak percaya. "Pejabat-pejabat itu sekarang membuat lapangan pacuan kuda menjadi trek pengendara motorcross," lanjut Uda Hobas, meyakinkan kami.

"Motorcross? Apa itu?" tanya Domu. Aku bisa melihat kemarahan dari kedua tangannya yang terkepal.

"Kalian tengoklah di lapangan. Lagi latihan orang itu di sana."

Tanpa bertanya lagi, aku dan Domu berlari menuju lapangan raksasa kebangaan penduduk Siborongborong.

***

Belum sampai di pintu gerbang, suara deru mesin menyambut kami. Di pinggir jalan sangat ramai anak-anak yang mengintip penasaran. Melihat itu, kami mempercepat langkah, tidak sabar menyaksikan alasan dibatalkannya Hoda Marsiadu. Di dalam, keramaian kembali menyambut kami. Orang-orang sudah memadati tribun. Tidak sedikit yang berdiri-diri di tepi jalur pacuan. Banyak bendera minuman berenergi berkibar; tertancap dan tersebar di bagian tengah lapangan. Aku tertegun melihat orang-orang yang berpacu di lintasan. Mereka berbeda dari joki-joki yang pernah aku tonton sebelumnya. Bukan kuda biasa yang mereka tunggangi, melainkan jenis kuda besi bermesin dan memiliki roda.

"Jadi ini yang namanya motorcross?" Domu bertanya pada dirinya sendiri. Aku tidak menjawab karena masih tertegun dengan pemandangan di hadapanku. Kaki-kaki kuda sudah diganti dengan ban-ban bergerigi ngeri. Dengusan kuda sudah berganti menjadi deru mesin dan ribut knalpot. Orang-orang mungkin menganggapnya sebagai hiburan yang lebih modern; tapi bagiku, nasib lapangan di hadapanku sama seperti nasib si Monang: telah kehilangan nyawa.

***

[1] Si Gale-Gale: patung kayu dari tanah batak yang dapat digerakkan (seperti menari-nari) menggunakan tali tersembunyi. Gale sendiri artinya lemah, lesu, dan lunglai.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi dari Slice of Life
Cerpen
Batas Pacuan
Kopa Iota
Cerpen
Catatan Harian Pak Treng
Rafael Yanuar
Cerpen
Gara-gara Jemuran Tetangga
Ais Aisih
Cerpen
Bronze
Kembalikan Senyum Ibu
Anggrek Handayani
Cerpen
Bronze
Maghdiraghar Nyurathala
JWT Kingdom
Cerpen
JANGAN REBUT SENJA TERAKHIRKU
Rian Widagdo
Cerpen
Ucup Si Programmer
Saputra
Cerpen
Bronze
Pekerja Kontrak
Karlia Za
Cerpen
Bronze
Juru Kunci Makam yang Tertangkap KPK
sri wintala achmad
Cerpen
Bronze
Takut Keluar Rumah
F. Chava
Cerpen
Pergi Melaut, Tak Kembali
HIJACKED LIBRARY
Cerpen
Indahnya Surga di Telapak Kaki Ibu
LISANDA
Cerpen
Keseharian Yang Begitu Biasa
arkanaka
Cerpen
Topeng Keindahan
Cicilia Oday
Cerpen
Semar Mendem
hyu
Rekomendasi
Cerpen
Batas Pacuan
Kopa Iota