Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Angin malam bertiup dari arah sawah yang dulu jadi tempat bermain masa kecilku. Bau lumpur dan rumput basah yang harum itu masih sama seperti dulu, tapi sekarang tercampur bau solar dari truk-truk bajingan itu. Aku berdiri di atas jembatan tua ini—jembatan yang dulu aku lewati tiap hari pas sekolah—dengan tangan diikat ke belakang. Kabel listrik kasar melilit leherku, diikatkan ke balok kayu yang udah lapuk.
Namaku Darmo. Empat puluh tahun aku hidup di kampung ini, kulitku legam terpanggang matahari sawah. Wajahku konon terlihat keras—orang bilang begitu—tapi mataku masih punya kelembutan seorang bapak. Atau, setidaknya dulu begitu. Sekarang kelembutan itu sepertinya sudah tidak berguna.
Ada sekitar lima-enam laki-laki berbadan tegap mengelilingiku. Beberapa merokok sambil tertawa dingin. Aku kenal mereka, preman bayaran perusahaan tambang pasir pembawa petaka di kampungku.
"Sudah waktunya," kata salah satu dari mereka dengan suara serak. "Biar jadi contoh buat warga lain. Jangan ada lagi yang coba-coba melawan."
Aku diam saja. Lidahku kelu. Bukan karena takut, tapi karena amarah yang membeku di dada. Mataku menatap air sungai di bawah yang mengalir deras, penuh sampah plastik serta sisa-sisa kerukan pasir. Dulu sungai ini jernih. Dulu anak-anak kampung mandi di sini, emak-emak mencuci sambil bergosip, sementara bapak-bapak mancing.
Sekarang sungai ini sudah mati. Dan malam ini, aku bakal menyusul.
Seseorang menutup mataku memakai kain kotor bau solar. Dunia jadi gelap, tapi justru di dalam kegelapan ini kenangan-kenangan paling indah hidupku berkilauan, tak kalah dengan kunang-kunang. Kabel di leherku perlahan mengencang. Dalam gelap aku mendengar lolongan anjing kampung.
Hidupku bakal berakhir di sini.
Beberapa bulan yang lalu, aku masih berstatus orang paling berisik. Lantang aku menentang penambangan pasir di kampung ini. Aku bukan tipe pemimpin, cuma petani biasa. Setiap pagi sehabis menggarap sawah, aku keliling kampung, mengajak warga buat melawan. Suaraku bergetar saat berorasi. Bukan karena takut, tapi karena cinta yang dalam pada tanah kelahiranku.
Aku minta tanda tangan warga dalam surat protes yang kukirim ke bupati. Surat yang mungkin tak pernah dibaca, atau malah langsung masuk tempat sampah. Aku tak menyerah, langsung orasi di depan kantor kecamatan, berusaha mengetuk nurani para pejabat yang tertidur dalam kemewahan mereka.
Gagal. Aku sempat frustrasi, sampai-sampai pernah nekat, menghadang truk pasir menggunakan badanku sendiri. Tapi, keberanian tanpa strategi itu selayaknya api tanpa kayu bakar, lekas padam.
Suatu malam, sewaktu aku duduk di warung kopi dekat pasar, seorang pria asing tiba-tiba mendatangiku. Mukanya pucat bak mayat hidup, bajunya compang-camping, matanya berkilat. Sayangnya aku waktu itu tidak sadar jika itu hanya kilat kepalsuan.
Dia mengaku warga desa sebelah. Dia bercerita kalau dirinya menderita gara-gara sungai yang rusak. Cerita yang disusunnya rapi, seperti jaring laba-laba yang menunggu mangsa.
"Kalau jembatan tua itu runtuh," katanya pelan, seperti berbisik. "Truk-truk tambang ga bisa lewat. Operasi mereka lumpuh total. Kalau berani, bakar aja alat berat mereka. Itu cara tercepat ngakhirin penderitaan kita."
Aku mendengarnya, bersama hati yang terbakar amarah. Setiap kata yang keluar dari mulutnya sudah seperti bensin yang disiram ke api. Aku tahu itu berisiko, bahkan mungkin bunuh diri, tapi amarah pada perusahaan yang sudah menghancurkan kampung telah menumpulkan akal sehatku. Aku terprovokasi olehnya.
Malam berikutnya, dengan jantung berdebar bak genderang perang, aku menyambangi lokasi tambang. Tanganku menggenggam satu jerigen bensin. Langkah kakiku terasa berat, bukan karena beban jerigen, tapi karena beban keputusan yang bakal mengubah hidupku selamanya.
Baru beberapa langkah, suara sepatu berderap terdengar mengitariku. Senter-senter menyilaukan pandangan mataku, diikuti kemudian dengan tangan-tangan kasar yang menyeretku.
Mereka menangkapku.
Aku baru menyadari telah termakan umpan panas lelaki asing itu. Dia tak lebih mata-mata yang diutus untuk memancingku masuk perangkap. Aku ternyata tak lebih sekedar bidak yang akan dikorbankan dalam catur politik.
Sekarang di jembatan ini, para preman udah siap bertugas sebagai algojo. Udara malam terasa lebih dingin dari biasanya, atau mungkin hanya perasaanku saja mengingat maut sudah mendekat. Salah satu dari mereka, mukanya terlihat serupa tengkorak di bawah cahaya bulan. Dia menendang kotak kayu di bawah kakiku.
Badanku terjerembab ke depan, gravitasi menarikku ke kematian. Kabel mencekik leherku, memotong pasokan aliran darah bersama oksigen. Sakit luar biasa lantas menyambar seluruh tubuhku, selayaknya ribuan pisau menusuk secara bersamaan. Dunia berputar dengan kecepatan mengerikan.
Dalam detik-detik yang serasa keabadian, pikiranku melayang ke masa lalu. Senyum Sari waktu pertama kali ketemu, tangisan pertama Raka saat lahir ke dunia, tawa kami bertiga saat bermain di halaman rumah. Semua kenangan indah itu terus berputar menyerupai film.
Tapi, tiba-tiba—dengan suara miris ala tangisan putus asa—kabel itu putus. Mungkin karena sudah terlalu tua dan lapuk, atau mungkin juga telah muncul kekuatan lain yang melindungiku. Badanku terasa terjun bebas ke sungai.
Air dingin keras menghantam mukaku. Aku tenggelam dalam kegelapan air keruh. Dengan sisa kekuatan aku meronta ke permukaan. Paru-paruku terbakar saat berkesempatan menghirup udara lagi. Tanganku masih terikat, tapi entah kenapa ikatan itu terasa longgar, cukup untuk menggerakkan lenganku.
Peluru kemudian beterbangan di atas air. Para preman teriak panik. Aku membalikkan badan, membiarkan arus deras menyeret tubuhku menjauh dari jembatan kematian itu. Aku merasakan peluru lewat di samping telinga, mendengar suara peluit. Tapi, semakin lama suara-suara itu semakin memudar, seperti mimpi buruk yang mulai terlupakan.
Aku lolos dari cengkeraman maut.
***
Sungai menyeretku sampai ke tepian hutan bambu yang gelap. Dengan sisa-sisa tenaga, aku merangkak naik ke darat. Badanku penuh luka dan lumpur macam prajurit yang baru keluar dari medan perang. Tiap tarikan napas terengah-engah, tiap langkahku seperti ditusuk jarum panas.
"Harus pulang," bisik hatiku. Kata-kata itu jadi mantra yang memberiku kekuatan. "Harus ketemu Sari sama Raka."
Sari, istriku hanyalah perempuan sederhana. Dia adalah cahaya dalam kegelapan hidupku. Sementara Raka tak lain anakku yang masih tujuh tahun. Bocah laki-laki yang terlalu polos untuk mengetahui kekejaman dunia ini. Bayangan muka mereka menari-nari di kepalaku, menjadi api yang menyalakan langkah kakiku yang goyah.
Aku berjalan menembus hutan bambu yang berbisik-bisik dalam angin malam. Suara serangga malam bersama gesekan daun-daun kering, menjadi musik alam yang mengiringi perjalanan pulangku. Langkah kakiku goyah seperti pemabuk, dunia di sekelilingku berputar dan kabur. Tapi, aku terus melangkah maju bersama tekad baja.
Di langit, bulan setengah menggantung terlihat pucat, Hanya memberi sedikit cahaya untuk menerangi perjalananku. Sesekali aku menoleh ke belakang, khawatir para preman tengah mengejarku. Tapi, hutan tetap sepi. Hanya diriku bersama bayangan panjang badanku di tanah basah berembun.
Perjalanan berasa sangat lama, seolah aku tengah berjalan melintasi waktu itu sendiri. Leherku masih perih terasa, seakan hantu kabel masih mencekikku dari alam gaib. Tiap kali menelan ludah, tenggorokanku serasa menelan pecahan kaca, pedih. Kepalaku berdenyut tak beraturan, mataku kabur macam tertutup asap.
Anehnya, justru dalam keadaan setengah sadar ini, aku merasakan semuanya dengan sangat kuat. Bau tanah basah khas sehabis hujan, dinginnya embun di rumput yang menggelitik telapak kaki telanjangku, suara burung hantu yang menyahut dari kejauhan macam arwah tengah mengobrol.
Di tengah perjalanan, tepatnya sewaktu langkah kakiku mulai terseok-seok, aku tiba-tiba merasakan sentuhan tangan hangat di pundak, lembut sekali. Cepat aku menoleh. Tiada siapa-siapa. Hanya rumpun bambu bergoyang tertiup angin.
"Mungkin roh leluhur," pikirku. "Mungkin arwah Bapak yang sudah meninggal lagi nuntun anaknya pulang."
Akhirnya, setelah perjalanan yang terasa seumur hidup lamanya, aku berhasil keluar dari hutan gelap itu. Di depanku terbentang sawah luas yang disinari cahaya bulan. Permukaan air di sawah tampak berkilauan seperti bintang-bintang di langit. Di seberang sawah, berdiri rumah panggung sederhana dengan lampu petromaks yang menyala hangat di beranda.
Rumahku.
Air mataku menetes tak terbendung, bercampur keringat dan lumpur di muka. Kupercepat langkahku meski kakiku sudah terasa lumpuh, didorong kerinduan yang membakar di dada.
Beranda rumahku sudah serasa beranda dalam mimpi terindah. Di sana Sari tampak berdiri memakai kebaya lusuh. Mukanya sendu, tapi hangat. Di sampingnya, Raka tengah melambai-lambaikan tangan kecilnya. Senyumnya polos menyerupai fajar yang baru terbit.
"Ayah!" teriak anak itu, suaranya sejernih lonceng.
Aku terisak, menangis. Tangis seorang pria yang baru saja melihat kematian dari dekat, lantas bertemu lagi dengan makna hidup. Aku berlari dengan kekuatan terakhir, meraih mereka dengan kedua tangan yang gemetar. Jari-jariku hampir menyentuh tubuh Sari yang hangat...
Tiba-tiba dunia bergetar aneh, menakutkan. Udara berganti hitam pekat macam tinta tumpah ke seluruh alam semesta. Suara serangga lenyap seketika, berganti keheningan yang memekakkan. Rumah, sawah, Sari, Raka semuanya pecah berkeping-keping, serupa bayangan kaca yang ditimpa palu.
Gelap total.
Dan di detik yang membekukan waktu itu terungkaplah kebenaran pahit. Badanku ternyata masih tergantung di jembatan tua. Kabel listrik masih melilit erat leherku. Mukaku pucat pasi, lidahku terjulur, mataku terbelalak menatap kekosongan.
Semua pelarianku—pulang ke rumah, pelukan Sari, tawa Raka—cuma bayangan terakhir otakku yang kehabisan oksigen, halusinasi indah yang tercipta pikiran bawah sadarku sebelum napasku bener-bener berhenti untuk selamanya.
Angin malam masih bertiup dari arah sawah, membawa bau lumpur dan rumput basah. Tapi, kali ini angin itu juga membawa aroma kematian. Aroma seorang pejuang yang telah kalah melawan keserakahan manusia.
Di kejauhan sana, anjing-anjing kampung masih melolong, seolah tahu saat ini ada satu yang berubah di dunia ini. Satu suara yang hilang, satu nyawa yang padam, satu mimpi yang mati bareng tubuh yang tergantung di bawah bulan setengah.
ooo