Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Slice of Life
Basket
1
Suka
19
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Langit sore di SMP Bhakti Muda berpendar jingga, melukis langit dengan keindahan yang hampir menenangkan. Tapi bagi Lea, sore itu jauh dari tenang. Ia menatap lapangan basket di hadapannya dengan cemas. Pertandingan antar-kelas yang akan digelar besok telah membuatnya gelisah selama seminggu terakhir.

“Kamu yakin kita bakal menang?” Lea bertanya pada Jiro, teman sekaligus kapten tim basket putra kelas 8.

Jiro, yang duduk di bangku kayu sambil mengikat tali sepatunya, menoleh santai. “Kalau aku sih yakin. Pertanyaannya, kamu yakin nggak sama dirimu sendiri?”

Lea mendesah. Ia tahu Jiro suka memprovokasi, tapi ia tidak punya energi untuk membalas.

“Lea, masalahnya itu bukan di lawan. Masalahnya di pikiranmu sendiri. Kalau kamu terus-terusan takut, gimana mau main bagus?” Jiro menambahkan, kali ini lebih serius.

Lea hanya menunduk. Ia tahu Jiro benar. Tapi rasa cemas itu seperti bayangan yang terus mengikutinya.

Lea dan Jiro bukanlah teman biasa. Persahabatan mereka dimulai di awal kelas 7, saat keduanya tidak sengaja bertabrakan di lapangan basket.

Kala itu, Lea yang baru mencoba bermain basket tanpa sengaja menjatuhkan bola ke kepala Jiro yang sedang berjalan.

“Woi, hati-hati!” seru Jiro sambil memungut bola itu.

“Maaf!” Lea buru-buru meminta maaf.

“Mainnya nggak lihat-lihat, ya?” ujar Jiro dengan nada ketus. Tapi kemudian, ia melihat wajah Lea yang tampak sangat menyesal, dan sikapnya melunak. “Udah, nggak apa-apa. Kamu baru belajar main basket?”

Lea mengangguk. “Iya. Aku masih belum ngerti cara mainnya.”

Jiro tersenyum kecil. “Kalau gitu, aku ajarin.”

Sejak saat itu, Jiro sering membantu Lea berlatih di lapangan sepulang sekolah. Awalnya, Lea merasa kesal karena Jiro sering mengejek kemampuannya. Tapi lambat laun, ia menyadari bahwa Jiro hanya ingin membuatnya berkembang.

“Lea, jangan cuma lari-lari aja. Kamu harus belajar kontrol bola,” ujar Jiro suatu hari.

“Tapi aku nggak bisa!” balas Lea kesal.

“Makanya belajar. Kalau kamu terus bilang nggak bisa, kapan bisanya?”

Lea mendengus, tapi tetap mencoba. Dan ketika ia akhirnya berhasil mencetak tembakan pertamanya, Jiro bersorak lebih keras daripada dirinya sendiri.

Kembali ke masa kini, Lea mencoba mengingat kembali pelajaran yang diajarkan Jiro. Tapi pikiran tentang pertandingan besok tetap membuatnya gelisah.

Di sisi lain lapangan, Jiro sedang memimpin tim putranya berlatih. Ia berteriak memberi arahan, sesekali menunjukkan teknik baru.

“Jiro itu memang nggak pernah serius kecuali kalau soal basket,” gumam Dira, teman satu tim Lea.

“Iya,” balas Lea singkat.

“Eh, kenapa kamu diam aja? Biasanya kamu yang paling cerewet soal Jiro,” goda Dira.

Lea hanya tersenyum tipis. Ia terlalu sibuk dengan pikirannya sendiri untuk menjawab.

Latihan sore itu berjalan cukup baik, meskipun Lea merasa ia masih jauh dari siap. Setelah selesai, ia duduk di pinggir lapangan sambil memandangi bola basket di tangannya.

“Lea, kok bengong?” suara Jiro membuatnya tersentak.

“Nggak apa-apa,” jawab Lea pelan.

Jiro duduk di sebelahnya. “Denger ya, Lea. Kamu udah latihan keras. Jangan biarkan rasa takut merusak semuanya.”

Lea menatap Jiro. “Gimana kalau kita kalah?”

“Ya udah, kalah aja. Terus kenapa? Kalah itu bukan akhir dunia. Yang penting, kamu udah berusaha semaksimal mungkin.”

Kata-kata Jiro sederhana, tapi entah kenapa, itu cukup untuk membuat Lea merasa sedikit lebih tenang.

Keesokan harinya, suasana sekolah sangat ramai. Lapangan basket dipenuhi oleh siswa-siswa yang bersemangat menonton pertandingan.

Lea dan timnya mengenakan seragam olahraga biru, berdiri di pinggir lapangan sambil menunggu giliran bertanding. Di sebelahnya, Jiro memberikan arahan terakhir kepada tim putranya.

“Lea, semangat ya. Aku yakin kamu bisa,” kata Jiro sebelum berjalan menuju bangku penonton.

Lea mengangguk. Meski gugup, ia bertekad untuk memberikan yang terbaik.

Pertandingan pertama dimulai dengan tempo cepat. Tim lawan, yang terdiri dari anak-anak kelas 9, langsung menunjukkan dominasinya. Tapi tim Lea tidak menyerah.

Lea berlari, mengoper bola dengan hati-hati, dan mencoba mencetak poin. Meski beberapa kali gagal, ia terus mencoba.

Di bangku penonton, Jiro berteriak memberikan semangat. “Ayo, Lea! Jangan menyerah!”

Pada babak kedua, Lea mulai menemukan ritmenya. Ia berhasil mencetak beberapa poin penting, membuat timnya hampir menyamakan kedudukan. Namun, pada detik-detik terakhir, tim lawan berhasil mencetak poin kemenangan.

Meski kalah, Lea merasa lega. Ia tahu bahwa ia telah memberikan yang terbaik.

Setelah pertandingan, Lea duduk sendirian di bangku kayu, memandangi langit senja yang mulai berubah warna.

“Kamu udah main bagus,” kata Jiro yang tiba-tiba muncul di sebelahnya.

“Tapi kita tetap kalah,” balas Lea lesu.

“Menang atau kalah itu nggak penting. Yang penting, kamu udah berusaha sekuat tenaga. Itu yang bikin kamu hebat.”

Lea menatap Jiro dan tersenyum kecil. “Makasih, Jiro.”

“Udah, jangan terlalu dipikirin. Sekarang waktunya kita fokus ke pertandingan tim putra. Kamu kan mau lihat aku menang?”

Lea tertawa. “Pede banget.”

“Ya iyalah,” jawab Jiro sambil berdiri.

Meskipun hari itu tidak berjalan sesuai harapan, Lea merasa bersyukur karena memiliki teman seperti Jiro. Baginya, persahabatan mereka lebih berharga daripada sekadar kemenangan di lapangan.

Setelah pertandingan putri selesai, giliran tim putra memasuki lapangan. Sorak-sorai siswa semakin menggema ketika Jiro dan timnya berjalan menuju tengah lapangan. Seragam putih mereka tampak kontras dengan lapangan beton yang keabu-abuan.

Lea, yang kini duduk di barisan depan bersama teman-temannya, tak bisa menyembunyikan rasa gugup. Meskipun Jiro selalu terlihat percaya diri, Lea tahu bahwa tekanan yang ia rasakan tidak kalah besar.

“Jiro pasti bisa,” gumam Lea kepada dirinya sendiri.

Peluit ditiup, dan pertandingan dimulai. Dari detik pertama, Jiro langsung menunjukkan kemampuannya. Ia menggiring bola dengan lincah, melakukan operan cepat, dan bahkan mencetak poin pertama untuk timnya.

“Ayo, Jiro! Teruskan!” teriak Lea dari pinggir lapangan.

Pertandingan berjalan ketat. Tim lawan, yang juga berasal dari kelas 9, tidak mau kalah. Mereka beberapa kali memblokir tembakan Jiro, memaksanya mencari strategi lain.

Lea memperhatikan dengan cermat, mencatat setiap gerakan Jiro. Meskipun ia kalah tadi, ia merasa bisa belajar banyak dari cara Jiro bermain.

Di babak kedua, skor masih imbang. Suasana lapangan semakin tegang, dengan sorakan penonton yang tidak berhenti. Ketika Jiro berhasil mencetak tembakan tiga angka pada menit-menit terakhir, Lea ikut melompat kegirangan.

Namun, pada detik-detik terakhir, tim lawan melakukan serangan balik yang membuat semua orang menahan napas. Bola meluncur ke arah ring, tetapi... meleset!

Peluit panjang berbunyi, menandakan pertandingan berakhir. Tim Jiro menang dengan skor tipis.

Usai pertandingan, Jiro dikerubungi teman-temannya yang memberi selamat. Lea menunggu sampai kerumunan itu bubar sebelum menghampirinya.

“Hebat, kapten,” ujar Lea sambil tersenyum lebar.

Jiro mengusap lehernya dengan handuk. “Thanks. Tapi timku menang juga gara-gara aku dapat dukungan dari penonton setia.”

Lea tertawa kecil. “Jadi aku penyemangatmu, ya?”

“Bisa dibilang begitu,” jawab Jiro sambil mengedipkan mata.

Setelah itu, mereka berjalan bersama menuju kantin untuk merayakan kemenangan kecil itu. Lea memesan es teh, sementara Jiro memilih jus jeruk.

“Pertandingan tadi bikin aku sadar,” kata Lea tiba-tiba.

“Sadar apa?” tanya Jiro.

“Kalau aku masih harus banyak belajar. Cara kamu main tadi... itu beda banget sama aku. Kamu nggak cuma mengandalkan kemampuan, tapi juga strategi.”

Jiro tersenyum. “Itu namanya pengalaman, Lea. Kamu juga bakal sampai di situ suatu saat nanti, asal nggak gampang nyerah.”

Lea mengangguk. “Aku nggak akan nyerah.”

Senja mulai turun ketika mereka meninggalkan sekolah. Jalanan sepi, hanya terdengar suara angin dan sesekali deru kendaraan yang lewat.

“Eh, Jiro,” panggil Lea.

“Apa?”

“Thanks ya, buat semuanya. Kamu udah banyak bantu aku, bukan cuma soal basket, tapi juga buat lebih percaya diri.”

Jiro tersenyum kecil. “Nggak perlu makasih. Itu kan tugas seorang teman.”

Lea tersenyum. Dalam hati, ia merasa beruntung memiliki Jiro di sisinya. Persahabatan mereka mungkin tidak sempurna, tapi itu cukup untuk membuatnya merasa berarti.

Cerita ini kini mencapai sekitar 3.000 kata. Saya akan melanjutkan bagian berikutnya dengan memperdalam dinamika persahabatan mereka dan tantangan lain yang muncul. Mohon tunggu sebentar lagi!

Hari-hari setelah pertandingan menjadi titik balik bagi Lea. Meski timnya kalah, ia merasa mendapatkan pelajaran berharga yang membuatnya lebih termotivasi. Setiap sore, ia menghabiskan waktu di lapangan basket, mencoba memperbaiki teknik yang masih lemah.

Suatu sore, Jiro datang ke lapangan dengan membawa dua minuman dingin. “Aku tahu kamu pasti latihan di sini,” katanya sambil melemparkan botol ke arah Lea.

Lea menangkap botol itu dengan sigap. “Tahu aja. Ngapain ke sini?”

“Ngontrol. Takutnya kamu latihan kelewat keras sampai lupa makan,” jawab Jiro sambil duduk di bangku kayu.

Lea mendengus, tapi ia tak bisa menyembunyikan senyum kecil. Kehadiran Jiro selalu menjadi pengingat bahwa ia tidak perlu menjalani semuanya sendirian.

Saat itu, lapangan sepi. Hanya ada mereka berdua dan suara bola yang memantul. Jiro memperhatikan Lea melakukan shooting, kadang-kadang memberi masukan.

“Kaki kananmu terlalu maju. Mundurin sedikit,” ujarnya.

Lea mencoba mengikuti sarannya, dan kali ini, tembakannya masuk sempurna.

“Bagus!” seru Jiro sambil bertepuk tangan.

Lea tersenyum puas. Meski lelah, ia merasa usahanya tidak sia-sia.

Beberapa minggu kemudian, sekolah mengumumkan rencana turnamen basket antar-sekolah. Lea dan Jiro, sebagai pemain inti tim putra dan putri, otomatis terpilih untuk mewakili SMP Bhakti Muda.

“Kita harus menang kali ini,” kata Lea penuh semangat saat rapat tim.

“Tentu saja,” balas Jiro. “Tapi jangan cuma fokus menang. Kita juga harus menikmati prosesnya.”

Selama latihan untuk turnamen, Lea mulai menyadari sesuatu. Jiro bukan hanya seorang pemain hebat, tapi juga pemimpin yang baik. Ia tahu bagaimana membangun kepercayaan diri tim, bahkan dalam situasi sulit.

Namun, tidak semua berjalan mulus. Pada salah satu sesi latihan, Lea mengalami cedera ringan di pergelangan kaki. Meski tidak serius, itu cukup untuk membuatnya khawatir.

“Aku nggak mau jadi beban,” ujar Lea saat Jiro membantunya berjalan ke ruang kesehatan.

“Lea, cedera itu biasa dalam olahraga. Yang penting, kamu nggak maksa diri. Istirahat dulu, biar cepat pulih,” jawab Jiro.

Lea ingin membantah, tapi ia tahu Jiro benar. Selama beberapa hari, ia hanya bisa menonton dari pinggir lapangan, merasa frustrasi karena tidak bisa berkontribusi.

Cedera Lea pulih tepat sebelum turnamen dimulai. Meski masih ada sedikit rasa nyeri, ia bertekad untuk memberikan yang terbaik.

Turnamen itu berlangsung selama tiga hari, dengan suasana yang jauh lebih kompetitif daripada pertandingan antarkelas. Tim SMP Bhakti Muda berhasil lolos ke babak final, dan pertandingan terakhir menjadi momen paling menegangkan.

Lea bermain dengan penuh konsentrasi, mengingat semua pelajaran yang pernah ia dapat dari Jiro. Di saat-saat genting, ia berhasil mencetak tembakan tiga angka yang membawa timnya unggul.

Ketika peluit panjang berbunyi, Lea hampir tidak percaya bahwa mereka berhasil memenangkan turnamen. Ia berlari ke arah Jiro, yang langsung menyambutnya dengan tos keras.

“Kamu keren banget, Lea!” seru Jiro.

“Kalau bukan karena kamu, aku nggak akan sampai di sini,” jawab Lea sambil tersenyum lebar.

Malam itu, sekolah mengadakan perayaan kecil untuk tim basket. Di tengah-tengah keramaian, Lea dan Jiro duduk di sudut, menikmati momen itu bersama.

“Jiro, aku belajar banyak dari kamu,” kata Lea tiba-tiba.

“Belajar apa?”

“Belajar untuk percaya sama diri sendiri. Kamu selalu bilang kalau aku nggak boleh takut gagal, dan itu ternyata benar. Sekarang aku tahu, yang penting adalah terus mencoba.”

Jiro tersenyum. “Aku juga belajar dari kamu, Lea. Kamu ngajarin aku kalau kerja keras nggak akan pernah sia-sia.”

Mereka tertawa bersama, merayakan bukan hanya kemenangan di lapangan, tapi juga persahabatan yang semakin erat.

Persahabatan Lea dan Jiro adalah tentang saling mendukung dan tumbuh bersama. Meski mereka berbeda, keduanya menemukan cara untuk saling melengkapi. Dan bagi Lea, lapangan basket tidak hanya menjadi tempat berlatih, tapi juga tempat menemukan makna kebersamaan yang sejati.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi dari Slice of Life
Cerpen
Basket
shirley
Cerpen
Bronze
Pemimpin Negeri Sipil
spacekantor
Cerpen
Diari Raka
zain zuha
Cerpen
Bronze
Pulang
Lisnawati
Cerpen
Who Let The Dog Out
Yuna Thrias
Cerpen
Cinta yang Tersisa
SURIYANA
Cerpen
KEAJAIBAN TETANGGA KOMPLEK
R Hani Nur'aeni
Cerpen
Bronze
Silence
Anisah Ani06
Cerpen
Bronze
panana paapa nanaada panapapana
Marhaeny Benedikta Tinggogoy
Cerpen
Bronze
FIRASAT EMAK
Efi supiyah
Cerpen
Bronze
Delusi
Nisa Dewi Kartika
Cerpen
Bronze
Kerja / Dikerjain?
Rolly Roudell
Cerpen
climate[Pg 4] improved. It has been made habitable. The soil, which bore formerly only a coarse vegetation, is covered to-day with rich harvests. The rock-walls in the valleys are laid out in terraces and covered with vines. The wild plants, which yielded
Miftahudin
Cerpen
Indahnya Surga di Telapak Kaki Ibu
LISANDA
Cerpen
Bronze
Hampir Jadi Mantu: Sebuah Kenangan
Cahyana Endra Purnama
Rekomendasi
Cerpen
Basket
shirley
Cerpen
Kita yang Terlambat Menyadari
shirley
Cerpen
Harmoni yang Terpisah
shirley
Cerpen
Terjebak dalam Kenangan
shirley
Cerpen
Menunggu dalam Sunyi
shirley
Novel
Wait For Me, Zeyden
shirley
Cerpen
Sepotong Kenangan di Bawah Hujan
shirley