Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Slice of Life
Basa Basi Bisa
0
Suka
981
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

BASA BASI BISA

Hari minggu pagi suasana sangat ramai di kos-kosan. Ada yang sedang mengantri mandi, ada yang sedang memasak bahkan ada yang sedang ngomel di dalam kamar. Ayu sedang menjemur pakaian karena sudah mandi dari sejak subuh dan melanjutkan mencuci baju. Pagi ini cuaca lumayan panas, dengan menjemur pakaian dari pagi Ayu berharap baju-bajunya dapat kering di siang hari nanti. Kota Semarang beberapa hari terakhir sudah sering diguyuh hujan maka dari itu sangat suah untuk menjemur pakaian, begitu melihat prediksi cuaca yang diperkiraan akan terang seharian Ayu langsung buru-buru mengambil antrian nomer satu di kamar mandi untuk mencuci.

Selesai menjemur pakaian, Ayu menaruh ember kosong di depan kamar mandi. Di sana sudah ada Maya yang sedang menganti. “Tumben pagi-pagi udah mau mandi, mau ke mana Mbak?” Tanya Ayu kepada Maya.

“Kepo aja lo,” jawab Maya sambil tersenyum kepada Ayu. Maya adalah perempuan asal Bekasi yang kini tinggal di Semarang sambil bekerja. Maya bekerja sebagai teller di bank, ia mengalami pemindahan lokasi kerja dari tempat kerjanya yang dulu. Maya sebenarnya memiliki keluarga di Semarang tetapi ia memilih untuk tinggal di kos-kosan karena menurutnya lebih bebas.

“Mau kencan ya Mbak,” ledek Ayu sambil mencolek-colek lengan Maya. “Cowo yang mana lagi, bukannya kemarin baru putus?” Ayu memang benar-benar sangat ingin tahu dengan urusan Maya. Namun Maya terselamatkan karena Sesil membuka pintu kamar mandi, buru-buru Maya meninggalkan Ayu di depan pintu kamar mandi.

“Ah kamu Sil, kenapa cepet banget mandinya kan tadi Mbak Maya belum jawab pertanyaan aku,” kesal Ayu kepada Sesil. Sesil yang tak tahu duduk perkaranya hanya diam dan sibuk menjemur handuknya.

Ayu kembali ke kamarnya sendiri. Ia berencana untuk pergi ke pasar karena persediaan bahan makanannya sudah habis. Sebelum pergi Ayu membereskan tempat tidurnya terlebih dahulu, sebab tadi buru-buru masuk kamar mandi jadi tempat tidurnya masih berantakan. Ayu juga membereskan sampah-sampah yang ada di kamarnya. Tak lupa ia mengelap foto keluarga yang ia taruh di pojok meja belajarnya. Foto keluarga yang selalu ia pandangi saat sedang merindukan keluarganya di kampung halaman. Sekali lagi Ayu memandangi foto tersebut, ia sangat merindukan keluarganya, sudah hampir tujuh bulan ia tak pulang kampung.

Selesai membereskan kamar, Ayu kemudian bergeser ke luar kamar. Sudah banyak sampah di keranjang sampah dan ia harus membuangnya sebelum ibu kos memarahinya karena membiarkan sampah menumpuk terlalu banyak.

Ayu membawa sampah-sampah itu keluar dan membuangnya di tong sampah yang sudah disediakan di depan rumah. Di teras rumah ternyata sudah ada Yuli yang sedang duduk bersantai. Ayu yang merasa sudah tak punya pekerjaan di kamar kemudian memutuskan untuk duduk di samping Yuli.

“Tumben pagi-pagi udah duduk di sini, lagi ngapain Yul?”

“Lagi nunggu tukang bubur ayam lewat nih, tapi dari jam 6 belum ada yang lewat juga,” jawab Yuli sambil cemberut. Mungkin dia lelah menunggu sejak sejam yang lalu.

“Lah tumben makan bubur ayam, kamu sakit apa?” Tanya Ayu yang keheranan dengan Yuli karena tiba-tiba mau makan bubur ayam.

“Gak Yu, aku gak sakit. Aku lagi pengin aja makan bubur ayam, bosen aku makan ayam geprek terus.” Ayu kemudia tertawa. Wajar jika Yuli bosan dengan ayam geprek karena ayam geprek adalah makanan sejuta umat apa lagi anak kos.

“Tapi kenapa harus bubur ayam gitu loh, kenapa gak yang lain? Pecel, atau bakso gitu,” jawab Ayu yang masih mempermasalahkan bubur ayam.

“Gak enak. Pecelnya bumbunya beda, baksonya gak ada saus merah kaya di Surabaya. Gak, gak, mending bubur ayam.” Yuli tetap kekeh mempertahankan pilihannya untuk sarapan bubur ayam.

“Daripada kamu nunggu di sini, mending kita ke pasar aja nyari di sana sekalian akum au belanja, ikut gak?” Akhirnya Ayu mengajak Yuli karena sudah tak kuat mendebat keinginan Yuli untuk sarapan bubur ayam.

“Yauda deh daripada gak jadi sarapana bubur ayam,” Yuli beranjak dari tempat duduknya dan mengikuti Ayu ke pasar.

Suasana pasar sangat ramai apalagi hari ini adalah hari minggu. Ayu dan Yuli berjalan beriringan agar tak terpisah. Sesampai di pasar Ayu langsung mengajak Yuli untuk mencari bubur ayam terlebih dahulu karena tidak banyak orang yang menjual bubur ayam, apalagi banyak orang yang minat untuk sarapan. Sedangkan yang jual sayuran sangat banyak jadi Ayu tak khawatir kehabisan. Pasar yang mereka datangi berada di pinggir jalan raya, mereka menyusuri jalanan untuk mencari tukang bubur ayam. Saat kondisi ramai seperti ini orang-orang harus lebih waspada karena banyak kemungkinan buruk yang terjadi, salah satunya pencurian. Sudah banyak cerita yang beredar tentang pencurian di pasar, apalagi pencurian dompet. Ayu merapatkan jaketnya karena ia memang sengaja tak membawa tas, dompetnya ia tahur di saku jaket bagian dalam.

Setelah menyusuri pasar akhirnya Ayu dan Yuli menemukan tukang bubur ayam. Yuli langsung memesan satu porsi, meski awalnya ia menawari Ayu juga mungkinYuli merasa sungkan kepada Ayu namun Ayu menolak karena ia tak terlalu suka bubur ayam. Saat mereka sedang menunggu bubur ayam disiapkan, datang dua orang di belakang mereka untuk membeli, dan saat orang ketiga datang penjual mengatakan jika bubur ayam sudah habis. Untung mereka datang lebih cepat sehingga mendapat satu porsi bubur ayam tersebut.

Setelah mendapatkan bubur ayam mereka kemudian bergeser ke penjual sayur, karena tujuan utama memang membeli sayur. Ayu sebagai mahasiswa yang belum memiliki penghasilan sendiri memang lebih suka memasak sendiri, berbeda dengan Yuli meskipun mahasiswa tapi dia tergolong anak orang kaya dan bagi Yuli makanan di Semarang tidak sesuai dengan lidah Surabaya nya sehingga ia lebih sering membeli, dan bahkan untuk menu makanan yang dibeli selalu monoton, kalua bukan ayam geprek ya nasi padang.

Setelah urusan di pasar selesai, Ayu dan Yuli kembali ke kos-kosan. Udara memang sangat panas apalagi mereka di pasar berdesak-desakan dengan banyak orang. Yuli langsung masuk ke kamar dan menikmati sarapan bubur ayamnya. Sedangkan Ayu pergi ke dapur untuk Menyusun sayur-sayurnya ke dalam kulkas. Di kos-kosan juga disediakan kulkas untuk semua penghuni. Karena ada kulkas, Ayu lebih suka belanja mingguan karena baginya lebih mudah daripada harus belanja tiap hari. Tak hanya membereskan sayur-sayuran, Ayu juga langsung memasak karena ia sudah sangat lapar.

Keesokan paginya adalah hari senin, semua penghuni kos sedang sibuk dengan kegiatan masing-masing. Maya sudah berangkat dari jam tujuh, Yuli dan Sesil juga sudah berangkat sejak jam setengah tujuh karena ada kelas pagi, sedangkan Ayu kini masih santai karena dosen berhalangan hadir jadi ia terhindar dari kesibukan di senin pagi. Saat sedang meyeduh kopi di dapur, Ayu melihat Adel baru saja datang dengan jawah letih.

“Baru pulang kerja Mbak?” Sapa Ayu kepada Adel saat Adel mendekati Ayu.

“Iya nih, kesel banget aku dapet dua shift. Padahal kemarin gak kaya gini jadwalnya, gara-gara ada yang izin seenak jidat tuh bos nyuruh aku kerja dua shift. Gila emang!” dengan kesal Adel mengomel di hadapan Ayu. Ayu yang tidak tahu apa-apa menjadi kikuk sendiri menghadapi Adel.

“Wah capek banget pasti ya Mbak kerja 16 jam sekaligus. Oh yam au aku buatin kopi gak, ini masih ada air panas.”

“Gak deh Yu, akum au tidur aja capek banget. Oh yak amu ga ke kampus hari ini?”

“Ke kampus Mbak nanti jam 10.”

Setelah menanyakan hal tersebut Adel kemudian berpesan kepada Ayu agar jangan lupa mengunci pintu rumah sebab Adel mau tidur. Ayu nurut saja, karena biasanya saat pergi rumah juga akan dikunci dan tiap orang memiliki kunci rumah sendiri-sendiri. Jika melihat Adel, kadang kala Ayu harus bersyukur lebih banyak karena ia masih bisa kuliah meskipun orangtuanya kesusahan. Adel hanya lulusan Sekolah Menengah Atas (SMA), usianya hanya terpaut satu tahun dengan Ayu namun beban hidupnya sangat berat. Adel pernah bercerita jika ayahnya sudah meninggal, ibunya hanya buruh tani, sedangkan adik-adiknya masih kecil dan butuh biaya untuk sekolah. Karena hal itu yang membuat Adel harus menjadi tulang punggung bagi keluarganya. Ayu juga pernah mendengar dari Sesil kalua biaya kos Adel lebih murah dibanding penghuni yang lain karena Adel sudah sangat lama tinggal di kos-kosan ini dan ibu kos tidak menaikkan biaya kos Adel.

Jadwal Ayu ke kampus hari ini sebenarnya tidak untuk menghadiri kelas, ia berencana untuk ke Perpustakaan. Ada banyak tugas yang belum ia kerjakan dan ia butuh referensi buku-buku untuk mempermudah pengerjaan tugas-tugasnya. Suasana Perpustakaan nampak ramai dengan manusia-manusia ambisius. Saat masih menjadi mahasiswa baru, Ayu juga sangat ambisius karena ingin lulus cepat tujuh semester. Namun kini sudah semester lima, rasa ambisius itu sudah tidak berkobar di dadanya. Baginya kini lulus tepat waktu delapan semesester saja sudah cukup, kewarasan dan kesehatan mental lebih penting.

Ayu mencari buku yang ia butuhkan, setelah dapat ia kemudian mencari tempat duduk. Ternyata sangat sulit mencari tempat duduk karena Perpustakaan memang ramai. Ayu berjalan sambil menajamkan pandangannya, akhirnya ia menemukan kursi kosong tetapi ada seorang laki-laki di meja itu. Meski sungkan, Ayu tetap mendatangi meja itu karena ia memang butuh. Ayu sangat anti meminjam buku Perpustkaan dan mengerjakan tugas di kos-kosan karena 100% ia akan melupakan tugas itu, ia lebih suka menonton.

“Permisi Kak, apa kursinya kosong?” Tanya Ayu sopan. Yang ditanya sedang serius membaca, mendengar suara Ayu langsung menoleh tanpa menutup bukunya.

“Kosong Kak, silahkan.” Lelaki itu mempersilahkan Ayu duduk dan melanjutkan membaca buku, tak ingin berbasa-basi dengan Ayu. Begitupun dengan Ayu, menurutnya kepentingan dengan laki-laki di depannya sudah selesai jadi tak perlu ada yang dibicarakan.

Ayu mengerjakan tugasnya dengan serius, begitu pula dengan lelaki di sebelahnya masih dengan posisi yang sama. Hening di menguasai meja tersebut. Semakin siang Perpustakaan semakin ramai, namun meja tersebut samih bertahan dengan kebisuan. Di sisi lain Yuli dan Sesil juga sedang berada di Perpustakaan. Yuli dan Sesil memang satu kelas, saat menjadi mahasiswa baru dan datang ke kos-kosan mereka memang selalu bersama. Kunjungan mereka ke Perpustakaan mungkin sedikit berbeda dengan orang lain. Karena sudah mendapat mata kuliah sejak pagi, mereka merasa lelah. Perpustakaan adalah tempat istirahat terbaik bagi mereka. Tapi keberuntungan mungkin belum berpihak kepada mereka. Perpustakaan sangat ramai, untuk mencari tempat duduk saja susah apalgi berharap dapat tidur di Perpustakaan.

Langkah kaki Yuli dan Sesil sampai di samping meja Ayu. Mereka melihat Ayu sedang serius mengerjakan tugas dan seorang laki-laki di depan Ayu yang sedang membaca buku. Tanpa sungkan mereka menghampiri Ayu.

“Eh Ayu, serius banget ngerjain tugasnya,” tegur Sesil. Ayu kemudian memalingkan pandangannya kepada Sesil dan Yuli.

“Loh kalian di Perpus juga, ngapain?” Tanya Ayu kaget dengan kedatangan dua temannya.

“Siapa nih cowok, pacar kamu ya? Kok pacarana di Perpus sih,” tanpa menjawab pertanyaan Ayu, Sesil melayangkan pertanyaan balik kepada Ayu sambil tertawa meledek. Yuli juga ikut tertawa meskipun pelan.

Sedangkan laki-laki yang disebut merasa terganggu. Ia menutup bukunya dan memandangi perempuan di hadapannya secara bergantian. “Ssssttt.” Ia berdesis sambil meletakkan jari telunjuknya di bibir mengisyaratkan agar para perempuan itu diam. Tanpa mengucapkan apa-apa dia melanjutkan membaca buku.

“Sssttt diem kalian, liat tuh dia jadi keganggu,” Ayu berusaha membela laki-laki itu tanpa menjawab pertanyaan Sesil.

“Ih, bener pacar kamu Yu? Sejak kapan, bukannya kamu jomblo ya, cie selamat ya,” tanpa menghiraukan isyarat dari Ayu dan lelaki tadi, Yuli malah mencecar Ayu balik. Lelaki yang disebut sudah merasa sangat tidak nyaman, tanpa mengucapkan apa-apa dia langsung pergi dari tempat duduknya. Sedangkan Ayu merasa sangat tak enak hati dengan perkataan Yuli dan Sesil.

“Tuh kan pergi, kalian sih! Dia bukan siapa-siapa, tadi aku numpang duduk di sini gara-gara udah gak ada kursi kosong. Jadi gak enak aku tau.” Nampak jelas ekspresi wajah Ayu yang merasa tak enak hati, begitu pula dengan Yuli dan Sesil. Mereka berdua meminta maaf kepada Ayu, namun laki-laki itu sudah tidak terlihat lagi entah pergi ke mana.

Malam hari telah tiba, rumah kos-kosan nampak begitu terang dari lampu-lampu yang dihidupkan di setiap ruangan. Ayu, Sesil, Yuli dan Adel berkumpul di ruang tengah sambil menonton televisi sedangkan Maya mungkin saja belum pulang karena lampu kamarnya masih belum dinyalakan. Jarang sekali semua penghuni kos bisa berkumpul bersama di ruang tengah, seperti saat ini. Kali ini mereka berkumpul karena Sesil sedang berulangtahun sehingga ia membelikan makan malam untuk penghuni kos. Sesil juga termasuk anak orang kaya, dia juga warga asli kota Semarang namun lebih memilih untuk tinggal di kos karena merasa lebih bebas. Baginya, saat tinggal di kos orangtuanya tidak akan mengawasi setiap saat.

Keinginan Sesil untuk merantau tidak diperbolehkan oleh orangtunya, bagi orangtunya Sesil wajib berkuliah di kampusnya sekarang karena sudah menjadi adat keluarga mereka ‘kampus turunan’. Nenek Kakek Sesil, Ibu Ayah Sesil, dan Kakak-Kakak Sesil semua berkuliah di kampus ini sehingga Sesil harus mengikuti jejak keluarganya, dan harapan orangtuanya Sesil juga harus mencari jodoh di kampus supaya garis ‘kampus turunan’ tidak putus di keluarganya.

Meskipun demikian, Sesil termasuk anak yang nakal. Baginya, apa yang dilakukan keluarganya adalah hal kolot, ia berhak memilih untuk berkuliah di kampus manapun namun tak diizinkan maka tinggal di kos-kosan adalah bentuk pelarian. Sesil bahkan bekerja sambil kuliah untuk mendapatkan uang. Sebisa mungkin ia tak mau menerima uang dari orangtuanya kecuali untuk urusan kuliah. Itu adalah bentuk protes yang dilakukan Sesil pada keluarganya.

“Kalau dihitung, gajiku sebulan bisa habis buat beli ini semua. Tapi karena ini hari ulangtahunku, jadi aku pakai uang dari Ayah,” ucap Sesil sambil membagikan makanan yang sudah ia beli kepada teman-temannya.

“Aneh ya kamu Sil, udah bener jadi orang kaya malah mau hidup susah. Lah aku yang susah dari lahir mau jadi orang kaya harus rela kerja siang malam,” sambung Adel. Kita semua memang sudah tau kisah hidup Adel namun Adel memang suka bercanda jadi jika dia mengatakan tentang kisah hidupnya kami hanya tertawa dan menanggapi dengan lelucon-lelucon. Adel sudah berdamai dengan kehidupannya.

Hari Rabu sore adalah jadwal Ayu untuk kegiatan organisasi mahasiswa. Selesai kelas terakhir ia pergi ke gedung pusat kegiatan mahasiswa. Ayu tergabung dalam organisasi pencak silat. Baginya perempuan juga harus memiliki kemampuan dasar bela diri, apalagi ia hidup sendirian di Kota Semarang. Namun karena kesibukannya, ia baru bisa bergabung awal semester lima kemarin sehingga teman-teman seangkatannya sudah menjadi senior dan ia masih jadi junir dengan mahasiswa Angkatan baru. Bagi Ayu hal tersebut bukanlah sesuatu yang memalukan, lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali.

Kegiatan kali ini diisi dengan Latihan seperti biasa, namun Ayu melihat seseorang yang baru saja datang dengan seragam lengkapnya dengan terheran-heran. Ayu coba memfokuskan pikirannya, dan ternyata benar bahwa yang baru saja datang adalah lelaki yang ia temua di Perpustakaan hari Senin kemarin. Lelaki itu tampak mengenakan sabuk yang mencolok karena warnanya berbeda dengan yang lain, bahkan dengan seniornya. Ayu tak ingin terus menerus memperhatikan lelaki itu, takut yang diperhatikan menyadari kehadiran Ayu. Ayu masih merasa cukup malu dengan kejadian di Perpustakaan kemarin.

Sesi latihan berlangsung selama satu setengah jam. Setelah dirasa cukup, senior kemudian menyudahi latihan tersebut dan membebaskan junior-junior untuk pulang atau duduk-duduk di lapangan sembari berbincang. Ayu yang merasa sudah tak enak dari awal latihan memutuskan untuk pamit terlebih dahulu. Bahkan ia hanya pamit kepada teman-temannya, tidak dengan senior pelatih karena sedang berbincang dengan laki-laki yang ia temui di Perpustakaan.

Malam hari saat Ayu sampai di kos-kosan ternyata teman-teman Ayu sedang berkumpul di ruang tengah. Kali ini mereka benar-benar lengkap. Ayu langsung disambut oleh mereka.

“Wih baru latihan ya Yu?” Tanya Sesil karena melihat Ayu datang masih menggunakan seragam lengkap.

“Bau banget lo Yu, sana mandi dulu terus makan bareng, nih gue beli seblak,” sambung Maya sambil menutup hidunya. Ayu rasa Maya terlalu berlebihan, Ayu memang baru pulang latihan tapi ia sudah tidak berkeringat bahkan tadi sempat beristirahat di minimarket.

“Asik nih makan-makan gratis, bentar aku mandi dulu.”

Obrolan di ruang tengah terus berlanjut. Adel bercerita tentang bosnya yang suka mengubah-ubah jadwal kerjanya secara sepihak. Meskipun benar Adel jadi memiliki banyak uang karena penghasilannya bertambah, namun baginya kerja sehari 16 jam bukanlah hal yang manusiawi. Adel memang gila kerja, ia ingin bekerja untuk menaikkan taraf enkonomi keluarganya namun jika ia kerja 16 jam terus menerus bisa saja orangtua dan adik-adiknya tak ada lagi yang memberi uang karena Adel meninggal di tempat kerja. Baginya, Kesehatan nomer satu dan kerja nomer dua. Jadi tetap lebih utama waktu istirahat meskipun waktu kerja juga penting.

Karena kejadian di Perpustakaan pada hari Senin, Yuli dan Sesil masih merasa tak enak hati kepada Ayu, bahkan sampai hari ini mereka tidak bertegur sapa dengan Ayu karena memang mereka tak bertemu Ayu. Entah Ayu menghindar dari mereka atau memang kegiatan mereka tak sama sehingga jarang bertemu. Mau datang ke kamar pun masih sungkan. Namun kejadian itu tak mereka ceritakan kepada Adel dan Maya, menurut mereka hal tersebut bukanlah sesuatu yang harus diketahui oleh penghuni kos-kosan.

Setelah mandi, Ayu mendatangi teman-temannya di ruang tengah. Mereka sedang asik menyantap seblak. Sebelum sampai, Maya sudah bertetiak kepada Ayu untuk mengambil mangkuk dan sendok. Dengan semangat Ayu mengambilnya dan mengambil posisi duduk di sebelah Maya. Hubungan Ayu dan Maya bisa dibilang cukup baik. Mereka sama-sama anak rantau yang jauh dari keluarga dan jarang pulang. Mereka juga sering bercerita mengenai keluarga masing-masing.

“Ada apa nih Mbak traktir kita-kita, perasaan ini bukan awal bulan deh,” tanya Ayu sambil berusaha membuka ikatan plastik seblak.

“Baru jadian dia, katanya ini pajak jadian,” jawab Adel tanpa melihat Ayu, dia fokus ke televisi yang sedang menampilkan sinetron kesukaannya.

“Wih, sama cowok mana lagi? Oh yang keluar pas minggu kemarin kan?” Ayu sangat tertarik dengan topik pembicaraan kali ini.

“Sok tahu lo,” jawab Maya ketus namun tak bisa menyembunyikan rona merah di pipinya.

“Gue liat Mbak, kalian boncengan naik motor kan? Gue liat pas lagi di pasar,” jawab Ayu ngotot bahkan dia menggunakan kata ‘gue’ untuk menyebut dirinya seperti yang dilakukan Maya.

“Halah-halah, sok gue, gak cocok tahu, logat ngapak lo masih ketara,” jawab Maya sambil tertawa, dan disusul dengan tawa yang lainnya. Ayu memang orang ngapak, namun karena sudah sering menggunakan Bahasa Indonesia logatnya sedikit hilang namun tidak jika untuk mengatakan kata ‘gue’.

“Hahaha sialan, ora ngapak ora kepenak. Tapi bener kan Mbak cowok yang kemarin?” Ayu masih sangat penasaran dengan jawaban Maya meskipun tanpa dijawab ia sudah tahu jawabannya.

“Iya cowok yang kemarin lo liat,”

“Keren banget Mbak baru putus kemarin udah dapet lagi,” canda Ayu.

Mereka melanjutkan makan sambil berbincang-bincang. Yuli dan Sesil juga memberanikan diri untuk berbicara dan meminta maaf kepada Ayu. Ayu memaafkan mereka meskipun ia masih sangat kesal. Ayu juga menceritakan kejadian tadi sore yang dialaminya. Maya memberi saran supaya Ayu meminta maaf langsung jika bertemu lagi, bahkan Yuli dan Sesil juga berencana ingin meminta maaf bersama. Karena mereka tidak tahu laki-laki itu siapa, mereka memutuskan untuk ikut saat Ayu latihan dan menemui laki-laki tersebut di sana. Semoga mereka masih bisa bertemu dan meminta maaf.

Hari Rabu telah datang lagi, sesuai rencana Yuli dan Sesil akan ikut Ayu latihan supaya bisa bertemu dengan laki-laki yang pernah dibuat marah karena sikap mereka. Ayu dan teman-temannya sengaja datang lebih awal untuk menantikan laki-laki yang tidak mereka ketahui namanya. Namun sampai sesi latiha berakhir, laki-laki tersebut tidak datang. Ayu dan teman-temannya sempat kecewa karena tak bisa meminta maaf hari ini. Mereka benar-benar bertekad untuk meminta maaf. Yuli kemudian menyarankan Ayu untuk menanyakan nama laki-laki tersebut kepada senior, mereka pikir dengan tahu nama mereka akan lebih mudah menemukannya.

Tepat setelah Ayu merapikan buku ke dalam tas hujan deras mengguyur Kota Semarang. Ayu yang mengetahui hal tersebut langsung marah karena ia belum sampai di kampus. Pagi ini Ayu ada ujian sehingga tak bisa untuk membolos. Mendung memang sudah menutupi langit Kota Semarang sejak kemarin sore, Ayu bahkan sempat berdoa agar hujan turun tadi malam namun tidak terkabulkan. Sejak bangun tadi doa Ayu diubah agar hujan turun setelah ia sampai di kampus. Namun lagi-lagi doanya tidak terkabulkan. Belum sempat ia berangkat hujan deras sudah mengguyur. Dengan berat hati Ayu kemudian mencari payungnya. Setelah dapat ia kemudian bergegas keluar dari kos-kosan karena waktu ujian akan segera dimulai. Karena hujan yang sangat deras, Ayu tak langsung menggunakan sepatu, tapi ia menggunakan sandal sebagai alas kaki dan sepatunya ia letakkan di tas. Ayu tahu pasti jalanan penuh dengan genangan air.

Ayu memang jalan kaki jika ke kampus karena jarak kos-kosannya yang dekat, selain itu dia datang dari kota yang jauh jadi tidak membawa kendaraan pribadi. Perjalanan yang biasanya hanya membutuhkan waktu 10 menit kini menjadi lebih lama 5 menit karena Ayu sangat hati-hati dalam memilih pijakan. Ia juga harus menghindari kendaraan yang lewat agar airnya tidak mengenai baju. Ayu sering kali mengambil jalan pintas untuk masuk ke kampus, yaitu lewat parkiran. Saat melewati parkiran Ayu melihat laki-laki yang pernah ia temui dua kali sebelumnya. Namun bagi Ayu saat ini bukanlah waktu yang tepat karena ia sedang buru-buru untuk mengikuti ujian. Ayu berusaha menundukan wajahnya dalam-dalam dan bersembunyi di balik payung yang lebar. Ayu buru-buru melangkah, hujan semakin deras sedangkan waktu ujian sudah semakin dekat.

Sedangkan di kos-kosan para penghuni kos juga sedang ribut karena hujan yang makin deras. Maya dan Adel yang hendak berangkat ke tempat kerja tidak berhenti marah-marah. Sedangkan Yuli dan Sesil sedang santai di depan televisi sambil menyantap mie kuah yang hangat. Mereka duduk sambil mendengar suara-suara berisik dari kamar Maya.

"Kasian banget Mbak Maya, udah rapi gitu malah ujan deras," kata Sesil sambik tertawa bahagia. Dia memang seperti itu, selalu ceplas-ceplos saat berbicara.

"Mbak Maya, kenapa gak minta jemput pacar baru aja," teriak Yuli dengan keras karena suaranya beradu dengan suara hujan.

"Baru putus kemarin malam," Adel datang dengan mengenakan jas hujan. Ternyata ia sudah siap bekerja, benar-benar tulang punggung keluarga. Tak kenal hujan, panas, siang ataupun malam tetap gigih bekerja.

"Kok bisa?!" Yuli dan Sesil kaget secara bersamaan.

Malam hari di ruang tengah para penghuni kos-kosan berkumpul bersama. Tadi sore ibu kos datang membawa makanan, ibu kos bilang hari ini adalah hari ulangtahunnya sehingga ia berbagi makanan dengan anak kos sebagai ungkapan rasa syukur. Hujan sudah reda, namun sisa-sisa air hujan masih menggenang di jalan. Sambil menayangkan sinetron kesukaan Adel mereka membuka makanan yang diberikan ibu kos. Yuli merasa kurang senang karena makanan yang diberikan adalah makanan khas Semarang, tentu rasanya sangat berbeda dengan makanan Surabaya namun karena ia sudah lapar dan malas membeli ke luar karena dingin apalagi masak, ia kemudian tetap menyantap makanan itu.

Berkebalikan dengan Sesil yang sangat senang karena dia bisa makan makanan rumahan yang mirip dengan masakan ibunya namun sudah lama ia tak mencicipi. Baginya, masakan seorang ibu lebih nikmat daripada masakan yang khusus untuk dijual. Ayu, Adel dan Maya juga merasa senang akhirnya mereka bisa menghemat biaya untuk makan malam kali ini. Anak kos selalu senang jika mendapatkan sesuatu yang gratis.

“Tadi pulang kerja di sekitar pabrik banjir,” Adel mulai membuka percakapan.

“Masa sih, di tempat kerjaku engga,” jawab Maya. Ia sudah mulai menyuapkan makanan ke mulutnya.

“Tempat kerja mu kan datarannya lebih tinggi, lah tempat kerjaku kawasan pabrik banyak kendaraan besar yang melintas, jalanan jadi banyak yang berlubang. Tadi juga ada kecelakaan di sana, untung aku gak nekat langsung pulang setelah jam kerja selesai.”

“Wah ngeri juga ya Mbak, aku juga pernah lewat jalan depan pabrik itu emang jalannya rusak parah. Harusnya kan dibenerin apalagi itu jalur untuk industry,” Sesil ikut menimpali.

“Tau deh, dari aku kerja di sana sampai sekarang kayaknya baru sekali dibenerin dan itu Cuma ditambal. Aku juga gak tahu itu tanggung jawab siapa,” jawab Adel sambil asik menonton sinetron kesukaannya.

Mereka berlima makan dengan tertib. Kerena makanan yang diberikan ibu kos prasmanan jadi mereka mengambil secukupnya. Jika habis mereka akan menambah, mereka tahu cara menghargai makanan agar tidak terbuang jika tidak habis dan mereka tahu cara menghargai teman karena mengambil secukupnya agar semua ikut merasakan.

“Oh ya Yu, Sil, tadi aku ngeliat laki-laki itu pas jalan ke kampus. Tapi tadi aku buru-buru mau ujian jadi gak sempet nyapa,” Ayu mengubah topik pembicaraan.

“Kamu ketemu di mana Yu? Kenapa gak mint anomer atau apa gitu biar kita bisa ketemu lagi,” Yuli sangat antusias dengan kabar yang diberikan Ayu.

“Gak sempat kepikiran Yul, kan aku tadi buru-buru mau ujian, hujan juga deras banget aku takut telat,”

“Tadi kamu ketemu di mana?” Kini giliran Sesil yang menanyakan kembali pertanyaan Yuli yang belum sempat Ayu jawab.

“Di parkiran,”

“Yah sayang banget, padahal dia susah banget dicari.” Yuli dan Sesil membuang nafas kasar.

“Emang kalian nyari siapa sih, dari kemarin kayaknya pengin banget ketemu laki-laki itu. Kalian suka sama dia apa gimana?” Maya ikut dalam percakapan itu, ia penasaran dengan laki-laki yang dibicarakan adik-adik kosnya.

Sesil dengan semangat akhirnya menceritakan laki-laki itu, mulai dari kejadian salah paham saat di Perpustakaan yang membuat mereka merasa bersalah dan harus meminta maaf. Kejadiaan saat Ayu bertemu saat latihan, dan kejadian saat Ayu bertemu di parkiran. Jika dipikir-pikir, ketiga kejadian tersebut selalu berkaitan dengan Ayu.

“Namanya Andrea Putra, anak semester Sembilan Fakultas Ekonomi jurusan Akuntansi.” Kata Sesil sambil memperjelas ceritanya. Ia mengetahui identitas laki-laki itu dari Ayu, dan Ayu mendapatkannya dari senior setelah latihan kemarin.

“Lah, Andre itu adik gue, hahaha,” Maya tertawa keras, bahkan saking kerasnya ia sampai lupa jika ia sedang mengunyah makanan dan membuatnya tersedak. Adel yang duduk di sebelahnya langsung memberikan minum dan menepuk-nepuk leher Maya.

Setelah keadannya membaik, Maya mengulangi perkataan Sesil. “Andrea Putra, anak semester Sembilan Fakultas Ekonomi jurusan Akuntansi. Yakan?” Sesil hanya mengangguk. Ayu dan Yuli tercengang dengan perkataan Maya.

Maya menunjukan foto Andre di telepon genggamnya. Laki-laki itu terlihat sedang duduk di samping Maya dan anggota keluarga lainnya yang tidak mereka ketahui. Maya memang sangat tertutup soal keluarga, pantas saja mereka semua tidak ada yang tahu jika Maya memiliki adik yang sedang berkuliah, dan parahnya lagi adik laki-lakinya yang sedang dicari oleh Ayu, Yuli dan Sesil. Setelah menunjukan foto untuk meyakinkan bahwa orang yang mereka cari memang benar adik Maya, kemudian Maya akan membantu untuk mempertemukan adiknya dengan adik-adik kosnya. Besok pagi Maya meminta adiknya untuk datang, Ayu, Yuli dan Sesil dapat meminta maaf secara langsung dan beban moral mereka akan selesai. Semoga.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi dari Slice of Life
Cerpen
Basa Basi Bisa
Zakiyatus Solihah
Cerpen
Bronze
Sang Penghianat
LSAYWONG
Cerpen
My Annoying Boss
Rein Senja
Cerpen
Bronze
Persetan
Yuli Harahap
Cerpen
Bronze
NURAGA
SIONE
Cerpen
Selembar Dunia
Rafael Yanuar
Cerpen
Bronze
Memeluk Kaktus
Cicilia Oday
Cerpen
Bronze
"Puss. . . Meong. . . "
Izzatunnisa Galih
Cerpen
Bronze
Solitary
Ravistara
Cerpen
Messi, Jangan Pindah!
Serenade
Cerpen
Mencari Konsep Sabar
Dhawy Febrianti
Cerpen
Bronze
Pulang
Lisnawati
Cerpen
Bronze
Pinjaman
Trippleju
Cerpen
The Real Lie Detector
Tia Dia
Cerpen
Bronze
Wheres My Home?
Brilijae(⁠。⁠•̀⁠ᴗ⁠-⁠)⁠✧
Rekomendasi
Cerpen
Basa Basi Bisa
Zakiyatus Solihah