Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Sore itu, langit tampak kelabu. Awan berat menggantung di atas bukit tambang milik Raka Pratama, seorang pengusaha muda yang dulunya dikenal sebagai sosok rendah hati dan pekerja keras. Namun setelah menemukan emas di tanah warisan ayahnya, sesuatu dalam dirinya berubah.
Raka memulai hidup dari bawah. Ia tumbuh di desa kecil di lereng bukit yang subur. Ayahnya seorang pandai besi yang jujur, dan sejak kecil Raka diajarkan untuk bekerja dengan hati. Bersama sahabat masa kecilnya, Dimas, ia sering membantu ayahnya menempa logam. Mereka bermimpi suatu hari nanti bisa membangun bengkel besar agar orang-orang desa tak perlu merantau mencari nafkah.
Mimpi itu perlahan menjadi kenyataan. Setelah ayahnya meninggal, Raka melanjutkan bengkel kecil itu. Berkat ketekunannya, usaha tersebut berkembang pesat. Dalam waktu beberapa tahun, Raka berhasil membuka pabrik logam sederhana. Orang-orang di desa memujinya sebagai sosok inspiratif.
Namun segalanya berubah ketika suatu hari, saat sedang menggali tanah di belakang pabrik, salah satu pekerja menemukan batu yang berkilau. Setelah diuji, ternyata itu adalah emas murni. Sejak saat itu, hati Raka mulai tergoda.
Awalnya ia menggali secukupnya. Tapi ketika hasilnya terus meningkat, keserakahan tumbuh dalam dirinya. Ia meminjam uang besar untuk membeli alat berat, memperluas lahan tambang tanpa izin, bahkan menebang hutan di sekitar bukit. Dalam waktu singkat, Raka menjadi orang terkaya di wilayah itu. Rumahnya megah, mobilnya berjejer, dan semua orang memujanya.
Namun, kekayaan itu membawa jarak antara Raka dan Dimas.
“Raka,” kata Dimas suatu sore, saat mereka duduk di tepi sungai yang kini mulai kecokelatan. “Kau tahu, tambangmu sudah merusak aliran air. Sawah-sawah di bawah bukit gagal panen. Warga mulai resah. Kau harus berhenti sebelum terlambat.”
Raka menatapnya, tersenyum dingin.
“Dimas, kau terlalu pesimis. Semua ini untuk kebaikan desa. Aku menciptakan lapangan kerja. Lihat, ratusan orang hidup dari tambangku. Kalau aku berhenti, siapa yang akan memberi mereka makan?”
Dimas menghela napas panjang. “Kau salah, Ra. Kau tidak memberi makan mereka. Kau hanya membuat mereka tergantung padamu. Alam ini bukan milik kita untuk dihisap habis.”
Raka berdiri, suaranya mulai meninggi.
“Cukup! Kau tak tahu seberapa berat aku bekerja untuk sampai di sini. Aku tidak akan berhenti hanya karena omongan moralmu!”
Sejak hari itu, persahabatan mereka retak. Dimas memilih meninggalkan pabrik dan kembali ke rumahnya di bawah bukit, sementara Raka tenggelam semakin dalam dalam ambisi.
Malam-malamnya diisi dengan menghitung batangan emas. Ia sering memandangi kilau logam itu sambil berkata, “Inilah hasil kerja keras. Inilah bukti keberhasilanku.” Namun di balik senyum puasnya, ada kegelisahan yang perlahan tumbuh — suara hati kecil yang ia abaikan.
Beberapa bulan kemudian, musim hujan datang lebih awal dan lebih deras dari biasanya. Hujan turun tanpa henti, membasahi lereng bukit yang sudah gundul. Tanah menjadi lembek dan retak. Para pekerja mulai resah, tetapi Raka bersikeras melanjutkan penggalian.
Suatu malam, ketika hujan turun disertai petir yang berkilat, seorang pekerja berlari ke rumah Raka.
“Pak! Tanah di tambang mulai longsor! Kita harus mengevakuasi orang-orang!”
Raka terbangun panik. Ia segera mengenakan jaket dan berlari menuju lokasi. Langit gelap, suara gemuruh seperti raksasa yang marah. Dari kejauhan, ia melihat bukit yang selama ini menjadi sumber kekayaannya mulai retak besar.
“Matikan semua mesin! Cepat!” teriaknya di tengah hujan. Tapi suara petir dan raungan alat berat menelan perintahnya.
Dalam kekacauan itu, Raka melihat sosok Dimas datang menembus hujan, membantu mengevakuasi anak-anak pekerja yang tinggal di barak. Mereka berdua berlari ke arah bukit ketika retakan semakin besar.
“Raka, berhenti! Itu berbahaya!” teriak Dimas.
“Tidak! Aku masih bisa selamatkan peralatan dan logam di gudang!” balas Raka, matanya merah oleh ketakutan sekaligus keserakahan.
Namun sebelum ia sempat melangkah lebih jauh, longsoran besar datang. Suara bumi bergemuruh, disertai teriakan manusia dan deru air yang menggila. Raka terseret lumpur, terhempas ke tanah. Ketika membuka matanya, ia melihat Dimas berlari ke arahnya, lalu terdengar bunyi keras — sebuah balok kayu besar menimpa tubuh Dimas.
“Dimas!” Raka berteriak histeris, merangkak di antara lumpur untuk mencapai sahabatnya. Ia mencoba mengangkat balok itu, tapi terlalu berat.
Dimas tersenyum lemah, darah mengalir di pipinya.
“Ra… lihatlah… apa yang telah kau buat…”
“Jangan bicara! Aku akan tolong kau!” Raka menangis, suaranya serak.
“Tidak ada lagi yang bisa ditolong,” bisik Dimas pelan. “Semua ini… bukan karena nasib, tapi karena kerakusanmu. Kau membunuh tanahmu sendiri.”
Hujan menelan suara mereka. Dalam sekejap, longsoran kedua datang, menelan barak dan sebagian pabrik. Ketika pagi tiba, bukit itu sudah tak berbentuk. Hanya sisa lumpur dan puing berserakan di mana-mana.
---
Beberapa bulan berlalu. Tambang ditutup secara permanen. Pemerintah menyelidiki, warga memulihkan desa, dan nama Raka menjadi bahan gunjingan. Ia kehilangan segalanya — kekayaan, reputasi, dan sahabat terbaiknya.
Kini ia hidup di gubuk sederhana di tepi sungai. Setiap pagi, ia duduk di atas batu besar, memandangi air yang perlahan jernih kembali. Di tangannya, ia memegang sebutir batu emas kecil — satu-satunya peninggalan masa lalu yang ia simpan.
“Dulu aku kira ini cahaya,” katanya lirih, “tapi ternyata ini bara yang membakar hidupku.”
Ia menggenggam batu itu erat, lalu perlahan meletakkannya ke sungai. Batu itu tenggelam, dibawa arus. Raka menatapnya lama, seolah melepaskan seluruh beban yang selama ini menghantuinya.
Sore itu, sinar matahari menembus awan tipis, memantul di air sungai yang tenang. Alam seolah memberi maaf. Raka tersenyum samar — bukan karena bahagia, tapi karena akhirnya ia mengerti makna kehilangan.
Ia berdiri dan menatap bukit yang mulai hijau kembali. Rumput tumbuh di antara bekas luka tanah, seolah alam tengah menyembuhkan diri.
“Maafkan aku, Dimas,” ucapnya pelan. “Aku butuh kehilangan segalanya untuk tahu arti cukup.”
Angin senja berhembus lembut, membawa aroma tanah basah. Burung-burung mulai kembali. Di kejauhan, suara anak-anak terdengar — generasi baru yang belum tahu kisah kelam di balik bukit emas itu.
Raka berjalan perlahan menyusuri tepi sungai, meninggalkan jejak kakinya di tanah basah. Di balik langkahnya, alam menutup luka, dan manusia belajar satu hal sederhana: bahwa kekayaan sejati bukanlah yang bisa digenggam, tapi yang bisa membuat hati tenang.
Hari berganti minggu, minggu berganti bulan. Raka kini dikenal warga bukan lagi sebagai pengusaha tamak, melainkan sebagai lelaki yang menebus kesalahannya dengan kerja dan kerendahan hati. Ia membantu warga menanam kembali pepohonan di bukit yang dulu ia rusak, menggali saluran air, dan memperbaiki sawah yang tertimbun lumpur.
Setiap kali tangannya menanam bibit pohon, hatinya terasa hangat — seolah ia sedang menanam maaf yang lama ia tunggu. Di sela kerja, ia sering bercerita kepada anak-anak desa tentang bahaya keserakahan. “Emas itu bukan musuh,” katanya suatu hari, “tapi manusia yang rakuslah yang membuatnya jadi kutukan.”
Warga mulai menghormatinya kembali, bukan karena harta, melainkan karena ketulusan. Alam pun perlahan memulihkan dirinya: air sungai kembali jernih, ikan-ikan muncul lagi, dan burung bersarang di dahan muda.
Pada suatu senja, Raka menatap ke arah bukit yang kini hijau sepenuhnya. Ia tersenyum, menutup matanya, dan berbisik, “Kini aku mengerti, Dimas… emas sejati bukan yang bersinar di tangan, tapi yang tumbuh di hati yang telah belajar.”
Dan di balik cahaya jingga sore itu, alam bernafas lega — karena kerakusan akhirnya dikalahkan oleh penyesalan yang tulus.
Kerakusan adalah api yang tak pernah padam. Ia membakar akal, menelan kasih, dan meninggalkan abu penyesalan. Namun hanya mereka yang mau berhenti dan belajar dari kesalahanlah yang akhirnya menemukan makna hidup yang sesungguhnya.