Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Slice of Life
Bandang
3
Suka
38
Dibaca

Syaribanun langsung menghempaskan tubuhnya di sofa. Nafasnya masih memburu, rasa kesal masih membuncah di kepalanya.

"Alah, baru juga punya gelang emas segitu tapi sombongnya selangit." Gerutunya kesal."

"Siapa?" Fatonah, istri juragan?"

"Siapa lagi suamiku tersayang," Syaribanun mengatakannya seolah mengejek Bardan, suaminya karena masih menanyakan siapa yang membuatnya jengkel. Cuma Fatonah satu-satunya perempuan tukang flexing di kampung Lam Ara yang bisa membuat Syaribanun uring-uringan setiap kalinya.

"Makanya bang, belikan aku kalung emas barang se-gram, biar Fatonah nggak keterusan sombongnya." Kata-kata terakhir istrinya itu langsung membuat Bardan tak bersemangat menanggapinya karena permintaan itu seperti tinju yang menohok ulu hatinya. Sebagai buruh harian yang tak jelas uang masuknya. Jika bisa membeli emas itu terlalu hebat untuknya. Untuk sekedar niat saja Bardan tak berani.

"Apa maksudnya, kamu meledekku?" Akhirnya Bardan tak kuasa menahan diri. "Kalau bicara itu kira-kira. Siapa aku, siapa juragan!"

Bukannya mengalah, istrinya justru makin uring-uringan. "Makanya, cari uang!" Sindiran Syaribanun itu langsung membuat Bardan naik pitam. Seperti biasa Bardan memilih mengalah, keluar dari rumah sambil melengos meskipun hujan turun lebat mengguyur, dibiarkannya istrinya berperang dengan pikirannya sendiri yang menanggapinya dengan kesal. Sumpah serapahnya masih terdengar melihat suami mengacuhkanya, meskipun Bardan sudah sampai di ujung jalan, sekira lima puluh langkah.

***

Suara berdentum seperti bunyi ledakan tiba-tiba membuat bumi berderak. Sesuatu berwarna hitam meluncur dari arah bukit diantara pepohonan. Hanya dalam hitungan detik sumpah serapah, ditingkahi jeritan Syaribanun hilang bersamaan dengan timbunan ribuan kubik tanah yang melenyapkan rumahnya. Bardan yang berbalik cepat tak bisa berkutik, teriakannya hilang tertelan gemuruh, karena bersamaan waktunya ketika hempasan ribuan ton debit air bandang juga menghantam tubuhnya dari arah hulu sungai di kaki bukit.

Sebuah kayu gelondongan menghantam kakinya, membuatnya mati rasa. Tubuhnya seperti kayu yang hanyut tak berdaya meskipun Bardan berusaha terus berenang sambil menarik apapun di dekatnya agar tubuhnya bisa berlabuh. Hingga akhirnya semua berubah menjadi gelap.

***

Matahari sudah sepenggalah ketika ia tersadar, dan terbangun. Tubuhnya tersangkut di dahan kayu besar yang merentang di permukaan air. Kakinya menjuntai, tapi tak bisa dirasakannya lagi, seperti lumpuh layu tanpa rasa.

Tanah di sekelilingnya telah berubah menjadi danau, tak ada lagi batas. Bahkan rumahnya yang tak jauh dari bukit kini lenyap berubah menjadi tumpukan tanah seperti bukit baru.

Ketika perlahan tersadar, Bardan baru menyadari jika rumah dan juga istrinya Syaribanun seluruhnya telah tertimbun longsoran. Tiba-tiba ia terisak, teringat karena sebelumnya mereka baru saja bertengkar, karena perempuan yang telah menjadi pasangan hidupnya lebih dari dua belas tahun, tapi belum memberinya anak itu meminta dibelikan emas gara-gara Fatonah, istri juragan sekali lagi membuatnya kesal. Bardan menyesal karena mereka harus bertengkar karena orang lain, dan harus berakhir dengan cara begini.

***

Berhari-hari setelah bencana itu, Bardan bergerak seperti bayangan manusia, meski hidup, tapi jiwanya tersangkut entah di mana. Setiap pagi, sebelum kabut benar-benar terangkat dari permukaan danau baru itu, ia menyeret tubuhnya ke masjid kecil di ujung kampung. Kakinya yang remuk membuat setiap langkah seperti disayat, tapi ia memaksa. Ia merasa harus sampai. Harus memulai hari dengan satu hal yang masih bisa ia lakukan untuk Syaribanun.

Ia naik ke mimbar kecil itu, memegang mikrofon yang sudah kusam, dan menarik napas panjang. Suaranya pecah ketika mengumandangkan azan. Nada suaranya tak setinggi dulu, parau, berat, seperti setiap lafaznya membawa beban tanah dan air yang menelan rumahnya. Orang-orang kampung terdiam, mereka tahu Bardan sedang memanggil sesuatu yang lebih dari sekadar waktu salat. Ia sedang memanggil pulang seseorang yang mungkin tak akan pernah kembali.

“Hayya ‘alash shalah…” suaranya terguncang. Orang-orang yang mendengarna, ada yang menunduk, ada yang menghapus air mata.

Setiap selesai azan, ia menatap bukit yang kini membuat degub jantungnya terasa kosong. Di situ rumahnya. Di situ istrinya hilang. Di situ ia terakhir kali melihat wajah perempuan yang, meskipun cerewet dan kadang menusuk hatinya, adalah satu-satunya orang yang menemaninya dalam segala kekurangan hidupnya.

Pencarian dimulai sejak hari pertama bencana. Tim SAR datang, relawan berdatangan, excavator menggeruk tanah yang kini seperti bubur. Tapi setiap kali sekop atau cangkul mengangkat sesuatu berwarna gelap, Bardan langsung berlari tertatih, walau tubuhnya hampir roboh. Ia tak peduli rasa sakit yang menggerogoti kakinya.

“Bang, istirahat dulu,” pinta salah satu relawan.

“Kalau aku berhenti… nanti dia kedinginan di dalam sana,” jawab Bardan lirih, suaranya pecah oleh logika yang tak lagi berpijak pada sesuatu yang nyata. Tapi siapa bisa menyalahkannya? Ia kehilangan cara untuk mencintai selain terus mencari.

Malam harinya, ia tidur di posko, tapi hanya setengah tidur. Setiap suara cangkul terdengar seperti panggilan. Setiap gemerisik tanah terdengar seperti suara Syaribanun yang memanggil namanya.

Kadang ia meracau, “Banun… Abang sudah di sini. Jangan takut. Abang salah. Abang nyesal. Abang janji tak bakal marah lagi.”

Pada hari keempat, seseorang menemukan potongan kain floral yang tersangkut di akar pohon besar, setengah terkubur. Warna pink yang sudah kusam. Motif bunga kecil. Itu kain daster favorit Syaribanun yang biasanya ia pakai kalau sedang malas berdandan, yang ia pakai juga pada pagi ketika mereka bertengkar.

Bardan lunglai melihatnya. Ia mengambil kain itu, memeluknya, mencium bau tanahnya, berharap masih ada jejak aroma tubuh istrinya. Tapi yang ia hirup hanya bau lumpur. Lumpur dingin yang menelan semuanya.

Itu pertama kalinya ia menangis keras. Tangis yang tak keluar saat ia sadar kakinya lumpuh. Tangis yang tak keluar saat ia terbangun di atas kayu di tengah banjir. Tangis itu pecah seperti tanah longsor kedua.

“Banun… maaf…” suaranya hampir tak terdengar.

Hari demi hari, azan Bardan semakin lirih, bukan karena ia menyerah, tapi karena tubuh dan suaranya mulai kalah oleh kesedihan. Namun ada satu hal yang tidak pudar, keyakinannya bahwa jika ia terus memanggil, mungkin Allah berbelas kasih mempertemukan mereka, entah di dunia atau di akhirat.

Dan setiap selesai azan, ia tetap melakukan hal yang sama, memandang bukit luka itu, menunggu sesuatu bergerak, menunggu suara kecil memanggil namanya, menunggu satu keajaiban kecil untuk menutup penyesalan panjang yang tak akan pernah benar-benar sembuh.

Tapi sampai hari itu, hanya angin yang menjawab. Membawa sisa aroma tanah basah dan gema kesunyian yang membuat penyesalan Bardan terasa semakin dalam, semakin nyata, semakin menjerat.

Ia terus azan. Ia terus mencari.

Karena mencintai, bagi Bardan, bukan lagi tentang memiliki.

Tapi tentang menolak berhenti berharap, walau yang dicari mungkin sudah lama pergi.

***

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Slice of Life
Cerpen
Bandang
Hans Wysiwyg
Cerpen
Bronze
Jejak
Muhamad Irfan
Cerpen
Bronze
Lelaki Bermata Teduh Part-3
Munkhayati
Cerpen
Bronze
Rencana
Muram Batu
Cerpen
Bronze
Semangkuk Mie Ayam Sebelum Mati
Jasma Ryadi
Cerpen
Sofia
Rafael Yanuar
Cerpen
Lovely Family
choiron nikmah
Cerpen
Bronze
Senja
Bisma Lucky Narendra
Cerpen
Bronze
Dua Gadis Harukis & Lelaki Wibu
Juli Prasetya
Cerpen
Klung!
Zaki S. Piere
Cerpen
Bronze
Surat dari Jakarta
Ron Nee Soo
Cerpen
Ruang Temu
Lail Arahma
Cerpen
Bronze
Satu Hari Tanpa Ponsel
Wahyu Hidayat
Cerpen
Hal-Hal yang Tidak Pernah Kupelajari dari Ibu
Tresnaning Diah
Cerpen
Harapan Yuna dan Yuni
Mutia Ramadhanti
Rekomendasi
Cerpen
Bandang
Hans Wysiwyg
Flash
Laut Itu Luka
Hans Wysiwyg
Flash
Perahu Langit
Hans Wysiwyg
Flash
SEPULANG REUNI IBU SAKIT
Hans Wysiwyg
Flash
PAMIT
Hans Wysiwyg
Flash
DUNIA JUNGKIR BALIK
Hans Wysiwyg
Flash
SUPERMAN IN-KUMBEN
Hans Wysiwyg
Flash
Bangku Kosong di Baris Kedua
Hans Wysiwyg
Flash
MAKLAR
Hans Wysiwyg
Flash
ONLY-- Sometime Truth is Cruel
Hans Wysiwyg
Flash
Gadis Kecil Di Trotoar
Hans Wysiwyg
Flash
RUMAH SUNYI TANPA AKU
Hans Wysiwyg
Flash
Kota Sunyi Di Malam Hari
Hans Wysiwyg
Flash
CAFE LATTE MERAH
Hans Wysiwyg
Flash
Mimpi Teduh
Hans Wysiwyg