Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Drama
Balada Tempat Sampah
3
Suka
4,348
Dibaca

Rumah besar milik saudagar kaya di pinggiran kota besar itu, malam hari ini terasa hening. Semua penghuni rumah tengah asyik bergelung selimut di atas kasur empuk sambil berpelukan mesra dengan pasangan mereka. Dingin malam ini pun dengan mudah dapat dihalau.

Rumah ini terasa sepi, sungguh terasa jomplang di mana dua jam sebelumnya, suasana rumah ini sangat ramai, penuh dengan kemeriahan pesta ulang tahun salah satu anggota keluarga yang menghuni rumah ini.

Ketika semua anggota keluarga yang tinggal di rumah besar ini tengah bertualang dengan angan-angan mereka, ada satu penghuni yang berjalan lambat hendak menemui temannya di ujung lorong sana. Sebutlah si Umah, si tempat sampah rumahan.

Perlahan tapi pasti, si Umah akhirnya sampai di ujung lorong. Sahabatnya yang sudah setengah terlelap pun terkejut dengan kedatangan si Umah. “Umah! Ada apa denganmu? Kau tidak bisa tidur lagi?” seru si Kuning, yang sontak membangunkan saudara kembarnya.

“Ada apa? Kenapa?” tanya si Hijau, panik.

“Kenapa kau berteriak?” sahut si Merah, melihat sekeliling.

“Si Umah ada di sini, kurasa dia tidak bisa tidur lagi,” kata Si Kuning, memberitahu kedua saudara kembarnya.

“Umah? Ada apa denganmu?” tanya si Hijau, begitu melihat si Umah di sana.

“Aku penuh,” keluhnya. “Berat sekali, aku hendak beristirahat tadi, tapi di sana sepi sekali, aku tidak mau sendirian, jadi meskipun sulit berjalan, aku temui saja kalian di sini,” jelasnya, murung, membuat ketiga sahabatnya iba. “Bolehkah aku di sini dulu?” tanyanya.

“Dengan senang hati, Umah, tinggallah di sini,” jawab si Kuning.

“Malang sekali nasibmu, Umah, kulihat segala macam sampah dibuang padamu, itu merepotkan sekali, bukan?” ujar si Hijau, prihatin, si Umah menunduk lesu.

“Tinggallah di sini, Umah, kami akan temani kau mengobrol hingga kau siap untuk tidur,” ucap si Merah, tak tega melihat si Umah yang kepayahan, padahal hanya diam saja, tapi terasa sangat sesak bagi yang melihatnya.

“Memang pun aku ingin di sini dulu, tapi aku tak tenang, aku takut mereka mencariku bila aku tak ada di tempat,” kata si Umah.

“Biarlah mereka mencarimu, sudah sepantasnya, bukan? Kau jangan terlalu baik pada mereka,” kata si Hijau.

“Ah, aku tak tega. Lagi pun, bila mereka tak berhasil menemukanku, mereka pasti langsung menggantiku dengan yang baru, lalu aku dicampakkan dengan isiku yang masih penuh, aku tak ingin seperti itu,” jawab si Umah.

“Kau terlalu baik, Umah,” ujar si Merah.

“Tapi, yang kau katakan ada benarnya juga, Umah,” ungkap si Hijau. “Hm, aku kasihan padamu, Umah. Kau begitu penuh, dan semua hal mereka lemparkan padamu, bahkan meskipun sudah penuh, kulihat kau masih saja diisi, dijejalkan segala macamnya, hingga meninggi, melebihi tinggi dirimu sendiri,” lanjutnya.

“Begitulah yang terjadi, aku sebenarnya iri pada kalian. Kalian bisa berbagi satu sama lain, orang-orang tidak sembarangan membuang sampah pada kalian, mereka pasti memilahnya dulu, sedangkan aku, semua harus kuterima, mau itu sampah kering, basah, besar, kecil, bahkan yang sudah bau busuk sekalipun, semuanya harus kutelan, nasib, memang nasib,” papar si Umah.

Ketiga sahabatnya saling melempar pandangan, bingung harus menanggapi seperti apa keluhan si Umah ini.

“Tapi, kami pun tak selamanya senang, Umah, si Hijau misalnya, dia yang harusnya menerima sayuran saja, kadang-kadang harus tertimpa botol kaca dan berakhir melukai dirinya,” ujar si Kuning.

“Tapi tetap saja, kalian masih bisa berbagi keluh kesah, kalian masih bisa bersama-sama. Coba kalian lihat aku, semuanya harus kutanggung sendiri, harus kupikul ke mana-mana, bahkan ketika aku terkoyak sekalipun.” Si Umah menarik napas, dan menghembuskannya dengan kasar. “Padahal, aku juga butuh berbagi, aku juga butuh diperhatikan, aku tak selamanya bisa menanggung semuanya, aku juga bisa lelah,” ungkapnya. “Aku harus bagaimana, Kuning, Hijau, Merah? Kalian mempunyai saran untukku, agar aku bisa lebih baik lagi?” tanya si Umah, meminta bantuan.

“Oh, Umah, kau malang sekali, dunia terlalu kejam padamu, mereka sungguh jahat,” ujar si Kuning. “Ta-tapi, Umah, kenapa kau tidak memberontak saja? Bukankah kau punya hak untuk itu?” Tiba-tiba saja si Kuning mendapat ide.

“Betul itu Umah, aku setuju dengan si Kuning,” ujar si Hijau, semangat.

“Benar, Umah, kau memberontak saja,” ucap si Merah, setuju.

“Kalian benar, aku memang punya hak untuk melakukan pemberontakan. Tapi … tapi … setiap kali aku memikirkan untuk membangkang dari majikanku, mereka seperti sudah mengetahui rencanaku itu. Mereka dengan cepat melempariku dengan kepingan kaca, hingga aku tak ada pilihan lain, selain bertahan dan menerima sampah-sampah mereka,” jelas si Umah.

“Astaga, bagaimana ini? Kau harus segera dapat pertolongan, Umah. Tapi, bagaimana ya?” Si Merah terlihat berpikir keras, begitupun dengan saudara-saudaranya. “Aha! Begini saja Umah, kau pura-pura saja terjatuh, dengan begitu mereka pasti akan segera mengosongkanmu, mereka pasti akan sadar jika kau terlalu penuh, dan jika sudah begitu, kau bisa istirahat sejenak, itu lebih baik, bukan?” usulnya, menggebu-gebu.

“Ah, betul itu, kau patut mencobanya, Umah,” seru si Hijau.

“Aku setuju, Umah. Tunjukkan jika kau berani pada mereka, Umah, tunjukkan kau bisa berontak dan bertindak sendiri, agar mereka tidak seenaknya lagi padamu. Kau pasti bisa, Umah, tenang saja, kami akan mendukungmu, Umah,” kata si Kuning.

Si Umah seketika cerah wajahnya. “Itu ide yang bagus, aku patut mencobanya, aku setuju dengan usul kalian.” Ketiga temannya pun ikut senang mendengar si Umah yang kembali bersemangat. “Baiklah, besok aku akan coba menjatuhkan diri, seperti yang kalian bilang,” ucapnya, tersenyum. “Terima kasih untuk sarannya, aku tidak tau harus bagaimana jika tidak ada kalian. Sekali lagi, aku ucapkan banyak terima kasih, aku harus kembali, nanti aku temui kalian setelah aku berhasil,” pungkas si Umah, riang.

“Kau pasti berhasil, Umah,” seru ketiganya memberi semangat, si Umah mengangguk semangat.

Si Umah pun kembali ke tempatnya semula, langkahnya terasa ringan, memikirkan kemenangan dirinya yang seolah-olah sudah di depan mata. Belum pernah dirinya merasa sangat bahagia seperti ini, harapannya sungguh sangat tinggi, semoga saja usul kawan-kawannya tak sia-sia, dan dirinya bisa sedikit beristirahat sesuai harapan.

***

Semburat bayangan pagi mengintip ke celah-celah jendela rumah bertingkat ini, cahayanya membangunkan si Umah yang langsung bersemangat. Semangatnya semakin menggebu-gebu, kala dirinya mengingat rencana yang sudah ia susun matang-matang, atas saran dari sahabat-sahabatnya semalam.

Si Umah diam menanti penghuni rumah terbangun, ia jadi tak sabar, adrenalinnya terpacu dengan cepat. Tak seperti biasanya, si Umah menunggu penghuni rumah untuk membuang sampah padanya, padahal di hari-hari lain si Umah selalu berusaha menyembunyikan diri, agar tak ada yang mengisi dirinya dengan sampah-sampah yang dihasilkan manusia, meskipun itu sudah menjadi takdirnya.

Seseorang yang ditunggu-tunggu pun akhirnya datang, si Sulung yang pertama terbangun kali ini. Seperti biasa, kulkas merupakan tujuan utama siapa pun yang terbangun di pagi hari, si Sulung ini pun tidak melewatkannya, ia pergi ke depan pintu, kemudian membawa beberapa kotak susu dan sereal.

Inilah yang Umah nantikan, skenario yang ia buat semalam harus dilakukan, tidak ada waktu lagi, pikirnya selalu. Si Umah rencananya akan pura-pura terjatuh ketika si Sulung melempar kotak susu dan tempat sereal padanya.

Ketika si Umah tengah diliputi pikirannya sendiri, tiba-tiba saja…

Wush …

Kotak susu berhasil mendarat mulus ke dalam si Umah. Oho, sudah dimulai, tapi ini masih belum, batinnya. Tunggu pembalasanku, hey kau manusia, kekehnya dalam hati.

Wush! Wush!

Kotak susu kedua melayang lambat di udara, diikuti kotak sereal yang masih ada sedikit sisanya. Si Umah membuncah, hatinya berdebar-debar, tak sabar untuk beraksi. Mata si Umah mengikuti gerak lambat dua kotak sampah itu. Ini dia, ini dia, aku akan beraksi, satu … dua … tiga …

Srek!

Begitu dua kotak sampah itu masuk padanya, si Umah segera menjatuhkan diri. Si Umah tersenyum, bangga pada dirinya sendiri, rencananya telah berhasil ia lakukan. Berhamburan semua isinya, berserakan lantai putih itu. Air dari dalamnya keluar, menyebarkan bau busuk yang sudah mengendap lebih dari seminggu itu, menyengat hidung siapa pun, tak tertahankan.

Si Umah tertawa, puas hatinya, ia tak memperdulikan sekitarnya yang berantakan. Aku berhasil, aku berhasil! Rasakan itu, kau manusia! Jangan macam-macam padaku, serunya dalam hati. Aku bisa melawan, aku tidak bisa tinggal diam saja, sekarang rasakan itu, lihat berantakan sekali rumah ini, rasakan kau, teriaknya, meskipun tidak ada satu orang pun yang mendengarnya.

“Brengsek! Ini masih pagi!” bentak si Sulung, melihat keadaan rumah yang tiba-tiba berantakan oleh sampah.

“Aku juga tau,” cicit si Umah, tersenyum puas. “Ini balasan dariku, terima saja. Dasar kau si manusia.”

Si Sulung mendekati si Umah, sampah-sampah yang terlanjur berserakan di sekitarnya ia tendang dengan kasar, beterbangan sampah-sampah itu, mengotori penjuru rumah. Begitu si Sulung berada di depan si Umah, ia menginjak-injak si Umah dengan brutal. “Aw!” jerit si Umah. “A-aku … ja-jangan ….” Sayang, seberapa pun ia keras berteriak, si Sulung tidak akan mendengarnya.

“Dasar, tempat sampah sialan! Tak berguna!” si Sulung terus menginjak-injak si Umah, sampai-sampai si Umah tak berbentuk, bagian atasnya terkoyak, sisi-sisinya patah, hancur sudah si Umah. Puas menginjak si Umah, si Sulung pun menendangnya jauh ke sudut rumah. “Brengsek!”

“Ke-kenapa? Ke-kenapa jadi seperti ini? Ini bu-bukan yang a-aku mau … i-ini bukan yang a-aku inginkan,” ratapnya, terisak. “Ke-kenapa? Ke-kenapa … semuanya tak sesuai rencana? Kenapa semuanya tak adil padaku? Kenapa?!” rutuk si Umah di sudut rumah, sendirian.

***

Sementara itu di ujung lorong, ketiga sahabat si Umah tengah asyik berdiskusi. “Si Umah pasti sudah berhasil, bukan?” tanya si Kuning.

“Harusnya berhasil, itu ide yang sangat bagus, pasti si Umah bisa berleha-leha sekarang, ia butuh istirahat, selama ini dia terlalu bekerja keras,” jawab si Hijau.

“Memang, sudah seharusnya si manusia itu berpikir, tidak boleh didiamkan terlalu lama, jangan biarkan mereka berbuat semena-mena pada kita,” seru si Merah.

Berbeda dengan si Hijau dan si Merah, si Kuning merasa gelisah tanpa sebab. “Harusnya berhasil, bukan? Semalam kita sudah memberikan saran yang terbaik, bukan? Itu ide yang sangat bagus, bukan? Tapi, kenapa perasaanku tidak enak?” Si Kuning merenung dalam, dia benar-benar tak tenang, padahal belum tau keadaan si Umah.

“Sudahlah, dia pasti berhasil, aku yakin dia pasti berhasil, kita percayakan saja padanya. Kau tak perlu khawatir, dia baik-baik saja,” ujar si Hijau, menenangkan.

“Benar, jangan berprasangka buruk, Kuning, itu tidak baik, tenang saja, si Umah pasti menang melawan manusia-manusia itu,” tambah si Merah.

“Semoga saja,” ucap si Kuning, masih tidak karuan hatinya.

“Kita tunggu saja dia, pasti sekarang dia sudah kosong, tak sabar aku melihat si Umah tersenyum riang,” ucap si Hijau.

“Kuharap juga begitu,” balas si Kuning.

Pembicaraan pun berhenti, ketiga sahabat si Umah itu menunggu dengan pikiran masing-masing. Ada harap yang kemudian menjadi cemas di antara mereka, meskipun begitu, harapan mereka sama ingin si Umah terbebas dan merasakan kekosongan sebentar saja, dari beban yang selama ini harus terpaksa ia pikul.

Di tengah harap yang khidmat itu, derap langkah kasar mengejutkan ketiganya, mereka tau itu si Sulung, yang selalu mereka hindari meskipun tidak mungkin itu terjadi. Mereka ketakutan, juga timbullah kekhawatiran, tegang, juga takut. Pikiran ketiganya sama, ada apa gerangan, tak biasanya si Sulung jauh-jauh melangkahkan kakinya pada mereka.

Si Sulung sudah di depan mereka, terlihat oleh mereka wajahnya penuh urat marah, juga merah padam, ketiganya semakin ketakutan. Mereka bahkan rela menahan napas, mengantisipasi perangai buruk si Sulung, sebab bila sudah mengamuk, semuanya bisa ia babat habis.

Hingga tiba-tiba, dari tangan si Sulung, sosok Umah terlihat dalam keadaan tak berbentuk. “Umah,” desis mereka bersamaan, namun itu belum seberapa, seolah keterkejutan mereka belum boleh selesai, karena si Sulung tiba-tiba saja membanting si Umah begitu kasarnya ke dalam si Kuning.

“Sialan! Menyusahkan saja,” berang si Sulung, kemudian ia berlalu meninggalkan mereka yang diliputi duka.

Histeris, si Umah menangis dengan histeris, membuat kawan-kawannya tak tega, iba melihat si Umah, mereka pun ikut menangis, tak bisa berbuat banyak pada sahabatnya itu. Hancur sudah si Umah, tak berbentuk, sudah tak bisa lagi dipakai.

Harapan kawan-kawannya, mungkin terwujud, si Umah akhirnya kosong dan bisa beristirahat, tapi bukan seperti ini yang mereka inginkan. Si Umah bukan hanya kosong, tapi juga harus merelakan dirinya beristirahat untuk selamanya.

“A-aku me-memang … ti-tidak … berguna …,” lirih si Umah tersengal-sengal, begitu pilu.

“Umah! Maafkan kami, Umah!”

“Umah ….”

“Maafkan kami ….”

Menangis, semuanya menangis penuh kepiluan, tak ada lagi yang bisa dilakukan si Umah dan teman-temannya. Tak akan ada lagi si Umah di rumah itu, yang tersisa tinggallah rasa bersalah yang entah kapan akan bisa hilang.

Padahal saran mereka bukan untuk melihat si Umah jadi seperti ini, padahal saran mereka hanya agar si Umah bisa lebih leluasa, padahal harapan mereka hanya ingin melihat si Umah dikosongkan dan dibersihkan, bukan “dibersihkan” seperti ini.

Sekarang, bagaimana mereka menebus semua rasa bersalah itu, bagaimana mereka bisa hidup dengan bayang-bayang tangisan si Umah yang akan selalu berputar di kepala mereka. Oh, sungguh malang bagi keempatnya, Umah mungkin hanya akan hilang, tapi tidak bagi mereka.

Si Umah pergi menyisakan rasa bersalah, si Umah tinggal kenangan.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi dari Drama
Cerpen
Balada Tempat Sampah
Yutanis
Novel
Bronze
Star-crossed
Liz Lavender
Flash
Indah Pada Waktunya
Wilis Juharini
Flash
Nyonya Gerda dan Sepasang Rusa
Sulistiyo Suparno
Novel
Sinus Rhythm : You are my PQRST
Twyta Hakim Wening Kalbu
Novel
Gold
Super Bunda
Mizan Publishing
Novel
IKATAN PEJUANG
NUR C
Skrip Film
Hello, Brother!
Lilis Alfina Suryaningsih
Cerpen
Dia yang Memandang dari Seberang
Habel Rajavani
Novel
Bronze
Odik Teros
Yesno S
Flash
Bronze
Beruang Lapar
Sulistiyo Suparno
Flash
Bronze
Ide-Ide Pak Edi
Sulistiyo Suparno
Cerpen
Bronze
The Secret Behind of Aquarius Boy|| PART 1 |
M. Afif Ian Ramadhan
Novel
Hue and Flowers
Zaki Sulaiman
Novel
Bronze
ANGEL WITHOUT WING
Angie Wiyaniputri
Rekomendasi
Cerpen
Balada Tempat Sampah
Yutanis
Flash
Masih Pantaskah Kau Kupertahankan
Yutanis
Novel
BANDUNG TERUNGKAP
Yutanis
Cerpen
Belenggu yang Memudar Dimakan Zaman
Yutanis
Flash
Masih Pantaskah Kau Kupertahankan
Yutanis
Flash
Masih Pantaskah Kau Kupertahankan
Yutanis
Cerpen
Tidak Ada Doa Panjang Umur
Yutanis
Flash
Masih Pantaskah Kau Kupertahankan (End)
Yutanis
Flash
Laras Hebat!
Yutanis
Flash
Hukuman Paling Berat
Yutanis
Novel
ZAGADKA: Di Ujung Pintu Rimba Gunung Marapi 2.891 mdpl
Yutanis
Flash
Kejar Woi, Kejar!
Yutanis
Flash
KECEWA
Yutanis
Flash
Masih Pantaskah Kau Kupertahankan
Yutanis
Flash
Tolong Lihat Aku
Yutanis