Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Slice of Life
Balada Orang-Orang Penguburan
2
Suka
1,617
Dibaca

“Innalillahi. Akhirnya ... ada orang meninggal.”

Pukul tujuh pagi setelah toa-toa masjid menggemakan kabar kematian salah satu penduduk kampung, Broto langsung bergegas menyiapkan cangkul-cangkul dan sekop-sekop. Besi-besi itu dia jajarkan di serambi rumahnya. Kemudian dia duduk di kursi rotan, menunggu kawannya datang. Segelas kopi sudah diseduhnya saat toa selesai berkumandang. Harapannya, semoga segelas kopi encer itu bisa membakar tenaga untuk menggali lubang sedalam dua meter nanti.

Hampir sepuluh menit termenung, kawan Broto, Samidi namanya, lelaki usia empat puluh satu, seorang pengangguran juga, datang dengan topi bundar yang bertengger di kepala. Kedatangan Samidi itu selalu diiringi dengan sepeda motor butut yang bisingnya bukan main. Suara knalpotnya barangkali bisa membangunkan bayi tidur. Untung saja tidak ada bayi di rumah Broto.

“Brot, katanya jam sepuluh nanti jenasah mau diturunkan,” ujar Samidi, sambil membuka topi. Dia melirik ke arah gelas di atas meja. Tatapan Samidi penuh harap tetapi kemudian cepat-cepat dialihkannya.

“Tumben. Biasanya sore?” tanya Broto, pura-pura tak menyadari gelagat mata Samidi.

“Keluarganya minta cepat. Katanya tak boleh kalau lama kali jenasah di dunia. Takut digigit nyamuk.” Samidi tertawa kecil.

Huuussh! Broto mendelik.

Tawa Samidi terhenti. Demi terhindar dari ceramah, cepat-cepat dinyalakannya sepeda motor dan membonceng Broto, melaju membelah jalanan yang masih basah oleh embun.

Broto merapatkan jaket yang tak ber-risleting. Kedua telapak tangan dikepitnya di ketiak. Sambil menunggu lima menit hingga tiba di kuburan, Broto menguap. Rasa kantuk masih menguasai dirinya. Jika saja bukan karena sejengkal perut, barangkali di jam segitu dia masih terlena di bawah selimut.

Klontang-tang-tang-tang!

Segera suasana sunyi senyap perkuburan berubah ramai karena motor Samidi yang menyalak. Saking bisingnya, suaranya itu mungkin tak hanya bisa membangunkan bayi tidur, melainkan juga bisa mengejutkan orang-orang mati. Knalpot butut beserta motor yang sama bututnya itu memang sudah seharusnya berada di gerobak rongsokan, bukan malah berkeliaran di penjuru kampung.

Setelah motor benar-benar padam, Broto turun beserta cangkul-cangkul dan sekop-sekop yang ditentengnya. Bunyi kluntang-klunting logam beradu menandakan bahwa pekerjaan kedua lelaki itu hampir bermula. Di tempat seluas lapangan bola itu, sejauh mata memandang, yang tampak hanyalah tanah bergunduk-gunduk. Beberapa ditutupi keramik mengilap. Beberapa ditutupi rumput. Beberapa ditumbuhi bunga kamboja. Beberapa lainnya dibiarkan gundul tanpa tanaman.

“Kita berdua aja?” tanya Broto, mengedarkan pandangan ke seluruh area, ke arah batang-batang kamboja yang tumbuh sembarangan.

Sambil menyulut sebatang rokok Samidi mengangguk. “Jono sakit. Asam uratnya kambuh.

“Tapi bagus, lah. Upah bagianku bisa agak banyakan. Besok istriku mau periksa ke dokter,” sambung Samidi.

Ha-ha-ha! Broto tertawa.

“Kenapa?” tanya Samidi.

“Untung aku tak punya istri.”

Samidi terdiam.

“Tapi tiga hari lalu kau baru dapat uang bantuan dari desa?” tanya Broto.

“Habis. Buat belanja baju bayi. Ini masih butuh lagi untuk ongkos ke rumah sakit besok. Yu-es-ge.”

Broto tertawa lagi. Namun Samidi tak menanggapi. Barangkali lelaki bertopi itu sudah mengerti. Broto pasti akan menyahuti: “Untung aku tidak punya istri.”

Broto lalu mengeluarkan tali rafia kuning. Samidi bergerak, menarik ujung tali lainnya, mengukur di atas tanah, lalu menancapkan kayu-kayu kecil membentuk empat sudut persegi panjang.

“Kita kerja pagi-pagi buta begini, dapat uang, terus langsung ludes, ya.”

Samidi tertawa. “Aku, yang penting asal masih bisa mencium baunya walaupun sebentar, enggak apa-apa, Brot.”

Samidi hampir sama susahnya seperti Broto. Dua lelaki itu hidup pas-pasan setiap hari. Pas untuk makan. Pas untuk rokok. Pas untuk kopi. Jangankan baju bagus dan kendaraan mewah, untuk sekilo beras pun seringkali harus berutang. Untungnya masih ada banyak kedai kecil-kecilan yang bersedia menangguhkan laba demi menjaga perut tetangga dari lapar dan dahaga.

Jangan tanya seperti apa usaha Broto dan Samidi untuk jadi kaya. Macam-macam usaha sudah mereka upayakan. Macam-macam upaya sudah mereka usahakan. Dari mulai saran tetangga, hingga saran dukun kampung sebelah. Pun soal meyakini filosofi bekerja siang dan malam demi cepat kaya: siangnya mereka menggali kubur. Malamnya mereka menjajal usaha lain.

Katakanlah, ketika suatu sore Broto tiba-tiba mengajak paksa Samidi untuk berburu nomor di atas kuburan pada jam dua belas malam. Gara-gara itu, Broto menggigil, Samidi masuk angin, batuk, pilek. Bahkan setelah nomor didapat, mereka tetap gagal kaya. Bandar togelnya ditangkap polisi. Polisinya minggat. Uang milik mereka, lenyap. Untungnya Samidi dan Broto tidak ikutan ditangkap; untungnya pagi itu motor Samidi mogok; untungnya mereka terlambat sejam di tempat mangkal si bandar itu.

Pernah juga mereka nekad mencuri tali pocong untuk dijual. Kata orang-orang harganya mahal dan bisa cepat bikin kaya. Belum pun tali didapat, Samidi lari tunggang-langgang. Broto ditinggalkan sendirian. Sesosok kuntilanak berbaju putih hinggap dan tertawa-tawa di pohon beringin dekat kuburan di malam itu. Keesokan harinya, Broto demam, tubuhnya panas dingin. Sisa upahnya menggali satu liang kuburan di bulan itu bahkan tak cukup untuk membayar biaya berobat ke sana-kemari. Emaknya pun mengomel panjang lebar.

Entah karena kemalangan atau karena kewarasan, sejak hari itu Broto dan Samidi kapok: kapok mencari nomor togel, kapok mencari tali pocong, dan kapok dengan hal-hal nyeleneh yang merepotkan lainnya.

“Mungkin kita ditakdirkan cari rejeki yang halal-halal ya, Brot,” ujar Samidi kala itu, lesu.

Suara sirine ambulans meraung dari kejauhan, pertanda mayat akan segera tiba. Samidi dan Broto bergegas membereskan sekop-sekop yang berserakan di tanah.

“Loh, jenazahnya enggak dipanggul?” tanya Broto.

“Orang kaya, kan, beda, Brot. Buat apa capek-capek dipanggul. Kan, bisa bayar ambulans.”

Broto manggut-manggut. Bulir-bulir keringat mengalir bebas di dahinya juga dahi Samidi. Kulit-kulit setengah tua nan sedikit keriput itu makin berkilau saat diterpa sinar matahari jam sepuluh.

Srak! Sruk! Srak! Sruk!

Tanah-tanah mulai berhamburan menutupi tubuh si mayat. Broto dan Samidi sama-sama bekerja keras menutup liang. Tak lama, terbentuklah sebuah gundukan yang di atasnya ditancapkan nisan bertuliskan biodata almarhum. Setelah itu, seteko air bersih akan mengucur. Sekeranjang kelopak bunga beraneka warna ditaburkan menggunung, tumpah-ruah menyelimuti makam. Broto melirik bunga-bunga itu, melirik Samidi. Lalu melirik bunga-bunga lagi.

Selepas ritual dilaksanakan, satu per satu orang-orang sekampung akan meninggalkan pemakaman, pulang ke rumah masing-masing, melupakan cuaca panas di perkuburan, dan akan bersua kembali di tempat yang sama jika ada salah satu dari mereka yang mati kemudian.

Broto membereskan cangkul-cangkul dan sekop-sekop. Di kepalanya terbayang dua kilo beras serta lima butir telur yang akan dibelinya nanti. Sudah dua hari berturut, dia dan Emaknya hanya menyantap bubur nasi rasa garam tanpa lauk dan pauk.

Samidi bergerak menyalakan motor. Di kepalanya terbayang wajah istrinya, terbayang wajah ibu mertuanya, terbayang pula wajah para dokter yang memeriksa bayinya, bayi pertama Samidi.

Setelah doa berakhir dan keadaan jadi sepi, dua lelaki itu ikut-ikutan berpacu meninggalkan area perkuburan. Di atas motor, hati mereka melantunkan doa-doa pujian berbarengan dengan balada ringan sehabis gajian.

“Brot!”

“Hmm?”

“Besok ada orang mati lagi, enggak, ya?”

~

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (1)
Rekomendasi dari Slice of Life
Cerpen
Balada Orang-Orang Penguburan
Haryati SR
Cerpen
Kalung Ini Ruby Pinjam
Rizky Siregar
Cerpen
Bronze
Mawar Putih dan Pria Tanpa Kata
Saifoel Hakim
Cerpen
Yang tak pernah sampai
Kai Skala
Cerpen
Bronze
BERHENTILAH BAIK
Husni mubaroh
Cerpen
Bronze
The Second Wife
Rani Rosdiana
Cerpen
Bronze
Bahtera di Lautan Waktu
Haswardi Eka putra
Cerpen
Gunung dan Kucingnya
Nidaul Ainiyah
Cerpen
(Serasa) Ngga Punya Tetangga
Amalia Puspita Utami
Cerpen
Goodbye, My Cats
May Marisa
Cerpen
Bronze
Lautan dan Semangkuk Sup
Ismail Ari
Cerpen
Bronze
Si Anak Angkat
Veara Mart
Cerpen
Yang Tak Pernah Tersembuhkan
Lukman hakim
Cerpen
Kisah Rubah
Rafael Yanuar
Cerpen
Bronze
Janji Tak Akan Ingkar
Galih Priatna
Rekomendasi
Cerpen
Balada Orang-Orang Penguburan
Haryati SR
Cerpen
Tentang Sebuah Halo
Haryati SR
Cerpen
Perjalanan ke North-Hill
Haryati SR
Cerpen
Cara Melipat Luka
Haryati SR
Cerpen
Tokoh Saya yang Bernama Marya
Haryati SR
Cerpen
Manor Adolstein
Haryati SR
Cerpen
Solusi Jatuh Cinta Lagi
Haryati SR
Cerpen
Riwayat Penghuni Pohon Nangka
Haryati SR
Flash
Tuntutan Ra
Haryati SR
Cerpen
Kisah Ular
Haryati SR
Flash
Aturan Minum
Haryati SR