Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
“Bu Endel! Teh manis anget satu!”
Endel yang sedang mempersiapkan bahan-bahan untuk bakwan di dalam rumahnya tergopoh-gopoh masuk warung. “Oalah… Bu Sekar. Tumben pesan minum di sini? Habis jalan-jalan?”
Sejak diopname enam bulan lalu gara-gara sakit jantung dan lambung bengkak yang membuatnya kadang sulit bernapas, Sekar jarang sekali ke luar rumah. Sekalinya ke luar rumah, dia tidak kuat lama-lama. Apalagi kalau jalan kaki. Biasanya, kalau kelelahan, dia mampir dulu di warung Endel dan memesan minuman.
“Habis dari pasar. Bosan aku titip-titip belanja sama Puspa. Banyak ngatur. Nggak boleh beli ini, itu. ‘Nanti siapa yang masak? Aku emoh, ya, nggak sempat,’ selalu begitu bilangnya. Terus, aku harus bagaimana? Aku, kan, juga kepengin belanja sendiri, pengin masak sendiri… Eh, eh, tehnya jangan kental-kental. Gulanya satu sendok teh saja, Bu Endel.” Sekar ngomel-ngomel sekaligus mengadu.
Dengan cekatan Endel menuangkan air seduhan teh ke dalam gelas untuk Sekar. Ditambahkannya satu sendok teh gula pasir yang kemudian dia larutkan dengan air panas dari termos. Teh manis hangat untuk Sekar pun siap disajikan.
“Oooh, ceritanya belanja sendiri, nih?” tanya Endel seraya menyodorkan pesanan Sekar.
Sekar menerima gelas itu dengan hati-hati. “Iya, tapi malah jadi masalah buat Puspa.”
Endel memperhatikan Sekar menghidu aroma teh.
“Tehnya wangi. Sampeyan pakai teh merek apa, Bu Endel?”
“Merek ini, nih.” Endel menunjukkan bungkusan teh bubuk yang dia pakai untuk membuat minuman teh di warungnya.
“Oalah… aku nggak pernah beli merek itu. Besok-besok kalau ke pasar aku beli, ah.”
Endel membiarkan Sekar menyeruput teh buatannyadengan nikmat. “Apa masalahnya, Bu Sekar? Sampeyan belum cerita yang jelas,” tanyanya setelah Sekar meletakkan gelasnya di atas meja.
“Ya, itu, anakku ngomel-ngomel. Aku sudah beli ayam dua kilo kemarin. Belum dimasak, masih disimpan di freezer. Terus tadi aku beli ikan patin 1 ekor, bandeng presto tiga ekor. Semuanya sudah dipotong-potong dan dibumbui. Tinggal dikukus atau digoreng. Telur dua kilo juga masih ada. Maksudku buat stok biar nggak usah ke pasar-pasar lagi.
“Eeeh… si Puspa malah marah. Dia nggak mau kulkasnya kepenuhan gara-gara aku nyetok bahan makanan. Dia maunya aku masak dulu lauk yang aku beli kemarin, soalnya dia masih punya sosis dan kornet. Kalau sudah habis, baru aku belanja lagi. Tapi, kan, aku nggak mau anaknya kelaparan. Zahwa senang menggado lauk. Nasinya cuma ambil sedikit. Kalau mamanya kerja, otomatis dia minta makannya ke aku, kan?
“Jadi aku belanja lauk banyak-banyak buat anaknya juga. Yang masak biar Puspa sebelum berangkat kerja. Lah, malah aku dimarahi. Aku, loh, masing sudah tua begini, masih pengin jadi orang yang berguna. Daripada merepotkan anak dan cucu.”
Endel tersenyum geli membayangkan Sekar dimarahi Puspa. Ibu dimarahi anaknya. “Terus, jadinya diapakan lauk-lauk itu? Dimasak?”
“Ya, nggaklah. Wong, Puspanya juga keburu ngamuk.”
“Loh, piye, toh? Diapakan, dong, ikannya?”
“Itu dia yang buat aku bingung. Aku kesal dengan sikap anakku yang tak tau berterima kasih sama orang tuanya. Sudah bagus kubantu, malah marah-marah. Gimana-gimana juga aku nggak tega lihat dia kerja tiap hari, ninggalin anaknya. Disuruh menikah lagi nggak mau. Tapi, ya, gitu.
“Aku sempat kepikiran buat membuang ikan-ikan yang sudah kubeli tadi. Tapi aku pasti tambah menyesal, Bu Endel. Eh, tiba-tiba saja aku kepikiran Mbak Nana. Itu, loh, anaknya Pak Bagyo. Orangnya rajin masak, suami dan anak-anaknya senang makan ikan. Yo wes, tak kasihkan dia saja.”
“Sampeyan barusan ke rumah Mbak Nana?”
Sekar mengangguk, lantas kembali meneguk tehnya. “Iya. Ditunggu-tunggu nggak lewat. Biasanya, kan, dia ke pasar tiap hari. Nggak tahunya dia sudah ke pasar tadi subuh sebelum anak-anaknya ke sekolah.”
“Syukurlah, Bu, ada yang mau nerima. Kalau nggak, sampeyan tambah bingung dan menyesal. Tapi, ya, kapan-kapan, kalau kelebihan lauk lagi, donasikan saja ke sini, Bu.”
“Oh iya. Kok, aku nggak inget sampeyan ya? Halah! Orang sudah tua. Cepat lupa. Sebentar lagi paling aku pikun,” keluh Sekar.
Endel cuma tertawa.
***
Nana meletakkan bungkusan ikan pemberian Sekar di dapur. Di sana, berderet belanjaannya yang dia beli tadi subuh. Niat Nana belanja subuh-subuh sebetulnya untuk membeli jajan buat bekal anak-anaknya, tapi kemudian dia memutuskan untuk sekalian belanja supaya tidak bolak-balik ke luar rumah. Apalagi, lewat pukul enam, jalan sudah ramai. Saban pagi dan sore, kalau tidak siang, jalan ramai oleh para pengantar-jemput anak-anak sekolah dan orang-orang yang mau berangkat dan pulang kerja.
“Banyak banget belanjaannya?” tegur Banu setelah mengantar putri bungsu mereka ke sekolah. Nana dan Banu punya tiga anak. Yang sulung kelas dua SMP, yang tengah kelas tiga SD, dan yang bungsu baru duduk di kelompok B taman kanak-kanak.
“Yang itu belanjaanku. Kalau yang ini,” tunjuknya pada dua kantong berisi ikan patin dan bandeng presto siap goreng, “dari Bu Sekar.”
Banu mengangkat salah satu kantong. “Ini ikan apa?”
“Patin. Yang ini bandeng presto ala ala. Bukan bandeng presto kotakan yang mahal itu.”
“Semuanya dari Bu Sekar?”
Nana mengangguk.
“Kok, bisa?”
Nana lantas menceritakan hal yang dikisahkan Sekar saat memberikan ikan siap goreng tadi. “Dia merasa berdosa karena sudah belanja banyak, tapi anaknya nggak mau masak. Daripada dibuang, dia pikir lebih baik diberikan ke kita. Bu Sekar, kan, tahu kalau kita lebih suka makan ikan ketimbang ayam.
“Rencanaku, hari ini masa ayam panggang kecap. Tapi ada ikan-ikan dari Bu Sekar, nih. Gimana?”
“Aku lagi bosan makan ikan,” jawab Banu tegas. “Anak-anak juga mintanya ayam, kan?”
Nana mengangguk. “Tapi kalau kita makan ayam, ikannya gimana? Buat besok saja?”
Banu menimbang-nimbang. Dia kurang menyukai kedua ikan dari Sekar itu. Nana semakin bingung ketika melihat suaminya geleng-geleng.
“Masukkan ke freezer dululah. Kalau anak-anak pulang, tanya mereka, mau makan ikan, nggak? Kalau nggak, secepatnya ikan itu harus dikasihkan ke orang lain. Biarpun dimasukkan ke freezer, tetap saja udah nggak segar lagi.”
Nana mengernyitkan kening. “Dikasihkan siapa, ya?”
Banu mengangkat bahu. “Kita pikirkan nanti saja. Siapa tahu anak-anak tiba-tiba mau makan ikannya.”
Ternyata, anak-anak Nana juga tidak mau makan ikan. “Bosan, Bu. Aku maunya ayam atau telur. Tempe juga nggak apa-apa, pakai sambal.”
Kerap Nana bingung memilih menu buat makan keluarganya. Sudah dimasakkan macam-macam, nggak tahunya suami dan anak-anaknya minta telur ceplok. Sengaja tidak ke pasar karena masih punya stok telur dan tahu, eeh keluarganya minta ayam. Belum lagi ayahnya, Pak Bagyo, punya selera yang berbeda dengan Banu dan ketiga cucunya. Dalam sehari, Nana bisa memasak berbagai macam menu masakan.
Nana pernah berpikir, buat makan, kok, dibuat sulit? Tetapi saat dia mengutarakan kegelisahannya itu pada sang suami, Banu malah membela diri dan anak-anaknya. “Kami, kan, meringankan pekerjaanmu dengan makan tahu-tempe-telur-ayam. Nggak ada maksud bikin kamu tambah repot.”
Kenyataannya, ketika bosan makan tahu-tempe-telur-ayam, Banu dan anak-anak ogah-ogahan makan sambil tak henti-hentinya mengeluh bosan. Nana cuma bisa mengelus-elus dada. Dia sendiri kadang tidak berselera makan bukan karena bosan, tetapi karena butuh ketenangan yang kerap tidak dia dapatkan setelah berumah tangga.
Nana juga tidak habis pikir, untuk urusan dapur yang disebut-sebut urusan istri atau ibu, kenapa harus atas persetujuan suami dan anak-anak? Kenapa tidak bisa dia sendiri yang memutuskan mau memasak apa.
Memikirkan semua itu bikin Nana tambah puyeng. Dia menghela napas dan mengalihkan pikirannya dengan mengingat-ingat nama-nama tetangganya. Dia kurang akrab dengan mereka semua.
Besok paginya sehabis Nana mengantar anak-anaknya ke sekolah, lewatlah Risma, tetangga sebelah rumah.
“Pagi, Tante,” sapa Nana dengan ramah. Dia memanggil Risma dengan sebutan tante karena usia perempuan itu jauh lebih tua darinya.
Risma menghentikan langkahnya untuk berbasa-basi sebentar dengan tetangga sebelah rumahnya itu. “Pagi. Habis mengantar ke sekolah?”
Nana mengangguk. “Iya, Tante. Mau ke pasar?”
“Iya. Om Kusno lagi pengin makan asem-asem ikan.”
Mendadak, Nana teringat ikan siap goreng pemberian Sekar. “Ah, Tante, saya lupa. Kemarin saya beli ikan kebanyakan. Biasa, kadang suka kalap belanjanya. Hehehe. Eh, ternyata Mas Banu dan anak-anak nggak mau. Papa juga nggak suka. Jadinya nggak saya masak. Kalau tante mau, saya ambilkan, deh.”
“Ikan apa?”
Nana tidak tahu selera Risma. Karena biasanya yang dibuat asem-asem adalah bandeng, dia pun menjawab, “bandeng.” Tidak peduli bandeng yang ada di freezer-nya bandeng duri lunak yang tidak cocok dibuat asem-asem. Bagi Nana, yang penting sama-sama bandeng dan isi freezer-nya berkurang.
Risma meminta kepastian jika Nana tidak akan mengolahnya.
“Bener, Tante. Sebentar, ya, saya ambilkan.”
Senyampang Nana masuk rumah untuk mengambil ikan siap goreng, Risma merasa sangsi. Sejujurnya, dia tidak terbiasa menerima pemberian orang. Apalagi makanan. Risma lebih suka membelinya langsung di pasar, biar bisa memilih bahan-bahan makanan sendiri. Tetapi Nana kadung masuk rumah dan Risma tidak bisa pergi begitu saja.
Tidak sampai lama, Nana kembali sambil menenteng kresek berisi dua kantong ikan. “Ada bonus ikan patin, Tante. Semuanya sudah dibumbui, tinggal digoreng.”
Belum sempat memeriksa ikan yang sudah beku itu, Risma tertegun. “Waduh! Om Kusno nggak suka patin, tuh! Tante ambil bandengnya saja, ya.”
Gantian Nana yang tertegun. Niatnya membersihkan kulkas alamat urung. “Ambil saja, Tante. Patin juga enak dibuat asem-asem. Saya pernah coba.” Nana berusaha membujuk Risma untuk mengambil semua ikan dalam kresek.
“Kalau begitu, kamu saja yang masak patinnya. Kalau asem-asemnya pakai ikan lain, Om Kusno nanti nggak suka.” Risma mengangsurkan kresek ikan pemberian Nana.
Dengan halus Nana mendorong kresek itu kepada Risma sambil menggeleng. “Ikan patinnya buat tante saja, kalau Om Kusno nggak mau. Tante coba sendiri, deh. Pasti enak. Kalau nggak mau dibuat asem-asem, digoreng saja. Dimakan sama sambal. Enak, kok, kayak ayam goreng.”
Risma tidak mau berlama-lama. Dia juga khawatir kalau tidak mengalah akan terjadi perseteruan dengan tetangga sendiri. Desa Wufi dikenal sebagai desa yang damai dan tenteram. Jangan sampai ada keributan hanya gara-gara dua tetangga saling bersikeras dengan niat masing-masing.
“Ya, sudah, deh, tante ambil semuanya. Makasih, ya.” Risma mengalah dan pamit pulang pada Nana.
Seperginya Risma, Nana mengunci pintu pagarnya dengan hati yang lapang.
***
Bukan Risma namanya kalau tidak teliti sebelum melakukan apa saja. Tidak terkecuali memasak. Dicermatinya semua bahan. Diperiksanya stok bumbu-bumbu, apakah sudah membusuk atau masih segar. Dibacanya label bahan-bahan makanan atau bumbu instan, apakah sudah kedaluarsa atau masih bisa dipakai.
Hal yang sama dia lakukan terhadap ikan-ikan pemberian Nana. Dia tidak pernah membeli ikan yang sudah dibumbui. Termasuk pindang atau ikan yang sudah diasap. Risma selalu membeli ikan segar dan dia bumbui sendiri di rumah.
Begitu sampai rumah, Risma merendam ikan-ikan itu dalam air kran. Setelah melunak, dia buka plastiknya dan tercenganglah ia. Nana keliru. Bukan bandeng biasa yang dia berikan, tetapi bandeng presto. Kusno tidak menyukai ikan yang diolah sampai durinya lunak itu. Apalagi jika yang diminta adalah asem-asem bandeng yang menggunakan bandeng segar. Bukan yang sudah dimasak setengah jadi.
Satu bungkus lagi ikan patin. Serumah ini tidak ada yang menyukai ikan patin. Fix. Ikan-ikan pemberian Nana tidak terpakai satu pun. Tetap saja Risma harus ke pasar untuk membeli ikan segar.
Ah, kenapa Nana memberiku ikan-ikan ini? Tidak biasanya dia memberiku makanan. Kenapa juga aku harus bertemu dia dan bercerita tentang rencana memasakku hari ini?
Saking bingungnya, Risma sampai lupa tidak menyimpan ikan-ikan itu di kulkas. Dia membiarkannya di baskom berisi air kran sementara dia berangkat ke pasar, melewati rumah Nana diam-diam karena takut ketahuan. Risma sudah menyiapkan alasan seandainya bertemu Nana lagi dan ditanya mau ke mana. Risma akan berdalih, membeli bumbu-bumbu untuk asem-asem. Namun dia berharap tidak bertemu Nana lagi sehingga tidak harus berbohong.
Setengah jam kemudian, Risma kembali ke rumah dan teringat ikan-ikan pemberian Nana yang dia tinggalkan di dalam baskom. Mau dimasukkan ke dalam freezer, tidak ada gunanya. Toh, tidak akan dimasak. Digoreng pun tidak ada yang mau memakannya. Sepagian itu Risma bingung perkara ikan siap goreng dari Nana.
Mau tak mau, Risma akhirnya menggoreng ikan-ikan itu, dengan harapan suami atau anak-anaknya mau mencicipi. Selain memasak asem-asem bandeng, dia memasak juga ikan goreng dan sambal goreng. Paduan yang pas, sebetulnya. Sayang, keluarganya bukan penggemar sambal dan ikan goreng. Risma sendiri lebih menyukai masakan dengan irisan cabai di dalamnya seperti oseng-oseng, bukan cabai yang diulek. Sementara anak-anaknya yang sudah bekerja lebih sering makan di luar ketimbang memakan masakan Risma.
Selama dua hari, ikan-ikan yang sudah digoreng itu bercokol di dalam wadah thinwall di kulkas Risma. Selama dua hari pula, Risma mengeluarkannya dari kulkas dan menghidangkannya di meja makan. Tetap tidak ada yang menyentuhnya, membuat Risma kembali memasukkannya ke dalam kulkas.
Khawatir bandeng presto dan patin itu keburu basi, Risma terpikir untuk memberikannya kepada orang lain. Tetapi siapa? Pak Tarno, tukang sampah di Desa Wufi, sudah dua hari ini tidak kelihatan batang hidungnya. Kantong-kantong sampah menumpuk di gerobak, menunggu diangkut ke TPA.
Deru mobil membuyarkan lamunan Risma. Dia melongok lewat jendela ruang tamu. Desi, tetangga depan rumah, rupanya sudah pulang dari dinas di luar kota. Perempuan 33 tahun yang masih lajang itu pasti butuh makanan siap santap, pikir Risma.
Maka, mumpung Desi sedang memasukkan mobil ke halaman rumahnya, Risma bergegas menghampiri. Tentunya setelah memastikan tidak ada Nana di halaman rumahnya.
“Eh, Tante Risma. Ada apa?” sapa Desi.
Risma menjawab pertanyaan itu dan berbasa-basi sebentar, sebelum akhirnya dia menyerahkan dua kotak thinwall di dalam tote bag biru kepada perempuan itu.
“Wah, saya memang baru pulang dan belum masak. Tapi sudah beli frozen food dan telur, sih.”
“Simpan aja buat besok. Hari ini ada bandeng presto dan patin goreng. Baru tadi pagi digoreng.” Risma membual agar Desi mau menerima ikan-ikan itu. “Buat dimakan hari ini. Biar nggak usah masak. Baru pulang dinas, kok, sudah ke dapur?”
Desi terkekeh, lantas berterima kasih pada Risma dan meminta maaf karena tidak membawa oleh-oleh apa-apa.
Risma kembali ke rumah tanpa tengok kanan-kiri selain saat menyeberang jalan kampung yang cuma selebar empat meter. Seandainya Nana memergoki perbuatannya, dia akan berlagak pilon. Tetapi lebih dari itu, Risma tidak peduli. Yang penting hatinya lega karena sudah mengeluarkan benda-yang-tak-diinginkan dari rumahnya, tanpa harus membuatnya jadi mubazir.
***
Sekar merutuki usianya yang sudah tua. Gara-gara fisiknya tidak lagi bugar seperti dulu, setiap hari bolak-balik ke pasar membuat kakinya reyot. Saat berjalan menuju pasar tadi, tiba-tiba saja lututnya gemetar dan membuatnya tidak bisa meneruskan jalan kaki. Untungnya saat itu dia berpapasan dengan Desi yang baru pulang dari pasar. Sambil menenteng belanjaan, Desi berupaya membantu Sekar berjalan pulang ke rumahnya.
“Kenapa nggak titip belanja sama Mbak Puspa, Tante?” tanya Desi.
“Dia itu nggak suka kalau aku belanja. Katanya, lebih baik uangku disimpan saja buat biaya kesehatan atau berobat kalau sakit. Tapi, kan, itu uangku. Terserah aku mau pakai buat apa. Aku juga belanja buat dia dan anaknya.” Sekar mengadu.
Desi hanya tersenyum. Teringat ibunya saat masih hidup. Kelakuannya mirip dengan Sekar.
“Mbak Puspa mungkin khawatir, Tante, dan nggak mau Tante Sekar repot-repot belanja.” Desi berusaha tidak kemakan aduan Sekar. “Kalau dulu Tante yang mengkhawatirkan Mbak Puspa, sekarang gantian, Mbak Puspa yang mengkhawatirkan Tante. Nanti juga Mbak Puspa kena gilirannya.”
“Iya, ya. Kamu, sih, enak, ya. Tinggal sendiri. Nggak ada yang mengatur. Sudah ada rencana menikah?”
Desi menelan ludah. Orang-orang selalu saja punya cara untuk mengungkit kehidupan pribadi orang lain. Minggu kemarin waktu dinas, teman-teman kerjanya yang bertanya soal itu. Sekarang, tetangganya. Kalau bulan-bulan ke depan dia pulang kampung, saudara-saudaranya yang giliran kepo soal kehidupannya. Beda orang, tapi sama pertanyaannya. “Belum, Tante.”
“Enakan sendiri, ya. Kerja, cari uang buat dipakai sendiri.”
Desi cuma tersenyum.
Sampai depan rumah Sekar, perempuan paruh baya itu menolak diantar sampai masuk rumah. “Sampai sini saja. Kamu pulang saja. Masak, istirahat. Mumpung hari Minggu.”
“Mau saya bukakan pintunya, Tante?”
Sekar menggeleng. “Ndak. Ndak perlu. Aku bisa sendiri, kok. Haduh, sudah tua, ya. Kaki nggak kuat kayak masih muda dulu. Batal, deh, masak ikan bumbu kuning.”
Mendengar keluhan Sekar, Desi teringat ikan patin dan bandeng presto pemberian Risma. Sudah tiga hari ikan itu disimpan di kulkas. Desi kurang menyukai makan ikan. Malas dengan bau amisnya. Diolah jadi apa pun, tetap saja terasa amis. Tidak jarang dia dibuat mual karena baunya meski sudah digoreng sampai garing.
“Tante mau masak ikan?”
“Tadinya. Tapi nggak jadi, wes. Besok saja.”
“Saya punya ikan goreng tuh di kulkas. Kemarin dikasih teman. Belum saya sentuh sama sekali. Nggak suka. Kalau tante mau, saya masakkin bumbu kuning…”
“Eh, eh, ikannya dimakan sendiri, dong. Kan, enak, tinggal lep.” Sekar menirukan iklan sosis di televisi.
Desi menggeleng keras. “Nggak, Tante. Saya nggak suka makan ikan. Apa saya bawa saja ikannya ke sini dan tante yang masak pakai bumbu kuning. Kalau saya yang bikin, nanti malah nggak enak.”
“Bener, nih, nggak mau? Ikan itu bagus, loh, buat kamu.”
Sekali lagi, Desi menggeleng. “Nggaklah, Tante. Tante masuk dulu saja. Sebentar lagi saya kembali bawa ikannya.”
***
“Bener, ini, ya, nggak kamu makan?” Sekar menerima kotak thinwall dari Desi, yang dibungkus kresek warna hitam.
“Iya, Tante. Mari, saya pulang,” pamit Desi.
Sekar pun membawa kresek itu ke dapur. Matanya membelalak ketika mendapati isinya. Ikan patin dan bandeng presto yang sudah digoreng.
Mendadak dia ingat ikan-ikan siap goreng yang diberikan pada Nana tempo hari. Apakah itu ikan-ikan yang sama? Firasatnya mengatakan “ya”. Dan jika benar, betapa Nana tidak tahu berterima kasih padanya.
Sekar jadi jengkel sendiri. Sudah niat mau berbuat baik sekalian mencegah sampah makanan, malah “sampah”-nya kembali ke tangannya, meski dalam bentuk lain.
“Kalian jalan-jalan ke mana saja, nih? Kayak gosip aja, muter-muter tok.” Sekar mengomel pada sepiring besar ikan goreng di hadapannya.