Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Romantis
Balada Cinta Gila
1
Suka
24
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

"Apakah kau juga berpikir bahwa dia itu sedikit gila, Mar?" tanya Karman kepada Komar.

"Ya, barangkali demikian," jawab Komar sedikit ragu. "Bukankah tadinya dia seorang yang sangat pintar dan paham agama, masa, sih, bisa sampai gila?" sambungnya. Komar mencoba melandaskan keraguan itu kepada pribadi yang sedang mereka bicarakan.

"Ya bisa saja, Mar, buktinya minggu lalu dia bilang sayang, bilang cinta sama rumput di kuburan!" tegas Karman.

"Hush, jangan su'udzon, bisa saja kan dia menyatakan cinta pada kekasihnya yang sudah meninggal itu!" bantah Komar.

"Tidak, Mar. Aku yakin. Dia berbicara kepada rumput. Buktinya, setelah kambing kesayangan Pak Samsudin memakan habis rumput itu, ia berbalik sayang kepada kambing Pak Samsudin. Bayangkan orang waras mana yang menukar rumahnya di Jakarta dengan seekor kambing!"

Karman mendengus, matanya melotot. Seakan memaksa Komar untuk yakin.

“Ah, sudah, lebih baik kita mengarit lagi!”

Mereka pun mengeluarkan sabit masing-masing. Mencari berkarung-karung rumput di bawah terik yang hampir tidak menimbulkan bayang. Tidak jauh dari satu-satunya kuburan dekat pohon mangga.

*

Pagi itu cerah. Cuaca riang. Burung gereja berkicau dan mengepkan sayapnya menyambut pagi. Mereka keluar dari loteng-loteng rumah, kemudian bertengger di kabel listrik yang semrawut. Memadu kasih. Mencari sejumput sisa makanan bekas manusia atau biji-bijian. Jalanan dipenuhi kendaraan bermotor yang menderu penuh semangat mencari sesuap nasi.

Bukan hanya mereka yang mempunyai kendaraan sendiri, bahkan para pedagang yang hendak pergi ke pasar dengan berjalan kaki, tukang asongan, pengemis dan pengamen, semuanya, turut berjibaku dalam geliat bertahan hidup di Ibu Kota.

Pagi itu, tidak ada yang sadar. Ada yang telah mati di sudut tersempit di Ibu Kota. Tempat yang jarang terjamah waktu siang menjelang. Seorang pelacur. Ah, mantan pelacur. Dia mati di kamarnya dalam keadaan yang damai. Wajahnya tersenyum berseri-seri.

Beberapa tahun lalu ia memutuskan untuk tidak menjajakan dirinya lagi. Ia telah memiliki seorang kekasih. Kini, ia telah mati sebagai mantan pelacur yang telah memiliki seorang kekasih. Kekasihnya itu datang pagi itu juga. Tentunya, ia tidak tahu bahwa si mantan pelacur—kekasihnya itu—telah mati.

Setiap pagi ia sering datang untuk menjenguk sebelum berangkat ke pabrik. Membawakan bubur dan obat warung. Ia tahu bahwa si mantan pelacur itu sakit. Dan, tak akan tertolong.

Ia mencintai si mantan pelacur itu tulus. Bukan karena iba.

"Hina jika aku mencintaimu semata karena iba, Cintaku," ucap si kekasih.

"Ah, kasih. Cinta itu, katamu bagai pasrah bangkai kepada belatung. Tapi sudikah kau mencintai aku, yang sebentar lagi menjemput ajal. Mungkin, aku pun telah menularkan penyakit kepadamu," jawab si mantan pelacur.

"Biarkanlah sekali, seumur hidupmu, kau merasakan bercinta dengan cinta. Dengan rasa sayangnya bangkai kepada tanah. Kepada para pengurai. Persetan dengan penyakit!"

"Kasih, apakah setelah aku mati, kau akan tetap mencintaiku?" tanya si mantan pelacur.

"Ya, tentu saja, sayang."

"Jika begitu, berjanjilah untuk menjadi pribadi yang lebih baik lagi. Jangan pernah membenci dunia ini yang kejam! Kasih, ingat cinta itu pasrah bangkai kepada belatung!" pinta si mantan pelacur itu kepada sang kekasih.

Kemudian mereka bercinta sampai pagi menjelang jika pabrik sedang libur.

*

Ah, di pagi itu. Pagi yang riang. Tak sedikitpun menampakan nuansa kesedihan. Seorang kekasih dari pelacur berjalan membawakan bubur. Sesampainya di bedeng tempat peraduan mereka, tanpa mengetuk pintu si kekasih itu masuk. Ia tidak terkejut. Cepat atau lambat ia menyadari bahwa kekasihnya akan mati.

Ia taruh bubur dan berbenah kamar sumpek tempatnya sering bercinta. Seprai kusam dibalutkan untuk menutupi tubuh mayat itu. Si Kekasih pun membopong tubuh tak bernyawa itu keluar. Melewati gang sempit. Tikus-tikus berlarian dikejar kucing budug.

Sambil berjalan, ia pandangi wajah si mantan pelacur itu. Ia mencoba sekuat mungkin membendung air matanya. Berusaha tegar. Sebisa mungkin. Tidak meminta tolong kepada siapa pun. Ia sadar bahwa tidak akan ada yang mau menolong mereka. Terlebih, jika sudah membeli dan membebaskan seorang pelacur dari germo, jiwa dan raga pelacur itu sudah menjadi tanggung jawab si pembebas. Tetapi, ia tidak kuasa. Air matanya luruh dan bibirnya yang kelu itu berusaha berteriak.

"Tolong!!! Toloooong!!!" serunya kepada siapapun.

"Tolooong!!! Tolong pacarku, kekasihku!!!" Suaranya semakin lirih. Air mata menderai melewati garis kulitnya dekat matanya yang sedikit keriput. Seperti sungai. Dan, air itu jatuh menimpa wajah sang mantan pelacur.

Tak ada yang menyahut panggilannya. Pelacur-pelacur itu masih tidur jam segini. Begitu juga preman penjaga tempat pelacuran ilegal. Mulut mereka terbuka serupa kawah merapi. Mendengkur. Bau ciu menyeruak dari dalam kawah itu. Si Kekasih memilih untuk tidak membangunkan mereka.

Sampai akhirnya, ia sampai di bilik Sang Germo. Ia ketuk keras-keras pintu itu sambil berseru minta tolong.

"Berisik, Anjing!" ucap seorang dari dalam. Rupanya itu Sang germo. Ia keluar dari bilik sambil mengucek mata.

"Kau rupanya, mau apa, beli pelacur ku lagi!?" Tanyanya dengan nada ketus.

Ia masih memakai roll-an di rambutnya yang ikal. Masker wajah tak kuasa memenuhi wajahnya yang bulat. Badan tambunnya memenuhi seisi pintu. Tangan bertolak pinggang. Ada sedikit celah dari sela-sela ketiak. Kau bisa melihat sedikit kesumpekan di dalam bedeng itu.

"Tidak, nyonya," kata si kekasih itu sambil menangis "Pacarku, kekasihku meninggal, Nyonya, tolooong aku harus bagaimana?" sambungnya sambil memperlihatkan seonggok mayat itu kepada Sang Germo.

"Bukan urusanku! Kau sudah membelinya penuh. Itu urusanmu. Masih baik aku beri dia tempat sewa untuknya tinggal di sini. Melunjak kamu!? Kuburkan saja dia di mana kau mau, atau buang saja ke kali!" jawab si germo sambil kembali masuk dan membanting pintu keras-keras.

Ia berjalan gontai keluar dari daerah lokalisasi itu. Menatap nanar langit cerah. Awan yang berlarian gempal. Matahari yang ceria. Tak sedikitpun tampak duka di cakrawala.

*

Si kekasih, menguburkan mantan pelacur itu di sebuah padang rumput, di bawah pohon mangga. Jauh dari bedeng-bedeng pelacuran, jauh dari Ibu Kota. Ke tempat yang entah dan terasing bagi nya, maupun si mayat.

"Izinkan aku menguburkan kekasihku di sini, Pak" pintanya kepada aparat setempat. Dengan sedikit negosiasi, dan ia berkata akan menetap di sini, ia pun diizinkan.

Selama belum mempunyai tempat untuk berteduh ia mengisi surau. Menjadi marbot, muadzin, imam, bahkan mengisi pengajian—sekalian menunaikan janjinya kepada kekasihnya, mantan pelacur itu. Tak heran jika ia dipandang orang berilmu dan paham agama. Si Kekasih belajar semua itu dari gawainya. Dari video-video pengajian.

Suatu waktu, ia pergi berziarah. Rumput sudah meninggi di pekuburan itu. Ia berkata lirih.

"Aku yakin cintaku, kasihku, bahwa ruhmu hidup menjelma rumput ini"

Ia belai mesra gulma itu. Tanah itu. Batu nisan itu. Hal tersebut disaksikan Karman yang sedang menyabit rumput untuk pakan ternak.

Awalnya, ia mewajarkan hal itu. Namun, lama-kelamaan, Karman merasa janggal dengan tingkah Si Kekasih itu. Ia mulai berbicara sendiri. Menari. Berjingkrak. Kencing di atas kuburan itu. Terbahak.

Sampai puncaknya, saat kambing kesayangan Pak Samsudin memakan rumput di atas kuburan itu. Habis. Tak bersisa. Ia mengejarnya sekuat tenaga. Sang kambing mencoba kabur sambil mengembik.

Kambing itu didapat dengan susah payah, ia membawa kambing itu keliling kampung, sambil bertanya dengan suara yang keras.

"Kambing siapa ini!?"

"Milik Pak Samsudin, mungkin lepas dari kandangnya," sahut salah satu warga.

Si kekasih, berjalan dengan tergopoh-gopoh sambil menuntun si kambing menuju rumah Pak Samsudin.

"Assalamu'alaikum Pak... Pak Samsudin."

"Ya, waalaikumsalam, ada apa?"

"Ini, Pak. Anu... Kambing bapak makan rumput di makam kekasih saya, Pak."

"Ya terus? Kan kambing memang makan rumput, toh?"

"Tetapi ini beda, Pak. Ini rumput di makam kekasihku!" tandasnya.

Pak Samsudin menilik lelaki paruh baya itu. Memperhatikan raut wajahnya yang serius. Nafasnya tersengal-sengal. Pak Samsudin berpikir, apa mungkin dia memiliki kepercayaan "pamali" kalau kambing makan rumput di pemakaman?

"Ah, begini saja, Pak. Bagaimana kalau kambing bapak saya beli," tawar si kekasih.

"Oh, ya tidak bisa. Ini kambing kesayanganku."

"Tetapi, Pak. Dia memakan sebagian kekasihku!" celetuknya.

"Hah?" Pak Samsudin terheran mendengar itu.

"Bagaimana jika ditukar dengan rumah saya yang di Ibu Kota? Tidak besar hanya sepetak kecil. Tapi namanya Ibu Kota, pak," tawar si kekasih lagi, "Saya punya surat-suratnya. Ada di katong. Di surau masjid sana. Nanti saya bawakan jika bapak setuju."

Mendengar itu, Pak Samsudin semakin merasa tak mengerti. Dengan banyak pertimbangan, dan merasa kasihan juga. Akhirnya ia rela melepas kambing itu.

Dan, Si Kekasih membawa kambing itu kembali ke makam. Ia ikatkan pada sebatang pohon mangga. Ia elus-elus kambing itu seperti membelai seorang kekasih.

"Kasih, aku tak rela jiwamu bercecer di mana-mana"

*

Sore telah tiba. Angin kemarau menerpa dedaunan tua menjemput ajalnya. Si kekasih kembali berziarah. Di sampingnya ada seekor kambing yang terikat pada sebatang pohon mangga.

"Nah, sekarang keluarkan lah jiwa kekasihku yang telah kau makan. Ah, meski sebagian jiwanya meresap di dagingmu. Tapi, setidaknya keluarkan lah sisanya, biar ku makan!" perintah si kekasih pada si kambing.

"Mbeekkk" si kambing hanya mengembik. Sesaat kemudian ia mengeluarkan sejumlah kotoran berwarna hijau. Bulat-bulat.

Tanpa ragu, ia mengorek isi kotoran itu. memilahnya dan mengambil satu butir.

"Aah, aku tak akan salah mengenali kekasihku. Mari kasih, kita bersatu kembali!" Ucapnya riang. Sekonyong-konyong kotoran kambing itu ia makan.

Di kejauhan. Tampak samar Komar dan Karman memperhatikan tingkahnya itu. Kemudian sama-sama menggerutu.

"Benar-benar sudah gila" Ucap keduanya.

***

50 Cerpen Pilihan Kamar Sastra

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi dari Romantis
Novel
Omoide
Catrenaa
Cerpen
Balada Cinta Gila
Galang Gelar Taqwa
Novel
Gold
Helen Dan Sukanta
Mizan Publishing
Novel
CINTA 1/2 MATENG
Jessy Anggrainy Rian
Novel
Bronze
Day and Night
Stella
Novel
Bad Romance Curse
Thu Jun
Skrip Film
(P)ilihan Dalam Diksi
dari Lalu
Novel
Gold
Modus
Bentang Pustaka
Novel
Bronze
Dan Eden
Mashdar Zainal
Novel
Bronze
Salah Arah
Rahmawati
Novel
Gold
Revolt
Mizan Publishing
Novel
Dialog Pertama
kaarha
Novel
Bronze
She
Yunda pramukti
Novel
Bronze
Rahasia Antara Aku dan Kakak Ipar
Farasha
Novel
Bronze
Contented
Farida Zulkaidah Pane
Rekomendasi
Cerpen
Balada Cinta Gila
Galang Gelar Taqwa
Cerpen
Tugas Akhir
Galang Gelar Taqwa
Cerpen
Buku-Buku di Penjara
Galang Gelar Taqwa
Cerpen
Aku Bersimpuh di Hadapan Kopi yang Tengah Ku Seduh
Galang Gelar Taqwa
Cerpen
Oh, Nani, Mastrubasi
Galang Gelar Taqwa
Cerpen
Luka di Lutut Alberto & Kisah Monogusha Taro yang Ganjil
Galang Gelar Taqwa
Cerpen
Sabda Pasar
Galang Gelar Taqwa
Cerpen
Serupa Daun-daun
Galang Gelar Taqwa
Cerpen
Bronze
Balada Tiga Hyang
Galang Gelar Taqwa
Cerpen
Di Penghujung Hari
Galang Gelar Taqwa
Cerpen
Pasar Bisa Diciptakan
Galang Gelar Taqwa
Cerpen
Pemangsa Paling Kejam
Galang Gelar Taqwa
Cerpen
Sisifus Erostus not Ereksi
Galang Gelar Taqwa
Cerpen
Makhluk Tanah
Galang Gelar Taqwa
Cerpen
Simulasi Mati
Galang Gelar Taqwa