Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
"Nona, tolong singkirkan tanganmu itu dariku," ucap seorang laki-laki seraya menepis tangan Dona yang berada di kerahnya.
Suara berat nan rendah laki-laki itu disambut tawa renyah oleh Dona. Dengan mengerlingkan matanya, Dona justru memperpendek jarak mereka berdua hingga tersisa kurang dari 10 sentimeter.
"Kamu menolakku? Ha-ha-ha!" balas Dona meracau. Bir yang dia minum sebelumnya telah berhasil membuatnya mabuk. "Apa kurangnya aku?"
Laki-laki yang ada di depan Dona tidak menjawab. Ekspresinya semakin dingin dari waktu ke waktu.
Sayangnya, Dona tidak peduli. Dia justru memperkuat cengkeramannya dan kembali meracau tidak jelas. Bahkan, suara musik bar yang mengalun di belakang mereka kalah jelas dengan suara Dona.
"Kamu tidak ada bedanya dengan Jackson!"
"Laki-laki berengsek itu, berani bermain api di belakangku, dan lebih memilih wanita itu dibandingkan aku!"
"Betapa menyedihkannya aku! Ha-ha-ha!"
Laki-laki itu akhirnya menghela napas panjang dan melambaikan tangannya pada dua orang laki-laki berseragam hitam di belakangnya.
"Urus Nona ini. Dia mabuk, antar dia kembali ke rumahnya."
"Baik, Tuan."
Dengan demikian, Dona yang masih sibuk meracau pun langsung ditarik paksa agar lepas dari laki-laki tadi.
Sementara si laki-laki lanjut pergi entah ke mana, Dona yang kini dibawa keluar oleh dua orang laki-laki sebelumnya langsung memberontak.
"Lepas! Aku bisa sendiri! Tidak perlu kasihan padaku! Aku tidak butuh itu! Tidak ada kata dikasihani dalam kamus hidupku! Pergi, pergi!" teriak Dona sambil mengusir dua orang itu pergi.
Begitu keduanya pergi, Dona pun menyugar rambutnya dan melambaikan tangan untuk mencegat taksi. Saat taksinya tiba, Dona buru-buru masuk dan meminta agar supir taksi itu lekas melaju menuju rumahnya.
Beruntung, sekalipun dia sudah mabuk begitu parah, dia masih ingat untuk mengatakan alamat rumahnya dengan benar.
Namun, Dona tidak tahu bahwa semua gerak-geriknya itu telah tertangkap kamera milik paparazi yang tersembunyi dalam kegelapan.
"Kepalaku benar-benar sakit," keluh Dona seraya memijat kepalanya yang berdenyut-denyut.
Entah sudah yang ke-berapa kalinya Dona mabuk-mabukan seperti ini. Dia seperti bukan lagi menjadi dirinya.
Sosok Dona yang dikenal sebagai model papan atas dengan sejuta popularitas itu telah sirna. Digantikan dengan sosok Dona yang gemar mabuk-mabukan dan suka marah-marah pada banyak orang.
Semua itu pun bukan tanpa alasan.
Segalanya dimulai ketika Dona memergoki sang kekasih—Jackson, sedang berselingkuh dengan salah satu rekan kerja sesama modelnya di sebuah hotel bintang lima—tepat di hari Dona dan Jackson seharusnya merayakan anniversary hubungan mereka yang kedua tahun.
Karena tidak terima, Dona pun marah-marah.
Dia sakit hati dan melampiaskannya pada selingkuhan Jackson. Dia menjambak dan mencakarnya hingga Jackson marah besar padanya. Alih-alih membela Dona, Jackson justru memihak pada selingkuhannya.
Dona pun diputuskan begitu saja.
Patah hati yang begitu besar membuat Dona stres dan kehilangan arah. Dia mencari pelampiasan dengan mengurung diri di kamar selama seminggu, lalu mabuk-mabukan, dan bermain di luar. Tanpa mempedulikan karir modelling-nya sama sekali.
Reputasi Dona pun anjlok luar biasa setelah berita-berita miring tentangnya keluar menjadi konsumsi publik. Mulai dari tindak kekerasan yang dia lakukan pada selingkuhan Jackson, sampai hobi keluar masuk bar pun menjadi headline news di mana-mana.
Hidup Dona berantakan.
Karirnya semrawut dan reputasinya rusak. Dia turun pamor hingga kehilangan banyak penggemar. Bahkan, tawaran job yang awalnya membludak, kini kosong melompong!
Jadilah kini, Dona lontang-lantung tidak jelas keluar masuk bar lagi setiap malam untuk menangisi nasibnya.
"Kita sudah sampai, Nona."
Dona mengembuskan napas kasar. Dia mengangguk mengerti, lalu turun dari taksi dan berjalan pergi ke teras rumahnya dengan langkah gontai begitu saja.
Sang supir taksi yang melihatnya pergi seperti itu pun segera berteriak kesal. "Nona! Anda belum membayar taksi Anda!"
Langkah Dona mandek seketika. Dia menolehkan kepalanya dengan linglung. Senyuman bodoh pun terukir di wajahnya.
"Ah, iya!"
Kembali berjalan menuju taksi, Dona pun mengeluarkan uang pecahan seratus ribu dan memberikannya pada sang supir. Baru setelah itulah sang supir membawa taksinya pergi.
"Aku tidak mendapat kembalian, ya?" heran Dona masih tidak sepenuhnya fokus. Dia mengedikkan bahunya dan meneruskan kembali langkahnya masuk ke dalam rumah.
Akan tetapi, ketika Dona hendak membuka pintu, seseorang lari ke arahnya dengan tergopoh-gopoh.
"Non Dona! Non! Ini berita buruk, Non!"
Seruannya berhasil membuat Dona mengurungkan niat untuk membuka pintu. Dia menarik napas kesal dan memalingkan wajahnya ke arah orang yang datang. Saat dia tahu bahwa orang itu adalah penjaga kebunnya, dia mengernyit bingung.
"Kenapa, Pak?"
"Ini, Non! Ada kabar buruk tentang Tuan!" balas penjaga kebun itu terengah-engah. "Beliau, beliau kecelakaan, Non!"
Ekspresi Dona berubah.
"Kecelakaan apa, Pak? Memangnya Papi ke mana? Kenapa bisa kecelakaan?"
Penjaga kebun itu tampak syok mendengar ucapan Dona. Dia tidak mengerti kenapa Dona bahkan tidak tahu papanya sendiri ke mana. Apalagi reaksi Dona yang teramat jauh dari ekspektasinya tadi.
"Itu, Non! Pesawat tujuan Korea Selatan yang ditumpangi oleh Tuan Martin mengalami kecelakaan! Beritanya sekarang juga sudah disiarkan di televisi, Non!"
Kepala Dona yang sedari awal sudah tidak fokus, pikirannya tidak sinkron, dan hatinya juga kacau, kini mendadak kosong. Semuanya lenyap begitu saja digantikan dengan keheningan dan kesunyian mencekam.
"Ap-apa?"
"Non lebih baik masuk ke dalam dan cek sendiri bagaimana kebenarannya," tutur sang penjaga kebun.
Penuturannya membuat Dona bergegas membuka pintu dan masuk ke dalam rumah. Kesadarannya hampir kembali, walau hanya setengah. Kepalanya yang pusing dia paksa untuk berpikir.
Begitu sampai di dalam rumah, Dona buru-buru menyalakan televisi dan mencari saluran berita di mana laporan kecelakaan itu disiarkan.
Dan memang benar, ada sebuah kecelakaan pesawat dengan lintas penerbangan dari Jakarta tujuan Seoul yang terjadi sore tadi. Kecelakaan itu mengakibatkan pesawat tenggelam di Laut China Timur. Pencarian korban masih terus dilakukan sampai sekarang.
Seketika, Dona merasa kakinya lemas.
"Papi?!"
"Tidak! Tidak mungkin!"
"Papi pasti baik-baik saja! Papi pasti aman!"
Dona ambruk dengan meraung begitu keras.
"Tidak!!! Tidak mungkin!!!"
Kesedihan yang Dona rasakan selama hampir setengah bulan terakhir ini akhirnya meledak. Dia tidak lagi sanggup menahan sakit hati terhadap Jackson dan berita tragis tentang papinya.
Sembari menggelengkan kepalanya berulang-ulang, Dona memandangi layar televisi yang masih menampilkan siaran berita kecelakaan pesawat itu dengan menangis keras-keras.
"Kenapa? Kenapa semua ini terjadi padaku?! Kenapa semua hal menyedihkan ini datang bersamaan? Papi, Papi kenapa harus pergi ke Korea hari ini? Papi di mana sekarang? Dona tidak bisa sendirian di sini, Papi!!!"
Teriakan Dona yang terdengar begitu pilu membuat seluruh asisten rumah tangga yang kini sudah berkumpul di ruangan yang sama, menundukkan kepala dalam-dalam. Mereka turut sedih dan bingung.
Malam ini, Dona benar-benar merasakan hidupnya hancur berkeping-keping. Seolah matahari tak akan terbit lagi esok hari. Tapi sayangnya, semua itu tak akan terjadi. Karena keesokan harinya, Dona justru dihadapkan dengan masalah baru.
***
"Nona Madona! Tolong bangun! Ini sudah siang!"
Yang dipanggil namanya masih bergeming.
"Nona! Nona Madona! Ini penting, tolong bangun!"
Dengan posisi tidurnya yang begitu buruk untuk dilihat, Dona melambaikan tangannya bermaksud mengusir orang itu.
"Sudahlah, pergi saja. Jangan ganggu aku. Aku sedang bersedih. Papiku belum ditemukan! Aku sedang berduka! Pergi, pergi! Huss! Huss!"
Walau mulutnya berkata demikian, nyatanya kedua mata Dona masih terpejam erat. Jelas masih ingin meneruskan tidurnya tidak peduli apa yang terjadi di luar sana. Karena selain berduka, Dona merasa kepalanya sekarang begitu berat dan sakit.
Dia enggan bangun!
Dan jika ada orang yang bertanya di mana dia tidur, maka jawabannya adalah di lantai depan televisi!
Dona ketiduran di sana semalam.
Mau tak mau, hal ini membuat orang yang memanggilnya berulang kali itu menjadi jengkel. Dia tidak mengerti kenapa putri dari atasannya itu memiliki sifat dan sikap yang berbanding terbalik dengan atasannya.
Memang, orang ini adalah orang kepercayaan Martin—Papi Madona—yang bernama Harun. Dia biasa dipanggil Pak Harun dalam kesehariannya.
Dia datang ke sini dengan tujuan untuk mengajak Dona berdiskusi mengenai bagaimana planning atau rencana perusahaan milik Martin akan berjalan ke depannya. Apalagi sekarang, Martin tidak diketahui bagaimana kondisi dan posisinya.
"Huft! Dia bilang dia sedang berduka. Tapi dia justru tidur dengan nyenyak dan masih ingin tidur lagi? Berduka dari mananya?" gerutu Pak Harun dengan nada sedikit mencibir.
Akan tetapi, Pak Harun masih dengan sabar membangunkan Dona, hingga Dona benar-benar membuka matanya.
"Nona Madona," panggil Pak Harun lagi. Dia memastikan agar kesadaran Dona ini benar-benar sudah terkumpul agar bisa diajak bekerja sama.
Dona yang bangun karena gangguan dan paksaan Pak Harun benar-benar kesal. Dengan merengut dan cemberut, ekspresinya kini terlihat jengkel. Wajahnya tampak ditekuk. Dalam sekali lihat pun, orang akan tahu bahwa Dona sangat kesal dan marah pada Pak Harun.
"Kenapa? Kenapa panggil-panggil saya? Saya tahu, saya ini seorang model sekaligus anak pemilik perusahaan Martin Group. Tapi Anda tidak perlu sampai mengganggu tidur saya 'kan?"
Pak Harun mengusap wajah tuanya dengan kasar.
"Nona Madona!"
"Apa?" sahut Dona cepat.
"Justru karena Anda adalah anak Tuan Martin, maka dari itu saya harus membangunkan Anda! Saya perlu membicarakan hal penting dengan Anda! Lagi pula, ini sudah siang. Sudah waktunya Anda bangun dan pergi bekerja!" tandas Pak Harun tegas.
Dona mengangkat kedua alisnya dan memandang Pak Harun dengan tatapan malas.
"Saya tidak kenal siapa Anda. Jadi, kenapa saya harus membicarakan hal penting dengan Anda? Terlebih lagi, saya sedang berduka. Saya tidak punya waktu untuk meladeni Anda."
Kesabaran Pak Harun diuji habis-habisan olehnya.
"Nona Madona, tolong maafkan saya karena tidak memperkenalkan diri terlebih dahulu—"
"Dimaafkan," potong Dona seraya bangkit dan duduk di sofa.
Pak Harun kehilangan kata-katanya. Dia membuka mulutnya tanpa suara, sebelum akhirnya mendengus kesal dan ikut duduk di sofa seberang Dona.
"Saya adalah Harun, biasa dipanggil Pak Harun. Orang kepercayaan Tuan Martin yang untuk sementara ini mewakili beberapa tugas beliau di perusahaan."
"Anda ditunjuk Papi untuk mengurus perusahaan?" heran Dona sambil mengucek matanya.
Pak Harun mengangguk.
Dia kemudian menjelaskan bahwa sebelum Martin terbang ke Korea, Martin berpesan padanya untuk mengambil alih beberapa tugas dan mewakili Martin dalam beberapa kesempatan yang ada.
Namun, karena kecelakaan tak terduga itu menimpa Martin, Pak Harun harus memutar otaknya untuk tetap menstabilkan kinerja perusahaan.
Sebab selain Martin, CEO perusahaan Martin Group juga ikut melakukan penerbangan dan dinyatakan hilang.
Hal ini lantas mendorong Pak Harun guna mencari keputusan terbaik demi kelangsungan sistem manajemen Martin Group untuk sementara waktu.
"Jadi maksud kedatangan Pak Harun ke sini apa?"
"Anda harus datang ke perusahaan dan mengikuti RUPS bersama para komisaris. Bagaimanapun juga, hal ini adalah hal tak terduga yang berdampak besar bagi Martin Group."
"Dengan tujuan?"
"Pemilihan CEO baru untuk sementara waktu."
Ekspresi Dona turun drastis.
"Kenapa tidak orang lain saja? Kenapa harus aku?"
"Tidak ada orang lain yang menganggur, Nona Madona. Kita bahkan kekurangan orang untuk beberapa posisi!"
Dona menepuk jidatnya.
"Jadi saya mohon, Anda segera bersiap-siap pergi ke kantor. Anda harus menghadiri RUPS bersama para dewan komisaris hari ini."
***
Pada akhirnya, Dona berkompromi.
Dia harus melawan rasa sakit hati, kesedihan, dan rasa berduka akan papinya, untuk pergi ke kantor bersama Pak Harun. Laki-laki tua dengan wajah tegas sekaligus bijak itu benar-benar menunggunya sampai selesai berdandan.
"Oke, siap!"
Dona keluar dari kamarnya dan menghampiri Pak Harun dengan percaya diri.
Akan tetapi, Pak Harun yang melihat penampilannya, langsung syok di tempat.
"N-Nona Madona?!!"
Dia menganga dan membelalakkan matanya lebar-lebar. Tidak percaya dengan apa yang dilihatnya sama sekali. Penampilan Dona ini benar-benar kelewat batas.
Bagaimana tidak?
Dibalut gaun panjang mencapai lantai berwarna biru elektrik yang nyentrik, gaya rambut yang luar biasa mempesona, riasan make up cetar membahana lengkap dengan lipstik berwarna fanta favoritnya, dan high heels 15 sentimeter berwarna silver, Dona berdiri tegak penuh percaya diri di hadapannya.
"Anda akan melakukan catwalk?"
"Setuju atau tidak usah denganku?"
Pak Harun kalah telak. Dia menelan semua keluhannya dan bergegas mengajak Dona berangkat ke perusahaan. Tidak peduli dengan apa yang Dona kenakan sekarang, selama dia bisa berkompromi untuk kebaikan perusahaan, tidak masalah.
Ketika keduanya tiba di gedung perusahaan Martin Group yang telah berdiri 35 tahun itu, semua karyawan langsung memperhatikan mereka—tepatnya Dona.
Penampilannya yang eksentrik dengan gaya khas modelnya menarik perhatian semua orang.
Sebagian dari mereka yang mengenal Dona hanya meliriknya sekilas lalu berbisik-bisik sembari berlalu. Sementara yang tidak mengenalnya, mulai mencibir dan menggosip dengan rekan kerja mereka.
Dona tahu, tapi dia tidak peduli. Dia sudah terbiasa dengan berbagai gosip, gunjingan, dan cibiran para netizen.
Pak Harun mengajak Dona untuk segera pergi ke ruang rapat khusus di mana para dewan komisaris dan para pemegang saham perusahaan telah berkumpul untuk melakukan rapat mendadak.
"Nona, saya harap Anda benar-benar bisa lolos kualifikasi. Jika Anda ditunjuk oleh mereka, mohon diterima," pesan Pak Harun tepat sebelum Dona masuk ke dalam ruangan RUPS.
Dona memutar bola matanya malas dan langsung masuk ke ruangan.
Pak Harun yang tetap berada di luar ruangan menjadi cemas seiring waktu berjalan. Dia tidak tahu bagaimana Dona di dalam. Apakah dia memenuhi ekspektasinya atau tidak, dia hanya bisa berharap.
Sampai satu jam akhirnya berlalu, Dona keluar dengan ekspresi suram. Dia memandang datar sosok Pak Harun yang sudah memasang ekspresi penuh harap.
"Bagaimana?"
***
Dona meniup poninya tanpa berniat menjawab pertanyaan Pak Harun.
Meski demikian, para dewan komisaris dan anggota RUPS yang keluar dari ruang rapat, segera memberitahu hasil rapat mereka pada Pak Harun.
Mereka mengatakan bahwa dengan kondisi yang mendesak ini, Dona ditunjuk dan dipilih sebagai CEO Martin Group untuk sementara waktu. Mereka berharap agar Dona bisa mengemban tugas-tugas CEO sebelumnya juga menjalankan manajemen perusahaan dengan baik ke depannya.
"Nona Madona! Selamat! Anda sekarang menjabat sebagai CEO Martin Group!" ucap Pak Harun basa-basi, dengan senyuman lebar yang menyebalkan di wajahnya.
Dona mengembuskan napasnya kesal.
"Terserah saja!"
***
Mulai dari ditunjuknya dia sebagai CEO ini, hidup Dona berubah 180 derajat.
Seluruh kebiasaan dan gaya hidupnya sebelum menjadi CEO, bertentangan dengan aturan-aturan serta gaya hidup sebagai CEO. Mulai dari bangun tidur sampai hendak tidur, semuanya berbeda jauh.
Dona yang selalu bangun kesiangan dan lambat dalam melakukan banyak hal, kini dituntut untuk bangun lebih pagi dan bergerak cepat dalam segala hal. Dia harus menyesuaikan jam tidur dan jam kerjanya dengan baik.
Padahal semua orang tahu bahwa jika Dona tidur, alarm dari ponsel dan jam bekernya pun tak mempan membangunkannya.
Lebih dari itu, Dona sekarang juga mengabaikan semua tuntutan fashion yang biasanya dia ikuti tanpa henti.
Semua gaun mewah dan elegan yang dia miliki tergantikan dengan setelan blazer oneset formal. Hanya saja, dia masih mempertahankan warna-warni outfit blazernya.
Terkadang, Dona akan pergi ke kantor dengan setelan serupa pelangi dari hari Senin sampai Jum'at, atau terkadang sampai Sabtu ketika dia harus lembur. Dari setelan oneset blazer merah sampai ungu, pernah dia gunakan untuk berangkat bekerja.
Tidak berhenti di situ, Dona juga dituntut untuk mengikuti banyak jadwal meeting yang membuat kepalanya seperti akan pecah.
Belum lagi jika berkas laporan yang harus dia selesaikan tidak selesai tepat waktu. Dia harus begadang sampai pagi untuk menyelesaikannya atau merevisinya.
Sebagai imbasnya, Dona berangkat kesiangan, terlambat masuk kantor, terlambat ikut meeting, mendapat kemarahan dari banyak orang, mendapat omelan dewan komisaris, dan tentunya cibiran penuh dari para karyawannya.
Semua itu benar-benar membuat hidup seorang mantan model sekelas Madona, jungkir balik. Beberapa asisten rumah tangganya pun kerap mengatakan bahwa Dona menjadi sedikit kurus akhir-akhir ini.
"ARGHHHH!!!"
Dona berteriak frustrasi di ruang kerjanya.
Dia meletakkan berkas-berkas yang ada di tangannya ke samping, dan langsung mengacak-acak rambutnya sebagai pelampiasan emosi.
Karena jelas, Dona tahu dia tidak boleh melampiaskan rasa stres-nya pada berkas dan dokumen penting di hadapannya itu. Meski sebenarnya, yang membuatnya stres sampai mati adalah semua dokumen tersebut.
"Bisa-bisa aku cepat tua kalau begini terus! Kulit wajahku bisa cepat keriput kalau seperti ini, ah!"
Dona menyangga wajahnya dengan kedua tangan. Wajahnya begitu kusut dan suram. Bahkan, muncul warna hitam di sekitaran area mata Dona, yang membuatnya terlihat seperti mata panda.
"Perawatan wajah sudah tidak sempat! Perawatan ke SPA juga belum teragendakan! Refreshing juga belum terealisasi! Astaga, Tuhan! Bisa-bisa aku terlihat seperti nenek-nenek kalau begini! Tidak cantik lagi!"
Siapa yang mengira, saat dia selesai mengatakan hal itu, Pak Harun datang dengan wajah suram dan sedikit merah padam.
"Berhenti memikirkan hal-hal tidak penting itu, Nona Madona. Anda kini memiliki masalah serius yang harus segera ditangani," ujar Pak Harun seraya duduk di kursi seberang Dona.
Kedua mata Dona memandang wajah tua Pak Harun dengan pandangan kesal.
"Kenapa Pak Harun harus datang di saat-saat seperti ini, sih? Tahu tidak kalau Bapak itu bikin kepala saya tambah pusing! Kepala saya cenut-cenut, Pak!"
Keluhan Dona bukan tanpa alasan.
Karena memang, acapkali Pak Harun datang, hal yang dilaporkan kepadanya selalu saja berita buruk dan gawat darurat. Sampai-sampai, Dona merasa trauma dengan kehadiran Pak Harun.
"Tapi ini memang penting, Nona Madona! Saya tidak punya pilihan lain selain melaporkannya pada Anda. Toh, di sini yang berkewajiban menjalankan dan bertanggung jawab atas manajemen perusahaan 'kan Anda."
"Hey! Saya duduk di sini atas paksaan Anda ya, Pak!"
Pak Harun menggaruk kepalanya yang memiliki rambut tak begitu lebat itu dengan ekspresi serba salah.
"Ya sudah, ya sudah. Saya datang untuk memberitahukan tentang bagaimana hasil kinerja Anda selama ini."
Dona langsung cemberut. Dia mendapat firasat buruk atas apa yang dikatakan oleh Pak Harun. Bahkan tanpa dilaporkan pun, dia sudah bisa menebak apa laporannya.
"Katakan saja. Aku sudah kebal," balas Dona dengan meletakkan kepalanya ke meja.
Pak Harun mendesah kasihan.
Meskipun demikian, Pak Harun masih melaporkan apa yang ingin dia laporkan pada Dona.
Dia mulai melaporkan tentang penurunan kinerja perusahaan, kemudian laju keuntungan perusahaan yang cenderung melambat, banyaknya karyawan yang mengeluhkan betapa tidak mumpuninya pimpinan mereka, ditambah lagi para investor yang mulai meragukan kemampuan perusahaan untuk bersaing, hingga keraguan mereka untuk memperpanjang kerja sama dengan Martin Group.
Semuanya dilaporkan oleh Pak Harun dengan detail berikut juga akibat-akibat dari hal-hal di atas. Tak satu pun detail dari laporannya tertinggal. Bahkan, risiko perusahaan bangkrut dan saham anjlok juga ikut disampaikan oleh Pak Harun pada Dona.
Dona yang mendengar itu semua merasakan kepalanya ingin meledak. Tubuhnya lemas dan dia ingin menyerah saja rasanya. Enggan lagi berada di sini untuk bekerja sebagai CEO Martin Group.
Seolah bisa membaca apa yang ada di dalam kepala Dona, Pak Harun menggelengkan kepalanya dan berkomentar dengan nada iba.
"Sayang sekali, Nona, Anda tidak bisa menyerah begitu saja di tengah jalan. Bagaimanapun juga, ini adalah perusahaan milik Tuan Martin. Sebagai putrinya, Anda tidak bisa abai begitu saja."
Dona spontan mengangkat kepalanya dan memandang Pak Harun dengan tatapan tajam.
"Siapa yang bilang saya ingin abai begitu saja, Pak Harun?!!!"
"Ekspresi Anda mengatakan segalanya."
Mendengar itu, Dona mengepalkan kedua tangannya gemas.
Dia tidak mengerti kenapa Pak Harun ini, meskipun sudah tua, tapi tetap saja 'menggemaskan'. Membuat orang ingin mengacak-acak rambutnya yang tipis itu!
"Hish!"
Pak Harun menahan diri agar tidak tertawa karena ekspresi kesalnya.
"Tapi Nona, Anda tidak perlu sampai putus asa begitu. Saya juga tidak diam saja, kok, melihat perusahaan hampir tumbang di tangan Anda."
Lagi-lagi, timbul keinginan di hati Dona untuk menyumpal mulut Pak Harun.
Bagaimana bisa, dia mengatakan perusahaan hampir tumbang di tangannya, dengan begitu enteng? Tidakkah dia tahu seberapa berat bebannya sekarang?
"Saya memiliki sedikit ide. Tapi tidak tahu, apakah idenya cocok dan sesuai dengan Anda atau tidak."
Dona mendengkus. "Ya, katakan saja apa idenya."
"Saya berniat mencari seseorang yang cocok dan mumpuni untuk menjadi asisten Anda, Nona. Jadi, dengan begitu, Anda bisa membagi kerja dengannya. Pekerjaan Anda juga akan—"
"SETUJU! CEPAT CARI ORANGNYA!" seru Dona penuh semangat, tanpa pikir panjang.
***
"Dia kurang maskulin!"
"Dia kurang sexy!"
"Tidak bisa! Dia tidak wangi!"
"Tidak mau! Tidak rapi!"
"Ganti! Aku tidak cocok dengannya!"
"Ah! Sudahlah! Sudah cukup!!!"
Dona berseru frustrasi sekali lagi.
Dia menoleh untuk menatap Pak Harun dan sekretarisnya—Siska, dengan tatapan tajam, lelah, dan kesal.
"Ini sudah hari ke-15 pemilihan asisten CEO, Pak Harun! Tidak satu pun dari mereka yang cocok dan lolos dari kacamata kualifikasiku! Mereka semua benar-benar tidak ada yang cocok untuk posisi asistenku!"
Pak Harun dan Siska bertukar pandangan jenuh, sebelum akhirnya menggeleng tanpa daya. Sementara Siska memilih untuk menundukkan kepalanya dalam-dalam, Pak Harun balik menatap Dona dengan helaan napas panjang.
"Nona Madona, Anda harus ingat bahwa kita sedang memilih asisten CEO. Bukan sedang memilih jodoh yang sesuai dengan preferensimu," ujar Pak Harun menekankan kata 'asisten CEO'.
Sebelum Dona membantahnya, Pak Harun kembali bersuara.
"Apa-apaan dengan kurang wangi, kurang maskulin, tidak rapi? Mereka ini ditunjuk atas kemampuannya, bukan penampilannya!" lanjutnya tegas.
Kali ini dia sedikit mencibir Dona, dengan harapan Dona bisa sadar dan sedikit objektif dalam memilih. Tidak semata-mata subjektif perseorangan saja!
Sayangnya, apa yang dia dapatkan nyatanya berbanding terbalik dengan ekspektasi.
"Pak Harun, memilih asisten yang bekerja untukku sama seperti memilih jodoh, ah! Kalau dia tidak cocok, tidak satu visi misi, tidak sesuai preferensi, mana bisa dia berjodoh denganku sebagai atasan dan bawahan? Apalagi aku dan dia harus bekerja sama setiap waktu ke depannya!"
Mendengar pernyataan Dona, Pak Harun merasakan kepalanya mulai berdenyut-denyut.
Dia tidak tahu harus bagaimana lagi sekarang. Semua tenaga dan pikirannya telah dia kerahkan untuk membantu Dona mencari asisten baru.
Bahkan kandidat yang mendaftar untuk posisi yang dia sendiri tidak tuliskan secara detail job desk-nya, sudah mencapai 500 orang. Tapi satu pun tidak ada yang masuk dalam kacamata kualifikasi Dona. Padahal, jika dilihat dari kacamata Pak Harun dan Siska, tidak ada yang tidak lolos kualifikasi.
Jadi, tidakkah itu keterlaluan?
Melihat bahwa Pak Harun dan Siska mulai menyerah terhadap dirinya, Dona pun ikut menyerah.
Namun, tepat saat mereka bertiga putus asa, salah seorang yang mereka perintahkan untuk mengurus kandidat di luar ruangan, melapor bahwa ada satu kandidat tersisa yang baru saja datang.
"Suruh dia masuk."
Perintah Dona langsung dieksekusi.
Dalam hitungan beberapa detik saja, seorang laki-laki kemudian masuk ke ruang kerja Dona dengan ekspresi tegas dan serius. Aura wibawanya begitu terpancar jelas. Belum lagi sosok gagahnya yang penuh maskulinitas seorang pria sejati.
Semua itu cukup menggetarkan hati Dona!
Bahkan, Dona semakin dibuat menggila ketika laki-laki itu berdiri di seberangnya dengan tatapan lurus ke arahnya.
"Selamat sore, Bu."
Suaranya yang rendah dan sedikit serak-serak basah membuat bulu kuduk Dona berdiri.
Dia merinding memandang sosok laki-laki yang memiliki tubuh atletis dengan tinggi menjulang di depannya ini. Ditambah dengan pesona mata bermanik biru yang dipadukan wajah tampannya, Dona semakin kepayahan menelan ludahnya sendiri.
Pikiran Dona bahkan mulai nakal hanya dengan melihatnya begitu. Dalam sekali pandang saja, dia bisa membayangkan tentang bagaimana eloknya gurat otot di balik kemeja yang dikenakan laki-laki itu.
Serta satu lagi!
Aspek penting yang Dona tak bisa lewatkan. Aroma wangi dari parfum dan kerapian laki-laki itu benar-benar jempol!
"Perfect!" komentarnya puas.
Senyuman lebar pun tumbuh di wajah Dona dari waktu ke waktu. Hal ini pun membuat Pak Harun dan Siska yang berdiri di samping malu sampai ingin menghilang. Beruntung bahwa laki-laki itu tampak biasa saja menghadapinya.
"Nona Madona!" desis Pak Harun, memperingatkan dari samping.
Dona meliriknya dengan sinis. "Shhhh!"
"Siapa namamu?" tanya Dona santai.
"Jethro."
"Oke, Jethro, kamu diterima! Selamat!" ucap Dona dengan mengulurkan tangannya.
Seketika, dagu dan rahang Pak Harun hampir jatuh ke lantai saking syoknya.
"Nona Madona!"
***
Keputusan Dona yang begitu impulsif memilih Jethro, berhasil membuat Pak Harun berada dalam kebimbangan. Dia yang tidak bisa mempercayai secara langsung pilihan Dona, mau tidak mau, harus segera melakukan tes interview, tes user, dan segala macamnya hari itu juga.
Ajaibnya, semua tes yang Pak Harun berikan itu dikerjakan dengan baik oleh Jethro. Dia menjawab semua pertanyaan dengan sangat teliti dan kognitif. Tidak ada sesuatu yang tidak lolos kualifikasi!
Bahkan, ketika Pak Harun menanyakan siapa dan bagaimana identitas Jethro, dia menjawabnya dengan jujur dan terbuka. Tidak ada yang ditutup-tutupi sama sekali. Pak Harun bahkan bisa dengan mudah memvalidasinya melalui banyak channel.
"Bagus! Jadi siapa nama lengkapnya?" tanya Dona seraya memakan sandwich-nya hati-hati.
Karena sudah jam pulang, Pak Harun dan Dona kini berada di ruang kerja Dona untuk merilekskan pikiran serta membahas bagaimana kinerja hari ini. Mereka memiliki kebiasaan ini sejak satu bulan lalu.
Dan efeknya cukup bagus untuk Dona.
Pak Harun menarik napas pendek. "Wiliam Jethro Ramadhan."
"Bagaimana latar belakangnya?"
"Lulusan Harvard Business School jalur beasiswa."
"Uhuk-uhuk!" Dona tersedak. "Apa?!!"
"Hati-hati, Nona Madona!"
"Dia luar biasa!" komentar Dona lagi, menyuapkan sisa sandwich-nya setelah lebih tenang.
Pak Harun mengangguk. "Dia juga baru saja datang ke Indonesia setelah lama bekerja di salah satu perusahaan di London."
"Kenapa dia ke Indonesia?"
"Dia keluar dari sana. Ibunya yang meminta."
"Oh."
Pembicaraan mereka pun terus berlanjut. Mulai dari pembahasan mengenai bagaimana Jethro akan dipekerjakan besok serta detail-detail lainnya, sampai tentang bagaimana mereka akan meningkatkan keuntungan perusahaan ke depannya.
"Semua sesuai pengaturan Anda saja, Pak Harun," pungkas Dona lelah. "Tapi Anda sudah mengatakan bagaimana job desk serta kondisi perusahaan kita padanya 'kan?"
"Sudah."
"Baiklah. Aman kalau begitu."
Dona beranjak bangkit, bersiap pulang. Akan tetapi, langkahnya mandek sekejap ketika dia ingat tentang papinya yang tak jelas kabarnya.
"Kenapa, Nona Madona?" tanya Pak Harun heran.
Pertanyaannya membuat Dona membalikkan badannya menghadap Pak Harun.
"Pak Harun, kenapa sampai sekarang Papi belum ditemukan? Kenapa tidak ada kabarnya sama sekali? Ini sudah hampir dua bulan penuh semenjak Papi hilang dalam kecelakaan itu!"
Jantung Pak Harun bagai berhenti berdetak. Dia memandang lurus wajah Dona yang kini tampak begitu sedih.
Setelah begitu lama terjebak dalam rutinitas pekerjaan barunya yang menguras banyak waktu, perhatian, serta pikiran, Dona yang biasanya begitu membuat kepala Pak Harun hampir pecah itu justru berhasil mengundang rasa iba di hati Pak Harun.
"Pak! Jawab saya! Sebenarnya bagaimana kabar Papi saya?"
"Kenapa sampai sekarang Papi tidak ada kabarnya sama sekali?"
"Juga, bagaimana kabar CEO lama perusahaan ini? Apa mereka semua tidan ditemukan?"
"Papi ke mana, Pak?!"
"Dona yakin kalau Papi masih hidup! Tapi kenapa Papi tidak ada kabarnya, Pak?"
"Pak Harun! Jawab Madona, Pak! Hiks!"
Tangis Dona mendadak pecah.
Dia ambruk dengan tangisannya yang terisak-isak.
Untuk beberapa alasan, Pak Harun kehilangan kata-katanya dan hanya bisa menundukkan kepalanya dalam-dalam.
"Maaf, Pak Harun juga tidak tahu, Nona Madona."
***
"Bagaimana hasilnya? Apakah Martin Group mengalami kemunduran dan penurunan?" tanya seorang laki-laki paruh baya dengan kedua matanya yang memicing tajam.
"Ya, itu benar, Pak Baskara. Putri Pak Martin itu nyatanya tidak kompeten sama sekali dalam menjalankan manajemen perusahaan," jawab salah seorang perempuan yang mengenakan setelan formal oneset hitam.
Pak Baskara tersenyum miring.
"Bagus! Kerjamu bagus juga. Terus awasi bagaimana manajemen perusahaan itu berjalan ke depannya. Tidak sia-sia aku menjadikanmu mata-mata di Martin Group."
"Terima kasih, Pak."
Dengan begitu, perempuan itu segera meninggalkan ruang kerja Pak Baskara. Menyisakan dirinya sendiri yang sekarang sibuk menelepon seseorang. Dan tak berselang lama, seseorang yang dia telepon itu akhirnya datang.
"Ada apa, Pa?" tanya seorang laki-laki berparas tampan dengan perawakan tinggi.
"Berita bagus, Darko!"
Pak Baskara memutar tubuhnya 180 derajat hingga berhadapan lurus dengan putranya.
"Sekarang adalah waktunya perusahaan kita bersinar terang! Sudah waktunya kita menyerang perusahaan Martin Group! Ha-ha-ha!"
Darko yang mendengar itu pun mengernyit bingung. "Oh? Benarkah? Bagaimana rencananya?"
Baskara tersenyum lebih dalam. Kedua matanya bersinar licik. Rencana yang telah dia persiapkan dengan matang sejak berita kecelakaan pesawat Martin itu akhirnya bisa dieksekusi sekarang!
"Kau, kemarilah, dengarkan Papa bicara."
Darko mendekat.
Dia kemudian mendengar bagaimana rencana Pak Baskara akan dijalankan. Yang nyatanya, rencana itu tidak lain adalah membuatnya menjerat Dona.
Ketika ditanya apa alasannya, Pak Baskara menjawab bahwa hal itu supaya kinerja Dona semakin berantakan.
Manajemen perusahaannya juga semakin hancur di tangan Dona sendiri. Dengan demikian, maka sistem kerja internal perusahaan akan goyah, terganggu, dan lambat laun mulai rusak.
Sebagai dampak dari manajemen perusahaan yang buruk, maka saham perusahaan Martin Group akan anjlok dengan sendirinya.
Tanpa mereka harus repot-repot bersaing susah payah di permukaan, Martin Group akan kehilangan banyak saham dan reputasinya.
Dan saat Martin Group jatuh, maka Baskara Group akan bersinar terang.
Hal ini disebabkan karena, dari sekian banyak perusahaan dengan usaha yang sama, hanya Martin Group yang menjadi pesaing terberat Baskara Group.
"Jadi, kenapa aku yang harus menjeratnya dan membuatnya berantakan? Kenapa tidak mata-mata Papa saja yang bergerak untuk menghancurkannya dari dalam?"
Pak Baskara mendelik.
"Kalau yang kau jerat adalah kepala perusahaan, maka badan sampai kaki tangan perusahaan akan ikut terjerat."
"Berbeda dengan jika kau mengandalkan tikus untuk menjerat secara diam-diam. Alih-alih berhasil dan semuanya terjerat, maka tikus itu yang akan dijebak dan dibuang. Apalagi jika kau hanya punya satu tikus di sana!"
Walaupun Darko tidak terlalu paham dengan apa yang dikatakan papanya, Darko masih mengangguk mengerti. Intinya dia harus menuruti keinginan papanya itu untuk menjerat Dona.
"Baiklah," balas Darko serius. "Tapi, dia cantik tidak?"
Pak Baskara mendengkus kesal. "Temui saja dia secara langsung lusa dalam acara makan malam yang akan digelar oleh Multi Group."
Darko menyipit, lalu tersenyum.
"Baik!"
***
Ketika hari di mana Multi Group mengadakan makan malam itu tiba, Dona yang sedari sore sudah sibuk mempersiapkan diri agar tidak mempermalukan diri juga perusahaan, berulang kali mengingatkan Jethro agar dia ikut.
"Jethro, saya tidak mau tahu. Kamu harus ikut dengan saya ke acara itu. Karena bagaimanapun juga, Pak Harun enggan ikut dengan saya," ujar Dona seraya berdandan cantik.
Akan tetapi, Dona berhenti sejenak dan mengamati penampilannya di cermin kecil yang dia letakkan di meja secara hati-hati, sebelum akhirnya mendongak untuk memandang Jethro.
"Eh salah. Maksud saya, karena kamu adalah asisten saya, maka kamu harus ikut dengan saya. Lagi pula, nanti malam pasti akan banyak hal yang harus saya tangani di sana. Saya tidak mau menanganinya sendirian."
Jethro yang sejak awal memang berniat menolak, kini kalah telak. Dia hanya bisa mengangguk dengan sopan dan tenang.
"Baiklah."
Dalam sekejap, malam pun tiba. Dona dan Jethro pun pergi ke acara makan malam yang diadakan di sebuah hotel bintang lima itu bersama-sama.
Ketika mereka berdua sampai di sana, acara sudah dimulai. Semua orang memandang Dona dan Jethro secara bergantian.
Keduanya tiba-tiba menjadi sorotan, entah karena latar belakang keduanya ataupun paras keduanya. Tidak ada yang tahu. Karena baik Dona maupun Jethro, tidak ada yang menanggapi itu secara serius.
Akan tetapi saat acara mulai berlangsung dan waktu semakin malam, Dona yang sedari awal tidak jauh-jauh dari Jethro, akhirnya pergi ke kamar mandi. Keduanya berpisah untuk sementara waktu.
Namun, waktu yang singkat itu nyatanya dimanfaatkan dengan baik oleh Darko.
Dia yang sudah mengincar momen di mana Dona berpisah dengan Jethro sedari awal, segera bergegas menghampiri Dona begitu ia keluar dari kamar mandi dan hendak kembali ke tempat duduknya.
"Halo, Cantik!"
Dona yang terlalu lama tenggelam dalam dunia perkantoran dan tidak lagi bergelut di dunia entertainment juga modelling, cukup terkejut dengan datangnya seorang laki-laki tampan menyapanya secara terang-terangan begitu.
Dengan keraguan di hatinya, Dona memandang Darko agak bingung. "Anda berbicara dengan saya?"
"Ya, tentu saja."
Darko mengulurkan tangannya, mengajak berkenalan.
"Perkenalkan, aku Darko. Aku rasa, kamu kenal siapa aku? Secara, jika aku tidak salah menebak, kamu adalah Madona si model sejuta popularitas yang belum lama ini vakum 'kan?"
Dona tidak langsung membalas uluran tangannya. Dia memandang Darko dengan sangat cermat dan hati-hati, sebelum akhirnya tersenyum lebar dibarengi dengan gelengan kepala.
"Kau benar. Tapi sayangnya, aku tidak mengenalimu."
Senyum percaya diri yang sedari tadi Darko tampilkan di wajahnya, kini lenyap begitu saja setelah mendengar perkataan Dona. Kekesalan pun memenuhi hatinya. Baru sekarang dia mendapati seseorang yang tak mengenali dirinya.
Akan tetapi, karena Darko di sini datang dengan rencana papanya, Darko pun membuang seluruh egonya dan kembali tersenyum penuh pada Dona.
"Kalau begitu ayo berkenalan. Aku Darko," ujarnya lagi, masih mencoba beramah tamah. "Aku salah satu aktor yang bekerja di bawah naungan HN Entertainment."
Meskipun Dona agak curiga dengan maksud perkenalan dan pendekatan Darko padanya, dia masih mengulurkan tangannya untuk berkenalan.
"Ya, aku Dona."
Karena respons singkat dan cuek dari Dona, Darko yang belum pernah mendapatkan respons seperti itu pun tertantang untuk membuat Dona luluh padanya.
Seperti sekali mendayung dua tiga pulau terlampaui, Darko tiba-tiba mendapatkan semangat untuk menjalankan rencana dari papanya itu sepenuh hati.
Selain dia bisa membantu papanya, dia juga bisa bersenang-senang dengan Dona. Apalagi, Dona ini nyatanya memang sangat cantik, terlepas dari bagaimana sikapnya.
Memang menarik.
Dengan begitu, Darko pun mulai mengajak Dona berbincang-bincang mengenai dunia entertainment yang sudah agak lama Dona tinggalkan. Mau tidak mau, kerinduan yang sudah lama terpendam jauh di hati Dona itu terpancing keluar karenanya.
Hingga tanpa sadar, Dona mulai hanyut dengan pembicaraannya bersama Darko dan melupakan sosok Jethro yang kini memandang keduanya dari kejauhan.
"Siapa laki-laki ini?"
***
Hari demi hari berlalu dengan cepat. Pagi ke pagi, malam ke malam, waktu melesat begitu pesat. Sampai-sampai, dua minggu berlalu begitu saja semenjak acara makan malam itu diadakan.
Kesibukan di gedung Martin Group pun semakin terlihat dari waktu ke waktu. Pekerjaan menumpuk dari menit ke menit. Semua orang terjebak dalam stres yang berkepanjangan karena pekerjaan yang tak kunjung kelar.
Termasuk Pak Harun, Siska, dan Jethro yang kewalahan dengan begitu banyaknya pekerjaan yang harus diurus akhir-akhir ini.
"Jethro, aku sudah tidak sanggup lagi mengejar semua deadline permintaan dari klien ini!" celetuk Siska yang kini memilih untuk meletakkan kepalanya di atas meja kerjanya. Dia begitu lelah.
Jethro yang kini sedang mengejar laporan keuangan serta laporan harian dari beberapa departemen, akhirnya berhenti mengetik dan mengangkat pandangannya ke arah Siska di seberang.
"Kalau begitu letakkan saja," sahutnya datar.
Setelah dia mengatakan itu, Jethro kembali sibuk dengan pekerjaannya sendiri. Kedua matanya tampak memindai kalimat demi kalimat yang ada di layar laptopnya dengan sangat cepat. Sepuluh jarinya begitu cepat dan cekatan dalam mengetik.
Bahkan dengan meningkatnya tekanan yang ada, Jethro masih mengerjakan semua tugasnya dengan fasad yang begitu tenang dan biasa saja.
Sampai-sampai, Pak Harun yang berdiri memilah dokumen di meja samping tempat Jethro bekerja, menggeleng-gelengkan kepalanya karena heran.
"Jethro, aku tahu kamu ini luar biasa. Tapi dengan pekerjaan yang menggunung seperti ini, apa kamu tidak merasa sedikit lelah atau apa?" celetuknya lagi.
Jethro menggeleng pelan.
"Tidak. Aku mengerjakan lebih dari ini di perusahaan sebelumnya," jawabnya singkat.
Baik Siska maupun Pak Harun kompak merasakan pundak dan punggung mereka serasa ingin patah karena jawabannya.
Bagaimana bisa dengan segala tekanan dan banyaknya pekerjaan yang ada di depan mata, mereka tetap tenang dan bekerja seperti biasanya?
"Ini gila!"
Siska kembali mengangkat kepalanya dan duduk tegak dengan kedua mata menatap tajam sosok Jethro juga Pak Harun yang kembali sibuk bekerja.
"Bagaimana bisa semua ini terjadi?! Bukankah selama ini kita tidak pernah malas-malasan dalam bekerja? Bukankah selama ini, kita bekerja sesuai aturan?"
"Bukankah semuanya berjalan lancar saja? Kenapa selama seminggu terakhir ini, pekerjaan kita tiba-tiba menggunung seperti sekarang?"
Usai mengeluarkan pertanyaan yang menjadi uneg-unegnya, Siska terengah-engah. Dia lalu memalingkan wajahnya ke arah lain untuk menstabilkan kembali napasnya.
Jethro berhenti mengetik dan menarik napas panjang untuk pertama kalinya.
Dia seperti akan mengatakan sesuatu, sebelum akhirnya, dia harus menutup mulutnya lagi, ketika sosok Dona lewat di depan ruangan mereka.
Pak Harun dan Siska spontan menoleh ke arah kedua mata Jethro memandang, di mana arahnya adalah pintu ruangan mereka yang agak terbuka.
"Kalian sudah tahu apa penyebabnya," ucap Jethro mengedikkan bahunya acuh tak acuh dan langsung kembali bekerja.
Perkataannya itu pun mengundang perhatian Pak Harun dan Siska, hingga mereka menoleh kepadanya sekali lagi.
"Apa?!" sahut mereka berdua kaget.
Jethro yang sudah menyelesaikan satu laporan, kini meletakkan berkas-berkasnya ke samping dan memandang mereka berdua lagi dengan pandangan bosan.
"Penyebab utama kita bekerja sekeras ini selama seminggu ini adalah Nona Madona."
"Bagaimana bisa?" tanya Pak Harun bingung dan tak percaya.
Jethro tersenyum tipis.
"Anda berhenti mengawasi Nona Madona setelah saya bekerja di sini. Jadi Anda tidak tahu bahwa semenjak dua minggu yang lalu, Nona Madona mulai teledor dan kendor dalam pekerjaannya."
Pak Harun merasa tenggorokannya seperti tercekat.
Dia memang mengakui akan hal itu. Di mana semenjak Jethro menjabat sebagai asisten CEO, dia mulai melonggarkan pengawasannya terhadap Dona, karena dia sendiri punya banyak hal yang perlu diurus.
Dan beberapa hal itu membutuhkan perhatian dan waktunya melebihi pekerjaannya di sini. Apalagi, Jethro lebih dari mampu untuk diminta mengawasi sekaligus membantu pekerjaan Dona.
Hanya saja, Dona ini memangnya kenapa? Ada apa dengannya? Apakah ada hal lain yang membuatnya tiba-tiba kendor dalam bekerja?
"Jika Anda bertanya, maka jawabannya mudah."
Siska turut menyimak dari tempatnya sendiri.
"Nona Madonna sepertinya mulai teledor setelah bertemu laki-laki yang bernama Darko di acara makan malam Multi Group dua minggu lalu. Mereka berdua kemudian mulai akrab dan sering bepergian bersama. Setelahnya, semua pekerjaan terbengkalai."
Penjelasan ringkas itu berhasil membuat Pak Harun tercengang. Dia tidak mengira bahwa hanya dalam kurun waktu dua minggu, Dona sudah berulah hingga mengakibatkan semua orang di perusahaan menanggungnya.
"Lalu kenapa kamu diam saja, Jethro? Kenapa kamu tidak mencoba mencegahnya dan menghalanginya?" tanya Pak Harun sedikit sengit.
Jethro menggeleng, mulai bekerja lagi.
"Saya tidak punya hak untuk mengingatkan dia lebih dari dua kali, Pak Harun."
Pak Harun menghela napas panjang. Makna dari jawaban Jethro begitu jelas. Yang bermasalah dan tidak bisa dinasihati adalah Dona. Haruskah dia turun tangan untuk mengatasinya?
"Baiklah!"
Usai Pak Harun mengatakan itu, Jethro yang sudah kembali sibuk mengerjakan laporan lain, mengepalkan salah satu tangannya dengan tatapan tajam.
***
Sorenya, Pak Harun akhirnya datang ke ruang kerja Dona dengan ekspresi berat. Dalam kepalanya, sudah banyak hal yang siap untuk diutarakan.
Akan tetapi, semua itu langsung sirna begitu dia melihat Dona tengah bertelepon ria dengan seseorang. Dari tawa dan rona bahagianya, tampaknya Dona sedang bertelepon dengan laki-laki yang bernama Darko itu!
Seketika, kekesalan melanda hati Pak Harun.
"Nona Madona!"
Dona terperanjat.
Dia kelabakan sendiri untuk memutuskan sambungan teleponnya dan menyambut Pak Harun dengan ekspresi bersalah.
"P-Pak Harun?"
Sudah dua minggu dia lepas dari pengawasan Pak Harun, tiba-tiba mendapatkan kunjungan darinya, dia menjadi gelagapan. Perasaan campur aduk memenuhi hatinya. Dia bahkan merasa cemas tak karuan karenanya.
Pak Harun mengerutkan kedua alisnya hingga tampak menukik tajam.
"Sore-sore begini, Nona Madona mendapatkan telepon dari siapa? Tampaknya begitu bahagia? Padahal saya lihat, pekerjaan dan berkas-berkas laporan ini agaknya mulai menggunung?" sindir Pak Harun tepat sasaran.
Mendengar sindirannya, Dona mencoba untuk terlihat sesantai mungkin. Tapi semakin dia mencoba untuk santai, semakin dia terlihat salah tingkah dan serba salah.
"I-Itu, aku, saya—"
"Nona Madona, apakah Anda tahu apa yang Anda lakukan ini adalah salah? Apakah Anda tahu bahwa Anda kini telah abai dengan pekerjaan dan tanggung jawab Anda sebagai CEO Martin Group?"
Pak Harun berhenti di seberang Dona. Tatapannya semakin menajam ketika dia mempertanyakan sikap Dona.
"Apakah Anda sekarang tiba-tiba kehilangan konsentrasi dan fokus hanya karena seorang laki-laki? Apakah Anda tidak tahu akibat dari tindakan Anda yang seperti sekarang ini? Apa dampaknya bagi perusahaaan? Apa Anda tahu itu?"
Pertanyaan demi pertanyaan yang dilontarkan Pak Harun masuk ke indera pendengaran Dona dengan hawa panas yang membuat Dona tersulut.
Apalagi Dona merasa, semakin dia mendengarnya, semakin dia merasakan dia tertuduh melakukan hal-hal kriminal tak termaafkan. Dia seperti di interogasi dan dia benci hal ini! Dia benci situasi ini!
"CUKUP!"
***
"Cukup, Pak Harun!"
Dona berdiri dan berteriak marah.
"Saya sudah cukup lelah dengan semuanya!"
Pak Harun mengepalkan tangannya kaget. Ia tak menyangka bahwa Dona akan marah dan membentaknya sedemikian rupa. Bahkan
Sayangnya, Dona tidak peduli. Dia menatap tajam kedua manik mata Pak Harun itu tanpa rasa bersalah.
"Saya sudah lelah dengan semua pekerjaan memuakkan ini!"
"Andai Pak Harun tahu, saya sudah benar-benar menyerah terhadap segala macam hal yang berhubungan dengan dunia perkantoran, perusahaan, dan segala isinya!"
"Apa? Anda ingin bertanya kenapa?" Dona tertawa hambar. "Ha-ha-ha!"
"Karena saya tidak punya alasan untuk mempertahankan diri saya di sini! Saya tidak punya motivasi khusus untuk bisa membangun perusahaan ini! Apalagi Anda bisa melihat bagaimana tidak becusnya saya mengurus perusahaan."
Seraya beranjak dari tempatnya, Dona berjalan santai mengitari ruangan. Tatapannya yang membawa banyak duka, kekesalan, kemarahan, dan kesedihan, dia perlihatkan begitu saja di hadapan Pak Harun.
Dia sudah lelah dan muak berpura-pura tetap kuat dan tegar sepanjang waktu menjalani semua rutinitas menyebalkan sebagai seorang CEO. Dengan segala tekanan yang datang dari segala arah, sampai cibiran dan gunjingan yang tak kunjung putus dari mulut orang-orang serta karyawannya.
Pak Harun tidak sanggup berkata-kata mendengar penuturan Dona. Sedangkan Dona sendiri belum selesai berbicara. Dia kini berhenti di depan jendela ruang kerjanya dengan tangan terlipat di depan dada.
"Pak Harun seharusnya tahu, bahwa saya di sini karena paksaan Anda. Saya menjabat sebagai CEO yang tak berguna karena keadaan yang mendesak, situasi tragis yang tak pernah diduga semua orang."
"Saya meninggalkan semua jalan yang memungkinkan saya untuk kembali menapaki karir modelling saya, hanya demi mengemban tugas ini. Tugas yang tak pernah saya inginkan ataupun saya impikan dalam hidup!"
Hening sejenak di antara mereka berdua.
Dona berhenti berbicara untuk sementara waktu. Dadanya entah kenapa terasa begitu sesak dan sakit. Sampai-sampai, dia merasa sulit untuk berbicara lagi. Meski begitu, Dona masih memaksakan diri untuk mengungkap isi hatinya.
"Awalnya, saya pikir saya mampu melaksanakan semua tugas sekaligus tanggung jawab CEO Martin Group, dengan motivasi Papi akan kembali! Tapi nyatanya? Tidak! Bahkan setelah tiga bulan berlalu, Papi masih tidak ada kabar!"
"Saya sendirian, Pak Harun!" tegas Dona seraya membalikkan badannya menghadap Pak Harun.
Dengan menahan tangis yang hampir saja pecah, Dona tersenyum miris.
"Saya yakin Anda tahu bagaimana kondisi saya selama tiga bulan ini. Saya kehilangan kekasih saya, kehilangan karir saya, kehilangan Papi saya, dan sekarang saya merasa kehilangan diri saya sendiri karena bekerja di perusahaan ini!"
"Saya stres! Saya butuh seseorang yang bisa mendukung saya di jalan yang saya inginkan!"
"Tapi di sini, kalian semua tidak melakukan itu! Kalian setiap hari selalu memaksa saya menjalani kehidupan yang begitu menyiksa! Kalian terus mendesak, mendorong, dan menuntut saya agar bisa seperti yang kalian inginkan tanpa mempedulikan saya sendiri!"
"Kalian terlalu kejam!"
Dona kini tidak sanggup lagi menahan air mata yang sudah membendung terlalu lama di pelupuk matanya.
"Kalian tidak seperti Darko!" tutur Dona seraya mengusap air mata di pipinya.
"Dia mampu memberikan saya kehangatan walaupun tidak banyak. Dia memberi saya dukungan. Memberi saya semangat bahwa saya bisa kembali ke jalan karir yang saya inginkan. Tidak banyak menuntut seperti kalian!"
Diiringi senyuman pahit, Dona menghampiri Pak Harun.
"Saya selesai, Pak. Saya tidak bisa lagi hidup seperti ini. Tidak ada gunanya bagi saya. Lagi pula, tak peduli seberapa jauh saya mencoba dan memaksimalkan usaha, kalian tak pernah menghargai saya sama sekali."
Usai mengatakan semua itu, Dona kemudian berjalan melewati Pak Harun begitu saja. Akan tetapi, tangannya lebih dulu dicekal Pak Harun.
"Siapa nama laki-laki yang Anda sebutkan tadi, Nona Madona?"
Dona menggertakkan giginya. "Darko Bagaskara."
Kedua mata Pak Harun membola penuh.
"Darko Bagaskara?" ulangnya tak percaya.
"Nona! Anda tidak bisa dekat-dekat dengannya! Ayahnya adalah pemilik dari Baskara Group, pesaing kuat Martin Group!"
"Kita berselisih dan bersaing sejak lama dengan mereka, Nona! Dia pasti datang untuk menjerat Nona, supaya Nona kacau dan perusahaan ini berada dalam ambang kehancuran!" ujarnya agak panik.
Sayangnya, alih-alih mengerti dan mendengarnya, Dona justru menjadi semakin marah. Dia menoleh dan mendelik pada Pak Harun. Kilat marah tergambar jelas di kedua matanya.
"Pak Harun, cukup!" desis Dona tegas.
"Bahkan di saat saya seperti ini, Anda masih memikirkan perusahaan?! Baiklah. Saya sekarang mengerti. Apa yang saya katakan semuanya memang tidak ada artinya. Yang Anda pedulikan hanya perusahaan ini saja."
Pak Harun membelalak. "Tidak—"
"Sudahlah," potong Dona cepat.
"Untuk masalah Darko, saya ingatkan, bahwa saya lebih mengenal Darko dibandingkan Anda! Dia memang memiliki ayah seorang pemilik perusahaan, tapi dia tidak ada hubungannya dengan itu."
"Dia benar-benar lurus di jalan karirnya sendiri sebagai aktor. Ayahnya mendukung. Tidak ada orang yang mencoba ikut campur terhadapnya. Jadi, berhenti berprasangka buruk padanya."
"Saya permisi!"
Selesai Dona berpamitan, dia keluar begitu saja. Meninggalkan Pak Harun yang mematung di tempat dengan kaki mulai melemah.
Sementara Dona yang tiba di luar, berpapasan dengan Jethro. Ekspresi kesal Dona dibalas dengan ekspresi datar Jethro. Keduanya tidak saling bicara sama sekali.
Sampai Dona menghilang di belokan, Jethro mengepalkan kedua tangannya dan buru-buru masuk ke ruangan untuk membantu Pak Harun berdiri tegak lagi.
"Pak Harun, Anda baik-baik saja?"
Pak Harun mengangguk sambil melambaikan tangannya beberapa kali. "Saya baik-baik saja."
"Tapi Nona Madona dan perusahaan ini jelas sedang tidak baik! Situasinya gawat, Jethro! Kita berada dalam bahaya! Ini benar-benar di luar kendali dan ekspektasi kita!"
Jethro tidak langsung menanggapinya.
Dia membantu Pak Harun terlebih dahulu untuk duduk di kursi agar ia lebih tenang, sebelum akhirnya berkomentar dengan kepala dingin.
"Saya sudah mendengarnya. Dan saya sendiri juga sudah mencari tahu mengenai identitas Darko ini selama beberapa hari. Saya pun cukup terkejut dengan hasilnya," terang Jethro jujur.
Penjelasannya membuat Pak Harun kaget lagi.
"Kamu! Kamu sudah tahu hal ini tapi kamu diam saja?"
"Karena saya tidak punya kemampuan dan hak untuk mengatur hidup Nona Madona."
Pak Harun mendesah kecewa. "Haih! Alasanmu begitu klasik, Nak!"
Jethro hanya tersenyum tipis. "Tapi bukan berarti saya diam di tempat dan membiarkan pihak lawan bergerak bebas di perusahaan kita."
"Lalu apa yang kamu lakukan?"
"Saya? Saya berusaha keras untuk tetap bekerja seperti biasa dan menyelesaikan banyak laporan keuangan serta menangani semua berkas klien dan investor."
Jawabannya sedikit membuat Pak Harun jengkel tapi juga lega.
"Kalau hanya itu saja, pihak lain masih bisa menyerang dengan ganas, Jethro! Kamu tidak mendapatkan hal lain atau apa begitu dari semua ini?"
"Ada. Tapi, kita lebih baik fokus saja pada penanganan Bu Madona," balas Jethro, enggan menjawabnya jujur.
Dia hanya tersenyum seraya membalikkan tubuhnya, sebelum keluar dengan diiringi senyuman misterius.
***
Semakin ke sini, semakin dekat pula hubungan antara Dona dan Darko.
Mereka berdua kerap menghabiskan waktu bersama selama seharian penuh. Belum lagi ketika weekend tiba, keduanya pasti bisa dipastikan pergi berdua saja.
Keduanya benar-benar terlihat seperti pasangan yang sangat kasmaran. Setiap hari mengumbar kemesraan, tidak peduli bagaimana jalannya pekerjaan dan perusahaan yang ada di belakang. Semuanya mereka tinggalkan begitu saja.
Sampai akhirnya, semua hal mencapai puncaknya.
Sementara Dona merasa dia benar-benar jatuh cinta dan nyaman dengan Darko, Darko di sisi lain juga sudah mencapai puncak keberhasilan rencananya.
Di sela-sela kencannya dengan Dona, dia mengabari papanya tentang bagaimana kondisi perusahaan Martin Group sekarang.
Dan tentu saja, laporan Darko dipenuhi kata-kata bahwa Martin Group anjlok, di ambang batas kehancuran, serta tinggal menunggu waktu untuk perusahaan itu bangkrut dengan sendirinya.
Info itu pun Darko dapatkan secara langsung dari Dona secara cuma-cuma. Dia hanya perlu bertanya, kemudian Dona akan menjawabnya dengan begitu mudah.
Sayangnya, Dona masih belum sadar juga dengan hal itu.
Cintanya yang dibalas dengan perlakuan manis Darko membuat Dona buta sekaligus bodoh. Dia menyingkirkan semua logikamya dan memilih abai dengan segala hal yang berkaitan dengan Martin Group.
Dona, benar-benar terjerat juga terperangkap dalam tipu muslihat rencana Darko!
"Darko, aku benar-benar sudah jatuh cinta padamu. Jadi, aku mohon, jangan tinggalkan aku," ujar Dona saat mereka berdua duduk bersama menyaksikan matahari terbenam di pinggiran pantai.
Darko merengkuh bahu Dona dari samping dan tersenyum manis. "Tentu saja, Dona. Aku tidak akan meninggalkanmu. Aku di sampingmu selalu."
Meskipun mulutnya berkata demikian, hanya Darko dan Tuhan yang tahu bahwa dia berkhianat di hatinya.
***
Waktu berjalan lebih cepat ketika semua orang sibuk dengan urusan pekerjaan mereka. Belum lagi jika pekerjaan mereka ternyata memiliki masalah dan mendapatkan banyak komplain dari atasan juga pelanggan, klien, atau investor.
Sama halnya dengan semua orang yang bekerja di Martin Group.
Mereka begitu kocar-kacir selama sebulan belakangan. Semakin hari, pekerjaan mereka semakin menggila. Semakin banyak deadline, permintaan, tagihan, hingga komplain yang datang silih berganti dari banyak pihak.
Lambat laun, mereka pun menjadi stres, depresi, hingga burnout, karena membludaknya pekerjaan mereka. Target mereka tak bisa lagi dikejar, sedang psikis dan fisik mereka sudah sangat lelah, butuh istirahat.
Sebagai imbas atau dampak dari segala macam hal yang begitu kemrungsung ini, kini kinerja para karyawan menurun drastis.
Mereka kelelahan dan tidak lagi memiliki semangat bekerja yang bagus. Banyak dari mereka yang mulai menuntut pengunduran diri. Bahkan, hal ini membuat Pak Harun dan Siska yang menangani banyak hal dalam kuasa CEO, semakin frustrasi.
Belum lagi ditambah dengan fakta akan komplain yang datang dari investor, klien, supplier, dan customer mereka. Seluruhnya adalah malapetaka bagi perusahaan Martin Group!
Pak Harun menggebrak meja kerjanya dengan keras. Seluruh dokumen yang ada di atas meja langsung bergetar. Suara gebrakannya juga mengagetkan Siska dan Jethro sekaligus.
'BRAK!'
"Jethro, ini tidak bisa dibiarkan begitu saja. Kalau terus-terusan begini, maka bisa dipastikan bahwa saham Martin Group akan jatuh anjlok sampai ke titik terendahnya!"
Kepanikan yang terlukis jelas di wajah tua Pak Harun membuat Jethro sedikit iba di hatinya. Saking cinta dan tanggung jawabnya Pak Harun terhadap Martin Group, dia sampai berjuang sejauh ini.
Sedangkan yang seharusnya menjadi pemimpin mereka ... jangan ditanya di mana dia sekarang.
Jethro menghela napas pendek.
"Semoga hal itu tidak terjadi. Kita hanya bisa melakukan hal sebaik mungkin sekarang."
Dengan kata-katanya itu, Pak Harun hanya mendengkus keras dan kembali bekerja. Begitu juga dengan Jethro dan Siska. Meskipun kepala mereka mulai mengepulkan asap, tapi mereka masih setia menyelesaikan banyak tanggung jawab yang ada.
Sayangnya, saat mereka sibuk bekerja, pintu ruangan justru diketuk dengan begitu heboh dari luar. Ketukannya sangat keras nan kasar. Mau tidak mau, tiga orang yang berada di dalam ruangan pun menjadi terganggu.
"Jethro, lebih baik kau yang membukanya," perintah Pak Harun lelah.
Jethro mengangguk. Dia beranjak pergi membuka pintu. Dan nyatanya, apa yang menyambutnya adalah segerombolan karyawan bermata panda, ekspresi suram, serta pandangan penuh amarah terhadap dirinya.
"Ada apa dengan kalian?" tanya Jethro basa-basi.
Sayangnya, pertanyaan Jethro itu justru mengundang kemarahan semua karyawan yang berdiri di sana.
Mereka mulai mengeluarkan kertas-kertas besar bertuliskan permohonan resign juga permintaan agar Dona turun dari jabatannya.
Tidak hanya itu, mereka juga menuntut gaji tinggi berikut pesangon yang sepadan apabila mereka mengundurkan diri dari Martin Group.
Jethro melirik ke belakang, meminta bantuan Pak Harun. Dengan begitu, Pak Harun segera berjalan menghampirinya dan mencoba menenangkan para karyawan. Dia memberinya banyak janji pemakmuran karyawan apabila mereka bersedia tinggal sebentar lagi saja.
Sampai semua karyawan merasa agak ditenangkan, Pak Harun meminta mereka kembali ke ruang kerja mereka masing-masing. Untungnya, mereka semua menuruti perintah Pak Harun.
"Hampir saja," desah Pak Harun kelelahan.
Amat disayangkan, karena kelegaan itu tak bertahan lebih dari 5 menit. Karena setelah masalah karyawan yang mendadak demo itu, muncul masalah baru yang ditemukan oleh Siska.
"Pak Harun! Ini gawat! Banyak laporan dan berkas penting mengenai permintaan klien yang belum disentuh oleh Nona Madona sejak dua bulan lalu!"
Kepala Pak Harun seperti ingin meledak.
"Kapan jatuh temponya?" tanya Jethro singkat, mengambil alih topik dengan tenang.
Siska menelan ludahnya susah payah. "I-Ini, jatuh temponya besok."
Pak Harun mengusap wajahnya begitu kasar setelah mendengar jawabannya. Begitu pula Jethro yang untuk kesekian kalinya, menarik napas panjang guna menenangkan emosinya.
"Untuk pertama kalinya, aku benar-benar hampir menyerah dengan nasib perusahaan Martin Group kita," celetuk Pak Harun menjatuhkan dirinya di kursi dengan ekspresi muram.
Jethro meliriknya kasihan. Akan tetapi, dering notifikasi dari ponselnya berhasil mengalihkan perhatiannya.
Dan ketika Jethro melihat apa isi notifikasi tersebut, kedua matanya terpejam erat. Dia tidak ingin mengatakan apa yang terjadi pada Pak Harun dan Siska, tapi dia tidak bisa memendamnya sendirian karena ini menyangkut perusahaan.
Pak Harun yang peka akan situasi, menangkap ekspresi berat Jethro tepat waktu. Dia mengerutkan keningnya dan bertanya apa yang terjadi pada Jethro.
Jethro membuka matanya dan menatap lurus sosok tua Pak Harun serta Siska bergantian.
"Kabar buruk. Saham kita hari ini telah mencapai titik terendahnya alias anjlok total. Dan baru saja aku mendapat laporan dari departemen keuangan, bahwa mereka mendapati banyak dana yang pengeluarannya tidak jelas."
Pak Harun dan Siska menghirup udara dingin. Berharap semuanya sudah berakhir, tapi nyatanya Jethro masih memberikan kabar buruk lainnya.
"Lalu sekarang, di depan lobi perusahaan, Nona Madona dihadang banyak orang untuk dimintai pertanggungjawabannya. Sedangkan kabar lainnya, banyak investor dan customer yang memutuskan berhenti bekerja sama dengan Martin Group dan beralih ke Baskara Group."
Selesai Jethro berkata, Pak Harun pingsan di tempat.
***
"Apa yang kalian lakukan! Sudah cukup! Aku tidak tahu apa-apa!" sergah Dona mencoba menghindari amukan semua karyawan yang menghadangnya di depan lobi perusahaan.
Sembari mencari celah di antara banyaknya orang, Dona pun menutup telinganya rapat-rapat dan berlari menerobos kerumunan karyawan. Tujuannya sekarang adalah menemui Jethro.
Saat Dona berhasil kabur dari mereka semua dan bertemu Jethro di ruang kerjanya, Dona justru mendapati raut wajah tak mengenakkan dari Jethro.
"Kenapa ekspresimu begitu?"
Jethro tersenyum dingin dan meletakkan semua berkas yang menunjukkan tentang kondisi perusahaan Martin Group sekarang.
Mulai dari masalah karyawan, laporan keuangan berantakan, masalah investor dan klien, hingga melesatnya pamor Baskara Group saat saham dan reputasi Martin Group anjlok drastis. Semua terpampang nyata di sana. Bukti sampai detail laporan tersedia di sana.
"Aku tidak peduli kau dari mana. Tapi karena kau sudah di sini, baca semua itu. Dan juga, kau harus mendengar ini," ucap Jethro lagi seraya meletakkan ponselnya yang berisi rekaman suara Darko.
Kali ini, dia sudah cukup muak berdiam diri. Enggan baginya untuk bertele-tele lagi menghadapi Dona. Terutama setelah Jethro melihat Pak Harun pingsan sedemikian rupa.
Dona mengambil semua berkas bukti yang ada di meja sembari mendengarkan bagaimana rekaman suara Darko itu diputar.
Semakin Dona membaca dan mendengar, semakin pertahanannya mendadak lenyap. Kakinya mulai melemah dan sesak mulai memenuhi dadanya.
Dona menoleh ke arah Jethro dengan tatapan tidak percaya. "Tidak mungkin!"
"Masih mau mengelak? Kau ini bodoh atau apa?" cibir Jethro tidak mau bersikap sopan lagi.
Sambil menggelengkan kepalanya, Dona menutup mulutnya dan menangis tak percaya. Darko yang selama ini dia percaya, ternyata adalah serigala berbulu domba.
Rencana Darko dan ayahnya ternyata telah diatur begitu sempurna untuk menjatuhkan dia dan juga Martin Group. Dan semua itu kini terealisasi begitu sempurna!
Dona tidak mengira dia telah tertipu dan terjerat dalam rencana mulus Darko. Dia kini mendapatkan rasa sakit yang bertubi-tubi. Mulai dari sakit hati, penyesalan karena mengabaikan perusahaan papinya, hingga membuat kekacauan sebesar ini.
Kuncinya, sumber kesalahan semua ini ada pada dirinya.
Dona jatuh ambruk.
Sayangnya, Jethro enggan bersimpati di saat seperti ini. Dia bergegas maju dan mengulurkan tangannya dengan ekspresi datar, namun pandangan matanya begitu tegas.
"Bukan saatnya untuk meratapi nasib dan tidak berbuat apa-apa. Kau harus bertanggung jawab atas apa yang terjadi sekarang. Hadapilah dengan dagu terangkat!"
Dona mendongak, dia memandang Jethro dengan penuh penyesalan.
"Bangkit sekarang atau jangan pernah bangkit sama sekali," tandas Jethro sekali lagi.
"Bangkit!" balas Dona serius.
"Ayo."
Setelahnya, Dona dan Jethro mulai menangani satu per satu masalah yang ada.
Mereka berdua bahu membahu menyelesaikan masalah karyawan yang meminta resign dan pengunduran diri terlebih dahulu.
Keduanya mengumpulkan semua karyawan untuk diberi opsi anatara mundur dengan sedikit pesangon atau bertahan minimal satu bulan lagi dengan gaji yang dinaikkan.
Kemudian, mereka berdua dibantu Pak Harun serta Siska, mulai menyortir kontrak serta berkas kerja sama mana yang sekiranya masih bisa diselamatkan.
Hebatnya, di sini Jethro telah diam-diam menyelesaikan semua kontrak dengan klien dan investor terbesar nan menguntungkan. Jadi, meski mereka kehilangan banyak klien dan investor kecil, mereka masih bisa tenang.
"Kamu hebat, Jethro!" puji Pak Harun di sela-sela kegiatan mereka.
Jethro hanya tersenyum tipis sebagai balasan.
Hari-hari berikutnya pun masih sama, mereka berempat mulai memilah dan memilih mana yang sekiranya bisa mereka kerjakan dan susun ulang untuk mempertahankan perusahaan itu.
Sampai pada akhirnya, hampir 50 persen pekerjaan yang menumpuk di Martin Group disingkirkan karena tak lagi berguna. Kebanyakan dari mereka sudah kelewat tanggal, ditarik ulang, dibatalkan paksa oleh klien, customer, serta investor.
Sedangkan 50 persen sisanya, digarap oleh seluruh karyawan yang memilih tetap bertahan minimal sebulan lagi bersama Dona, Jethro, Pak Harun, dan Siska. Semuanya bahu membahu membangun ulang ketahanan dan stabilitas kerja perusahaan.
Jethro pun banyak membimbing Dona dalam hal manajemen perusahaan. Dia mengajarinya banyak hal yang sebelumnya tidak diketahui oleh Dona. Bahkan pengajaran yang diberikan oleh Pak Harun tak sedetail dan sejelas Jethro.
Seperti siang ini, Dona yang kesulitan mengatur manajemen keuangan perusahaan, akhirnya mendapat bimbingan langsung dari Jethro.
Walau Dona tergolong lambat mempelajarinya, Jethro masih begitu sabar menjelaskan banyak hal padanya.
"Kenapa kamu paham lebih baik daripada aku? Oh apakah karena kamu lulusan Harvard dan juga sudah berpengalaman di bidang ini di London?" tanya Dona setelah dia selesai dengan satu laporan keuangannya.
Jethro yang berdiri di samping, hanya tertawa kecil. Tawanya yang begitu jarang diperlihatkan, hampir membuat jantung Dona berhenti berdetak.
"Aku berpengalaman." Jethro membalas singkat.
"Tapi ngomong-ngomong, ada hal yang harus kau tahu. Mengenai penggelapan dana secara diam-diam, orangnya adalah karyawan perempuan yang kemarin mengundurkan diri. Dia mata-mata Baskara Group."
Karena mereka sudah melewati masa kritis dan krisis perusahaan habis-habisan selama setengah bulan, Jethro dan Dona kini mengabaikan formalitas bila sedang berdua saja.
Mereka memilih membuang panggilan 'Anda-saya' dan menggantinya dengan panggilan santai informal biasa.
Dona mendesah panjang.
"Yahh, baiklah, tidak heran. Jadi, bagaimana kau mengetahui semuanya? Dan bagaimana solusinya?"
Jethro tersenyum miring. "Aku yang menangani seluruh laporan keuangan yang ada. Aku sudah curiga sejak awal. Jadi aku menyelidikinya dan menemukannya."
"Kau punya buktinya?"
"Tentu."
"Termasuk bahwa dia adalah mata-mata Baskara Group?"
"Ya."
"Bagus! Kita bisa menuntut mereka dengan ini!"
"Terserah kau saja," balas Jethro santai sembari mengedikkan bahunya.
"Tapi Jethro, sekarang ini perusahaan ini memang bisa stabil. Setidaknya hanya untuk jangka waktu dekat. Tidak untuk selanjutnya, bukan?" keluh Dona resah.
"Bagaimanapun juga, reputasi Martin Group telah jatuh karena ulahku. Belum lagi saham Martin Group yang telah anjlok begitu parah. Kita terancam bangkrut."
Jethro yang melihat kesedihan di wajah Dona pun hanya tersenyum tipis.
"Jangan dipikirkan. Tenang saja. Semuanya pasti akan baik-baik saja. Martin Group akan kembali berjaya lagi," ujarnya mantap.
"Benarkah?"
"Tentu."
Setelahnya, mereka berdua jatuh dalam keheningan. Masing-masing bergelut dengan pemikiran mereka sendiri, sebelum akhirnya sama-sama fokus dengan laporan di atas meja.
"Aku tiba-tiba terpikirkan akan sesuatu," celetuk Jethro setelah beberapa menit hening.
Dona berhenti mengetik dan mendongak untuk memandangnya dengan cermat. "Kenapa? Ada apa?"
"Aku berpikir tentang bagaimana kau akan membalaskan apa yang telah Darko lakukan kepadamu?"
Mendengar pertanyaannya, kedua mata Dona berkilat dingin dan tajam. Dia sudah memikirkan itu sejak pertama kali dia mengetahui tindak-tanduk busuk Darko di belakangnya.
"Dia berani mempermainkanku, menipuku, membuatku patah hati untuk yang kedua kalinya, serta menghancurkan perusahaan papiku, aku tidak akan membalasnya dengan ringan! Lihat saja nanti!"
***
Mungkin, bagi sebagian orang yang tidak benar-benar mengerti apa yang terjadi di dalamnya, menganggap bahwa Martin Group telah bangkrut. Jadi mereka hanya beroperasional secara minim dan sepi.
Sayangnya, yang terjadi justru kebalikannya.
Semua orang yang masih setia bekerja di Martin Group nyatanya menikmati pekerjaan mereka dengan tenang.
Tidak ada karyawan yang tidak merasa tenang bekerja di Martin Group dalam kurun waktu satu setengah bulan terakhir.
"Apa pun itu, kita akan berusaha yang terbaik terlebih dahulu sekarang. Ke depannya, kita akan melihat peluangnya sembari berjalan," ucap Dona dengan optimis.
Bahkan jika nasib perusahaan tempat mereka bekerja ini di ambang kehancuran, mereka masih merasa yakin bahwa mereka akan baik-baik saja.
Jethro yang sedari awal diam, tiba-tiba berceletuk.
"Ngomong-ngomong, bagaimana dengan kabar balas dendammu terhadap Darko? Kau bilang hari ini adalah hari eksekusinya?"
Sambil memperlihatkan layar ponselnya ke arah Jethro, Pak Harun, dan Siska, Dona tersenyum penuh ke arah mereka. Akan tetapi, reaksi ketiga orang di depannya benar-benar di luar dugaannya.
"Bagaimana bisa kau?!" Jethro tidak percaya. "Ini skandal asli?
Dona kemudian menjelaskan bahwa dulu saat dia dan Darko masih begitu dekat, dia secara tidak sengaja menemukan video tak pantas di galeri ponsel Darko.
Dia memanfaatkan video itu untuk membuat jagat entertainment geger akan Darko. Dia ingin karir Darko sama seperti nasib perusahannya.
Rencana Dona memberi efek domino pada perusahaan ayah Darko, Baskara Group. Karena skandal putranya, reputasi Baskara Group ikut terseret. Dan ini membuat saham Baskara Group juga anjlok. Banyak investor menarik diri dan klien kabur begitu saja.
Dona pun senang mendengarnya.
Tak disangka, rencananya sangat cantik!
Saat hari akhirnya berlalu sekali lagi, keadaan mulai membaik sepenuhnya.
Masalah Martin Group telah selesai, walau masih ada masalah saham yang masih begitu stagnan.
Dona dan Jethro sebenarnya tidak benar-benar memiliki janji untuk menghabiskan weekend bersama. Tapi karena Dona tidak memiliki sesuatu untuk dilakukan di saat weekend, Jethro menawarinya jalan-jalan.
Siapa yang mengira bahwa Jethro justru mengajak Dona mampir ke rumahnya juga untuk bertemu sang ibu. Kecanggungan sempat mewarnai hati Dona. Dia bertanya-tanya apa maksud dari Jethro terhadapnya.
Padahal, Jethro sebenarnya benar-benar ingin mengenalkan Dona pada sang ibu. Sayang, Dona tidak menganggapnya demikian.
"Kenapa kau tampak muram? Apakah ada kata-kata dari ibuku yang menyakitimu?" tanya Jethro setelah mereka berdua berpamitan kepada ibu Jethro.
Keduanya berjalan beriringan melewati taman-taman kecil dekat rumah Jethro. Hawa sore yang sejuk membuat Dona merasa nyaman, namun juga sedih dalam waktu bersamaan.
"Tidak, ibumu sangat baik. Hanya saja, aku jadi rindu Papi."
Mereka lanjut berjalan ke sana dan berhasil menemukan sosok Pak Harun yang sedang berdiri membelakangi mereka.
"Pak Harun!"
Ketika Pak Harun membalikkan badan, ternyata dia juga turut memutar kursi roda yang diduduki oleh seorang laki-laki paruh baya. Dan saat Dona melihat itu, dia merasa dunianya berhenti berputar selama beberapa menit.
"Dona," panggil Pak Harun lirih. "Kau tidak ingin memeluk Tuan Martin?"
"PAPI!"
"Dona!"
Tangis Dona pecah seketika begitu dia memeluk sang papi—Martin. Setelah hampir setengah tahun mereka tidak bertemu, kini mereka berdua akhirnya bisa bersatu kembali. Tangis haru mewarnai mereka berdua.
Jethro yang mengamati keduanya dari belakang, mengutak-atik ponselnya sejenak, sebelum akhirnya menghampiri mereka dengan senyuman tulus.
"Dona, Tuan Martin, Pak Harun, selamat! Saham Martin Group telah naik dan berada di garis aman pasar saham."
Ketiganya spontan menoleh. "Bagaimana bisa?"
"WJR Corporation telah menyuntikkan dana untuk Martin Group. Jadi ke depannya, kalian tidak perlu khawatir lagi tentang masa depan perusahaan, juga masa depan para karyawan di sana."
Sementara Martin dan Pak Harun tersenyum senang penuh terima kasih, Dona mematung sejenak.
Jethro tersenyum lebih tulus.
"Karena hari sudah hampir gelap, saya kembali terlebih dahulu. Ibu saya menunggu."
Ketika Jethro berbalik dan berjalan pergi, Dona tiba-tiba mengejarnya. Dia menarik tangan Jethro agar berhenti.
"WJR? Namamu William Jethro Ramadhan 'kan?"
Jethro mengangguk. "Benar."
"Lalu?"
"Tugasku sudah selesai, Dona. Mulai besok hari Senin, aku mundur dari posisiku. Aku harus bekerja di tempat lain. Dan jujur, aku senang karena kau akhirnya tidak lagi mabuk-mabukan seperti malam itu. Setengah tahun yang lalu."
Dona membeku. Ingatannya melesat cepat dan dia terhuyung mundur.
"Malam itu? Bagaimana kau tahu?"
Sayangnya, Jethro tidak menjawabnya dan berlari pergi meninggalkan Dona begitu saja.
"Jethro!!!"