Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
“APAKAH tidak bisa diusahakan sama sekali, Mas?”
Wuning menatap suaminya yang khusyuk menyibukkan diri, mengelap meja yang sudah bersih licin.
“Biar bagaimana pun, dia itu ibumu. Ayo kita pulang, Mas. Mumpung sebentar lagi lebaran, sekalian mudik. Memangnya kamu tidak kangen anak-anak?”
Mendengar kata “anak-anak” disinggung oleh sang istri, Irwan pun menghentikan pergerakan tangannya. Ia menjawab pertanyaan Wuning tanpa mengangkat kepala satu derajat pun.
“Bukan karena aku tidak mau pulang, Ning. Aku hanya menunda kepulangan. Paling tidak, pertengahan bulan Syawal baru kita bisa pulang.”
“Ya, biasanya juga begitu dan saya selalu setuju. Sekarang kan lain soal, Mas. Emak sedang sakit. Mungkin, ini kesempatan terakhir kita bertemu Emak.”
Irwan tak menjawab. Dalam hati ia bersyukur karena pembeli mulai datang. Satu per satu mulai antre pesanan, memenuhi meja kursi yang kebersihannya telah dipastikan. Ia mulai sibuk. Kali ini sibuk betulan, bukan sekadar menyibukkan diri demi menghindari pertanyaan Wuning seperti sebelumnya.
Irwan meracik pesanan, mengguyur mangkok demi mangkok dengan kuah butek dari dandang. Uap panas menguar bersama aroma umami yang menggoda cuping, menggelitik perut pengunjung, seiring dengan potongan gajih yang diterjunkan ke atas daun bawang.
Sementara Wuning ke belakang, bertugas menyeduh minuman. Seketika itu pula, Wuning tak lagi bertanya pasal kesediaan Irwan untuk pulang ke kampung halaman.
Sudah tiga tahun mereka merantau ke Kaliwungu. Meski lebih dekat dengan Semarang, Kaliwungu dapat dikatakan sebagai pusatnya Kabupaten Kendal. Bahkan, beberapa orang dari luar kota lebih mengenal Kaliwungu daripada Kendal itu sendiri.
Ada banyak makam para wali yang menjadi tujuan wisata religi. Setiap hari tak pernah sepi pengunjung dari berbagai kota, untuk mengirim doa maupun meminta wangsit. Namun, saat bulan Syawal, kompleks pemakaman Jabal akan lebih ramai dari biasanya. Bus-bus besar dari berbagai kota berbaris memanjang di selasar jalan berbukit.
Irwan yang membuka warung bakso di sekitaran Jabal tentulah kecipratan rezeki. Orang-orang yang antre ziarah sejak siang biasanya baru selesai saat hari sudah gelap. Mereka pasti kelaparan. Semangkok bakso dengan bumbu medhok dan es jeruk nipis menjadi amunisi untuk menggelontorkan serak di kerongkongan.
Saat siang hari pun, warga sekitar akan berbondong memenuhi warung bakso Irwan. Menu bakso menjadi penyegar kerongkongan setelah berhari-hari dihantam santan opor, petis, dan sambal goreng kentang.
Irwan tak ingin menyia-nyiakan kesempatan emas itu. Apalagi selama bulan Ramadhan, pendapatan mereka merosot drastis. Hanya segelintir manusia yang makan bakso tengah hari. Sedangkan malamnya, Irwan dan Wuning memilih tutup kedai agar lebih fokus tarawih dan tadarus. Bagi keduanya, merantau ke kota bukanlah alasan untuk menjauh dari ajaran agama yang telah mendewasakan mereka.
Sebetulnya, sejak Irwan menyampaikan keinginannya untuk merantau, Wuning sudah menolak. Apalagi ke provinsi lain.
“Mengapa tidak ke Malang atau Surabaya saja? Kan lebih dekat,” tanya Wuning, ia berharap bisa menginterupsi keinginan suaminya.
“Yang di Kaliwungu ini kedai milik temanku waktu mondok dulu. Lebih murah daripada harga sewa di Surabaya. Lagipula di sana kota santri, banyak kiai yang dimuliakan, baik yang masih hidup maupun hanya berupa makam. Kalau berjualan di sana, kita bisa dapat berkahnya, Ning.”
“Lalu anak-anak?”
“Mereka bisa ditinggal sementara waktu. Ada Emak dan Irfa yang bisa menjaga mereka. Saat sudah mapan, baru mereka kita ajak turut sekalian.”
Wuning sempat membantah. Ia tahu persis kondisi ibu mertuanya yang sudah kepayahan, bahkan untuk sekadar beraktivitas pokok. Irfa juga masih muda. Menurut Wuning, akan lebih baik jika Irfa bekerja di luar dan mengaktualisasikan diri secara lebih maksimal.
Namun, Irwan terus meyakinkan bahwa jika mereka hanya diam di Madura, selamanya tak akan mendapat kehidupan yang lebih baik.
“Memangnya di sana mau jualan apa?”
Air muka Irwan berubah. Seutas senyum mengembang sempurna menghiasi pipi dan ujung matanya. “Bakso.”
“Kok bakso?”
“Memangnya kenapa?”
“Orang Madura kan biasanya berjualan sate atau toko kelontong.”
“Memangnya orang Madura tidak boleh jualan selain sate? Memangnya hanya orang Wonogiri yang boleh jualan bakso?”
Lagi-lagi Wuning hanya diam. Kepala saminya itu sangat keras. Jika sudah berkehendak A, opsi B–Z tidak dihiraukannya, se-menggiurkan apa pun itu. Maka, demi memupuk ego Irwan—yang berkali-kali mengutip “demi kehidupan yang lebih baik”—Wuning akhirnya sepakat. Dengan syarat, harus sering-sering pulang untuk menjenguk anak-anak.
Namun, anggukan kepala Irwan rupanya hanya formalitas agar Wuning tenang dan menuruti kehendaknya. Selanjutnya, Irwan selalu mencari-cari alasan untuk menghindari kepulangan. Bila tiba waktu pulang, giliran Irwan yang mencari-cari alibi agar cepat kembali ke perantauan. Begitu terus.
Padahal, para tetangga yang ia kenal berniaga di perantauan, selalu menyempatkan masa untuk pulang kampung sepanjang Ramadhan hingga Syawal. Mereka sengaja pulang untuk berkumpul dengan keluarga dan fokus beribadah, tanpa gangguan duniawi. Namun, rupanya Irwan sengaja menjauh dari tanah lahirnya dengan alasan mencari kehidupan yang lebih baik.
Selama tiga tahun itu pula Wuning dilanda gulana. Di satu sisi ingin tetap berbakti kepada suami. Toh, uang yang dihasilkan dari rantau memang lebih banyak. Realistis saja, Wuning paham betul mereka butuh banyak biaya demi anak-anaknya mencapai sekolah tinggi.
Akan tetapi, ia juga diliputi rasa bersalah karena tidak bisa hadir secara penuh dan utuh pada saat anak-anaknya berkembang dan tumbuh. Setiap kali pulang ke Madura, selalu ada banyak hal yang diceritakan anak-anaknya tentang hal-hal yang telah mereka lalui. Cerita mereka membikin hati Wuning kian teriris, merasa tak becus sebagai ibu karena telah melewatkan banyak hal tentang anaknya.
Sekarang mungkin anak-anak masih bisa memahami. Namun, tak lama lagi mereka akan menginjak usia pubertas, pastilah akan muncul pertanyaan perihal absennya peran orang tua. Lebih mengkhawatirkan lagi jika anak-anaknya berpikir mereka tak diinginkan atau disayangi oleh orang tuanya.
Dan perkiraan-perkiraan itu berhasil membikin dada Wuning bergemuruh. Meletup-letup. Makin mendidih lagi karena Wuning tak bisa berbuat apa-apa, ia tidak berani membantah suaminya.
Ting!
Ponsel di saku Wuning berdenting. Ia mengelap tangannya yang basah tertimpa es batu, lalu membaca pesan masuk dari Irfa.
Mbak, kondisi Emak makin parah. Tolong segera pulang. Saya kewalahan kalau harus momong Emak dan anak-anak sekaligus. Sampaikan kepada Mas Irwan juga, katanya Emak mau bicara. Saya malas bicara langsung ke Mas Irwan, selalu ketus jawabannya.
***
Siang ini warung masih sepi. Tiga hari lagi idulfitri. Sepertinya, tahun ini Irwan akan berlebaran seorang diri. Ia telah mengutus Wuning agar pulang menengok anak-anak, sembari membantu Irfa merawat Emak. Meski sebatas menantu–mertua, hubungan mereka berdua terbilang baik, apalagi Wuning sudah lama piatu. Tidak seperti hubungan Irwan dan ibu kandungnya yang telanjur sukar direkatkan ulang.
Seketika ingatannya terlempar pada masa beberapa tahun silam. Saat dirinya masih sering memakai celana di atas lutut. Memamerkan kaki jenjang yang kurus legam, dengan benjolan tulang di mana-mana. Kaki yang menjadi saksi betapa sering dirinya kena sabet oleh Bapak, lantaran tak berpakaian secara benar dan sopan.
Ia tak pernah mengenyam bangku pendidikan formal. Sejak kanak-kanak—entah usia berapa—Irwan sudah dimasukkan ke pondok. Yayasan yang dikelola oleh orang-orang Arab. Meski jarak pondok dan rumahnya tak mencapai sekilo, Irwan tetap jarang pulang. Ayahnya akan mengira Irwan membolos atau berulah sehingga dipulangkan. Alasan rindu, apalagi bosan, tak pernah diterima ayahnya. Toh, di rumah pun Irwan lebih sering kena marah.
“Jangan malas belajar, nanti bodoh seperti Bapak dan Emak.” Itulah kalimat yang selalu diulang-ulang.
Belakangan, ketika Irwan mulai tumbuh jakun dan berani membantah, kalimat itu akan bertambah bunyinya. “Jangan berani sama orang tua! Kamu mau masuk neraka? Kalau kamu masuk neraka, Emak dan Bapak ikut juga. Kamu senang kalau kami masuk neraka?”
Memangnya kenapa kalau bodoh?
Memangnya kenapa kalau malas?
Memangnya kenapa kalau masuk neraka?
Pertanyaan-pertanyaan itu dibiarkan mengapung dalam pikiran, tanpa jawaban. Meski ia tak terlalu senang dengan kehidupan santri yang monoton dan penuh aturan, setidaknya ia bisa menjauh dari omong kosong yang selalu bapaknya ulang-ulang.
Meski pada akhirnya, ia bersyukur juga. Berkat menjadi santri, ia bertemu Wuning yang mau menerima dia dengan kondisinya yang demikian pelik. Berkat menjadi santri, ia mengenal rekan yang sekarang memberinya sewa dengan harga murah dan hasil lumayan.
Berkat menjadi santri pula, ia punya alasan untuk tidak hadir saat kematian Bapak. Ia sedang ikut ziarah wali di Cirebon saat itu dan menolak pulang duluan, meski biayanya akan ditanggung yayasan.
Saat roh Irwan sedang melanglang buana lintas masa, saat beberapa laler ndeprok di antara lantai dan meja, saat cahaya matahari menelisik di celah spanduk kuning usang bertuliskan namanya; pada saat itulah sebuah pesan masuk membuyarkan lamunannya.
Tertulis nama Wuning di layar. Pesannya singkat saja, tetapi berhasil membuat tubuh Irwan tegak menegang seketika. Tangannya bergetar tak berima, menjatuhkan benda pipih dari genggamannya. Bus yang Wuning tumpangi untuk menyeberang ke Pulau Madura mengalami kecelakaan. Sudah dua hari Wuning dirawat di rumah sakit dan hari ini baru boleh pulang.
Tenggorokan Irwan kering kerontang. Entah karena efek puasa, atau merasa bersalah kepada pujaan hati yang selalu tabah menghadapi sikapnya itu.
Pantaslah Wuning tak pernah mengabari. Irwan kira Wuning telah sibuk mengurus Emak dan anak-anak. Hari-hari biasanya pun, Wuning memang jarang menilik ponsel. Tak ada kecurigaan dalam benak Irwan selama beberapa hari belakangan. Hanya sekelebat rasa rindu, yang seketika ia tekan dengan pikiran di sana susah sinyal dan Wuning tak punya cukup waktu.
Setelah mendapat pesan dari Wuning siang itu, Irwan segera mencari tiket kereta dan bus. Ia yang berniat hemat dengan pulang pada pertengahan bulan Syawal, kini harus mengeluarkan tabungan berkali-kali lipat karena harga tiket yang tidak manusiawi saat mendekati idulfitri. Lusa sudah lebaran. Dibelinya tiket yang mahal itu, asal ia dapat bangku. Demi bisa pulang, menemui Wuning yang tersayang.
***
Langkah Irwan terhenti di muka rumah Emak. Dari jalan gang menuju pintu utama, masih perlu setidaknya lima puluh langkah kaki. Berjarak 25 meter, mata Irwan menangkap kerumun ibu-ibu berbusana sopan sedang duduk mengaji. Meluber hingga ke beranda. Semuanya tertunduk khusyuk, tak menyadari kedatangan Irwan.
Di balik punggung ibu-ibu yang bejubelan itu, samar-samar Irwan melihat Wuning duduk lesu bersandar dinding kayu. Wajahnya sendu, tapi tak sedikit pun tampak luka atau memar menghiasi mukanya. Sejenak alis Irwan mematut, tapi kemudian lega juga karena istrinya baik-baik saja. Semoga memang sebaik yang bisa ia lihat.
Namun, kelegaannya tak bertahan lama. Terlebih ketika Irwan bertanya-tanya, ada hajat apa sehingga para tetangga berkumpul di rumahnya, alih-alih sembayang tarawih atau membereskan rumah untuk hari raya? Mungkinkah….
Irwan menyelinap dari samping rumah, menuju pintu belakang. Beruntung tak terkunci. Ia menjawil lengan Irfa yang duduk tepat di samping pintu yang membatasi dapur dan ruang tamu. Adiknya segera bangkit dan menyeret abangnya. Menjauh dari gemuruh yasin yang didaraskan sanak tetangga.
“Kenapa baru datang?” cerca Irfa seketika. Ia menatap tajam Irwan, seolah lelaki di hadapannya itu penjahat paling kejam.
Irwan melongok dari balik gordin, hanya ada ibu-ibu tetangga di luar. Tidak ada ibunya. Beban di hatinya sedikit terangkat. Bayangannya tentang jasad Emak yang terbujur kaku di tengah-tengah ruang tamu ternyata tidak benar.
“Emak di mana?”
Irfa tersenyum getir. “Pantaskah bertanya begitu?”
“Ah ya, pasti di kamar.”
Irwan menyelinap lagi ke kamar Emak yang sejajar dengan dapur. Meninggalkan Irfa yang terus memicingkan mata. Tak lama, Irwan keluar lagi. Menanyakan keberadaan Emak yang dijawab dengan putaran bola mata oleh adiknya.
Irwan hendak bertanya lagi, tetapi dua anak perempuan masuk dari ruang tamu dan segera memeluknya erat. Anak-anak yang dirindukannya.
Irfa cukup tahu diri, semuak apa pun ia kepada Irwan, ia tidak ingin mengganggu keharuan yang menyelimuti perjumpaan ayah dan anak itu. Menurut hematnya, cukup kakaknya saja yang abai terhadap bakti, para kemenakannya jangan sampai mengikuti.
“Ayah, kenapa baru datang? Mbah Uti sudah lama menunggu Ayah. Mbah Uti selalu panggil nama Ayah sebelum meninggal.”
***
Kendal,
Oktober–Desember 2024