Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Pagi itu, embun melayang di udara seperti sisa-sisa mimpi yang enggan hilang. Langit perlahan berubah dari kelabu kejinggaan, warna lembut yang merembes melalui dedaunan pohon plum di sudut taman. Angin tipis mengusik lonceng angin di beranda rumah, menghasilkan suara gemerincing halus yang seolah berbisik, membangunkan bunga-bunga dari tidur mereka.
Di sepanjang jalan setapak berbatu kecil, percikan air dari daun yang basah terdengar setiap kali kaki beralas kayu melangkah. Nenek muncul dari balik pintu geser kayu rumahnya, gembor tua berwarna tembaga di tangan. Cahaya pagi menimpa wajahnya, menonjolkan kerutan yang dalam namun penuh cerita. Ia menarik napas dalam-dalam, menghirup aroma tanah basah yang bercampur harum samar bunga-bunga yang mulai bermekaran.
Taman itu terhampar di depannya, kecil tapi tertata rapi, seperti lukisan yang setiap elemennya dipilih dengan cermat. Tulip merah muda berdiri tegak di dekat gerbang, daunnya berkilauan oleh embun pagi. Mawar putih berbaris rapi di sepanjang pagar bambu, kelopaknya perlahan membuka seolah menyambut kehangatan matahari. Beberapa burung kecil hinggap di ranting pohon maple, memiringkan kepala dengan rasa ingin tahu, memandangi nenek seolah mereka menanti bagian dari rutinitas pagi yang telah lama mereka kenal.
Dengan gerakan perlahan, hampir seperti ritual, nenek memiringkan gembor dan air mengalir dalam busur kecil, memercik ke tanah, membasahi akar yang haus. Dia tidak terburu-buru. Setiap tetes air, setiap hembusan angin, terasa seolah bagian dari simfoni pagi yang dia pimpin dengan penuh perhatian.
Di belakangnya, suara gemerincing cangkir porselen di dapur terdengar samar, tanda bahwa hari telah benar-benar dimulai, namun nenek tetap di taman, tenggelam dalam keheningan yang hanya bisa ditemukan di sela-sela embun dan bunga yang bermekaran.
Langkah nenek terhenti di depan semak mawar putih yang berdiri anggun di sisi jalan setapak. Kelopaknya yang lembut menyerupai tumpukan salju pertama, putih bersih tanpa cela, menyembunyikan duri-duri tipis di bawah dedaunan hijau gelap. Jemari keriputnya terulur, menyentuh salah satu kelopak dengan hati-hati, seolah takut menyakiti keindahannya. Angin kecil menyelinap, membawa harum samar bunga itu, aroma yang memancing kenangan yang lama terkubur.
Air mengalir perlahan dari mulut gembor, membasahi tanah di sekitar akar. Ia menggerakkan tangannya dengan gerakan melingkar, memastikan setiap inci mendapat air. Di atas kelopak bunga, beberapa tetes air menempel, memantulkan sinar matahari pagi dalam kilauan kecil, seperti butiran kristal.
Wajah nenek berubah. Sekilas, sebuah senyum melintas, lalu memudar, digantikan oleh tatapan yang sarat kehangatan dan kerinduan. “Kau tahu,” katanya perlahan, seolah berbicara kepada bunga itu, “dulu, kakekmu yang pertama kali menanammu. Katanya, mawar putih ini lambang cinta yang murni. Sederhana, tapi kuat.” Suaranya hampir seperti bisikan, tenggelam dalam suara gemerisik daun yang tersapu angin.
Ia berdiri diam untuk beberapa saat, membiarkan bayangan masa lalu melintas di benaknya. Lalu, dengan gerakan pelan, ia membungkuk, memungut daun kering yang jatuh di tanah, dan membuangnya ke dalam keranjang kecil di sebelahnya. Tanaman itu harus tetap sempurna, pikirnya. Seperti cinta yang pernah dia rasakan.
Krisan kuning itu tumbuh rapi di pojok taman, kelopaknya membulat seperti sinar matahari kecil yang memancar dari tanah. Nenek melangkah mendekat, perlahan menurunkan gembornya ke samping, dan jongkok di depan bunga-bunga itu. Bau tanah lembap bercampur harum khas krisan menguar di udara, aroma yang akrab namun selalu membawa sesuatu yang baru setiap kali terhirup.
Ia menyentuh salah satu kelopak dengan ujung jarinya, mengusapnya seperti menguji kelembutannya. Dalam diam, matanya menelusuri setiap bunga, setiap helai kelopak yang tak sempurna. Salah satu tangkai bunga sedikit miring, seperti tunduk pada beban dirinya sendiri. Nenek meraih tongkat bambu kecil yang tergeletak di dekatnya dan menancapkannya dengan hati-hati di samping tangkai itu, mengikatnya dengan benang tipis.
Sambil menyiram, ia menarik napas panjang, lalu menghembuskannya perlahan, seolah melepaskan beban yang menempel di dadanya. Krisan ini, pikirnya, selalu mengingatkannya pada ayahnya. Sosok pria yang jarang bicara, tapi tangannya selalu sibuk—memotong kayu, memperbaiki genting, atau sekadar mengusap kepalanya setelah hari yang panjang di ladang.
“Kigiku,” gumam nenek pelan, hampir seperti berbicara pada angin. “Kesetiaan itu seperti bunga ini. Tidak mencolok, tapi bertahan, bahkan ketika musim dingin menghampiri.” Saat air terakhir jatuh ke tanah, ia berdiri lagi, memandangi krisan itu sejenak, lalu melanjutkan langkah dengan hati yang sedikit lebih ringan.
Anyelir merah muda itu tumbuh berkelompok di dekat bangku kayu tua di taman, kelopaknya seperti lipatan sutra yang ditiup lembut oleh angin. Nenek berhenti di depannya, menatap bunga-bunga itu dengan diam. Cahaya pagi menyelinap di antara cabang pohon, menciptakan bayangan bergerak di atas kelopak yang berkilauan karena sisa embun.
Jemarinya terulur, mengangkat salah satu tangkai yang hampir rebah, lalu memutarnya perlahan seperti tengah mempelajari sebuah artefak kuno. Sebuah senyum kecil menghiasi wajahnya, tipis tapi penuh rasa. Ia menuangkan air dari gembornya dengan hati-hati, membasahi tanah yang retak di bawah akar. Aroma anyelir yang manis bercampur dengan udara sejuk, membawa perasaan hangat yang ia simpan jauh di dalam hati.
“Momoirokasaanekusa,” bisiknya, hampir tak terdengar. “Kasih sayang seorang ibu.” Matanya berkabut sejenak, kenangan melintas seperti fragmen mimpi. Ia membayangkan wajah anak-anaknya yang kini tinggal jauh, suara tawa mereka yang dulu mengisi rumah, dan surat-surat yang mereka kirimkan sesekali, membawa kabar dari kota-kota yang tak pernah ia kunjungi.
Angin berhembus, menggoyangkan anyelir di tangannya. Ia melepaskannya perlahan, membiarkan tangkai itu kembali berdiri di antara kawanannya. Setelah menuntaskan siraman, ia berdiri, pandangannya tertuju ke bunga-bunga itu sejenak. Seperti doa tanpa kata, ia meninggalkan anyelir merah muda itu dengan perasaan penuh, melanjutkan langkahnya ke bagian taman berikutnya.
Pot kecil berisi bunga sakura mini diletakkan di atas meja kayu di tengah taman, warnanya merah muda pucat seperti bayangan senja di air. Nenek mendekatinya dengan langkah perlahan, gembor di tangannya bergoyang mengikuti irama langkah. Ia duduk di bangku tua di dekatnya, membiarkan dirinya tenggelam dalam keheningan sejenak sebelum menuangkan air dari mulut gembor.
Air jatuh perlahan, membasahi tanah dalam pot. Kelopak sakura yang mungil bergetar lembut, beberapa di antaranya sudah jatuh di meja, menciptakan pola acak yang tampak seperti serpihan mimpi. Nenek mengusap salah satu kelopak dengan jari, teksturnya halus, hampir tidak nyata.
"Sakura," gumamnya pelan, lebih kepada dirinya sendiri. “Kehidupan yang singkat, tapi indah. Seperti waktu.” Tatapannya terpaku pada bunga itu, dan di sana, di antara kelopaknya, ia melihat bayangan dirinya sendiri bertahun-tahun lalu—seorang gadis muda yang pertama kali melihat bunga sakura mekar di musim semi, kagum pada keindahan yang begitu sederhana namun memukau.
Ia menarik napas panjang, aroma manis bunga itu hampir tidak terdeteksi, tapi cukup untuk membangkitkan rasa syukur yang mendalam. Waktu berjalan, pikirnya, seperti kelopak sakura yang jatuh, tak bisa dicegah, tapi meninggalkan jejak yang lembut. Setelah memastikan tanah cukup basah, nenek berdiri lagi, meninggalkan bunga itu dengan langkah tenang, seperti seseorang yang baru saja bertemu dengan teman lama.
Nenek berdiri di tengah taman, memandang hasil kerja pagi ini. Bunga-bunga tampak lebih hidup, kelopaknya basah berkilau terkena sinar matahari yang kini mulai meninggi. Angin lembut berhembus, mengayunkan ranting-ranting kecil dan membawa suara gemerisik dedaunan yang hampir seperti bisikan rahasia.
Ia meletakkan gembor kosong di bawah pohon plum, membiarkannya bersandar di batang yang kasar. Di bawah bayang-bayang pohon itu, ia mengusap ujung jarinya yang dingin akibat air pagi. Pandangannya menjelajah, dari mawar putih di sepanjang pagar bambu hingga sakura mini di meja kayu. Setiap bunga seolah berbicara dalam diam, mengungkapkan rasa terima kasih yang tidak bisa diucapkan dengan kata-kata.
Di kejauhan, burung gereja berkicau, suaranya saling bersahutan dengan bunyi lonceng angin dari beranda rumah. Nenek memejamkan mata sejenak, mendengarkan irama pagi itu seperti mendengar lagu lama yang akrab. Senyum tipis menghiasi wajahnya, bukan karena kebahagiaan yang meledak-ledak, melainkan rasa damai yang tenang, seperti air yang mengalir pelan di sungai kecil.
Ia mengambil keranjang kecil berisi daun-daun kering, berjalan perlahan menuju rumah. Pintu geser terbuka dengan suara kayu yang lembut, dan sebelum masuk, ia menoleh sekali lagi ke taman. Matahari menari di atas kelopak bunga, menyelimuti semuanya dalam cahaya keemasan. Hari baru telah dimulai, pikirnya, tapi taman ini selalu menjadi pengingat akan sesuatu yang abadi.