Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
"Sel, aku mau ngajak kamu lari pagi. Besok ada acara gak?" Sebuah pesan singkat aku kirimkan kepada Selvia, teman masa kecil yang kini berubah menjadi orang yang kusukai.
Beberapa menit berlalu dan pesan tak kunjung dibacanya. Aku memutuskan untuk menaruh ponsel dan berbaring di kasur sambil menatap langit-langit kamar.
Gambaran wajah Selvia mengambang di pikiran, entah sejak kapan aku mulai selalu terganggu dengan otakku sendiri yang selalu memikirkan Selvia. Sudah dari kecil aku dengan wanita itu berteman, tetapi baru kusadari akhir-akhir ini ternyata aku mulai tertarik padanya dan melihatnya sebagai seorang gadis.
Sebuah notifikasi ponsel membuat tanganku dengan cepat mengambil benda pipih itu di atas nakas dan bangun terduduk. Nama Selvia terpampang jelas di layar, membuat jemari bergerak cepat membuka isi pesan itu.
"Maaf, Vin. Besok aku udah janji sama Dito."
Aku mengembuskan napas panjang dan kembali merebahkan badan. Tentu saja, Selvia tidak akan melewatkan kesempatan untuk jalan berdua dengan Dito, orang yang sudah lama diincarnya.
Bayangan itu kembali tergambar jelas di ingatan, bagaimana wajah bahagia Selvia ketika menceritakan kala pertama kalinya ia bisa ngobrol dengan Dito. Matanya berbinar dan bibirnya tak henti membentuk pelangi terbalik. Aku suka melihatnya, tetapi sekaligus merasa sakit, karena ekspresi indah itu ditujukan untuk orang lain. Bukan orang yang mendengarkan ceritanya sambil menahan perih.
Seminggu ke belakang, Selvia juga sempat bercerita bahwa hubungannya dengan Dito semakin akrab, dan setelah itu juga, Selvia sudah jarang menghubungiku.
Apakah mereka memang sudah pacaran sekarang? Aku pun tidak tahu dan tak ingin membayangkan kemungkinan itu.
Bagaimana bisa aku merasa adil jika Selvia yang selama ini kujaga dan kucintai meski bersembunyi dalam topeng 'pertemanan', kini dimiliki orang lain.
Ah ... sudahlah! Aku melemparkan ponsel kasar ke atas kasur. Namun, beberapa saat kuambil lagi untuk menghubungi salah satu teman.
Aku memutuskan untuk mengajak Hadi saja daripada lari pagi sendirian.
***
"Tumben ngajakin gue? Biasanya sama Selvia." Pertanyaan Hadi membuatku sedikit jengkel, pasalnya niatku mengajaknya supaya bisa melupakan Selvia, tetapi dengan polosnya Hadi malah menyebut-nyebut nama itu lagi.
"Ya, hidup gue gak selalu soal Selvia. Lagian, dia cuma temen."
"Halah, temen apa demen?"
Sungguh, bercandaannya tidak lucu. Aku mulai menyesal mengajaknya, mungkin lebih baik aku lari pagi sendiri saja.
"Temen, lah," sanggahku.
"Masa iya, temen sampai segitunya." Hadi masih saja menggodaku.
"Segitunya apa?" Keningku mengerut, tidak paham ke mana arah pembicaraan lelaki di sampingku ini.
"Pura-pura gak tahu lagi. Itu kemarin ngapain bela-belain hujan-hujanan buat jemput dia gara-gara ban motor Selvia pecah? Pake segala kasih motor lu buat dia pake pulang, sedangkan lu dorong motor dia ke bengkel."
Hadi memicingkan mata, membuat diriku risih di tatap seperti itu.
"Ya, dia kan cewek. Ya kali gue biarin gitu aja saat dia bilang ke gue lagi kesusahan." Aku mengelak.
Hadi hanya menyunggingkan senyuman, lantas tidak bicara lagi. Entah apa yang ia pikirkan, tetapi baguslah karena pria ini tidak lagi membahas soal Selvia.
Aku dan Hadi melanjutkan acara lari pagi dengan keheningan hingga sampailah di taman kota sebagai tujuan akhir. Kami memutuskan untuk duduk selonjor di atas rumput hijau di bawah pohon beringin besar, meneguk air mineral yang kami bawa.
Seperti halnya Minggu pagi, taman kota selalu ramai seperti biasanya. Banyak orang datang untuk mencari hiburan dan melepas penat, mengistirahatkan pikiran dari hiruk pikuknya aktivitas setiap hari yang membosankan.
"Vin, itu bukannya Selvia? Sama siapa dia?" Hadi menunjuk seorang wanita yang sedang tertawa bersama seorang pria. Aku tak ingin mengakuinya, tetapi ternyata memang benar itu adalah Selvia, bersama ... Dito!
"Biarin aja." Aku mencoba acuh dan tak ingin melihat lagi ke arah mereka berada.
"Kenapa? Dia sama cowok lain, loh." Hadi sewot.
"Ya, terus kenapa? Toh, gue bukan siapa-siapanya Selvia. Terserah dia mau jalan sama siapa."
"I-iya, juga, sih." Hadi menggaruk tengkuknya yang aku yakin tidak gatal, lalu cengengesan tak jelas.
Hadi lalu diam, menatapku dalam. Entahlah, aku mulai terganggu dengan tatapan Hadi yang terlalu menelisik ke dalam jiwaku itu. Aku merasa sedang dikuliti dan tidak bisa menyembunyikan rasa cemburu yang membara di depan Hadi.
Meski aku bilang tidak ingin melihat mereka, ekor mataku masih bisa menangkap bagaimana Selvia tertawa bersama Dito. Tawa yang dulu hanya ditunjukkan padaku saat memberikan lelucon untuk menghiburnya.
Kenapa melihatnya terasa sangat menjengkelkan? Apalagi saat menyadari bahwa aku bukanlah siapa-siapa yang berhak mengaturnya untuk tidak dekat dengan lelaki selain aku.
Alvin, sadarlah! Selvia bukan milikmu!
Sesak, menyebalkan, menjengkelkan, dan sialnya aku tidak bisa berbuat apa-apa selain diam.
"Vin, gue mau cari makanan dulu, deh. Lupa tadi belom sarapan. Mau nitip gak?" Aku tidak sadar kalau kini Hadi sudah berdiri.
"Gue titip minuman aja. Abis." Aku menunjukkan botol air mineral yang sudah kosong.
"Oke, tunggu bentar." Hadi berlalu pergi, meninggalkanku sendiri yang masih menatap betapa mesranya Selvia bersama Dito.
Harusnya aku bahagia, melihat Selvia akhirnya bisa bersama dengan lelaki yang dari dulu ia kagumi. Namun, mengapa semuanya terasa berbeda?
Pada akhirnya, aku memalingkan muka dan tidak ingin lagi melihat mereka. Untuk apa? Hanya menyayat luka saja.
Aku beralih pada dua badut yang duduk di bangku panjang taman. Jaraknya tidak kurang dari satu meter di sampingku hingga percakapan mereka masih bisa aku dengar.
"Kenapa murung?" tanya anak berkostum badut bertubuh tinggi, dan aku bisa memperkirakan ia memang lebih tua dari badut bertubuh mungil di sebelahnya.
"Hari ini dapat sedikit lagi. Buat bayar sewa kostum saja belum cukup," jawab badut bertubuh mungil itu sambil memamerkan kaleng miliknya.
"Ayolah, semangat! Masih banyak waktu sampai sore, dan ini hari Minggu, orang-orang selalu ramai berdatangan."
"Aku iri padamu, kau selalu mendapat lebih banyak."
"Aku hanya memiliki sedikit keberuntungan. Kau juga bisa."
"Orang-orang selalu menyukaimu, dan mereka selalu memberimu lebih banyak. Apa aku memang tidak menarik?"
Badut bertubuh tinggi itu berdiri menghadap si Mungil yang menunduk menatap tanah.
"Tidak ada yang salah darimu, kau hanya perlu mengubah ini." Badut bertubuh tinggi itu menarik dagu si Mungil supaya tidak lagi menunduk, lantas kedua tangannya menarik bibir si Mungil supaya tersenyum.
"Nah, itu baru bagus!" Badut bertubuh tinggi itu tersenyum ceria, sedangkan si Mungil menatapnya tidak paham.
Badut bertubuh tinggi itu merangkul si Mungil. "Ingatlah, kita ini badut. Tugas kita adalah menghibur dengan berharap sedikit uang kecil dari mereka yang terhibur. Kita bukan pengemis yang harus memamerkan wajah sedih dan bergantung pada belas kasihan mereka."
"Ah, begitu, ya! Baiklah, ayo hibur mereka lagi!" Si Gempal bersorak dan mulai berjoget-joget ria mengikuti alunan lagu dari musik box yang tergantung di lehernya, menghampiri orang-orang yang berkerumun, diikuti oleh badut bertubuh tinggi.
Tidak sadar, aku tersenyum mendengar sekilas percakapan mereka. Mungkin memang seperti itu adanya. Aku pun badut di kehidupan Selvia, dan tugasku hanya menghibur, bukan mengharap belas kasihan.
"Nih." Hadi menyodorkan sebotol air mineral.
"Makan bakso, yuk!" Aku berdiri dengan wajah sumringah, membuat Hadi mengerutkan dahi.
"Lu masih waras, kan?"
Aku menatap Hadi tidak mengerti.
"Yakin mau makan bakso? Kita baru aja bakar lemak."
"Sejak kapan lu jadi kayak cewek yang peduli soal lemak?"
"Yaa ...." Hadi menggaruk tengkuknya.
"Udah, ayo! Gue traktir. Makan sepuasnya selagi perut lu masih bisa nampung."
***