Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Memang ada pabrik padi syereem? Meskipun banyak cerita tentang makhluk halus di sana, tak semua kami anggap horor. Nanti akan kuceritakan semuanya kepada kalian satu per satu.
Badri sebenarnya nama pemilik pabrik padi terbesar di kota kecilku. Kami tak lagi menyebut “pabriknya,” tapi langsung bilang “Badri” untuk menyebut tempat yang jadi arena bermain favorit. Padahal tempatnya jauh, dan selain area penjemuran padi serta tempat pembakaran merang, sebenarnya tidak ada yang spesial.
Kecuali… perjalanan menuju Badri itu seru! Melewati hamparan sawah dan irigasi tempat ikan-ikan selalu menggoda kami.
***
Suatu siang di pojokan Jalan Kusuma, tak jauh dari pabrik mi keriting milik Babah Akong, kami sepakat membuat janji main ke Badri—yang katanya angker, tapi tetap saja kami datangi. Rasanya hantu dan jin-jin di sana sudah seperti teman saja, barangkali.
“Ingat Andung, bocah kurus yang suka bergelayutan di pohon waru?” ujar Toro ketika aku tiba di depan kedai, tempat anak-anak berkumpul.
“Kenapa dia?” sergahku tak sabar, sudah bersiap kabur karena melihat Toro terkikik-kikik padahal ceritanya belum selesai.
“Monyet kurus itu kena batunya,” kata Toro to the point.
“Maksudmu… kecebur?” tanyaku penasaran. Toro mengangguk. Aku pun ikut terbahak. Entah kenapa, kami semua seperti menunggu-nunggu momen itu terjadi.
Andung, si jagoan kampung itu, memang selalu petantang-petenteng. Tapi begitu bergelayutan di pohon waru, tepat di pintu irigasi di depan bengkel parang Kek Marta, ia selalu sesumbar, “Bahkan monyet pun tak bisa saingan sama kekuatan tanganku!” sambil memamerkan jurus simpanse bergantung dengan satu tangan.
Aku dan Toro sama sekali tak berani tertawa di depannya. Kemarin Afi sempat kena omel gara-gara tersenyum saat melihat Andung bergaya seperti simpanse.
“Memangnya ada yang lucu?!” sergap Andung, disertai pukulan ringan melayang dari tangannya yang kurus dengan jari-jari panjang dan kuku hitam ala simpanse. Kami bercerita sambil terus berjalan melewati pinggiran jalan yang berumput di dekat tepian irigasi.
"Tunggu, kita cari uang dulu, jalan tanpa ngemil es lilin ngak seru," ujarku memberi komando.
Di depan rumah Andung berdiri sebuah bengkel dinamo dengan halaman berpasir yang penuh “harta karun.”
Setiap hari, kami bocah-bocah pemburu tembaga menggali pasir itu. Tetap saja ada hasilnya. Sampai ada anak yang halu bilang kalau di bawah pasir itu dulunya bekas pabrik tembaga.
“Hei, kali ini aku ketiban pulung!” seruku sambil menarik ujung kawat tembaga besar yang masih terbungkus lapisan kabel.
“Traktir aku ya, Mat,” goda Toro sambil nyender, matanya berkedip-kedip merayu.
“Gabung dulu, baru bagi rata!” ujarku cepat.
“Siap, Komandan!” Toro berdiri tegap dengan tangan di jidat.
“Komandan gundulmu! Cepet bantu tarik kabelnya,” balasku. Kami bekerja sama: satu tangan melilit kain ke kabel agar tak selip, satu tangan lagi terus mencongkel supaya kabel lebih mudah ditarik.
“Abis ini kita ke Sawah Wetan, beli es lilin ya,” ujarku sambil meluruskan punggung. Afi dan Anto langsung mengambil alih “galian tambangku.”
“Gali terus, Fi. Siapa tahu ketemu bekas pabrik tembaga beneran,” godaku.
***
Dengan uang jajan hasil galian tembaga, kami bisa beli es lilin warna-warni di depan pabrik mi keriting lain milik Pak Suseno—saingan Babah Akong.
Dari warung es lilin, kami menuju Sawah Wetan di utara yang dipenuhi jajaran pohon trembesi tua. Kata Mbahku, pohon-pohon itu sudah ada sejak sebelum beliau lahir. Berarti sudah banyak peristiwa yang dialami pohon-pohon itu, dan mungkin sudah ratusan demit yang singgah saat sandekala—menjelang Magrib.
Anehnya, aku justru tertarik pada sisi biologinya. Waktu belajar Biologi kemarin, Ibu Susanti menjelaskan: “Sebanyak lingkaran yang ada di batang, itulah umur pohon.”
Sambil menggigit ujung es lilin yang dibungkus karet gelang, aku, Toro, Afi, dan Anto langsung menuju utara. Hari cerah. Para petani baru saja memisahkan damen dan bulir padi yang ditumpuk di gubuk-gubuk khusus musim panen.
“Jangan main bola di sawah. Di pabrik aja!” pintaku ke anak-anak lain. Aku sudah membawa bola plastik yang kami sembunyikan di bawah brug—pembatas jembatan. Anak-anak lain menurut, seperti dicocok hidung, dan langsung berbaris di belakangku.
Di depan, ternyata Rahmat, Tata, dan Jumari sudah duluan. Mereka membawa mobil-mobilan dari bilah papan yang dipasangi laher sebagai roda.
“Cepetan! Nanti keburu dipakai main anak-anak Kawedusan!” perintahku pada Toro. Tapi dia malah bersenandung sambil berjalan di pinggiran irigasi, memelototi air untuk mencari bace (ikan).
Biasanya kalau sampai ada ikan besar yang ketemu, kami bela-belain masuk irigasi buat nangkep. Tapi ujung-ujungnya ikannya kabur, sandal hilang, dan kami pulang basah kuyup.
Di antara aliran irigasi dan pabrik ada brug—pembatas semen di pinggir jalan yang sering dijadikan tempat istirahat. Konon katanya, di antara batu-batu itu ada tumbal orang mati.
Toro bahkan pernah mengaku melihat penampakan aneh di bawah jembatan itu. Tapi bukan mata hantu—melainkan ikan sepat yang matanya bisa berkedip!
Toro langsung kabur, wajahnya pucat persis orang yang melihat setan betulan.
“Asem! Bukan ikan… malah piaraan jin yang aku dapat,” gerutunya.
Anak-anak lain bukannya takut, malah penasaran mencari-cari di mana ikan yang bisa berkedip itu. Dasar bocah!
***
Lima belas menit jalan, ditambah lari sprint, akhirnya kami sampai di tikungan pabrik padi milik Pak Badri. Bangunan besar dan kokoh milik ayah temanku, Sri Kurniasih Makatul Mukaromah. Dinding depannya berupa kaca.
Aku paling alergi dekat jendela kaca berwarna hitam kelam itu, seolah ada makhluk kasat mata yang mengintip dari dalam. Kalau terpaksa, paling tidak jaraknya harus lima meter.
Andung pernah melihat sendiri. Waktu magrib, sepulang main bola, ia berkaca untuk mematut wajahnya yang pas-pasan. Tapi yang dilihatnya bukan wajahnya sendiri—melainkan wajah seorang gadis kecil, muram dan sedih, dengan mata kelabu.
Andung bukannya lari, malah mematung. Kami yang sudah berada di gerbang memanggil-manggilnya, tapi tak dipedulikan. Bahkan ketika kami ancam akan pulang lebih dulu.
Karena penasaran, Afi—kawan karibnya—datang menjemput.
“Eh Ndung, kamu ngompol ya?” Afi bertanya begitu sampai di dekat Andung yang terlihat pucat dan gemetaran.
Belum sempat menjawab, Andung menunjuk ke arah kaca. Kini giliran gadis kecil itu memandang Afi tanpa berkedip. Kali ini giliran Afi yang bocor. Ia masih sempat menjerit tertahan sebelum akhirnya menarik Andung.
Kami berlarian mendengar teriakan Afi yang terdengar menyayat dan penuh kengerian.
“Ada apa, Fi?” tanyaku. Tapi tiba-tiba aku mencium bau aneh, pesing. Saat kulihat Andung dan Afi, celana mereka basah. Kami semua terbahak.
Persis bersamaan dengan itu, suara tawa nyaring terdengar dari arah kaca. Gadis kecil itu kini tertawa, dengan bola mata hitam dan gigi hitam menyeringai.
“Setaaaan!” Untuk pertama kalinya, dongeng hantu bocah yang selama ini kami sebut cuma bualan terbukti.
“Makanya, sudah saya bilang dari tadi. Kalau main bola, pulangnya jangan magrib,” ujar Rahmat. Bocah paling bongsor badannya tapi paling muda di antara kami. Kami biasa memanggilnya ustaz karena kalau sudah pakai kopiah dan sarung, persis seperti ustaz guru ngaji.
Pernah ada anak baru pindahan dari kampung lain ikut mengaji di masjid. Begitu melihat Rahmat datang, ia langsung lari dan salam sungkem. Kami semua terbahak.
“Eh, Mat, itu cucumu sungkeman,” ujar Tata asal bicara. Tapi itu justru membuat Rahmat ikut tertawa.
Sementara si anak baru celingukan, kebingungan apanya yang salah. Setelah dijelaskan kalau Rahmat sebaya dengannya cuma beda ukuran badan, ia meringis merasa bodoh. Lalu buru-buru mengelap tangan ke kain sarungnya.
***
Takut main ke Badri? Oh, tidak. Tak ada istilah takut. Meskipun kalau ada penampakan harus kabur—atau seperti Andung dan Afi yang pernah "bocor keran"—kami tak pernah jera.
“Siapa mau main balap gokar?” teriak Rahmat memberi pengumuman, persis seperti ustaz sedang di depan kelas.
Andung, si penggantung dahan yang kemarin bocor keran, malah angkat tangan duluan.
“Hayuk, siapa takut!” ujarnya. Entah untuk membuat teman-teman terkesima dan melupakan aib kemarin, atau mau menunjukkan kalau ia bukan penakut.
“Tuh, Andung sudah tunjuk tangan. Yang lain masa kalah?” lanjut Rahmat.
“Takut bocor?” ejek Rahmat sambil melirik Andung, yang terlihat marah tapi tak bisa banyak bicara. Semua anak tahu, Rahmat berbadan besar dan pandai pencak silat. Jurus andalan tinjunya saja bisa merontokkan gigi. Apalagi tendangannya dengan telapak kaki besar.
“Siapa peserta berikutnya?” teriaknya lagi.
“Kalian semua penakut!” tambahnya.
“Nanti baca doa makan kalau ketemu setan!” seru Rahmat, kali ini benar-benar mirip ustaz yang sedang memberi petuah kepada santri-santrinya.
“Kenapa begitu?” tanya Toni, anak baru di pengajian masjid yang kemarin sempat sungkem ke Rahmat karena mengira dia ustaz.
Anak-anak lain sudah keburu tertawa terkikik-kikik.
“Soalnya, setan-setan bakal mikir kamu mau makan mereka. Kalau dengar kamu baca doa makan, mereka kabur. Fahimtum! (kamu paham?)” jelas Rahmat sok berbahasa Arab sambil tertawa, diikuti kami semua—kecuali Toni.
“Oh, begitu ya?” Toni masih kebingungan dengan lelucon paling hambar yang sering keluar dari mulut Rahmat.
Akhirnya Tata, Toro, Jumari, Toni, dan anak-anak lain ikut tunjuk tangan.
“Ayo tunggu apa lagi? Let’s go!” Rahmat memberi perintah kepada para “santri”-nya, berjalan paling depan dengan langkah besar.
Rahmat membawa gokar ukuran paling besar. Lahernya juga laher truk, bukan laher mini colt atau becak.
Pernah Rahmat meminjam gokar Jumari yang badannya kecil dan kisut. Gokarnya bekas becak. Begitu Rahmat duduk dan didorong Andung, bukannya melesat turun di tanjakan lapangan Badri, gokar malah ambyar.
Keempat lahernya terlepas ke segala penjuru. Besi penahan penyok dan patah. Rahmat terjerembab ke depan. Untung tangan besarnya bisa menahan tubuhnya.
“Ganti!” teriak Jumari. Hari itu Rahmat terpaksa meminjamkan gokarnya dan mendorong Jumari selama balapan berlangsung tanpa bisa melawan.
Di barisan kanan: Andung dan Tata.
Tim kedua: Rahmat dan Jumari.
Lalu aku dan Toni.
Tim terakhir: Afi dan Anto.
Anak-anak lain jadi penonton, sekaligus pendorong cadangan untuk tim yang mereka dukung.
“Yang menang dapat es lilin!” ujarku yang kebagian menyimpan urunan untuk pemenang. Biasanya malah jadi acara jajan bareng. Si pemenang mentraktir semua dari uang itu.
Putaran pertama, Jumari menang. Rahmat yang jadi joki membuat Jumari seperti terbang.
“Eh Rahmat, badanmu besar. Jangan kencang-kencang dorongnya, nanti aku kalah!” teriak Andung.
Tapi Rahmat yang keburu nafsu pakai semua tenaganya di putaran pertama, langsung kehabisan tenaga di putaran kedua. Nafasnya ngos-ngosan. Ia duduk di tengah lapangan, membiarkan gokar Jumari meluncur dan akhirnya berhenti sendiri.
“Badan doang besar, ternyata tenaga kurang!” ejek Andung sambil melaju di putaran ketiga.
“Aku traktir nanti!” teriak Andung sombong begitu melewati garis finish.
***
Seperti biasa, sebelum pulang anak-anak akan memanfaatkan apa yang ada di pabrik Badri. Kalau tidak membawa pulang abu merang untuk mencuci piring, mereka membawa merang untuk pupuk tanaman.
Di sisi kiri bangunan ada gudang pembuangan. Kami tak pernah dilarang masuk, kecuali saat musim pengeringan gabah ketika seluruh lapangan dipenuhi jemuran padi.
Burung-burung sering beterbangan di sana, mematuk-matuk sisa padi. Kadang ada yang menabrak dinding tinggi, lalu jatuh ke bawah.
“Mat, ada burung jatuh!” teriak Tata.
Anak-anak punya cara “ajaib” untuk menyadarkan burung yang pingsan: meniup bagian anusnya.
“Yang ini mati,” ujar Andung yang menyusul Tata. Tapi ia tetap meniupnya berkali-kali.
Tiba-tiba mata burung itu terbuka—berkedip cepat, berulang-ulang, seperti robot konslet.
Andung langsung melempar burung itu, dan kami semua berhamburan.
“Setaaaan!” teriak mereka.
“Andung kayaknya punya aura mengundang setan,” ujar Rahmat sambil bergidik.
Burung itu tiba-tiba mengepakkan sayap, lalu terbang secepat kilat, menghilang di balik gundukan merang. Semua anak kocar-kacir, pontang-panting ke segala arah.
“Setaaaaaaan!!!”