Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Prolog: Anak-Anak Usil
Memang ada pabrik padi syereem?, meskipun ada cerita mahluk halusnya, tak semua kami anggap horor. Nanti aku ceritakan semuanya kepada kalian satu persatu.
***
“Nanti baca doa makan, kalau ketemu setan!”, ujar Rahmat kali ini benar-benar persis seperti ustad yang sedang memberi petuah kepada santri-santrinya.
“Kenapa begitu?” ujar Toni anak baru di pengajian masjid yang kemarin sempat sungkem dengan Rahmat karena dikira ustad.
Anak-anak lain sudah keburu terkikik.
“Karena dipikir setan-setan, kamu mau makan mereka, waktu setan dengar kamu baca doa makan, jadi setan kabur, fahimtum! (kamu paham!)” jelas Rahmat sok berbahasa Arab sambil tertawa diikuti kami semua, kecuali Toni.
“Oh, begitu ya?” Toni masih bingung dengan lelucon paling hambar yang sering kami dengar dari mulut Rahmat.
***
Badri sebenarnya nama pemilik pabrik padi terbesar di kota kecilku. Kami tak lagi menyebut "pabriknya" tapi langsung menyebutnya namanya, "Badri" untuk menyebut tempat yang menjadi tempat bermain favorit. Padahal tempatnya jauh, dan selain tempat penjemuran padi, serta tempat pembakaran merang, sebenarnya tidak ada tempat yang spesial. Kecuali perjalanan menuju Badri itulah yang seru. Melewati hamparan sawah dan irigasi tempat ikan-ikan menggoda kami.
Suatu siang di pojokan Jalan Kusuma, tak jauh dari pabrik mie keriting milik Babah Akong, kami sepakat membuat janji bermain ke Badri--yang jelas-jelas angker, tapi tetap saja kami datangi. Rasanya hantu dan jin-jin itu sudah jadi teman barangkali.
“Ingat Andung, bocah kurus yang suka bergelayutan di pohon waru?” ujar Toro begitu aku sampai di depan kedai tempat anak-anak biasa berkumpul.
“Kenapa dia”, sergahku tak sabar dan berencana kabur, melihat Toro terkikik-kikik tak berhenti padahal ceritanya belum tandas.
“Monyet kurus itu kena batunya”, kata Toro to the point.
”Maksudmu?, kecebur?” tanyaku penasaran. Toro mengangguk dan aku ikut terbahak. Entah kenapa kami semua seperti menunggu momen itu.
Andung, si anak jagoan itu memang selalu petantang petenteng, tapi begitu bergelayutan di pohon waru tepat di pintu irigasi persis di depan tempat Kek Marta pembuat parang, ia selalu bilang,”bahkan monyet tak bisa saingan soal kekuatan tanganku”, sambil bicara sesumbar ia mempraktekkan jurus simpanse bergantung satu tangan.
Aku dan Toro sama sekali tak mau tertawa didepannya. Kemarin Afi terkena omelannya gara-gara tersenyum saat melihat Andung bergantung seperti simpanse.
“Memangnya ada yang lucu?” sergap Andung disertai pukulan ringan melayang dari tangannya yang kurus dengan jari-jari panjang berkuku hitam ala simpanse.
***
Di depan rumah Andung berdiri sebuah bengkel dinamo, dengan halaman berpasir yang berisi “harta karun”.
Dikorek dan digali para bocah pemburu tembaga setiap hari, tetap saja ada hasilnya. Sampai-sampai anak yang halu bilang, jika dibawah pasir di depan bengkel dinamo dulunya adalah bekas pabrik tembaga.
“He, kali ini aku ketiban pulung,” ujarku sambil menarik ujung kawat tembaga berukuran besar masih dililit lapisan kabel.
“Traktir aku ya, Mat”, ujar Toro tiba-tiba nyender, dengan mata mengerjap tanda merayu.
“Gabung dulu baru bagi rata”, ujarku cepat.
“Siap! komandan”, kali ini Toro berdiri sambil bersiap dengan tangan di jidat.
“Komandan gundulmu!”, cepet bantu tarik kabelnya. Dengan bantuan kain yang dililit di kabel di satu tangan untuk menarik, dan tangan satunya terus mencongkel biar kabel mudah ditarik.
“Kami ke Sawah Wetan, beli dodol ya”,ujarku berdiri sambil meluruskan pinggang. Afi dan Anto yang menggali disamping aku langsung mengambil alih “galian tambangku”.
”Galiii terus, Fi, siapa tau ketemu bekas pabrik tembaganya”, godaku.
***
Badri, Lets Go!!
Dengan uang jajan dari hasil galian tembaga kami bisa membeli es lilin warna-warni di depan pabrik mie keriting lain, milik Pak Suseno, yang kini jadi saingannya Babah Akong.
Dari depan warung es lilin, kami menuju ke Sawah Wetan di utara yang dipenuhi jejeran pohon trembesi tua. Lebih tua dari aku kata Mbahku. Berarti sudah banyak peristiwa yang dialami si pohon trembesi, dan mungkin sudah ratusan demit yang singgah saat sandekala—menjelang maghrib seperti kata Mbahku juga, karena pepohonan itu selalu jadi bahan cerita dan bualan Andung si pendongeng hantu.
Aku justru tertarik dari sisi Biologinya, kemarin sewaktu belajar Biologi, aku melihat gambar potongan pohon yang menurut buku menunjukkan umurnya. Sebanyak lingkaran yang ada di batangnya, itulah umur pohon itu. Begitu kata Ibu Susanti guru Biologiku.
Sambil menggigit ujung es lilin yang dibundel karet gelang, aku dan Toro, dikuti Afi dan Anto langsung menuju utara. Apalagi hari cerah, dan para petani baru saja memisahkan damen dan bulir padi yang ditumpuk di gubuk yang dibuat khusus saat musim panen.
“Jangan maen bola disawah, di pabrik aja !”, pintaku pada anak-anak lain. Aku sudah membawa bola plastik yang kami sembunyikan di bawah brug—pembatas jembatan. Jadi anak-anak seperti dicocok hidung semuanya ikut berbaris dibelakang.
Di depan ternyata Rahmat, Tata, Jumari malah sudah duluan—mereka membawa mobil-mobilan dari bilah papan yang dipasangi laher—yang biasanya dipasang di antara roda. Laher dipasang di empat sisi bilah papan, menjadi roda “gokar”.
“Cepetan, nanti keburu dipakai maen anak Kawedusan”, ujarku memerintah kepada Toro yang malah bersenandung dan memilih jalan di pinggiran irigasi sambil memelototi air, mencari bace. Biasanya kalau sampai ada “temuan”ikan besar, kami akan bela mati-matian mengobok-obok irigasi.
Biasanya, ikannya kabur, sandal kalau tak hilang, paling dibawa hanyut, tapi pasti ditemukan diujung irigasi yang ada pintu kontrol airnya.
Diantara aliran irigasi dan pabrik ada brug—semen pembatas sungai dipinggiran jalan yang bisa dijadikan tempat rehat sejenak yang katanya penuh misteri. Konon katanya diantara batu-batu itu dikubur tumbal orang-orang mati. Dan Toro pernah langsung melihat penampakan aneh, dibawah brug jembatan—bukan mata hantu, tapi ikan sepat yang matanya bisa berkedip.
Toro langsung kabur persis seperti orang melihat setan betulan.
“Asem!, bukan ikan malah piaraan jin yang aku dapat”, gerutunya. Dan anak-anak lain bukannya merinding malah penasaran, mencari-cari dimana ikan yang bisa berkedip tadi. Dasar bocah!.
***
Lima belas menit jalan, ditambah lari sprint akhirnya kami sampai di tikungan pabrik padi milik Pak Badri. Bangunan besar dan kokoh milik ayah temanku Sri Kurniasih Makatul Mukaromah. Dinding depan bangunan berupa kaca.
Aku paling alergi dekat jendela kaca berwarna hitam kelam itu, seolah ada mahluk kasat mata mengintip dari dalam. Kalau terpaksa, paling tidak jaraknya harus 5 meter.
Andung pernah melihat sendiri, sewaktu Maghrib pulang dari main bola, ia berkaca untuk mematut wajahnya yang pas-pasan, tapi yang dilihatnya bukan wajahnya sendiri, wajah seorang gadis kecil yang muram dan sedih dengan mata kelabu.
Andung bukannya lari, malah mematung. Kami yang sudah berada di gerbang memanggil-manggil tak dipedulikannya, bahkan ketika kami ancam untuk pulang lebih dulu. Karena penasaran, Afi kawan karibnya datang menjemputnya.
“Eh Ndung, kamu ngompol ya?” Afi penasaran begitu sampai didekat Andung yang terlihat pucat dan gemetaran.
Belum sempat menjawab, Andung menunjuk ke arah kaca. Kini giliran gadis kecil itu memandang Afi tanpa berkedip. Kali ini giliran Afi yang bocor. Tapi ia masih sempat teriak tertahan, sebelum akhirnya menarik Andung.
Kami berlarian mendengar teriakan Afi yang terdengar menyayat dan dipenuhi kengerian.
“Ada apa Fi?” tanyaku, tapi tiba-tiba aku menyium bau aneh, pesing. Dan ketika kulihat Andung dan Afi celananya basah kami semua terbahak, persis bersamaan dengan itu, suara tawa nyaring juga terdengar dari arah kaca. Gadis kecil itu kini tertawa, dengan bola mata hitam dan gigi hitam menyeringai.
“Setaaaan!, untuk pertama kalinya dongeng hantu bocah yang selama ini kami sering sebut cuma bualan terbukti.
“Makanya, sudah saya bilang dari tadi, kalau main bola pulangnya jangan Maghrib” ujar Rahmat, bocah paling bongsor badannya tapi paling muda diantara kami. Kami biasanya memanggilnya ustad, karena kalau sudah pakai kopiah dan sarung, persis seperti ustad guru ngaji.
Pernah ada anak baru pindahan dari kampung lain, ikut mengaji di masjid. Begitu melihat Rahmat datang langsung lari dan salam sungkem. Kami semua terbahak.
“Eh, Mat, itu cucumu sungkeman” ujar Tata asal bicara, tapi itu membuat Rahmat sendiri ikut terbahak. Sementara si anak baru celingak-celinguk kebingungan, apanya yang salah.
Setelah dijelaskan jika Rahmat itu sebaya dengannya cuma beda ukuran badannya, ia malah meringis merasa bodoh, lalu mengelap tangan di kain sarungnya.
***
Gokart dan Burung yang Berkedip
Takut main ke Badri, oh tidak. Tak ada istilah takut, meskipun jika ada penampakan harus kabur, atau seperti Andung dan Afi bocor keran-nya, tapi kami tak pernah jera.
“Siapa mau main balap gokart”. Teriak Rahmat, memberi pengumuman persis seperti ustad sedang di depan kelas.
Andung si penggantung dahan yang kemarin bocor keran malah angkat tangan duluan.
“Hayuk, siapa takut!” ujarnya. Entah untuk membuat teman-temannya terkesima dan melupakan peristiwa aib bocor kerannya, atau mau menunjukkan kalau ia bukan penakut.
“Tuh Andung sudah tunjuk tangan, yang lain masa kalah?” lanjut Rahmat.
“Takut bocor?” ujar Rahmat sambil melirik Andung yang terlihat marah, tapi tak bisa banyak bicara. Rahmat berbadan besar dan, semua anak tahu ia juga pandai pencak silat. Jurus andalan tinjunya saja bisa merontokkan gigi, apalagi tendangannya dengan telapak kaki yang besar.
“Siapa peserta berikutnya?” teriaknya lagi mengulang.
“Kalian semua penakut!” teriak Rahmat.
“Baca doa makan, kalau ketemu setan!”, ujarnya kali ini benar-benar persis seperti ustad yang sedang marah kepada santri-santrinya.
“Kenapa begitu?” ujar Toni anak baru di pengajian masjid yang kemarin sempat sungkem dengan Rahmat karena dikira ustadnya.
Anak-anak lain sudah terburu terkikik.
“Heh, Waktu setan lihat kamu, terus kamu baca doa makan, dikiranya mereka mau disantap, jadi pada kabur semua!” jelas Rahmat sambil tertawa diikuti kami semua, kecuali Toni.
“Oh, begitu ya?” Toni masih bingung dengan lelucon paling hambar yang sering kami dengar.
Akhirnya Tata, Toro, Jumari, Toni dan anak-anak lain juga ikut menunjuk tangan.
“Ayo tunggu apa lagi, lets go!” Rahmat memberi perintah kepada para “santri-santrinya”. Berjalan paling depan dengan langkah besar.
Rahmat membawa gokart dengan ukuran paling besar, lahernya juga laher truk bukan mini colt atau becak.
Pernah rahmat pinjam gokart Jumari yang badannya kecil dan kisut. Gokarnya bekas becak, begitu Rahmat duduk dan didorong Andung, bukannya melesat lari dan menurun dari tanjakan di tempat pengeringan padi lapangan Badri, gokart langsung melesak.
Keempat lahernya berhamburan keempat penjuru, besi penahan laher penyok dan patah, sedangkan Rahmat langsung terjerembab kearah depan, untung tangannya yang besar dan panjang masih bisa menahan berat badannya, cuma lecet biasa di telapak tangan.
Kalau mengekang tali kendali dengan kaki sambil berpegangan di bagian tengah, semua ruas-ruasnya jarinya bisa copot tertimpa berat badannya sendiri.
“Ganti!!”, teriak Jumari. Dan hari itu Rahmat terpaksa meminjamkan gokartnya dan mendorong Jumari selama balap berlangsung tanpa bisa melawan.
Di barisan kanan Andung dan Tata, tim kedua ada Rahmat dan Jumari, lalu aku dan Toni dan di tim terakhir ada Afi dan Anto. Anak-anak lain menjadi penonton dan penggembira, sesekali menjadi pendorong cadangan untuk tim yang didukungnya.
Gokart itu berupa tiga bilah papan yang disambung dengan dua bilah papan lain yang melintang di bagian bawah gokart. Bilah itu juga menjadi tempat meletakkan laher. Besi melingkar yang biasanya dipasang di tengah roda kendaraan untuk memudahkan perputaran, anak gotri, besi bulat kecil disekelilingnya yang membuat putarannya semakin kencang. Apalagi jika diberi pelumas seperti lem berwarna kuning, membuat putaran gotri dalam laher bergerak lebih licin dan cepat.
Kayu tempat laher dipasang dengan besi setengah lingkaran yang dipaku ke bilah papan. Dengan bagian tengah diberi mur ukuran besar. Dengan menggunakan tali di sisi kanan dan kiri, gokart dapat dikendalikan ke kanan dan ke kiri sesuai si pengemudinya saat meluncur dalam balapan. Satu-satunya tenaga daya dorongnya adalah dari orang lain yang berada di belakang sebagai jokinya.
“Yang menang dapat es lilin”, ujarku yang kebagian menyimpan urunan atau kumpulan saweran dari teman-teman untuk diberikan kepada pemenang. Tapi biasanya malah menjadi acara jajan bareng, si pemenang mentraktir dari uang yang dikumpulkan dan dimakan bersama-sama.
Putaran pertama, Jumari menang. Rahmat yang berbadan besar saat jadi joki Jumari langsung membuatnya merasa seperti terbang.
“Eh, Rahmat, badanmu besar, jangan kencang-kencang dorongnya nanti aku kalah,“ ujar Andung yang tidak terima karena belum apa-apa sudah merasa keder.
Setelah satu putaran Andung bisa menyusul dan berada di urutan depan, bukan karena kalah cepat, tapi Rahmat yang keburu nafsu menggunakan semua tenaganya saat putaran pertama, langsung kehilangan tenaga saat memasuki putaran kedua. Nafasnya ngos-ngosan, hingga akhirnya terduduk di tengah lapangan, membiarkan gokartnya Jumari meluncur dan akhirnya berhenti sendiri.
“Badan doang besar, ternyata tenaga kurang” teriak Andung yang melintas di putaran ketiga, terakhir sebelum dikibarkan bendera finish dan menang.
“Aku traktir nanti”, teriak Andung sedikit sombong setelah melewati bendera finish.
***
Seperti biasa sebelum pulang anak-anak akan memanfaatkan apa yang ada di pabrik Badri, jika tidak membawa pulang abu merang padi untuk mencuci piring, anak-anak akan membawa pulang merang untuk pupuk tanaman. Ditabur di permukaan tanah di pot lalu diaduk agar tanah supaya berongga dan sisa merang menjadi pupuk tambahannya.
Dari sisi kiri bangunan yang berisi beberapa kendaraan tangki minyak dan truk, kami bisa langsung masuk ke gudang utama tempat pembuangan. Kami tidak diperbolehkan naik ke atas tumpukan bubuk merang yang sedang dibakar.
Hanya boleh mengambil yang berada di atas permukaan lantai. Petugas yang mondar-mandir tak lagi mengingatkan karena kami sudah terbiasa.
Karena itu juga kami tidak pernah ditegur ketika main, kecuali ketika musim pengeringan gabah, ketika semua lapangan itu terisi dengan jemuran padi yang siap digiling menjadi butiran beras.
Disisi dalam, berbatas dengan tumpukan jerami, terdapat dinding tinggi bagian belakang gedung dua lantai yang dipakai untuk kantor di bagian depannya. Dinding itu tak berjendela sama sekali. Menjulang setinggi hampir sepuluh meter yang dicat putih.
Saat hari terik, dinding itu seperti memantulkan seluruh panas, membuat mata silau. Dan burung-burung yang beterbangan mencari sisa-sisa padi yang terbawa mesin pembuangan biasanya berkumpul di tumpukan merang. Mematuk-matuk berharap bisa menemukan butiran gabah yang utuh.
Cerobong pembuangan yang terhubung ke mesin penggilingan itu berukuran besar, dan tak henti-hentinya menyemburkan berton-ton kulit merang selama mesinnya yang gemuruh bekerja. Udara berisi butiran padi yang sebenarnya buruk untuk pernafasan, tapi kami tak peduli.
“Mat, ada burung jatuh” Tata yang berada di dinding menemukan seekor burung yang jatuh dari dinding.
Burung-burung itu mungkin menyangka dinding itu seperti awan dengan udara kosong, tapi ketika masuk tanpa sadar ia akan langsung membentur dinding dengan keras dan langsung jatuh terkulai ke bawah.
Anak-anak kadang-kadang menunggunya disana, tapi tak pernah sekalipun kami membawa burung-burung itu kerumah untuk dipelihara.
Kami berusaha membuat burung-burung itu tersadar dari pingsannya dengan cara meniup bagian anusnya berkali-kali. Seringkali cara itu menjadi cara ajaib seolah kami bisa “menghidupkan” kembali burung-burung yang sudah mati.
“Yang ini mati,” ujar Andung yang menyusul Tata yang sedang meniup seekor burung, dan tak lama ia juga menemukan seekor burung yang terjatuh karena menabrak dinding.
Berkali-kali Andung berusaha meniupnya, tapi leher burung kecil itu terkulai, sayapnya terasa dingin.
“Mungkin kamu salah tiup kali” teriak Afi yang bergegas mendekat ke tempat burung yang digenggam Andung, diikuti Rahmat, Jumari dan lainnya yang penasaran. Andung membalik burung itu hingga tampak anusnya, kemudian meniupnya lagi. Ia masih terkulai, lalu membalik burung itu ke arah kepala. Tiba-tiba saja kedua mata burung kecil itu terbuka, lalu membuka dan menutup dengan cepat berulang-ulang seperti robot konslet. Andung langsung melempar burung kecil itu, dan mereka berhamburan.
“Setaaan!” teriak mereka semuanya.
“Andung sepertinya punya aura mengundang setan” ujar Rahmat dengan tubuh masih bergidik. Untuk pertama kalinya ia melihat burung berkedip.
“Apa saja yang berada didekat Andung atau dipegangnya selalu membawa jin”, Rahmat si ustad yang memang anti mahluk kasat mata jelas kesal dengan semua kejadian itu, langsung komat-kamit dengan bacaan doa.
Sementara Andung masih terdiam memandangi tangannya, merasakan burung itu seperti masih menempel disana, masih terbayang kedipannya.
Burung yang dilemparnya terbenam di atas tumpukan merang kering. Tidak satupun dari mereka berani mendekat untuk memastikan apakah ia sudah benar-benar mati.
Tiba-tiba gundukan merang itu bergerak. Perlahan sayap-sayap itu muncul, dan sebelum semua mata siap melihat pertunjukkan terakhir yang membuat mereka semua tercekat, burung kecil itu terbang secepat kilat menghilang di balik gunung merang, membuat semua anak kocar-kacir pontang-panting berhamburan kesegala arah. Setaaaaaaaaan!!.